TEMBANG SALAKA DOMAS &Mundinglaya Dikusumah (dok.Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh : Raden Wiraatmadja dan Rama Zana di SALAKANAGARA (Berkas)
Judul
Lagu : Salaka Domas IPencipta : Bakang Abu Bakar, Hanafiah R.ALagam :
CianjuranSumber : Kumpulan rumpaka Cianjuran / MamaosH.Djadja Sukardja –
SGBS – Ciamis 2002Lirik (Rumpaka) -Tandang menak PajajaranKadiya
banteng bayanganSinatria pilih tandingTohpati jiwa jeung ragaSeja angkat
mapag jurit
(Richadiana Kartakusuma)
Najan di luhur
langitHamo burung rek disusulSumujud ka ingkang ramaPrabu Agung
SilihwangiLayang domas layang domas didamel jimat nolak bala
Sinatria PajajaranPutra silih SilihwangiEstu panceg mamanahanSeja moal waka mulih
Najan nemahan patiMun guriang tacan tumpurNgesto ka ibu ka ramaSumambat
ka Maha SuciTeguh pengkug teguh pengkuh, henteu unggut kalinduan
Catatan:Lagu (Tembang) ini hasil olahan dari cerita rakyat di tatar
sunda (Jawa Barat) yang berkisah tentang pangeran dari kerajaan
Pajajaran. Pangeran bernama Munding Laya putra dari Prabu Siliwangi.
Munding Laya ditugaskan oleh Prabu Siliwangi untuk merebut jimat sakti “Salaka Domas” berbentuk layang-layang di kahyangan.
Jimat “Salaka Domas” yang berbentuk layang-layang ini dijaga oleh
raksasa menakut kan yang sakti mandraguna serta kejam bernama Guriang.
Munding Laya sebagai satria Pajajaran tidak takut dengan segala
tantangan yang bakal menghalangi untuk meraih “Salaka Domas”. Dengan
kesaktian yang tinggi dan tekad untuk mengabdi kepada orangtua, bangsa
dan negara, akhirnya jimat “Salaka Domas” dapat direbut dan
dipersembahkan bagi Pajajaran.
Tandang menak Pajajaran = Tampillah Pangeran Pajajaran
Kadiya banteng bayangan = Dia bak banteng yang kuatSinatria pilih
tanding = Ksatria tanpa pilih lawanTohpati jiwa jeung raga = Rela
berkorban jiwa ragaSeja angkat mapag jurit = Apapun yang terjadi dari
mulai berangkat perangNajan di luhur langit = Walau diatas langitHamo
burung rek disusul = Tak akan tidak dikejarSumujud ka ingkang rama =
Sembah sujud ke ayahandaPrabu Agung Silihwangi = Yang Agung Prabu
SiliwangiLayang domas layang domas = Layang-layang emas Layang-layang
emasdidamel jimat nolak bala = sebagai jimat penolak bala
Sinatria Pajajaran = Ksatria PajajaranPutra silih Silihwangi = Putra
Prabu SiliwangiEstu panceg mamanahan = Sudah jelas cita-citanyaSeja moal
waka mulih = Apapun yang terjadi tidak akan pulangNajan nemahan pati =
Meski menghadang kematianMun guriang tacan tumpur = Kalau raksasa
guriang belum sirnaNgesto ka ibu ka rama = Bakti ke ibu bapakSumambat ka
Maha Suci = Memohon ke Maha SuciTeguh pengkug teguh pengkuh, henteu
unggut kalinduan = Teguh tekad tak akan tergoyahkan.
Mundinglaya Dikusumah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mundinglaya Dikusumah adalah cerita rakyat dari masyarakat Sunda.
Cerita rakyat tersebut menceritakan kehidupan seorang pangeran yang
kemudian diangkat menjadi raja saat Prabu Siliwangi memerintah kerajaan
tersebut. Kerajaan Sunda sendiri sering disebut oleh orang Sunda sebagai
Pajajaran (nama ibukota kerajaan) setelah Cirebon dan Banten memisahkan
diri dari kerajaan tersebut.
