MENGGALI DAN MELESTARIKAN BUDAYA BANGSA BERBASIS ASTRONOMI
Peneliti Utama Astronomi
Lembaga Penerbangan dan Antriksa Nasional (LAPAN)
t_djamal@bdg.lapan.go.id, t_djamal@hotmail.com
http:// t-djamaluddin.spaces.live.com/
Produk budaya bangsa berbasis astronomi yang paling utama adalah pengetahuan tentang musim, navigasi berdasarkan rasi bintang, dan sistem kalender. Pengetahuan tentang musim terutama digunakan untuk menentukan saat menanam. Dan Navigasi (penentuan arah perjalanan) terutama digunakan oleh para pelaut dan nelayan. Sistem kalender sangta dipengaruhi budaya lokal, walau dari segi sistemnya seringkali mengadopsi dari sistem yang relatif telah mapan secara internasional yang telah dikembangkan oleh bangsa yang lebih tua budayanya. Tulisan ini hanya mengulas sekilas dua aspek pertama dan memfokuskan pada aspek penggalian sitsem kalender lokal yang harus dicermati demi akurasi sejarah.
Penentuan musim dengan berpedoman pada posisi rasi tertentu dapat berlaku dalam kondisi iklim yang belum banyak berubah. Dulu, beberapa kelompok masyarakat menggunakan rasi Orion yang dikenal juga dengan nama lokal rasi “waluku” (alat bajak sawah). Salah satu caranya adalah dengan meletakkan gabah di tangan dan diarahkan ke rasi Waluku saat shubuh. Bila gabah mulai jatuh dari tangan berarti telah masuk waktu untuk bersiap menanam dengan mulai membajak sawah. Secara astronomi, rasi Orion (Waluku) berada paad ketinggian 45 derajat pada waktu shubuh terjadi pada September. Itu adalah musim peralihan dari kemarau menuju musim hujan. Dan Orion mencapai puncaknya di Zenit pada pertengahan Oktober secara umum mulai awal musim hujan. Saat ini iklim mulai berubah ketidakpastian awal musim semakin besar. El-Nino dan La Nina serta Dipole Mode lautan India yang terkait dengan kekeringan dan curah hujan tinggi kejadiannya semakin sering yang mengubah kondisi normal yang dikenal sebelumnya.
Navigasi, terutama di laut pada malam hari di Indonesia yang sebagian besar dapat melihat langit selatan. Rasi salib selatan (Crux) yang dikenal dalam nama lokal rasi layang-layang atau (bersama beberapa bintang terang lainnya) Gubung Penceng banyak digunakan untuk menentukan arah selatan. Dua bintang pada sumbu panjang layang-layang selalu mengarah ke Selatan. Bagi masyarakat Islam, pada zaman belum dikenalnya kompas, penentuan arah kiblat masjid juga merujuk pada posisi benda-benda langit (matahari atau rasi bintang) untuk dapat menentukan arah Barat. Hal yang mengagumkan hasil penentuan arah kiblat Agung Kesepuhan Cirebon yang dibangun Wali Sanga arah kiblatnya hanya menyimpang 7 derajat yang tidak terlalu signifikan bagi posisi tubuh.
Sebuah sistem kalender yang dikembangkan oleh suatu bangsa atau suku bangsa bisa menggambarkan pengaruh dominan atau percampuran budaya-budaya yang lebih tua. Sistem kalender akan hidup bila terus menerus digunakan oleh masyarakatnya dan ada otoritas (raja atau pemimpin agama) yang menjaga konsistensinya. Tulisan ini akan memfokuskan pada penggalian kembali sistem kalender Sunda (Kala Sunda) yang secara astronomis perlu kaji ulang demi kebenaran sejarah dan pengembangan asplikasinya. Kala Sunda merupakan kalender yang terlalu lama ditinggalkan masyarakatnya, suatu hal yang perlu dikaji penyebabnya.
KALA SUNDA
Saya mengenal Kala Sunda pertama kali saat kolokium Ali Sastramijaya di Observatoarium Bosscha ITB di Lembang, pada 5 Desember 1987 dengan topik “Kalangider” (sebut saja “Sumber 1”). Sampai saat ini Kala Sunda yang dipopulerkan kembali kepada publik pada awal 2005 oleh Ali Sastramijaya masih membawa persoalan. Tulisan Edi S. Ekadjati “Kala Sunda dan Rekonstruksi Sejarah” (PR, 22/2/2005, “Sumber 2”) merupakan kritik pertama yang dijawab dengan tulisan Ali Sastramijaya “Revisi Tahun Masehi tentang Sejarah Jawa Dwipa” (PR, 5/4/2005, “Sumber 3”). Kemudian kritik tajam disampaikan Irfan Anshory dalam tulisan “Mengenal Kalender Hijriah” (PR, 28/1/2006) yang kemudian ditanggapi tak kalah tajamnya sekaligus dengan dua tulisan, “Kala Sunda dan Orang Awam” (Nandang Rusnadar, “Sumber 4”) dan “Matematika Dalam Kala Sunda” (Roza Rahmadjasa Mintaredja, “Sumber 5”) (PR, 2/2/2006).
Persoalan pokok yang harus dijawab terlebih dahulu oleh Tim Kala Sunda adalah mengapa awal bulan dimulai dari bulan separuh (kira-kira tanggal 7 atau 8 qamariyah – berdasarkan bulan) dan peristiwa apa yang dijadikan rujukan awal tahunnya. Tahun baru Kala Sunda 1941 jatuh pada 18 Januari 2005 (7 Dzulhijjah 1425 H), tahun baru Kala Sunda 1942 jatuh pada 8 Januari 2006 (8 Dzulhijjah 1426 H), dan tahun baru Kala Sunda 1943 jatuh pada 28 Desember 2006 (7 Dzulhijjah 1427 H). Secara astronomis penentuan awal bulan pada saat bulan separuh memang janggal, tidak lazim dalam sistem kalender qamariyah. Pada sistem kalender qamariyah, umumnya awal bulan ditandai dengan bulan baru atau hilal (sabit pertama) atau bulan mati (saat sama sekali tidak ada cahaya pada bulan).
Kala Sunda perlu dikaji secara astronomis, sebagai pelengkap tinjauan rekonstruksi sejarah tersebut di atas. Bagaimana pun hal prinsip yang harus dikaji oleh peneliti kalender adalah konsistensi astronomis dan historis. Bila kedua hal tersebut terbukti, sistem kalender tersebut dapat dianggap andal untuk rekonstruksi sejarah atau untuk keperluan keseharian terkait dengan kegiatan atau ritual tertentu dalam masyarakatnya. Kala Surya (syamsiah, berbasis matahari) umumnya digunakan untuk kegiatan yang terkait musim, seperti pertanian, migrasi, dan penangkapan ikan. Kala Candra (qamariyah, berbasis bulan) yang perubahan tanggalnya mudah dikenali dari bentuk-bentuk bulan dari sabit – purnama – sabit kembali umumnya digunakan untuk kegiatan ritual keagamaan yang memerlukan ketepatan tanggal.
Dalam analisis ini sumber utama kajian Kala Sunda hanya dari Ali Sastramijaya yang dinyatakan merujuk pada kakek beliau pada tahun 1950-an sebelum meninggal pada 1965. Memang ada kelemahannya, kita tidak bisa membedakan aturan kalender yang asli Kala Sunda dan aturan hasil intrepretasi dan pengembangan Ali Sastramijaya sendiri. Budaya tutur yang lebih dominan daripada budaya tulis dalam masyarakat kita juga tidak memungkinkan lengkapnya alih pengetahuan yang bersifat matematis. Ungkapan kakek beliau, “...engke oge kapendak ku anjeun” (“Sumber 3”) menunjukkan tidak lengkapnya alih pengetahuan Kala Sunda. Sehingga patut diduga sebagian besar aturan Kala Sunda berasal dari interpretasi dan pengembangan Ali Sastramijaya.
TIDAK LAZIM
Tidak dapat dibantah bahwa adanya lingga, tonggak batu panjang, menunjukkan bahwa masyarakat Sunda dahulu mempunyai cara memperhatikan posisi matahari yang berkaitan dengan pembuatan kalender matahari (Kala Surya). Mirip dengan Stonehenge di Inggris, tonggak batu itu berfungsi untuk mengamati perubahan posisi matahari dari arah bayangan matahari. Dari siklus posisi matahari dapat didefinisikan satu tahun matahari. Awal tahun menurut Kala Surya Saka Sunda, menurut Ali Sastramijaya, adalah saat matahari paling selatan pada 23 Desember yang dapat diketahui dari posisi bayangan lingga. Ini mudah di mengerti karena titik awal tahun mudah dikenali dari alam, tidak seperti kalender Masehi yang menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun tanpa ada tanda di alam.
Tiga bulan pertama (menurut “Sumber 1”) pada Kala Surya Saka Sunda (Kaso, Karo, dan Latiga) masing-masing berumur 30 hari. Kemudian lima bulan berikutnya (Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, dan Kawalu) masing-masing berumur 31 hari. Selanjutnya tiga bulan berikutnya (Kasanga, Kadasa, dan Desta) kembali berumur 30 hari. Bulan terakhir (Sada) berumur 30 hari untuk tahun pendek dan 31 hari untuk tahun panjang (kabisat). Tetapi menurut artikel Ali Sastramijaya yang dipublikasi di internet, aturannya kini berselang-seling 30 dan 31, Kaso 30, Karo 31, dan seterusnya, kecuali untuk Sada berumur 30 hari untuk tahun pendek dan 31 hari untuk tahun panjang (kabisat). Perubahan ini menunjukkan bahwa aturannya bukan digali dari dokumen asli Kala Sunda, tetapi hasil pemikiran Ali Sastramijaya sendiri.
Aturan tahun kabisat Kala Surya Saka Sunda sama dengan aturan Julian, angka tahun yang habis dibagi 4 menjadi tahun kabisat, tetapi ada kekecualiannya yaitu tahun yang habis dibagi 128 tidak boleh kabisat walau habis dibagi 4. Artinya, setiap 128 dihilangkan satu tahun kabisat. Ini berbeda dari aturan kalender Gregorian yang menyatakan setiap 400 tahun dihilangkan 3 tahun kabisat dengan cara tahun ratusan yang tidak habis dibagi 400 (misalnya, 1700, 1800, dan 1900) menjadi tahun pendek walau angkanya habis dibagi 4. Perbedaan aturan tersebut akan menyebabkan perbedaan akurasinya.
Di samping Kala Surya, Saka Sunda juga menggunakan Kala Candra (qamariyah, berbasis bulan) yang disebut Kala Candra Caka Sunda. “Caka” digunakan untuk membedakan dengan “Saka” yang digunakan pada Kala Surya. Satu tahun pada Kala Candra berumur 354 hari (tahun pendek) atau 355 hari (tahun panjang). Umur masing-masing bulan berselang-seling antara 30 dan 29, seperti umumnya hisab urfi pada kalender Hijriyah. Dua belas bulan tersebut adalah Kartika (30 hari), Margasira (29), Posya (30), Maga (29), Palguna (30), Setra (29), Wesaka (30), Yesta (29), Asada (30), Srawana (29), Badra (30), dan Asuji (29 hari untuk tahun pendek atau 30 hari untuk tahun panjang). Satu bulan dibagi dalam dua bagian: Suklapaksa (1 – 15) dan Kresnapaksa (1 – 14 atau 15).
Namun ada yang tidak lazim pada Kala Candra Caka Sunda, Suklapaksa didefinisikan sebagai “parocaang” atau bulan separuh terang, dari bulan setengah lingkaran sekitar tanggal 7 atau 8 qamariyah sampai 15 hari kemudian, dengan melewati masa terang purnama. Dan selanjutnya Kresnapaksa yang didedifisikan bulan gelap selama 14 atau 15 hari yang melewati bulan mati atau bulan baru. Bagaimana pun, terminologi Suklapaksa dan Kresnapaksa tidak terlepas dari tradisi Hindu. Suklapaksa (dari Bahasa Sansekerta, sukla = terang, paksha = setengah bulan) dalam tradisi Hindu bermakna rentang 15 hari pertama saat bulan makin terang, sejak bulan baru sampai bulan purnama. Sedangkan Kresnapaksa adalah setengah bulan berikutnya saat bulan makin gelap, dari purnama sampai bulan mati. Terminologi Suklapaksa (Shuklapaksha) dan Kresnapaksa (Krishnapaksha) kini masih digunakan pada kalender Hindu di India yang disebut Pachang.
Informasi adanya beda pasaran Jawa dan Sunda yang ada di buku peninggalan kakek beliau (“Sumber 3”) tampaknya menjadi awal ketidaklaziman penafsiran Suklapaksa dan Kresnapaksa. Urutan pasaran menurut Sunda: Manis, Pahing, Pon, Wage, Kaliwon dipadankan dengan pasaran menurut Jawa: Wage, Kliwon, Manis/Legi, Pahing, Pon. Pada “Sumber 3” diungkapkan padanan tanggal peresmian keraton Mataram yang menjadi awal Kala Saka Jawa, yang menurut Kala Candra Saka Jawa itu terjadi pada Jumat Legi 1 Muharram 1555 bersesuaian dengan 17 Kapitu 1555 Kala Surya Saka Sunda, 8 Juli 1633 Masehi, Jumat Pon 8 Kresnapaksa Kartika 1558 Kala Candra Caka Sunda. Dari informasi tersebut ada hal menarik untuk mengungkap kemungkinan sumber ketidaklazimannya.
Urutan pasaran yang berselisih beberapa hari antara Saka Jawa dan Caka Sunda, sulit kita bayangkan asal usulnya. Dari kesamaan nama pasaran, dapat dipastikan baik Saka Jawa maupun Saka Sunda dulunya bersesuaian. Mengapa terjadi lompatan pasaran? Urutan hari atau urutan pasaran tidak mungkin melompat. Kalau pun terjadi penyesuaian kalender, hal yang terjadi hanyalah lompatan tanggal. Misalnya pada kalender Masehi saat reformasi Gregorius, dari Kamis 4 Oktober 1582 menjadi Jumat 15 Oktober 1582, tanpa mengubah urutan hari. Demikian juga pada Saka Jawa, pernah terjadi perubahan awal tahun yang menyimpang dari aturan baku tentang windu, tetapi tanpa mengubah urutan hari. Misalnya, awal tahun seharusnya Rabu Wage menjadi Selasa Pon (hari sebelumnya), karena tahun yang segera habis dinyatakan sebagai tahun pendek, bukan tahun panjang seperti seharusnya.
Penyebab yang mungkin terjadinya lompatan pasaran hanya kesalahan pencatatan. Karena Saka Jawa adalah kalender yang hidup di masyarakat, tidak mungkin ada kekhilafan pencatatan urutan pasaran sejak pertama kali dideklarasikan pada tahun 1555 Saka Jawa sampai saat ini 1940 Saka Jawa, walau sempat terjadi penyimpangan aturan kalender pada penentuan awal tahun Saka Jawa. Hal yang mungkin adalah kesalahan pencatatan tentang perbedaan pasaran Jawa dan Sunda pada sumber Kala Sunda yang tunggal, yaitu buku peninggalan kakek beliau.
Perbedaan pasaran Jawa dan Sunda tersebut kemudian ditafsirkan menjadi definisi Suklapaksa dan Kresnapaksa, seperti diungkapkan di “Sumber 3”. Saya mencoba menganalisis bagaimana hubungan perbedaan pasaran Jawa dan Sunda bisa berkaitan dengan pengertian Suklapaksa dan Kresnapaksa pada Kala Sunda. Pertama, urutan pasaran dideretkan sampai delapan hari: Manis, Pahing, Pon, Wage, Kaliwon, Manis, Pahing, Pon. Kemudian, misalkan tanggal 1 Saka Jawa jatuh pada pasaran Manis, seperti 1 Muharram (Suro) 1555 yang jatuh pada Jumat Manis, maka Pon jatuh pada tanggal 3 atau 8 qamariyah. Tanggal 3 tidak ada fenomena apapun. Tetapi tanggal 8 terkait dengan bulan separuh. Maka Suklapaksa ditafsirkan sebagai parocaang yang dimulai sejak bulan separuh tersebut. Ini jelas berbeda dengan sistem kalender Hindu yang menjadi asal-usul terminologi Suklapaksa dan Kresnapaksa.
Selain hal tersebut, ada ketidakakuratan perhitungan pada penentuan konversi kalender saat peresmian Keraton Mataram. Kalau konsisten bahwa awal tahun Kala Surya Saka Sunda pada 23 Desember, semestinya 8 Juli 1633 M bersesuaian dengan 28 Kanem 1555 Kala Surya Saka Sunda, bukan 17 Kapitu 1555. Tampaknya selisih 9 hari dari 23 Desember ke 1 Januari ditambahkan pada tanggal 8, sehingga muncul tanggal 17, semestinya dikurangkan menjadi tanggal 28 bulan sebelumnya (Kanem). Mungkin hanya khilaf dalam perhitungan.
AKURASI
Aturan Kala Surya Saka Sunda Kalender dengan menghilangkan satu tahun kabisat setiap 128 tahun menghasilkan penyimpangan hanya 0.0000022 hari per tahun atau penyimpangan 1 hari dalam 454.545 tahun. “Hebat bukan?”, menurut “Sumber 4”. Bandingkan dengan aturan kalender Masehi Gregorian yang menghilangkan 3 tahun kabisat setiap 400 tahun. Penyimpangan pada kalender Masehi Gregorian 0.0003 hari per tahun atau penyimpangan 1 hari dalam 3.333 tahun. Sedangkan Kala Candra Caka Sunda dan Kalender Hijriyah berbasis hisab urfi mempunyai akurasi sampai 2.420 tahun.
Kita tidak bisa berbangga dengan akurasi sekian ribu tahun, karena hal itu secara astronomis tidak bermakna keunggulan. Kalau mau, kalender Masehi pun bisa menggunakan koreksi setiap 128 tahun. Saya kira astronom penasihat Paus Gregorius memahami adanya berbagai alternatif. Secara matematis, mudah dihitung koreksi berapa tahun yang harus dilakukan untuk mendapatkan tingkat akurasi tertentu. Apakah angka 128 asli aturan Kala Surya Saka Sunda dari dokumen sejarah atau hasil hitungan matematika abad 20?
Dalam kajian kalender, hal yang harus diperhatikan juga adalah segi kemudahan sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian.. Manakah yang lebih mudah diingat menghilangkan tiga tahun kabisat setiap 400 tahun atau menghilangkan satu tahun kabisat setiap 128 tahun? Pada tahun Masehi tahun kabisat yang harus dihilangkan dari aturan Julian adalah tahun kelipatan 100 yang tidak habis dibagi 400, misalnya 1700, 1800, dan 1900. Bandingkan dengan angka tahun kelipatan 128 yang dijadikan bukan tahun kabisat, seperti 1664, 1792, 1920, dan 2048. Tentunya angka kelipatan 100 lebih mudah diingat daripada angka kelipatan 128 tersebut. Angka akurasi bukan ukuran keunggulan suatu sistem kalender.
