" Ieu nini ucing nyusul sorangan indit di langit kadieu ninggalkeun bulan meureun hayang milu ulin ucing teh liwar kacida cik urang sintreuk sing tarik eta nini ulah kitu masing karunya ka ucing keun bae hayangeun incah heunteu beda kawas nini lah enya nini karunya hayu ucing urang ulin."
Begitu
kira-kira tembang Sunda yang biasa dinyanyikan anak-anak di bawah bulan
purnama, zaman dulu. Nyanyian tersebut seolah sedang bercakap dengan
Nini Anteh, tokoh imajiner dalam dongeng Sunda. Berharap sang Nini mau
turun ke bumi. Dikisahkan, Nini Anteh adalah satu-satunya penghuni
bulan. Bahkan, tidak hanya penghuni, Nini Anteh adalah bulan itu
sendiri. Setiap hari ia menenun kain ditemani seekor kucing bernama
Candramawat. Nini Anteh digambarkan seorang nenek tua yang berwajah
keriput dan bopeng. Namun, dari kejauhan, ia tampak begitu indah. Orang
Sunda menyebutnya Sari Gunung. Konon, kecantikan bulan membuat matahari
mabuk kepayang. Membuat matahari terus mengejarnya, berputar
mengelilingi bumi.
**
BUDAYAWAN Sunda Us
Tiarsa mengatakan, penggambaran orang Sunda mengenai bulan berbeda
dengan imajinasi bangsa lain. "Hampir semua komunitas di dunia memuja
bulan sebagai dewi malam yang sangat cantik. Orang barat menyebutnya the
queen with shining golden crown (ratu dengan mahkota bercahaya emas).
Ratu dari semua peri cantik penghuni bulan," tuturnya kepada "PR", pekan
lalu.
Ternyata, menurut dia, dongeng Sundalah yang lebih
akurat. Setelah Neil Armstrong dan rekannya berhasil menginjakkan kaki
di bulan, dapat diketahui bahwa rupa bulan tak seindah saat dipandang
dari bumi. Permukaannya tidak rata, sebagaimana kulit keriput Nini
Anteh. Bahkan, dongeng Sunda tak hanya berhasil menebak gambaran muka
bulan, tetapi juga suasananya. Jika orang di belahan bumi lain
beranggapan bulan seperti kerajaan kurcaci dengan seorang ratu yang
cantik, orang Sunda justru menggambarkan sebaliknya. Bulan digambarkan
sebagai tempat yang tak berpenghuni. Kosong. Seolah, sebelumnya, orang
Sunda sudah tahu bahwa tidak ada kehidupan di bulan.
"Bisa jadi,
kucing dan alat tenun milik Nini Anteh itu sebagai penegas
kesendiriannya. Seperti aksentuasi dalam dunia sastra yang berfungsi
mempertegas dominasi suasana," tuturnya. Tidak hanya itu, orang Sunda
pun tidak berasumsi bahwa bulan itu berbentuk lingkaran, seperti banyak
asumsi yang berkembang. Tetapi bundar seperti batok. "Makanya, ada
nyanyian anak yang berbunyi, bulan tok bulan tok, aya bulan segede
batok," ujarnya.
**
JIKA melihat hal-hal
tersebut, orang Sunda bukanlah masyarakat yang awam terhadap astronomi.
Ilmu benda-benda langit, ternyata sudah dikenal sejak zaman dulu. "Orang
Sunda purba sudah mampu memaknai peredaran matahari, bumi, dan bulan,"
kata Us Tiarsa. Bahkan, mereka menjadikan rasi bintang sebagai pedoman
dalam bercocok tanam maupun menangkap ikan. Masyarakat Sunda purba sudah
mengenal rasi bintang yang dinamai Bentang Kidang, Bentang Waluku,
Bentang Langlayangan, Bentang Timur, Bentang Sulintang, dan Bentang
Kuskus. "Orang Sunda tidak akan menanam padi ketika matahari bergeser ke
utara. Mereka tidak akan mitembeyan (memulai) bertani jika Bentang
Kidang (Bintang Kijang) tidak tampak," ujarnya. Rasi bintang lainnya
digunakan sebagai pertanda musim.
Menurut Sobirin dari
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), kearifan
lokal dalam bidang astronomi sudah saatnya digali kembali. Warisan nenek
moyang tersebut berguna untuk pelestarian lingkungan.
Masyarakat
Sunda tradisional menggunakan siklus gejala alam untuk menandai
lintasan waktu, jauh sebelum kalender modern digunakan. Terbit dan
terbenamnya matahari, terang dan gelapnya hari, pasang surut air laut,
saat berbunga dan berbuahnya tanaman, berpindah dan berkembangbiaknya
hewan, merupakan beberapa gejala yang selalu diamati.
"Masyarakat
dulu selalu menggunakan bintang untuk menentukan waktu panen. Jika tidak
sesuai itu, maka panen bisa gagal karena diserang hama," kata Sobirin.
Warisan semacam itu, seharusnya digali kembali. Berubahnya keadaan alam
dan kemajuan teknologi membuat berbagai gejala alam semacam itu tidak
lagi teramati. "Sebaiknya, pakar-pakar biologi melakukan penelitian
kembali mengenai hal itu. Kalau memang sekarang terjadi perubahan, bisa
diketahui perubahannya sejauh mana," tuturnya. Tanpa mengesampingkan
pentingnya teknologi, langkah ini akan berguna ketika perhitungan
angka-angka
ternyata meleset. "Jadi, tidak akan kehilangan obor," ujarnya. Jika
masyarakat lampau mampu memanfaatkan alam semesta untuk memajukan
peradabannya, seharusnya dengan teknologi yang dimiliki, masyarakat
modern saat ini juga bisa melakukannya. Astronomi bukan milik ilmuwan
saja. Semua yang tampak bertebaran di langit, hanya sebagian kecil
dari tata surya. Alam semesta membentang luas masih menyisakan ribuan
misteri yang menunggu terkuak. (Catur Ratna Wulandari/"PR")***
Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Senin 19 Januari 2009
|
Mantap Ulasannya. Ijin sharing mengenai sekolah jurusan administrasi ya. https://bit.ly/sekarangsayatahu-jurusan-astronomi . Terima kasih
ReplyDelete