Sumber Cerita rakyat ini berasal
dari tradisi lisan orang Sunda yang disebut cerita pantun, yang kemudian
ditulis dalam bentuk buku oleh para penulis Sunda baik dalam Bahasa
Sunda maupun Bahasa Indonesia).[1] karya-karya roman yang mengadopsi
cerita pantun Mundinglaya Dikusumah di antaranya Pasini Jangji di
Muaraberes karya Rohmat Tasdik Al-Garuti (dalam tiga bahasa: Sunda,
Indonesia, dan Inggris)
Rangkuman- Prabu Siliwangi memiliki dua orang istri yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati yang menjadi permaisuri.
Dari Nyimas Tejamantri, Prabu Silihwangi mendapat seorang anak yaitu
pangeran Guru Gantangan. Sedangkan dari permaisuri Nyimas Padmawati,
raja memperoleh anak yang diberi nama Mundinglaya. Beda umur antara
pangeran Guru Gantangan dan pangeran Mundinglaya sangat jauh. Saat
pangeran Guru Gantangan ditunjuk jadi bupati di Kutabarang dan sudah
menikah, Mundinglaya masih anak-anak.
Karena tidak mempunyai
anak, pangeran Guru Gantangan memungut anak dan diberi nama Sunten Jaya.
Guru Gantangan juga tertarik untuk merawat Mundinglaya sebagai anaknya.
Saat pangeran Guru Gantangan meminta Mundinglaya dari permaisuri Nyimas
Padmawati, permaisuri memberikannya karena mengetahui bahwa pangeran
Guru Gantangan sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.
Saat
pangeran Mundinglaya dewasa, pangeran Guru Gantangan lebih menyayangi
pangeran Mundinglaya daripada pangeran Sunten Jaya. Hal ini disebabkan
perbedaan karakter yang sangat jauh antara pangeran Mundinglaya dan
pangeran Sunten Jaya. Pangeran Mundinglaya selain rupawan juga baik budi
pekertinya sedangkan keponakannya sifatnya angkuh dan manja.
Hal ini sangat membuat iri pangeran Sunten Jaya. Terlebih lagi ibunya juga sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.
Hanya saja perhatian istri pangeran Guru Gantangan kepada pangeran
Mundinglaya sangat berlebihan sehingga membuat pangeran Guru Gantangan
cemburu. Akhirnya pangeran Mundinglaya dijebloskan kedalam penjara oleh
saudara tirinya itu dengan alasan bahwa pangeran Mundinglaya mengganggu
kehormatan wanita.
Keputusan ini menjadikan mayarakat dan
bangsawan Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang
menentang keputusan tersebut sehingga mengancam ketentraman kerajaan
kearah permusuhan antar saudara.
Pada saat yang gawat ini,
terjadi sesuatu yang aneh. Pada suatu malam, permaisuri Nyimas Padmawati
bermimpi aneh. Dalam tidurnya, permaisuri melihat tujuh guriang, yaitu
mahluk yang tinggal di puncak gunung. Di antara mereka ada yang membawa
jimat yang disebut Layang Salaka Domas. Permaisuri mendengar perkataan
guriang yang membawa jimat tersebut: “Pajajaran akan tenteram hanya jika
seorang kesatria dapat mengambilnya dari Jabaning Langit.”
Segera setelah bangun pada pagi harinya, permaisuri menceritakan mimpi
itu kepada raja. Prabu silihwangi sangat tertarik oleh mimpi permaisuri
dan segera meminta seluruh rakyat juga bangsawan, termasuk pangeran Guru
Gantangan dan pangeran Sunten Jaya, untuk berkumpul di depan halaman
istana untuk membahas mimpinya permaisuri.
Setelah seluruhnya
berkumpul, raja berkata: “Adakah seorang kesatria yang berani pergi ke
Jabaning Langit untuk mengambil jimat Layang salaka domas?”
