HURIP BAHASA SUNDA! (Dok.Salakanagara)

oleh Chye Retty Isnendes
(Diposting di Salakanagara karena permintaan dari beberapa teman, setelah sebelumnya diedit bagian yang dianggap mengandung provokasi-nya).

Bagaimana mungkin memahami suatu budaya tanpa mempelajari bahasanya? Bagaimana mungkin pendidikan karakter tanpa bahasa ibunya?

Bahasa Sunda adalah salah satu bahasa daerah yang juga bahasa ibu di Tatar Sunda dan di Indonesia. Tak perlu diperbincangkan lagi mengenai landasan hukum konstitusional tentang hal ini. UUD 45 dan amandemennya sudah demikian fasihnya kita menghapal. Tak perlu diperbincangkan lagi bagaimana UNESCO memberi penghargaan yang begitu tinggi pada bahasa ibu. Karena pada bahasa ibu, warisan dunia dan karakteristik manusia sebagai individu yang unik berada. Tak perlu diperbincangkan lagi tentang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan PERDA Provinsi Jawa Barat No. 5 tahun 2003 Tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah, juga Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 3 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 5 Tahun 2003, yang sudah memberi hak hidup pada bahasa daerah yang juga bahasa ibu.

Atau memang perlu diperbincangkan juga hujah-hujah HAM?, pembunuhan tentang bahasa?, dan lebih jauh lagi landasan keimanan tentang diturunkannya berbagai-bagai bahasa supaya manusia berpikir dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ruum ayat 22? Agar supaya pengetahuan kita bertambah mengenai kokohnya kedudukan bahasa daerah, terutama bahasa Sunda secara faktual?

Tapi apa yang terjadi? Seorang pakar dari sebuah universitas yang mengusung label pendidikan, yang pada universitas tersebut menjadi persemaian kader-kader keur harepan bangsa, tumbuh lalu menyebar di seantero Indonesia, yang pada universitas tersebut pewarisan budaya dunia dipupuk dan subur pada satu jurusan: Jurusan Pendidikan Bahasa Sunda atau sekarang namanya menjadi Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (demi pemekaran bahasa daerah) yang mencetak guru-guru bahasa Sunda mengatakan “penghilangan bahasa daerah atau bahasa Sunda (pada kurikulum) merupakan hal yang wajar”.

Kalimat tersebut mungkin bukan bahasa beliau, tetapi dianggap tidak wajar diucapkan karena selain sedang berkembangnya reaksi mengenai perubahan Kurikulum 13, juga karena masalah bahasa bukan semata masalah ranah kognisi (pengetahuan) atau ranah psikomotor (keterampilan). Lebih dari itu, bahasa adalah sebagian besar berada pada ranah afeksi: perasaan, sikap, minat, apresiasi, dan penyesuaian diri. Dan hasilnya setelah kalimat tersebut dipublish pada PR Minggu 23/12/12, urang Sunda gehger. Karena kalimat tersebut menusuk mamaras rasa urang Sunda, terutama pada kata penghilangan dan kata wajar.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa bahasa memang terdapat pada benak-benak manusianya. Meskipun bahasanya sendiri merupakan salah satu puncak dari sebuah kebudayaan, namun seperti dikatakan teori gunung es, bahasa itu membawa emosi, sikap, perasaan, pengetahuan, adat kebiasaan, budaya, pengetahuan-pengetahuan dan kebijakan masa silam, jauh di bawah sana pada kaki gunung yang tak terselami karena dalam dan gelapnya. Kaki gunung yang kokoh inilah yang membuat sisi militan bahasa Sunda!

Memang, awal mula bahasa Sunda bisa dikira-kira. Bisa dengan mudahnya dikatakan, bahwa awal mula bahasa Sunda adalah abad kesatu masehi. Hal ini sesuai dengan sejarah Sunda yang mengabarkan adanya kerajaan tertua di Pulau Jawa: Salakanagara dengan raja pribuminya, Aki Tirem (Sang Aki Luhur Mulya). Walaupun tidak diketahui jenis bahasa Sunda yang dipergunakan oleh luluhur Sunda tersebut seperti apa, akan tetapi titimangsa masehi memperlihatkan waktu yang sangat panjang (20 abad) bagi terbenamnya akar-akar tradisi dan terjadinya perkembangan (evolusi) bahasa Sunda hingga saat ini.

