Sunda Wiwitan Baduy
Oleh Fauzi Salaka
di SALAKANAGARA
Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten Oleh Masykur Wahid * ABSTRACT
Baduy adalah sebutan bagi masyarakat Desa Kanekes Banten
Selatan. Masyarakat Baduy beriman kepada Allah dalam naungan agama Sunda
Wiwitan. Agama Baduy merupakan sinkretisme Islam dan Hindu. Islam ala
Baduy diucapkan dengan syahadat dan diamalkan dengan tapa untuk
menjaga dan melestarikan alam warisan karuhun, nenek moyang. Tapa
Baduy adalah bekerja di ladang dengan menanam padi sebagai amalan
ajaran agama, mengawinkan dewi padi dengan bumi. Tindakan masyarakat
Baduy itu berpedoman kepada pikukuh, aturan adat, dengan mematuhi
buyut, tabu. Ajaran agama, tapa, pikukuh dan buyut telah
mengkonstruksi pribadi-pribadi Baduy yang sederhana dalam menjaga alam
lindung Kanekes. Sehingga, kesejahteraan dan kedamaian dapat dirasakan
oleh umat manusia. Apa yang diimani oleh umat agama Sunda Wiwitan?
Dan, bagaimana praktik ibadah ritual agama Sunda Wiwitan? Melalui dua
pertanyaan itu, tulisan ini dalam studi religi memaparkan sistem
religi dan ritual keagamaan Sunda Wiwitan. Keimanan dan ketaatan umat
Baduy kepada Allah tampak dalam tindakan mereka menjaga hutan, sungai
dan gunung hidup harmoni. Keimanannya bukan dalam hafalan ataupun
penafsiran kitab suci. Sedangkan, ibadah ritualnya dipraktikkan lewat
bekerja di ladang dengan aturan adat dan patuh pada tabu supaya panen
berhasil dan umat sejahtera. Ibadahnya bukan ingin menjadi manusia
yang dihormati ataupun dermawan. Inilah umat Sunda Wiwitan dengan
pandangan hidup menjaga alam lindung Kanekes. Kata kunci:
Baduy, Sunda Wiwitan, sinkretisme, ritual agama
Pendahuluan
Di tengah-tengah umat agama-agama di dunia memamerkan
identitas Tuhannya hingga berebut mendirikan tempat ibadah, agama
Sunda Wiwitan tetap hidup lestari dan damai di tengah-tengah hutan tua
lebat, hulu sungai dan puncak gunung Kendeng Banten Selatan. Sunda
Wiwitan adalah agama masyarakat Baduy dalam menghormati roh karuhun,
nenek moyang (Permana, 2006: 37). Wiwitan berarti jati, asal, pokok,
pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam Carita Parahiyangan disebut
kepercayaan Jati Sunda. Menurut P.A.A. Djajadiningrat (1936), Naseni
seorang kokolot Kampung Cikeusik menjelaskan bahwa “kepercayaan
Animisme masyarakat Baduy telah dimasuki unsur-unsur agama Hindu dan
agama Islam”. Pada tahun 1907 laporan Controller Afdeeling di wilayah
Lebak memaparkan bahwa masih ada komunitas masyarakat beragama Hindu
sebanyak 40 keluarga (Ekadjati, 1995: 72). Sedangkan, Islam pertama
dikenal oleh masyarakat Baduy di kampung Cicakal Girang sejak kurang
lebih 300 tahun silam.1 Hal ini diutarakan oleh Pak Daha, ketua RT:
“Orang Baduy belum mau memeluk agama Islam dan memilih lembah-lembah
sebagai tempat hidupnya, gunung Kendeng serta daerah sekitar sungai
Ciujung. Tapi orang Baduy memberi salah satu wilayah pada orang-orang
yang memeluk agama Islam, wilayah Cikakal Girang yang ditunjuk”
(Unggul Azul, 1988: 31). Sebab itu, Sunda Wiwitan merupakan
sinkretisme agama Islam dan Hindu yang dianut oleh masyarakat Baduy
saat ini. Secara konseptual sinkretisme merupakan hasil dari
proses sinkretisasi. Sebagian antropolog menganggap bahawa
sinkretisisme sebagai salah satu dari tiga hasil proses akulturasi:
penerimaan, penyesuaian dan reaksi. Dalam Antropology Today: An
Encyclopedia (1953) R. Beals menjelaskan bahwa “acculturation is
combining original and foreign traits either in harmonious whole or
with retention of conflicting attitudes which are reconciled in
everyday behavior according to specific occasions.” Jelasnya,
sinkretisasi adalah proses penggabungan dan pengombinasian unsur-unsur
asli dengan unsur-unsur asing yang dapat memunculkan sebuah pola
budaya baru (Ahimsa-Putra, 2006: 338). Dari beberapa agama
sinkretis di Jawa yang menarik dan unik, tulisan ini membahas studi
religi umat Sunda Wiwitan di dalam dua pertanyaan. Apa yang diimani
oleh umat Sunda Wiwitan ? Dan, bagaimana praktik ibadah agama Sunda
Wiwitan? Sebab itu, tujuan tulisan ini untuk memperkaya khazanah
pengetahuan studi religi klasik mengenai agama Sunda Wiwitan yang
dianut oleh masyarakat Baduy Banten. Untuk menjelaskan keimanan dan
ketaatan umat Sunda Wiwitan serta praktik ritual ibadahnya. Dan, untuk
mengenalkan identitas agama Sunda Wiwitan pada seluruh umat beragama
di dunia. Secara teoritis konsep agama dapat dipahami dengan
membedakannya dari konsep magi. Menurut James Frazer, secara
substansial agama menekankan dimensi ekspresif, sedangkan magi
menekankan dimensi instrumental dari kehidupan. Dimensi ekspresif
merupakan ruang untuk menyatakan dan menyimbolkan relasi-relasi sosial
dan kosmologis tertentu. Sedang, dimensi instrumental merupakan ruang
untuk mencapai tujuan-tujuan khusus. Tidak hanya itu, menurut Martin
Buber, agama juga mengarahkan diri pada relasi aku-Engkau, dari
pertemuan personal dalam mengabdi dan memuji Tuhan atau dewa sejauh ia
sendiri akan dilayani oleh-Nya. Sedangkan, magi dalam bentuk murni
menetapkan relasi aku-Dia yang manifulatif dengan alam (Dhavamony,
1995: 51). Konsep budaya yang digunakan mengikuti pemikiran Geertz
(1973: 89), bahwa budaya adalah “suatu pola makna-makna yang
diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol. Sistem
konsep-konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk
simbolis menjadikan manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan
mengembangkan pengetahuannya tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap
kehidupan”. Konsep budaya ini berkaitan dengan pandangan dunia (world
view) masyarakat Baduy. Lebih lanjut, Geertz (1973: 127) menjelaskan
bahwa pandangan dunia adalah “gambaran mengenai kenyataan apa adanya,
konsep mengenai alam, diri dan masyarakat”. Secara metodologis
tulisan ini merupakan hasil field research dalam studi religi di
wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi
Banten. Fenomenologi agama digunakan untuk menyelidiki sejarah agama
dan budaya Baduy secara sistematis melalui pengklasifikasian dan
pengelompokan data-data yang tersebar luas dengan cara tertentu agar
ditemukan pandangan komprehensif mengenai isi dan makna religius yang
terkandung di dalam agama dan budaya masyarakat Baduy (Dhavamony,
1995:25-26). Pada dasarnya fenomenologi agama merupakan metode
interdisiplin ilmu-ilmu, antropologi, filologi, filsafat, arkeologi,
etnologi, sosiologi, psikologi, dan lain-lainnya (1995: 7). Selain
itu, penulis terlibat langsung secara cermat untuk mengamati dan
memahami fenomena sistem religi dan ritual keagamaan Baduy yang
terjadi baik di wilayah Desa Kanekes maupun wilayah sekitarnya.
Keterlibatan langsung dalam ruang etnografi digunakan untuk menetapkan
calon informan (Spradley, 2006: 72). Pada akhirnya wawancara mendalam
terhadap informan dilakukan untuk menguatkan data-data lama dan
menemukan data-data baru. Di samping itu, digunakan metode triangulasi
untuk proses pemeriksaan dan pengujian data-data yang diperoleh hingga
tahap analisis dilakukan (Miles, 1992: 437). Geografi dan Demografi Baduy
Masyarakat Baduy bertempat tinggal di tanah adat (ulayat) di daerah
pedesaan di antara perbukitan dan pegunungan Kendeng, Banten Selatan.
Yakni, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi
Banten. Letak Desa Kanekes sekitar 17 kilometer sebelah selatan kota
Kecamatan Leuwidamar. Sekitar 38 kilometer sebelah selatan kota
Kabupaten Lebak. Sekitar 65 kilometer sebelah selatan Ibukota Propinsi
Banten. Dan, sekitar 172 kilometer sebelah barat Ibukota Jakarta.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001, luas
desa ini kira-kira 5.101,85 hektar. Luasnya terdiri dari pemukiman
masyarakat seluas 2.101,85 hektar dan hutan lindung mutlak (taneuh
larangan) seluas 3.000 hektar. Luasnya di antara desa-desa di wilayah
Propinsi Banten, Desa Kanekes adalah wilayah pedesaan yang terluas.
Penduduk masyarakat Baduy berjumlah 10.879 jiwa, laki-laki 5.465 jiwa
dan perempuan 5.414, berdasarkan Data Sensus Penduduk Desa Kanekes
tanggal 28 Pebruari 2008. Dilihat dari tahun-tahun sebelumnya,
pertumbuhan penduduk sangat pesat sebesar 1.79 % per tahun. Seiring
pertumbuhan warga yang pesat, perubahan lahan tempat tinggal
(teritorial) pun terus menerus berkembang meluas. Dalam Peraturan
Daerah No. 23 Tahun 2001 berdasarkan posisi, dalam dan luar, tempat
tinggal warga, secara administratif masyarakat Baduy dibagi menjadi
dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam yang berjumlah
1.053 jiwa menempati tanah yang didiami tiga kampung: Cikeusik,
Cikertawa dan Cibeo. Masyarakat Baduy Luar yang berjumlah 9.826 jiwa
menempati tanah yang didiami 57 kampung dan 5 babakan (pemekaran
kampung). Pada tahun sebelumnya, 2003 diketahui bahwa masyarakat Baduy
Luar hanya memiliki 45 kampung dan 6 babakan. Asal Usul Baduy
Baduy merupakan sebutan populer orang lain terhadap masyarakat Desa
Kanekes Banten. Sebutan Baduy muncul sesudah agama Islam masuk ke
daerah Banten utara pada abad ke-16, sekitar tahun 1522-1526 (Garna,
1987: 36). Akan tetapi, orang Baduy dipaparkan oleh Judistira Garna
(1987: 16-17), sebagai berikut: “Kesetiaan orang Baduy kepada
agama yang diwarisi secara turun temurun dari nenek moyangnya seperti
keadaan sebelum Hindu dan Islam berkembang di Jawa Barat serta letak
desanya yang tak mudah dicapai orang seolah-olah memperkuat angggapan
bahwa orang Baduy itu bukan orang Sunda”. Meskipun demikian, pada
tahun 1822 C.L. Blume pernah menulis bahwa masyarakat Baduy berasal
dari Kerajaan Sunda Kuno, yakni Pajajaran, yang bersembunyi ketika
kerajaan Pajajaran runtuh pada awal abad ke-17, dan sejalan pesatnya
kemajuan kerajaan Banten Islam (Garna, 1993b: 144; Permana, 2006: 26).
Terlepas dari perdebatan para ahli sejarah tentang sebuatan Baduy,
penelusurannya dapat diteruskan dan ditemukan di banyak sumber.
Karena itu, menurut Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Baduy adalah
masyarakat setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi
oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan,
tempat pe-muja-an nenek moyang, bukan Hindu atau Budha. Kabuyutan di
Desa Kanekes dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan.
Dari sinilah, masyarakat Baduy sendiri menyebut agamanya adalah Sunda
Wiwitan, Sunda Pertama (1986: 4-5; Permana, 2006: 27). Hal itu
menjelaskan juga bahwa asal usul Baduy secara tepat bisa ditemukan di
dalam diri masyarakat Baduy sendiri yang kukuh melestarikan alam
lindung pegunungan Kendeng sebelum ekspedisi Islam datang mengubah
kepercayaan mereka. Batara Tunggal, Ciptaan Tuhan
Tuhan yang diimani oleh umat Sunda Wiwitan adalah Allah, sebagaimana
terucapkan di dalam kalimat syahadat Baduy (Sam dkk., 1986: 62).
Meskipun, mereka menyebut-Nya Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa),
Batara Jagat (Penguasa Alam) dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib).
Mereka mempercayai Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu
Ngersakeun (Yang Menghendaki) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Tuhan Sunda Wiwitan bersemayam di Buana Nyungcung (Dunia Atas).
Bahkan, diyakini bahwa semua dewa agama Hindu2 tunduk terhadap Batara
Seda Niskala (Ekadjati, 1995: 73). Mereka beriman kepada yang gaib,
yang tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi dapat diraba dengan hati.
Nabi-nabi yang diimani secara eksplisit adalah Nabi Adam dan Nabi
Muhammad. Mereka beriman kepada hidup, sakit, mati dan nasib adalah
titipan. Umat Sunda Wiwitan menjalankan juga ritual ibadah sunah
Rasul, yakni sunat atau khitan (Djoewisno, 1987: 28). Ritus sunat
diyakini sebagai nyelamkeun, mengislamkan, bagi laki-laki pada umur
4-7 tahun dan perempuan. Dan, mereka tak lupa melaksanakan ritual
ibadah puasa kawalu, lebaran. Puasa ini dilakukan hanya sehari pada
bulan pertama, kedua dan ketiga dalam setahun sekali (Sam dkk., 1986:
64). Pengucapan nama Allah termaktub di dalam dua macam kalimat
syahadat Baduy: Syahadat Baduy Dalam dan syahadat Baduy Luar. Pertama,
kalimat syahadat Baduy Dalam, sebagai berikut:
“asyhadu syahadat Sunda (asyhadu syahadat Sunda jaman
Allah ngan sorangan Allah hanya satu kaduanana Gusti Rosul kedua para
Rasul ka tilu Nabi Muhammad ketiga Nabi Muhammad ka opat umat
Muhammad keempat umat Muhammad nu cicing di bumi angaricing yang
tinggal di dunia ramai nu calik di alam keueung”. yang duduk di alam
takut ngacacang di alam mokaha menjelajah di alam nafsu salamet
umat Muhammad” selamat umat Muhammad
Kedua, kalimat syahadat Baduy Luar, berikut ini:
“asyhadu Alla ilaha illalah (Asyhadu Alla ilaha illalah
wa asyhadu anna Muhammad da Rasulullah wa asyhadu anna Muhammad da
Rasulullah isun netepkeun ku ati aku menetapkan dalam hati yen
taya deui Allah di dunya ieu bahwa tiada lagi Tuhan di dunia ini iwal
ti Pangeran Gusti Allah selain Pangeran Gusti Allah jeung taya deui
iwal ti Nabi Muhammad utusan Allah”. dan tiada lagi selain Nabi
Muhammad utusan Allah)
Syahadat Baduy Dalam adalah syahadat Sunda Wiwitan yang
disampaikan kepada puun, sebagaimana masa Islam awal syahadat Islam
disampaikan kepada Nabi Muhammad. Sedangkan, syahadat Baduy Luar
adalah syahadat Islam yang diucapkan ketika melangsungkan pernikahan
secara Islami. Dikatakan oleh umat Sunda Wiwitan bahwa “kami mah ngan
kabagean syahadatna wungkul, hente kabagean sholat”. Bahwa mereka
hanya memperoleh syahadatnya saja, sedangkan rukun-rukun Islam lainnya
tidak pernah diperoleh (Sam et al, 1986: 62-63). Kekuasaan Tuhan
dipahami oleh umat Sunda Wiwitan sebagai pencipta alam semesta. Dalam
mitos penciptaan Baduy dijelaskan bahwa “dunia pada waktu diciptakan
masih kosong, kemudian Tuhan mengambil segenggam tanah dari bumi dan
diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam terciptalah Hawa. Tuhan juga
menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara Tunggal, (2) Batara Ratu,
(3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik, Cikertawana, Cibeo),
(4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh dan (7) Nabi Muhammad yang
diturunkan di Mekah. Batara Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang
bersemayam di Sasaka Domasi” (1986: 64). Dari mitos penciptaan ini,
masyarakat Baduy menyakini bahwa manusia yang pertama kali diciptakan
di bumi ini berada di Kanekes sebagai inti jagat, pancer bumi. Karena
itu, mereka melaksanakan ritual ibadah pe-muja-an di Sasaka Domas
sebagai penghormatan kepada roh karuhun, nenek moyang. Mereka
menyakini juga agamanya adalah Sunda Wiwitan, bukan Hindu ataupun
Islam. Nabi Adam diyakini oleh umat Sunda Wiwitan sebagai simbol
penciptaan manusia pertama yang berada di Sasaka Domas. Keyakinan
seperti ini terdapat juga di dalam agama masyarakat Jawa yang masih
menghormati raja-raja, nenek moyang, mereka. Ahimsa-Putra (2006: 345)
menjelaskan bahwa antara Nabi Islam, Batara Hindu dan raja Jawa
terdapat relasi genealogis, seperti termaktub di dalam pembukaan kitab
Babad Tanah Jawi, berikut ini: “Sejarah raja-raja Jawa berawal
dari Nabi Adam sebagai sumbernya. Nabi Adam menurut asal-usul
menurunkan Nabi Sis. Nabi Sis sendiri kemudian berputra Nurcahya.
Nurcahya menurunkan Nurasa. Dari Nurasa lahir putranya yang bernama
Sang Hyang Wening kemudian menurunkan Sang Hyang Tunggal. Kemudian Sang
Hyang Tunggal berputrakan sang Batara Guru. Batara Guru berputra lima,
diberi nama: Batara Sambo, Batara Brama, Batara Maha Dhewa, Batara
Wisnu, dan Dewi Sri. Batara Wisnu, putra keempat dari Batara Guru,
bertakhta di suatu kerajaan di pulau Jawa, bergelar prabu Set. Istana
Batara Guru itu yang disebut Suralaya3 (Sudibjo, t.t: 7).” Dapat
dipahami bahwa Batara Tunggal yang dipercayai oleh umat Sunda Wiwitan
adalah manusia biasa yang tidak pernah mati, akan tetapi jasad dan
rohnya ngahiyang, sirna, dari dunia ini. Mereka menyakini juga bahwa
Batara Tunggal-lah yang mengatur nasib dan kehidupan manusia di muka
bumi ini. Begitu pun, Dalem dan Menak adalah karuhun, nenek moyang
yang jasad dan rohnya ngahiyang, sirna. Sebab itu, diyakini bahwa
Kanekes tidak akan hilang hingga saat ini, seiring terpeliharanya
keturunan puun (Sam et al, 1986: 62-63). Secara formal-normatif, puun
adalah pimpinan adat istiadat masyarakat Baduy. Untuk memimpin adat
istiadat aspek spiritual puun dibantu oleh perangkat puun. Yaitu,
baresan (dewan penasehat), tangkesan (peramal) dan girang seurat
(pembantu pelaksana ritual). Selain puun diyakini sebagai pemimpin
tertinggi adat, juga merupakan keturunan karuhun,4 nenek moyang, yang
langsung mempresentasikannya di dunia. Para puun adalah orang-orang yang
bertanggung jawab dan bertugas melestarikan kepercayaan warisan nenek
moyang, pikukuh, supaya tidak terkena pengaruh proses perubahan
sosial budaya dari luar (Permana, 2006: 40). Sasaka Domas, Kiblat Suci Baduy
Kiblat ibadah pe-muja-an umat Sunda Wiwitan disebut Sasaka Domas, atau
Sasaka Pusaka Buana atau Sasaka Pada Ageung. Sasaka Domas adalah
bangunan punden berunduk atau berteras-teras sebanyak tujuh tingkatan.
Setiap teras diberi hambaro, benteng, yang terdiri atas susunan
“menhir” (batu tegak) dari batu kali. Pada teras tingkat keempat
terdapat menhir yang besar dan berukuran tinggi sekitar 2 m. Pada
tingkat teratas terdapat “batu lumpang” dengan lubang bergaris tengah
sekitar 90 cm, menhir dan “arca batu”. Arca batu ini disebut Arca
Domas. Domas berarti keramat, suci. Tingkatan teras, makin ke selatan
undak-undakan makin tinggi dan suci. Digambarkan oleh Koorders (1869),
Jacob dan Meijcr (1891) dan Pleyte (1909) bahwa letaknya di tengah
hutan tua yang sangat lebat, hulu sungai Ciujung dan puncak gunung
Pamuntuan. Bangunan tua ini merupakan sisa peninggalan megalitik.
Sebagai kiblat ibadah, Sasaka Domas diyakini sebagai tanah atau tempat
suci, keramat (sacral), para nenek moyang berkumpul (Permana, 2006:
38 dan 89-90). Di tanah suci ini umat Sunda Wiwitan melaksanakan
ritual pe-muja-an. Ritus muja adalah ziarah memanjatkan do'a dan
membersihkan obyek utama pemujaan Baduy. Ibadah ritual pe-muja-an di
Sasaka Domas dipimpin oleh puun Cikeusik. Tujuan ritus muja adalah
untuk me-muja para karuhun, nenek moyang, dan menyucikan pusat dunia.
Dalam ritual ini hanya orang-orang tertentu yang melaksanakan muja
atas nama masyarakat Baduy secara keseluruhan. Yakni, para puun dan
orang-orang yang ditunjuk. Orang-orang ditunjuk melaksanakan ritus
muja bukan didasarkan kriteria tertentu. Ritual ini dilaksanakan selama
tiga hari: tanggal 16, 17 dan 18 pada bulan Kalima. Waktu tiga hari
ritual terbagi terdiri dari, dua hari untuk pergi dan pulang dan
sehari untuk ibadah ritual muja (Permana, 2006: 88). Prosesi
ziarah menuju ke Sasaka Domas harus melalui sisi sebelah utara, tidak
boleh dari sisi selatan. Ritual muja dimulai oleh puun pada teras
tingkat pertama, dengan menghadap ke selatan, arah puncak. Selesai
ritual muja biasanya pada tengah hari, sekitar pukul 11.00-13.00.
Setelah ritual muja, dilanjutkan dengan membersihkan dan membenahi
pelataran teras. Sampai pada teras teratas (ketujuh), para pe-muja
menyucikan muka, tangan dan kaki pada batu lumpang yang disebut
Sanghyang Pangumbaran. Keadaan air di dalam “batu lumpang” adalah
simbol keadaan alam Baduy. Jika airnya penuh dan jernih, menandakan
akan turun hujan banyak, cuaca baik dan panen berhasil. Sebaliknya,
jika air dangkal dan keruh menandakan kekeringan dan kegagalan panen.
Pada keadaan “menhir” di puncak, jika dipenuhi lumut menandakan akan
mendapatkan kesentosaan dan kesejahteraan dalam tahun bersangkutam,
tetapi sebaliknya dapat memperoleh kesengsaraan dan kesulitan (2006:
90-91). Umat Sunda Wiwitan yang berniat, tidak diwajibkan, meminta
berkah datang pada sore tanggal 18 Kalima dan menanti para pe-muja di
alun-alun depan rumah jaro Cikeusik atas nama dan restu puun
Cikeusik. Mereka membentuk kelompok berdasarkan asal kampungnya.
Setiap kelompok beranggota 5-10 orang dan memiliki juru bahasa dari
kokolot kampung. Juru bahasa berfungsi mengantar, mengenalkan dan
mengutarakan niat kedatangannya. Mereka wajib berpuasa dan mengenakan
pakaian yang baik dan bersih. Masing-masing orang membawa sesaji dan
uang kertas (semampunya) yang akan diserahkan kepada jaro sebagai
imbalan berkah. Berbuka puasanya tergantung pada kedatangan para
pe-muja dan setelah selesai mandi serta isyarat dari puun Cikeusik.
Waktu berbuka puasa biasanya antara pukul 15.00-19.00, waktu lingsir
dan burit. Berbuka puasanya dengan luluy yang disediakan oleh
palawari. Luluy adalah sejenis lemang atau lontong dari beras yang
dibungkus daun patat dan dimasukkan dan dimasak di dalam bambu.
Palawari adalah 5-7 orang laki-laki yang bertugas dan bertanggung
jawab membuat luluy. Tujuan meminta berkah adalah memohon keselamatan
dan kemurahan rejeki (2006: 91-92). Prosesi meminta berkah di
rumah jaro Cikeusik. Seluruh kelompok duduk bersila di ruang tepas,
sedangkan jaro duduk bersila di ruang imah. Juru bahasa lebih dahulu
masuk ke ruang imah menghadap jaro untuk mengenalkan diri dan
kelompoknya serta menyampaikan niat dan tujuan mereka. Jaro duduk
bersila di sisi selatan ruang imah menghadap utara, sedangkan juru
bahasa berada di sisi utara menghadap ke selatan (jaro). Juru bahasa
langsung menyerahkan sesajinya kepada jaro. Setelah menerima sesaji,
jaro mengambil sepotong luluy yang di dalamnya dimasukkan jukut komala
dan lemah bodas. Jukut komala, rumput permata adalah lumut yang
menempel di teras tingkat kedua Sasaka Domas, sedang lemah bodas,
tanah putih. Keduanya diambil pada teras tingkat kedua dari sebelah
utara. Lalu, luluy diberi jampi-jampi, ditiup tiga kali dan disuapkan
kepada seorang peminta berkah. Akhirnya, juru bahasa memohon diri dan
keluar meninggalkan ruang imah, lalu mempersilakan anggota kelompoknya
masuk ke ruang imah secara bergiliran menghadap jaro. Mereka yang sudah
mendapatkan berkah segera ke luar rumah jaro. Prosesi ini berlangsung
hingga larut malam, bahkan pernah terjai hingga fajar (2006: 92).
Prosesi meminta berkah berkiblat kepada prosesi ziarah ke Sasaka
Domas. Yakni, berkiblat menghadap ke arah selatan, tempat suci, Sasaka
Domas. Karena itu, kiblat ibadah pe-muja-an umat Sunda Wiwitan ke
arah selatan. Hal ini berbeda dengan ibadah shalat umat Islam
Indonesia yang berkiblat menghadap ke arah barat, Ka'bah. Meski
demikian, pada dasarnya prosesi ibadah pe-muja-an di tanah suci,
Sasaka Domas mirip dengan prosesi ibadah haji di tanah suci, Ka'bah.
Ibadah haji dilaksanakan pada tanggal 8, 9 dan 10 Dzulhijah. Pada
tanggal 9 Dzulhijah umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji
disunatkan berpuasa 'Arafah. Dan, sebagian umat Islam Indonesia
berbuka puasa biasanya dengan nasi lontong atau ketupat. Setelah
jama'ah haji datang di rumah masing-masing, tidak sedikit masyarakat
Islam yang datang dan meminta berkah kepada orang yang telah
melaksanakan ibadah haji. Karena itu, yang jelas membedakan dengan
Islam, keimanan dan ketaatan Sunda Wiwitan kepada Tuhan terkandung di
dalam makna simboliknya supaya senantiasa menjaga dan melestarikan
hutan, sungai dan puncak gunung berada dalam ekosistemnya supaya
memberikan kedamaian dan kesejahteraan pada umat manusia. Pikukuh, Aturan Adat Mutlak
Pandangan hidup (world view) umat Sunda Wiwitan berpedoman pada
pikukuh, aturan adat mutlak. Pikukuh adalah aturan dan cara bagaimana
seharusnya (wajibnya) melakukan perjalanan hidup sesuai amanat
karuhun, nenek moyang. Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-konsep
dan aktifitas-aktifitas religi masyarakat Baduy. Hingga kini pikukuh
Baduy tidak mengalami perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub di
dalam buyut (pantangan, tabu) titipan nenek moyang. Buyut adalah
segala sesuatu yang melanggar pikukuh. Buyut tidak terkodifikasi dalam
bentuk teks, tetapi menjelma dalam tindakan sehari-hari masyarakat
Baduy dalam berinteraksi dengan sesamanya, alam lingkungannya dan
Tuhannya. Buyut tentang tindakan masyarakat Baduy, sebagai berikut:
“buyut nu dititipkeun ka puun (buyut yang dititipkan
kepada puun nagara satelung puluh telu negara tiga puluh tiga
bangsawan sawidak lima sungai enam puluh lima pancer salawe nagara
pusat dua puluh lima Negara gugung teu meunang dilebur gunung tak
boleh dihancur lebak teu meunang diruksak lembah tak boleh dirusak
larangan teu meunang ditempak larangan tak boleh dilanggar buyut teu
meunang dirobah buyut tak boleh diubah lojor teu meunang dipotong
panjang tak boleh dipotong pondok teu meunang disambung pendek tak
boleh disambung nu lain kudu dilainkeun yang bukan harus ditiadakan
nu ulah kudu diulahken yang lain harus dipandang lain nu enya kudu
dienyakeun yang benar harus dibenarkan mipit kudu amit mengambil
harus pamit ngala kudu menta mengambil harus minta ngeduk cikur
kudu mihatur mengambil kencur harus memberitahukan yang punya
nyokel jahe kudu micarek mencungkil jahe harus memberi tahu ngagedag
kudu beware mengguncang pohon supaya buahnya berjatuhan harus
memberitahu terlebih dulu nyaur kudu diukur bertutur harus diukur
nyabda kudu diunggang berkata harus dipikirkan supaya tidak menyakitkan
ulah ngomong sageto-geto jangan bicara sembarangan ulah lemek
sadaek-daek jangan bicara seenaknya ulah maling papanjingan jangan
mencuri walaupun kekurangan ulah jinah papacangan jangan berjinah dan
berpacaran kudu ngadek sacekna harus menetak setepatnya nilas
saplasna menebas setebasnya akibatna akibatnya matak burung jadi
ratu bisa gagal menjadi pemimpin matak edan jadi menak bisa gila
menjadi menak matak pupul pengaruh bisa hilang pengaruh matak
hambar komara bisa hilang kewibawaan matak teu mahi juritan bisa
kalah berkelahi matak teu jaya perang bisa kalah berperang matak
eleh jajaten bisa hilang keberanian matak eleh kasakten” bisa hilang
kesaktian)
(Garna, 1988a: 53-54, 1993: 139; Permana, 1995: 38-39; Sam
dkk., 1986: 47-48) Selain itu, terdapat buyut mengenai tanah
Baduy supaya tetap terjaga kesuciannya, sebagai berikut:
“teu meunang digaru atawa diwuluku (tidak boleh dibajak
dan diweluku teu meunang digarap dikipar tidak boleh digarap dengan
cangkul teu meunang katincak kebo tidak boleh dterinjak kerbau
keuna ku buyut nahun, buyut karuhun, buyut karang, buyut nabi, buyut
para wali” terkena pantangan nenek moyang, yaitu pantangan yang sudah
sejak lama berurat berakat dari nenek mpoyang, sehingga merupakan
pantangan yang tidak bisa dilanggar bagaikan karang, terkena pantangan
dari Nabi dan para wali) (Sam dkk., 1986: 46)
Pemegang mandat pelaksana buyut di atas adalah puun. Sebab
itu, terdapat buyut mengenai tindakan puun juga yang terkodifikasi
secara internal dalam diri puun, sebagai berikut:
“tidak boleh beristeri lebih dari seorang tidak boleh
makan daging tidak boleh bertemu dengan orang luar sebelum mencapai
umur 25 tahun, kalau menjadi puun dalam usia muda makan harus
menggunakan piring kayu, cangkir bambu atau batok kelapa tidak boleh
merokok tidak boleh bepergian ke luar kecuali dipanggil Pemerintah,
itu pun tidak boleh menaiki kendaraan” (Sam dkk., 1986: 48)
Buyut bagi puun tersebut diorientasikan supaya puun tetap
terjaga kesuciannya dalam bertugas dan bertanggung jawab melaksanakan
buyut bagi umat Sunda Wiwitan. Dalam praktiknya buyut Sunda
Wiwitan tersebut terbagi menjadi dua jenis: buyut adam tunggal dan
buyut nahun. Buyut adam tunggal adalah tabu pokok dengan tabu-tabu
kecil lainnya yang hanya berlaku bagi masyarakat Baduy Dalam tangtu.
Buyut nahun adalah tabu yang didasarkan hal-hal pokok saja yang
berlaku bagi masyarakat Baduy Luar penamping dan dangka. Misalnya,
pikukuh buyut mengolah tanah pertanian menjadi sawah dan menanam pohon
kopi dan cengkeh hanya berlaku bagi masyarakarat Baduy Dalam tangtu,
tetapi bagi masyarakat Baduy Luar penamping dan dangka dibolehkan
menanam pohon kopi dan cengkeh (Permana, 2006: 39). Pelaksanaan buyut
tersebut dikokohkan dengan ritual penyapuan, pembersihan, atau sanksi.
Tujuan ritual penyapuan adalah membersihkan sumber kotoran dari batin
pelanggar dan lingkungannya. Ada dua sanksi yang harus dijalani.
Pertama, disisihkan dari lingkungan hidup sehari-harinya. Kedua,
diturunkan status kewargaannya. Selain itu, ada sanksi lain yang
sangat berat, sebagai berikut: “(1) pelanggar buyut langsung
ditindak, sedang yang suka-rela harus mengajukan permohonan undur
rahayu kepada puun. (2) pelanggar buyut ditetapkan masa pembuangannya,
biasanya 40 hari, sedangkan yang suka-rela tidak. (3) pelanggar buyut
jika dinilai baik dan ingin kembali ke tempat asalnya akan 'diala'
setelah habis masa hukumannya, sedangkan yang suka-rela jika ingin
kembali ke tempat semua harus mengajukan permohonan ijin kepada puuni”
(Danasasmita, 1984: 101). Orientasi pikukuh dilaksanakan oleh
umat Sunda Wiwitan untuk tiga amalan. Pertama, ngabara-tapa-keun,
amalan tapa terhadap inti jagat dan dunia. Tapa bukan melakukan samadi
atau tirakat berdiam diri di tempat sunyi, tetapi melakukan “banyak
kerja dan sedikit bicara”. Sebab itu, tapa Baduy adalah bekerja di
ladang. Berladang diamalkan bukan hanya sekadar menanam padi,
melainkan juga sebagai amalan ajaran agama. Kedua, ngare-remo-keun,
amalan menghormati dengan mengawinkan Nyi Pohaci Sanghyang Asri (Dewi
Padi) dengan bumi. Amalan kedua ini merupakan ajaran agama Sunda
Wiwitan. Ketiga, amalan mengekalkan pikukuh dengan melaksanakan semua
aturan yang ada (Permana, 2006: 40-41). Pikukuh Sunda Wiwitan di
atas dikukuhkan dengan kearifan atau filsafat hidup sehari-hari.