Memang ketika baru mempelajari sistem kalender penyataan akurasi sekian ribu tahun berkesan mengagumkan, seperti tulisan saya yang pertama ketika masih mahasiswa astronomi 22 tahun lalu di majalah Kiblat 1984, “Penanggalan Tahun Hijriyah Mempunyai Ketepatan Tinggi: Hanya berbeda Satu hari Dalam Masa 2419 Tahun”. Khusus untuk kelender qamariyah, termasuk Kala Candra Caka Sunda dan kalender Hijriyah, angka akurasi tersebut sesungguhnya tidak bermakna apa-apa bila dibandingkan dengan realitas bulanan yang bisa menyimpang satu hari dari fenomena bulan separuh atau bulan sabit. Sistem tahun kabisat, hisab urfi yang berganti 29 dan 30 hari, dan cara koreksi sejenisnya memang memberikan angka akurasi jangka panjang. Semakin banyak koreksinya akan semakin akurat, namun perlu dipertanyakan siapa yang berwenang menjaganya untuk jangka panjang.
Menjaga konsistensi kalender berarti memberikan koreksi yang ditentukan pada aturan sistem kalender. Kalender Masehi dulu dikoreksi oleh Paus berdasarkan saran astronom, saat ini dikontrol oleh lembaga-lembaga astronomi. Kalender Saka Jawa ditentukan oleh Sultan berdasarkan perhitungan para ahli kalender keraton. Kalender hijriyah dulu dikeluarkan oleh Khalifah, Raja, atau Sultan, kini banyak ahli hisab dapat membuatnya dengan panduan kriteria yang disepakati secara internal organisasi Islam, nasional, atau regional. Kalender hijriyah modern tidak menggunakan aturan hisab urfi, berselang-seling 29 dan 30 hari, tetapi selalu disesuaikan dengan kriteria hisab rukyat. Perbedaan yang terjadi bukan disebabkan oleh akurasi yang rendah, tetapi lebih banyak disebabkan belum diterimanya satu kriteria yang disepakati.
Kala Sunda yang diklaim mempunyai akurasi sekian ribu tahun pun tidak akan punya makna apa-apa bila dalam realitasnya tidak ada otoritas yang menjaganya, seperti memberikan koreksi setiap 128 tahun pada Kala Surya atau setiap 120 tahun pada Kala Candra. Adanya otoritas yang menjaganya terkait juga dengan kemanfaatan kalender Sunda pada masyarakatnya. Tanpa ada manfaatnya, seperti untuk keperluan kegiatan atau ritual tertentu, masyarakat akan melupakannya.
SUMBANG SARAN
Ada hal menarik dari perbedaan tahun 1555 Kala Surya Saka Sunda dan 1558 Kala Candra Caka Sunda pada informasi tanggal peresmian Keraton Mataram. Tahun Saka Jawa dianggap (dalam “Sumber 3”) diambil dari Kala Surya Saka Sunda. Karenanya selalu ada perbedaan 3 tahun antara Saka Jawa dan Caka Sunda. Sekarang Saka Jawa 1940, sedangkan Caka Sunda 1943. Perbedaan antara Kala Surya Saka Sunda dengan Kala Candra Caka Sunda pada tahun 1555 Kala Surya Saka Sunda, telah mencapai 1.063 hari. Karena perbedaan antara Kala Surya dan Kala Candra rata-rata 10,9 hari, maka dapat dihitung bahwa sekitar 98 (dari 1.063/10.9) tahun candra sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1460 (dari 1558 – 98) Kala Candra Caka Sunda sama bilangan tahunnya dengan bilangan tahun Kala Surya Saka Sunda.
Perhitungan bisa dilakukan dengan lebih rinci dengan program konversi kalender Hijriyah-Masehi yang saya buat. Mengingat selisih Kala Candra Caka Sunda 1558 dan kalender Hijriyah 1043 adalah 515 tahun dan selisih Kala Surya Saka Sunda 1555 dan Masehi 1633 adalah –78 tahun, maka dapat dihitung beberapa kemungkinan sehingga bilangan tahun tahun Kala Candra Caka Sunda sama dengan bilangan tahun Kala Surya Saka Sunda. Hasilnya, tahun 1441 – 1471 berpeluang bilangan tahun Kala Surya Saka Sunda dan Kala Candra Caka Sunda sama, yang berarti dalam rentang tahun Masehi 1519 – 1549. Tahun 1441 bila tahun baru Kala Candra jatuh pada bulan Desember dan tahun 1471 bila tahun baru Kala Candra jatuh pada bulan Januari.