Maka tak heran terjadi reaksi di setiap lini atas pernyataan Ketua Tim Inti Pengembangan Kurikulum tersebut. Perbincangan berkembang mulai di warung kopi, pada obrolan tukang beca, di dalam angkot, pada ibu-ibu di pilemburan, di ruang-ruang akademisi, di lorong-lorong akademi, didiskusikan di lembaga pendidikan terhormat, dan di dunia maya. Luar biasa. Kalimat tersebut terus menuai protes keras, hujatan, bahkan cacian. Apalagi setelah tahu bahwa beliau bukan urang Sunda, masyarakat semakin memperbincangkan dan menjadi heran. Mengapa, katanya, sudah berpuluh tahun di tanah Sunda, tidak mengerti dan tidak menghargai perasaan urang Sunda? Nah, menghargai dan mengerti ‘ngartos’ di sini adalah wilayah afeksi bukan kognisi. Pada ngartos ada kasurtian yang sangat dalam maknanya, yang dilanggar oleh pelontar kalimat di atas. Selain itu, hal tersebut juga dianggap sudah menyinggung kebanggaan urang Sunda atas bahasanya.

Mencermati maraknya reaksi terhadap perubahan Kurikulum 13, di dunia maya terdapat beberapa grup yang sebenarnya menolak diberlakukannya kurikulum tersebut. Sebagai contoh saja ada grup penggalangan suara secara nasional “1.000.000 Dukungan Bhs Daerah Menjadi Mapel Wajib Dalam Kurikulum 2013” atau dalam bahasa Sunda, lepas dari kesalahan logika judul grup ini dan saya sudah mengkritisinya, “Angket: Satuju Henteu Kurikulum Bahasa Sunda Dihapus”, hal ini perlu diperhatikan oleh pemerintah. Selain grup-grup yang mereaksi perubahan Kurikulum, ada juga reaksi-aksi turun ke jalan (demo) yang telah dilakukan para pengguna bahasa daerah di Bali dan di Jawa Tengah.

Bandung, sebagai ibu kota Jawa Barat, kondisinya menghangat dan kamalangkem. Sudah banyak pihak menginginkan aksi (turun ke jalan) di samping kegiatan diplomasi yang dilakukan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah UPI bekerja sama dengan MGMP di Jawa Barat, seperti audensi ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan merekomendasi hasil LUSTRUM ke-11, juga merekomendasi hasil pertemuan bersama sekitar lima perguruan tinggi yang memiliki pengajaran bahasa daerah se-Indonesia, tapi hasilnya belum terlihat.

Dalam PR Online Minggu, 23/12/12 juga dikutip pernyataan Ketua JPBD, Dr. H. Dingding Haerudin, bahwa bersama Forum Peduli Bahasa Sunda akan mengusung rekomendasi ini ke Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, Lc. Menurut Dingding, jika aspirasi untuk mengajarkan bahasa Sunda di tingkat nasional tidak difasilitasi maka diharapkan pemerintah daerah dapat lebih memfasilitasi dan daerah diberi kewenangan secara tersurat dalam menerapkan pelajaran bahasa Sunda supaya diajarkan di sekolah.

Selain tarekah terus diusahakan oleh lembaga resmi, juga banyak komunitas budaya yang ingin ikut ambil bagian berjuang bersama. Mengenai hal ini sangat dihargai, mengingat bahasa Sunda bukan hanya hidup di sekolah tetapi di lingkungan yang lebih luas, jauhnya lagi di lingkungan provinsi. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Sunda yang diwakili oleh komunitas-komunitas budaya tersebut masih membutuhkan bahasa Sunda. Artinya, tidak benar, bahasa Sunda hidup pada tataran mitis atau ontologi saja, tetapi lebih dari pada itu. Bahasa Sunda terbukti hidup pada tataran fungsional, menghidupi dan dihidupi oleh masyarakatnya. Dengan demikian, aksi budaya diharapkan akan menambah daya tekan terhadap pemerintah daerah dan pusat agar sesegera mungkin meninjau ulang perubahan kurikulum tersebut!

Aksi budaya juga sangat signifikan, karena dalam kedudukan ilmunya, bahasa berada pada tataran ilmu-ilmu humaniora yang termasuk pada bidang ilmu sosial dan budaya. Dengan demikian, aksi budaya akan menambah urgen nilai bahasa ini di masyarakat akademis dan masyarakat umum.***
HURIP BAHASA SUNDA! (Dok.Salakanagara)
oleh Chye Retty Isnendes 
 (Diposting di Salakanagara karena permintaan dari beberapa teman, setelah sebelumnya diedit bagian yang dianggap mengandung provokasi-nya).
 