Senyap! Tidak ada suara yang terdengar. Pangeran Sunten Jaya pun tidak
mengeluarkan suaranya. Dia takut akan barhadapan dengan Jonggrang
Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan ke
puncak gunung. Setelah beberapa saat, patih Lengser angkat bicara:
“Paduka,” dia berkata, “setiap orang telah mendengarkan apa yang
disampaikan paduka, kecuali masih ada satu orang yang belum
mendengarkannya. Dia berada dalam penjara. Paduka belum menanyainya.
Dia adalah pangeran Mundinglaya.” Mendengar ini, raja memerintahkan
agar pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih Lengser kemudian
meminta izin pangeran guru Gantangan untuk melepaskan pangeran
Mundinglaya.
Saat pangeran Mundinglaya sudah berada di
hadapannya, raja berkata: “Mundinglaya, maukah ananda mengambil jimat
layang salaka domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari
kehancuran akibat malapetaka?” Karena layang salaka domas penting bagi
keselamatan negara, ananda akan pergi mencarinya, ayah,” kata pangeran
Mundinglaya.
Prabu Silihwangi sangat senang mendengar jawaban
ini. Demikian juga masyarakat dan para bangsawan. Bagi pangeran
Mundinglaya, tugas ini juga berarti kebebasan jika dia berhasil
mendapatkan layang salaka domas. Sementara bagi pangeran Sunten Jaya ini
berarti menyingkirkan musuhnya, karena dia yakin bahwa pamannya akan
dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. “Kakek,” kata pangeran Sunten Jaya,
“dia adalah seorang tahanan, jika kakek membiarkannya pergi sekarang,
tidak akan ada jaminan bahwa dia akan kembali.”
“Apa yang cucunda usulkan, Sunten Jaya?”
“Jika dia tidak kembali setelah sebulan, penjarakan kanjeng ibu
Padmawati dalam istana.” Masyarakat dan bangsawan kaget mendengar
permintaan ini. Prabu Silihwangi berbalik kepada pangeran Mundinglaya:
“Bagaimana menurutmu?”
”Ananda akan kembali dalam sebulan dan setuju dengan usulan Sunten Jaya.”
Dalam beberap minggu, pangeran Mundinglaya diajari oleh patih Lengser
ilmu perang dan cara menggunakan berbagai senjata sebagai bersiapan
untuk menghadapi rintangan yang akan ditemui selama perjalanan ke
Jabaning Langit. Kemudian pangeran Mundinglaya meninggalkan Pajajaran.
Karena dia tidak pernah keluar dari ibukota tersebut, pangeran
Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah
diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati berbagai
hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para
guriang.
Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati
kerajaan kecil Muara Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan
dari Pajajaran. Disana pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati
dengan putri kerajaan yang bernama Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Mereka
saling berjanji akan bertemu lagi setelah pangeran Mundinglaya berhasil
menjalankan tugas dari Prabu silihwangi untuk memperoleh jimat layang
salaka domas.
Pangeran Mundinglaya meneruskan perjalanannya.
Tiba-tiba di tengah perjalanan dia dicegat oleh raksasa Janggrang
Kalapitung yang berdiri di depannya. “Mengapa kamu memasuki wilayahku?
Apakah kamu menyerahkan diri sebagai santapanku?”
“Coba saja
kalau bisa!” jawab pangeran Mundinglaya dengan tenang. Jonggrang
Kalapitung menubruknya tapi pangeran Mundinglaya berkelit.
Berkali-kali si raksasa menyerang pangeran Mundinlaya, tapi lagi dan
lagi jatuh ke tanah sampai akhirnya kehabisan napas. Dengan kerisnya,
pangeran Mundinglaya mengancam musuhnya:
“Katakan dimana Jabaning Langit?”
“Di dalam dirimu.” Berpikiran bahwa si raksasa berbohong, pangeran
Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si raksasa. “Jangan
berbohong! Di manakah Jabaning Langit?”