Bila kasus ini sama dengan pengadopsian bilangan tahun Kala Surya Saka Sunda menjadi bilangan tahun pada Kala Candra Saka Jawa, apakah mungkin pada rentang tahun 1441 - 1471 Saka (1519 - 1549 M) juga terjadi reformasi Kalender Sunda, yaitu mulai digunakannya dua sistem kalender. Ada yang berdasarkan kala surya dan ada yang menjadi kala candra. Bila benar terjadi reformasi Kala Sunda, pertanyaannya siapa tokohya? Menurut “Sumber 2”, dari kajian sejarah tafsir mutakhir Prasasti Batutulis terungkap bahwa tahun yang tertera pada prasasti tersebut menyatakan tahun 1455 Saka = 1533 M. Bisa jadi ada kaitan peristiwa pembuatan prasasti dengan reformasi kalender Sunda. Bila memang demikian, Kala Candra Caka Sunda tidaklah berlaku terlalu jauh mundur ke belakang. Artinya, tidak ada tahun 0 atau 1 seperti halnya pada tahun Saka Jawa. Analisis hipotetik ini bisa menjadi jawaban atas pertanyaan peristiwa yang menjadi rujukan awal tahun Kala Candra Caka Sunda.
Mungkinkah Kala Surya Saka Sunda dan Kala Candra Caka Sunda dirunut jauh ke belakang? Secara hitungan matematis-astronomis mungkin saja dilakukan. Tahun 0 Kala Candra Caka Sunda bersesuaian dengan tahun 44 Kala Surya Saka Sunda pada tahun 122 Masehi. Tetapi harus dapat dibuktikan adanya suatu peristiwa besar yang dijadikan titik awal tahun Kala Candra Caka Sunda saat itu. Tanpa pembuktian itu, semuanya hanya spekulasi yang sulit digunakan untuk rekonstruksi sejarah.
Fungsi kajian kalender selain untuk rekonstruksi sejarah, juga untuk memberi bantuan kepada masyarakat untuk mengadakan kegiatan atau ritual menurut ketentuan waktu tertentu. Kalender yang hidup sampai saat ini hanyalah kalender yang digunakan oleh masyarakatnya secara luas. Kalender Masehi terus digunakan dalam kegiatan sehari-hari karena sifat globalnya dan keterkaitan dengan musim. Kalender Hijriyah terpelihara karena diperlukan untuk kegiatan ibadah ummat Islam. Sedangkan kalender Saka Jawa terlestarikan karena terkait dengan ritual tradisi Jawa. Lalu, apa peran Kala Sunda di masyarakatnya? Sampai saat ini belum ada kegiatan atau ritual di masyarakat Sunda yang tergantung pada penentuan tanggal menurut Kala Sunda, sehingga informasi tahun baru Caka Sunda pun menjadi tidak bermakna.
Kalau kita akan menghidupkan kembali Kala Sunda, kita harus menggali kejadian-kejadian penting dalam sejarah Sunda yang bersifat positif untuk selalu dirayakan. Ulang tahun kota-kota di Jawa Barat yang terkait dengan sejarah Sunda sudah selayaknya menggunakan Kala Sunda, seperti yang dilakukan Cirebon yang merayakan ulang tahun setiap 1 Suro/Muharram, bukan berdasarkan kalender Masehi. Tetapi untuk menggali sejarah suatu kota, sistem kalender perlu disempurnakan terlebih dahulu. Konsep Suklapaksa dan Kresnapaksa pada Kala Sunda saat ini perlu ditinjau ulang karena berbeda dari definisi aslinya pada tradisi Hindu yang melatarbelakanginya. Selain itu awal bulan Kala Candra dimulai dari bulan separuh, bukan saat bulan baru, dianggap tidak lazim menurut analisis kalender astronomis. Tanpa peninjauan ulang, bahkan cenderung membela secara fanatik buta, tidaklah mungkin menggalang kesepakatan rekonstruksi sejarah dengan alat analisis yang masih kontroversial. ***
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.