Bagaimana mungkin memahami suatu budaya tanpa mempelajari bahasanya? Bagaimana mungkin pendidikan karakter tanpa bahasa ibunya?
 
Bahasa Sunda adalah salah satu bahasa daerah yang juga bahasa ibu di Tatar Sunda dan di Indonesia. Tak perlu diperbincangkan lagi mengenai landasan hukum konstitusional tentang hal ini. UUD 45 dan amandemennya sudah demikian fasihnya kita menghapal. Tak perlu diperbincangkan lagi bagaimana UNESCO memberi penghargaan yang begitu tinggi pada bahasa ibu. Karena pada bahasa ibu, warisan dunia dan karakteristik manusia sebagai individu yang unik berada. Tak perlu diperbincangkan lagi tentang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan PERDA Provinsi Jawa Barat No. 5 tahun 2003 Tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah, juga Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 3 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 5 Tahun 2003, yang sudah memberi hak hidup pada bahasa daerah yang juga bahasa ibu.
 
Atau memang perlu diperbincangkan juga hujah-hujah HAM?, pembunuhan tentang bahasa?, dan lebih jauh lagi landasan keimanan tentang diturunkannya berbagai-bagai bahasa supaya manusia berpikir dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ruum ayat 22? Agar supaya pengetahuan kita bertambah mengenai kokohnya kedudukan bahasa daerah, terutama bahasa Sunda secara faktual?
 
Tapi apa yang terjadi? Seorang pakar dari sebuah universitas yang mengusung label pendidikan, yang pada universitas tersebut menjadi persemaian kader-kader keur harepan bangsa, tumbuh lalu menyebar di seantero Indonesia, yang pada universitas tersebut pewarisan budaya dunia dipupuk dan subur pada satu jurusan: Jurusan Pendidikan Bahasa Sunda atau sekarang namanya menjadi Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (demi pemekaran bahasa daerah) yang mencetak guru-guru bahasa Sunda mengatakan “penghilangan bahasa daerah atau bahasa Sunda (pada kurikulum) merupakan hal yang wajar”.
 
Kalimat tersebut mungkin bukan bahasa beliau, tetapi dianggap tidak wajar diucapkan karena selain sedang berkembangnya reaksi mengenai perubahan Kurikulum 13, juga karena masalah bahasa bukan semata masalah ranah kognisi (pengetahuan) atau ranah psikomotor (keterampilan). Lebih dari itu, bahasa adalah sebagian besar berada pada ranah afeksi: perasaan, sikap, minat, apresiasi, dan penyesuaian diri. Dan hasilnya setelah kalimat tersebut dipublish pada PR Minggu 23/12/12, urang Sunda gehger. Karena kalimat tersebut menusuk mamaras rasa urang Sunda, terutama pada kata penghilangan dan kata wajar.
 
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa bahasa memang terdapat pada benak-benak manusianya. Meskipun bahasanya sendiri merupakan salah satu puncak dari sebuah kebudayaan, namun seperti dikatakan teori gunung es, bahasa itu membawa emosi, sikap, perasaan, pengetahuan, adat kebiasaan, budaya, pengetahuan-pengetahuan dan kebijakan masa silam, jauh di bawah sana pada kaki gunung yang tak terselami karena dalam dan gelapnya. Kaki gunung yang kokoh inilah yang membuat sisi militan bahasa Sunda!
 
Memang, awal mula bahasa Sunda bisa dikira-kira. Bisa dengan mudahnya dikatakan, bahwa awal mula bahasa Sunda adalah abad kesatu masehi. Hal ini sesuai dengan sejarah Sunda yang mengabarkan adanya kerajaan tertua di Pulau Jawa: Salakanagara dengan raja pribuminya, Aki Tirem (Sang Aki Luhur Mulya). Walaupun tidak diketahui jenis bahasa Sunda yang dipergunakan oleh luluhur Sunda tersebut seperti apa, akan tetapi titimangsa masehi memperlihatkan waktu yang sangat panjang (20 abad) bagi terbenamnya akar-akar tradisi dan terjadinya perkembangan (evolusi) bahasa Sunda hingga saat ini.
 