Filsafat hidup yang diajarkan di dalam agama Sunda Wiwitan adalah
bahwa “kehidupan manusia itu telah ditentukan kedudukannya dan tempatnya
masing-masing.” Filsafat hidup ini dapat menjelaskan bahwa manusia
harus menerima kodratnya masing-masing dan menempati tempat yang sudah
ditentukan. Manusia hidup di dunia ini tidak boleh berlebihan dalam
mencari kesenangan, cukup menerima yang sudah ada saja. Sebab itu,
tujuan hidup bagi umat Sunda Wiwitan adalah kebajikan (goodness) yang
dapat dicapai dengan jalan mentaati pikukuh yang sudah dikodratkan dan
yang diberikan kepada kita masing-masing. Jika tidak, berarti hidup
itu tidak baik yang akan dirasakan sebagai siksaan atau neraka.
Demikian itu menekan bahwa hidup berarti narimakeun kana kadar (menerima
yang sudah ditentukan dan jauh dari hawa nafsu). Dengan kata lain,
hirup narimakeun berarti hidup menerima apa yang sudah menjadi
bagiannya, sehingga membuatnya tidak berani untuk berbuat atau hidup
di luar yang ditentukan (Rosmana dkk., 1993: 88-90). Sebab itu,
pandangan hidup umat Sunda Wiwitan ini yang dipraktikkan dalam ibadah
ritual keagamaan yang diatur dengan pikukuh dan ketaatan pada buyut,
menentukan keberhasilan panen padi yang melimpah dan kesejahteraan
umat manusia. Kesimpulan Sunda Wiwitan merupakan
agama sinkretisme Islam dan Hindu yang dianut oleh masyarakat Baduy di
Desa Kanekes, Banten Selatan. Meskipun umat Sunda Wiwitan tidak
memiliki kitab suci, akan tetapi ajaran-ajarannya terjelma dalam tapa,
bekerja sehari-hari di ladang. Pemahaman ajaran-ajaran agama itu
langsung dipraktikkan di dalam interaksi umat dengan alamnya. Hal ini
yang dikatakan oleh James Frezer bahwa agama Sunda Wiwitan
mengekspresikan makna-makna simbolik di dalam relasi-relasi
sosial-budaya dan kosmologi alam Baduy. Keimanannya kepada Allah hanya
terlihat di dalam pengucapan kalimat syahadat, namun mereka melakukan
praktik ritual keagamaan dengan berpedoman pada pikukuh, aturan adat,
dan ketaatan kepada buyut, pantangan. Keimanan seperti itu merupakan
semangat untuk menjaga hutan, sungai dan gunung hidup harmoni.
Seperti, tindakan mereka melaksanakan ritual ibadah pe-muja-an di Sasaka
Domas, tanah suci Baduy. Dengan demikian, identitas Sunda
Wiwitan adalah agama sinkretis. Religi ini memberikan pandangan hidup
kepada umatnya supaya hidup sederhana dan menerima apa adanya, hanya
untuk dapat bekerja di ladang, menanam padi, dengan damai dan
sejahtera. Pandangan hidup ini mengkonstruksi pribadi-pribadi Baduy yang
taat menjaga alam lindung Kanekes. Di samping itu, menciptakan agama
ini tetap lestari secara turun temurun dengan penganut yang semakin
bertambah. (dicopas dari : sites.google.com) Daftar Pustaka
- Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Cetakan Pertama. Yogyakarta: KEPEL Press.
- Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. 1984. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
- Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama (terj.). Yogyakarta: Kanisius.
- Djoewisno, MS. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. 1987. Banten: Cipta Pratama Adv.pt.
- Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.
- Garna, Judistira. 1987. Orang Baduy. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
- _____________. 1988a. “Perubahan Sosial Budaya Baduy”, dalam Nuhhadi Rangkuti (peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Yogyakarta: Bentara Budaya, Kompas, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Praseda.
- ______________. 1993a. “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam Koetjaraningrat (ed.), Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Departemen Sosial RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dan Gramedia.
- ______________. 1993b. “Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap Pembangunan”, dalam Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (peny.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 142-160.
- Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures, Selected Essays. London: Hutchinson & Co (publishers) Ltd.
- Miles, Matthew B. dan A. Micheal Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (terj.). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
- Permana, R. Cecep Eka. 2006. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
- Rosmana, Tjetjep dkk. 1993. Kompilasi Eksistensi Lembaga Adat di Jawa Barat. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen kebudayaan dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
- Sam, A. Suhandi dkk. 1986. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
- Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi (terj.). Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Sudibjo Z.H. t.t. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kedudayaan.
- Suhada, 2003. Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah. Ed. I. Cet. I. Banten: Dinas Pendidikan Propinsi Banten.
- Sursa (Suria Saputra). 1950. “Naskah 11, Agama”. Baduy. Bogor.
- Unggul Azul, Sri. 1988. “Tatkala Adzan Bergema di Kenekes”. Dalam Nurhadi Rangkuti (peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Yogyakarta: Bentara Budaya, Harian Kompas, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa.
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.