“Di dalam hatimu.”
Setelah itu, pangeran Mundinglaya melepaskan raksasa tersebut, sambil
berkata: “Aku membebaskanmu, tapi jangan ganggu rakyat Pajajaran lagi.”
Jonggrang Kalapitung menuruti dan berterima kasih kepada pangeran
Mundinglaya dan meninggalkan Pajajaran selamanya.
Ketika dia
pergi, pangeran Mundinglaya menemukan suatu tempat untuk beristirahat
dan berdoa meminta tolong kepada tuhan yang Maha Esa untuk diberikan
jalan. Suatu hari dia merasakan seolah-olah terangkat dari tempatnya dan
terbang ke suatu tempat yang sangat terang.
Di sana dia
diterima oleh tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga
Layang Salaka Domas. Mereka bertanya kepada pangeran Mundinglaya mengapa
berani datang ke Jabaning Langit.
“Tujuanku datang ke sini
adalah untuk mengambil Layang Salaka Domas yang diperlukan oleh negaraku
sebagai obat untuk mencegah permusuhan antar saudara. Akan banyak orang
menderita dan mati memperebutkan yang tidak jelas.”
“Kami
menghargaimu, pangeran Mundinglaya, tapi kami tidak dapat memberimu
Layang Salaka Domas karena ini bukan untuk manusia. Bagaimana kalau
pemberian lain sebagai hadiah untukmu? Misalnya seorang putri cantik
atau kesejahteraan, atau kami dapat menjadikanmu manusia tersuci di
dunia?”
“Aku tidak memerlukan semua itu, jika rakyat Pajajaran terlibat dalam perang.”
“Kalau begitu, kamu harus merebutnya setelah mengalahkan kami.” Maka
terjadilah perkelahian. Karena para guriang sangat kuat, pangeran
Mundinglaya terjatuh dan meninggal. Segera setelah itu, muncul mahluk
supranatural lainnya, yaitu Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan
menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Munding Laya bersiap
kembali untuk bertempur dengan para guriang.
“Tida perlu ada
lagi pertempuran, karena engkau telah menunjukkan sifatmu yang
sebenarnya,” kata salah satu dari tujuh guriang, “jujur, tidak tamak.
Engkau mempunyai hak untuk membawa Layang Salaka Domas.” Dan dia
kemudian memberikannya kepada pangeran Mundinglaya.
Pangeran
Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih. Dia juga
berterima kasih kepada Nyi Pohaci atas bantuannya. Dengan dipandu oleh
tujuh guriang yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Gumarang
Tunggal, pangeran Mundinglaya pergi pulang ke Pajajaran.
Di
Pajajaran, pangeran sunten Jaya mengganggu ketentraman permaisuri.
Kepada Prabu Silihwangi, pangeran Sunten Jaya mengatakan bahwa
permaisuri sebenarnya tidak bermimpi, bahwa dia berdusta untuk
membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu
Silihwangi untuk menghukum mati permaisuri.
Pangeran Sunten
Jaya bahkan lebih jauh berniat untuk mengganggu ketentraman Dewi
Kinawati di Muara Beres dengan menceritakan bahwa pangeran Mundinglaya
telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Tentara digelar untuk
mendatangi kerajaan itu. Pada saat yang gawat tersebut, pangeran
Mundinglaya beserta ajudannya telah sampai ke Pajajaran. Mereka senang
dan berteriak kegirangan. Pangeran Sunten Jaya dan pengikutnya diusir.
Setelah itu. Prabu Silihwangi menobatkan pangeran Mundinglaya sebagai
raja Pajajaran menggantikannya dengan gelar Mundinglaya Dikusumah.
Tidak lama setelah itu, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi Kinawati
dan menjadikannya sebagai permaisuri dan Pajajaran menjadi negara yang
adil makmur dan aman.
SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/ Mundinglaya_Dikusumahhttp:// atlantissunda.wordpress.com/ 2011/12/17/ tembang-salaka-domas/
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.