Maka tak heran terjadi reaksi di setiap lini atas pernyataan Ketua Tim Inti Pengembangan Kurikulum tersebut. Perbincangan berkembang mulai di warung kopi, pada obrolan tukang beca, di dalam angkot, pada ibu-ibu di pilemburan, di ruang-ruang akademisi, di lorong-lorong akademi, didiskusikan di lembaga pendidikan terhormat, dan di dunia maya. Luar biasa. Kalimat tersebut terus menuai protes keras, hujatan, bahkan cacian. Apalagi setelah tahu bahwa beliau bukan urang Sunda, masyarakat semakin memperbincangkan dan menjadi heran. Mengapa, katanya, sudah berpuluh tahun di tanah Sunda, tidak mengerti dan tidak menghargai perasaan urang Sunda? Nah, menghargai dan mengerti ‘ngartos’ di sini adalah wilayah afeksi bukan kognisi. Pada ngartos ada kasurtian yang sangat dalam maknanya, yang dilanggar oleh pelontar kalimat di atas. Selain itu, hal tersebut juga dianggap sudah menyinggung kebanggaan urang Sunda atas bahasanya.
 
Mencermati maraknya reaksi terhadap perubahan Kurikulum 13, di dunia maya terdapat beberapa grup yang sebenarnya menolak diberlakukannya kurikulum tersebut. Sebagai contoh saja ada grup penggalangan suara secara nasional “1.000.000 Dukungan Bhs Daerah Menjadi Mapel Wajib Dalam Kurikulum 2013” atau dalam bahasa Sunda, lepas dari kesalahan logika judul grup ini dan saya sudah mengkritisinya, “Angket: Satuju Henteu Kurikulum Bahasa Sunda Dihapus”, hal ini perlu diperhatikan oleh pemerintah. Selain grup-grup yang mereaksi perubahan Kurikulum, ada juga reaksi-aksi turun ke jalan (demo) yang telah dilakukan para pengguna bahasa daerah di Bali dan di Jawa Tengah.
 
Bandung, sebagai ibu kota Jawa Barat, kondisinya menghangat dan kamalangkem. Sudah banyak pihak menginginkan aksi (turun ke jalan) di samping kegiatan diplomasi yang dilakukan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah UPI bekerja sama dengan MGMP di Jawa Barat, seperti audensi ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan merekomendasi hasil LUSTRUM ke-11, juga merekomendasi hasil pertemuan bersama sekitar lima perguruan tinggi yang memiliki pengajaran bahasa daerah se-Indonesia, tapi hasilnya belum terlihat.
 
Dalam PR Online Minggu, 23/12/12 juga dikutip pernyataan Ketua JPBD, Dr. H. Dingding Haerudin, bahwa bersama Forum Peduli Bahasa Sunda akan mengusung rekomendasi ini ke Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, Lc. Menurut Dingding, jika aspirasi untuk mengajarkan bahasa Sunda di tingkat nasional tidak difasilitasi maka diharapkan pemerintah daerah dapat lebih memfasilitasi dan daerah diberi kewenangan secara tersurat dalam menerapkan pelajaran bahasa Sunda supaya diajarkan di sekolah.
 
Selain tarekah terus diusahakan oleh lembaga resmi, juga banyak komunitas budaya yang ingin ikut ambil bagian berjuang bersama. Mengenai hal ini sangat dihargai, mengingat bahasa Sunda bukan hanya hidup di sekolah tetapi di lingkungan yang lebih luas, jauhnya lagi di lingkungan provinsi. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Sunda yang diwakili oleh komunitas-komunitas budaya tersebut masih membutuhkan bahasa Sunda. Artinya, tidak benar, bahasa Sunda hidup pada tataran mitis atau ontologi saja, tetapi lebih dari pada itu. Bahasa Sunda terbukti hidup pada tataran fungsional, menghidupi dan dihidupi oleh masyarakatnya. Dengan demikian, aksi budaya diharapkan akan menambah daya tekan terhadap pemerintah daerah dan pusat agar sesegera mungkin meninjau ulang perubahan kurikulum tersebut!
 
Aksi budaya juga sangat signifikan, karena dalam kedudukan ilmunya, bahasa berada pada tataran ilmu-ilmu humaniora yang termasuk pada bidang ilmu sosial dan budaya. Dengan demikian, aksi budaya akan menambah urgen nilai bahasa ini di masyarakat akademis dan masyarakat umum.***

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona