BOGOR TUNAS PAJAJARAN ( II) Ku : Saleh Danasasmita. 1983
- Get link
- X
- Other Apps
1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)
Kesejahteraan hidup dapat kita capai bila kita mampu memelihara
kegunaan 10 bagian tubuh, yaitu telinga, mata, kulit, lidah, hidung,
mulut tangan, kaki, tumbung (dubur) dan alat kelamin (baga atau purusa).
Dituturkan umpamnya (artinya saja)
"Telinga jangan mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar karena
menjadi pintu bencana penyebab kita menemukan kesengsaraan di dasar
kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang
baik, kita akan memperoleh keutamaan dari pendengarannya"
[Dukun bayi jaman dulu selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri
si bayi setelah bayi itu dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang
pertama-tama diperkenalkan kepada manusia adalah ajaran moral tentang
hidup bersusila]
2. Tapa di Nagara
Naskah itu menyebut
sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang bermanfaat bagi umum, seperti
menteri, bayangkara, pandai besi, prajurit, petani, anak gembala, dalang
dan lain-lain. Lalu dijelaskan "Eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan
tapa di nagara" (semua itu patut ditiru karena mereka itu melakuan tapa
dalam negara) Jadi yang dimaksud dengan tapa ini adalah melaksanakan
pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu penulis
Carita Parahiyangan mencela sikap Ratu Dewata karena ia melakukan cara
tapa yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai raja dalam keadaan negara
terancam musuh
3. Panca parisuda
Panca parisuda
mengandung arti LIMA OBAT PENAWAR. Ini kaitannya dengan sikap menerima
CELAAN atau KRITIK. "lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih"
(bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu)
Anggaplah:
- ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi
- ibarat kita sedang burik ada orang yang meminyaki
- ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi
- ibarat kita sedang dahaga ada orang yang mengantarkan minuman
- ibarat kita sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (sepaheun)
Dengan sikap seperti itu dikatakannya
"kadyangga ning galah cedek tinugalan teka"
(sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing)
[Galah cedek (bambu runcing) makin pendek makin baik karena
kemungkinan patah makin berkurang. Dengan kritik akal budi
kita akan menjadi makin kukuh dan tajam]
"lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga"
(kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat berisi)
4. Hidup yang penuh berkah
Pelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam
rumah tangga harus
- cermat (emet)
- teliti (imeut)
- rajin (rajeun)
- tekun (leukeun)
- cukup sandang (paka predana)
- bersemangat (morogol-rogol)
- berpribadi pahlawan (purusa ningsa)
- bijaksana (widagda)
- berani berkurban (hapitan)
- dermawan (waleya)
- gesit (cangcingan)
- cekatan (langsitan)
Prinsip hidupnya adalah Tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan, tetapi tidak berlebihan.
"Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba
ponyo, ulah urang kajongjonan"
(Hendaknya kita ingat, bahwa tidur sekedar penghilang kantuk, minum
tuak sekedar pelepas haus, makan sekedar penghilang lapar, jangan kita
berlebihan)
5. Parigeuing dan dasa pasanta
Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (tri"geuing), yaitu
GEUING, UPAGEUING dan PARIGEUING.
Geuing adalah "bisa ngicap ngicup dina kasukaan"
(bisa makan dan minum dalam kesenangan)
Upageuing aadalah "bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana"
(bisa berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan)
Parigeuing adalah "bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana hanteu surah nu dipiwarang"
(bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya)
Parigeuing memerlukan dasa pasanta (10 cara penenang), yaitu
1. bijaksana (guna)
2. ramah (rama)
3. sayang (hook)
4. memikat (pesok)
5. kasih (asih)
6. iba hati (karunya)
7. membujuk (mupreruk)
8. memuji (ngulas)
9. membesarkan hati (nyecep)
10. mengambil hati (ngala angen)
Tujuan dari hal di atas adalah
"nya mana suka bungah padang-caang nu dipiwarang"
(agar senang dan penuh kegairahan orang yang di suruh)
Betapapun harus kita akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan
penuh rasa senang dan gairah, prestasinya akan maksimal. Yang penting
terutama adalah janganlah kita mengabaikan harga diri seseorang.
6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)
Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tongak kehidupan, yaitu
- RAMA (pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang mewarisi jabatan itu),
- RESI (Ulama atau pendeta)
- PRABU (raja, pemegang kekuasaan)
Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki:
- bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja)
- sabda pinaka rama (ucapan seorang rama)
- hedap pinaka resi (tekad seorang resi)
Tugas ketiga tokoh itu dalam kropak 632 ditegaskan
"jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu"
(urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka
masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang
resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab raja/
pemegang kekuasaan).
Ketiga pemegang posisi itu sederajat
karena "pada pawitannya, pada muliyana" (sama asal-usulnya, sama
mulianya). Oleh karena itu diantara ketiganya
"haywa paala-ala
palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka
pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si
heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa
dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam"
(jangan berebut
kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka
berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang
bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang
menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan
mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda)
Tritangtu
sebagai sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di KANEKES. Orang
BADUY menyebutnya TANGTU TELU (tritangtu). Ketiga orang PUUN di Kanekes
masing-masing menempati posisi Resi (Puun CIKERTAWANA), Rama (Puun
CIKEUSIK) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga
Puun itu berkuada penuh di daerah masing-masing. Tetapi dalam hal umum
menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu telu itu berlaku.
Pada dasarnya ketiga posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita
sekarang, yaitu Pemuka Masyarakat, Ulama dan Pemerintah. Apa yang
diharapkan dari trio itu pada jaman Siliwangi, rasanya masih diharapkan
juga dewasa ini. Tradisi tidak selamanya "usang". Anggap sajalah semua
itu "wangsit Siliwangi" karena memang ditulus sebagai
"perudang-undangan" pada jamannya.
Bagian akhir naskah
Siskandang Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan
anak-anaknya yang masih di bawah umur "hanteu yogya mijodohkeun bocah,
bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun" (Tidak layak
mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan
yang menjodohkan)
Bila kita perhatikan ajaran moral dalam jaman
Siliwangi melalui naskah tersebut, mengertilah kita mengapa sikap Ratu
Dewata, Ratu Sakti dan Nilakendra sangat dicela oelh penulis Carita
Parahiyangan "Aja tinut de sang karuwi polah sang nata" (jangan ditiru
oleh yang kemudian kelakuan raja ini)]
Itulah beberapa warisan nilai budaya dari jaman Siliwangi yang sekarang
pun tampaknya masih bisa dimanfaatkan sebagai SEUWEU-SIWI SILIWANGI.
HARI JADI BOGOR
1. Tanggal yang menjadi acuan
Hari jadi, dalam kaitan apapun juga, menyangkut identitas. Salah satu
identitas Bogor yang cukup dominan di Jawa Barat adalah latar belakang
sejarahnya karena di Bogor inilah terletak Ibukota Pajajaran dan di
sinipula Siliwangi pernah hidup dan memerintah. Dua serangkai ini,
PAJAJARAN dan SILIWANGI, merupakan salah satu kebanggan masyarakat Jawa
Barat. Wajar sekali bila Pemerintah Daerah Kotamadya dan Kabupaten Bogor
sepakat mengambil titik awal identitasnya dari dua serangkai ini.
Telah diungkapkan bahwa Jaman Pajajaran dimulai dengan pemerintahan Sri
Baduga Maharaja yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Sri Baduga
mulai memerintah tahun 1482 dan berlangsung selama 39 tahun. Sejak dia
memerintah Pakuan dijadikan ibukota kerajaan menggantikan Kawali.
PERISTIWA KEPINDAHAN itulah yang dijadikan titik tolak perhitungan HARI
JADI BOGOR. Hubungan antara Bogor dengan peristiwa masa lalu sebenarnya
tidak sulit dicari karena sejak lama disadari oleh orang-orang tua.
Entje Madjid salah satunya (tokoh seni awal abad ke-20) sudah lama
mencetuskan lirik "Pajajaran tilas Siliwangi, wawangina kasilih
jenengan, kiwari dayeuhnya Bogor" (Pajajaran peninggalan Siliwangi,
namanya semerbak mewangi, kini kotanya Bogor) Jadi beliau telah
mengambil kesimpulan bahwa DAYEUH BOGOR adalah pengganti DAYEUH
PAJAJARAN.
Pengambilan angka tahun 1482 berpijak pada telaah
sejarah karena sumber yang ada akan menampilkan angka tahun itu sebagai
awal masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Untuk
bulan dan tanggal rupanya harus ditelusuri dari sumber sejarah dengan
berpijak pada Upacara Tradisional dengan nama GURUBUMI dan KUWERABAKTI
karena sumber-sumber sejarah itu tidak menuliskan secara eksplisit
mengenai bulan dan tanggalnya. Berikut adalah penjelasan mengenai
Upacara Gurubumi dan Kuwerabakti:
Dalam Lakon NGAHIYANGNA
PAJAJARAN dikisahkan, bahwa di Ibukota Pajajaran selalu diadakan upacara
Gurubumi dan Kuwerabakti setiap tahun. Dalam upacara itu hadir para
pembesar dan raja-raja daerah. Upacara itu dimulai 49 hari setelah
penutupan musim panen dan berlangsung selama 9 hari dan kemudian ditutup
dengan upacara Kuwerabakti pada malam bulan purnama.
Kisah
dari Pantun ini didukung oleh sumber lainnya, misalnya Kropak 406 yang
memberitakan bahwa raja-raja daerah harus datang menghadap ke Pakuan
setiap tahun. Diantara barang antaran yang dibawa raja-raja daerah, ikut
serta juga "Anjing Panggerek" (Anjing Pemburu). Jadi dalam waktu
perayaan yang 9 hari itu, kegiatan berburu juga dilakukan. Tome Pires
menyebutkan, bahwa "the king is great sportman and hunter" (Raja adalah
olahragawan dan pemburu yang ulung).
Fakta lain yang mendukung
adalah upacara Gurubumi ini masih biasa dilakukan di daerah PAKIDULAN
(bagian selatan Banten dan Sukabumi). Mengenai Kuwerabakti, para sesepuh
di SIRNARESMI mengemukakan bahwa upacara itu hanya dilakukan di dayeuh.
Meskipun Sirnaresmi ini terletak di Kecamatan Cisolok - Sukabumi, yang
dimaksud dayeuh di sini adalah Bogor karena upacara Kuwerabakti ini dulu
hanya dilakukan di Ibukota Pajajaran. Kaum adat Sirnaresmi adalah
keturunan para pengungsi dari Pakuan waktu kota ini diserang Banten.
Dari cerita terdahulu digambarkan bahwa latar belakang KEBUDAYAAN
MASYARAKAT PAJAJARAN adalah PERTANIAN LADANG. Di Jawa Barat, Masyarakat
Ladang murni hanya tinggal Masyarakat BADUY di Kanekes (Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak). Dalam hal ini, yang berkaitan dengan
Upacara Gurubumi dan Kuwerabakti adalah SIKLUS PERTANIANNYA, terutama
menyangkut musim panennya. Kalender Pertanian Masyarakat Baduy sejalan
dengan PRANATAMANGSA yang pada masa lalu juga digunakan oleh masyarakat
tani di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Perbedaan usia bulan memang ada,
tetapi jumlah hari dalam setahun tetap sama, yaitu 365 hari. Kedua
kalender itu pun berpedoman kepada BENTANG WULUKU (bentang=bintang). [Di
Kanekes dan Kiarapandak (Cigudek), Bentang Waluku ini masih disebut
Bentang Kidang (Sunda)] Gugus bintang ini terletak pada rasi Orion.
Kadang-kadang juga digunakan gugus bintang tetangganya, yaitu Kereti
(Kartika atau Pleyades) yang terdapat pada rasi Taurus. Pengamatan
astronomi traditional ini bertujuan untuk mengamati musim, sebab baik
diladang maupun di sawah, musim tanam padi harus pada MUSIM LABUH
(Sunda: Dangdangrat), yaitu musim hujan awal yang jatuh pada minggu
ketiga bulan September. Musim panen jatuh pada bulan Maret karena usia
padi rata-rata 5 bulan 10 hari, kecuali padi jenis HAWARA yang usinya
lebih pendek. [Kalender Baduy diawali dengan KAPAT atau SAPAR. Upacara
musim panen di Kanekes hanya diadakan di Kajeroan yaitu upacara KAWALU.
Upacara pergantian tahun (NGALAKSA) diadakan 3 hari sebelum tahun
berganti. Upacara Kawalu jatuh pada bulan Maret, sedangkan Upacara
Ngalaksa di adakan Bulan Katiga (pranatamangsa: Sada) yang jatuh pada
bulan Juni]
Dari uraian Pantun di atas diperkirakan bahwa untuk
tahun 1482, Upacara Kuwerabakti dilangsungkan pada tanggal 2 Juni,
malam 3 Juni. Tanggal 3 Juni 1482 inilah secara resmi kegiatan upacara
selama 9 hari di Ibukota itu berakhir. [Upacara Gurubumi yang di adakan
49 hari setelah panen dimaksudkan agar raja-raja daerah berkesempatan
mengadakan upacara penutupan panen di daerahnya masing-masing sebelum
berangkat ke ibukota. Seperti contohnya yang masih terjadi di Kanekes.
Upacara di daerah itu jatuh pada sekitar bulan Maret]
Yang
menjadi titik perhatian dalam masalah ini adalah mulai berfungsinya
kembali Pakuan sebagai pusat pemerintahan. Wajar sekali bila peristiwa
itu dirayakan dan disyukuri yang bersamaan dengan memberikan pengumuman
kepada raja-raja daerah bahwa sejak saat itu pusat pemerintahan ada di
Pakuan. [Dalam naskah Wangsakerta yang mengandung nilai sejarah lebih
tinggi dibanding naskah-naskah tradisional diberitakan, bahwa waktu itu
Sri Baduga baru dinobatkan dan beberapa hari menempati kedatuan Sri
Bima. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa penobatan Sri Baduga
Maharaja menjadi Susuhunan Pajajaran terjadi pada bulan Maret/April
tahun 1482. Perayaan besar dan peresmian Pakuan menjadi pusat
pemetintahan tentu dilangsungkan dalam peristiwa Upacara Gurubumi dan
Kuwerabakti terdekat. Untuk 1482, upacara dimulai tanggal 25 Mei dan
ditutup 9 hari kemudian]
SEKITAR HARI JADI BOGOR
2. Bogor sebagai alur kehidupan
Topografi Pakuan dibentuk oleh dua sungai, yaitu Cisadane dan
Cihaliwung sehingga tak heran kalau kedua sungai itu selalu disebut
dalam rajah pantun. [Sisipan ha pada Cihaliwung hanyalah melengkapi suku
kata menjadi 8 buah untuk kepentingan matra. Oleh karena itu tak perlu
disalah tafsirkan dengan selokan kecil Cihaliwung pada alur Cikahuripan
di belakang Pajaratan Embah Dalem di Batutulis] Kelenkapan alami di
Pakuan ini disempurnakan oleh Dalem Aria Natanagara dengan pembuatan
saluran yang menghubungkan Cisadane dan Ciliwung. [Karya besar ini tidak
kalah nilainya dengan Parit Pakuan Karya Prabu Siliwangi yang
membentang sepanjang jalur rel kereta api dari Jembatan Bondongan sampai
Station Batutulis] Pembangunan saluran buatan itu sebenarnya
dimaksudkan untuk mengairi pesawahan yang waktu itu masih dibangun. Akan
tetapi oleh orang-orang tua peristiwa itu ditanggapi dari sisi lainnya.
Pak Cilong menganggap pembuatan saluran itu sebagai suatu PERKAWINAN
ALUR HIDUP. Ia mengartikan kejadian itu dengan "Ngadanikeun nu laliwung"
(menyadarkan yang pada bingung). [Menurut dia, DANE atau DANI artinya
sadar atu eling, arti kiasannya jernih, benih yang sewarna dengan putih.
Sedangkan LIWUNG diartikan bingung atau kusut pikiran, arti kiasannya
keruh, kusam yang sewarna dengan hitam] Pandangan orang tua ini sejalan
dengan pandangan umum yang menilai kehidupan dari sudut serba-dua.
Misalnya JASAD yang fana (terdiri atas materi dan menjadi sarang nafsu)
dan JIWA yang abadi (yang lembut supra-materi dan menjadi sumber budi).
Demikianlah putih dan hitam yang dijadikan perlambang kehidupan dan itu
pulalah makna Cisadane dan Ciliwung yang airnya dipadukan melalui alur
Cipakancilan, menurut Pak Cilong.
[Sejalan dengan hal di atas,
ada kenyataan ganjil pada cara berpakain orang Baduy di Kanekes.
Tumbuhan tarum untuk bahan mencelup pakaian terdapat di seluruh daerah
ini. Akan tetapi tradisi mereka tetap mengharuskan ORANG KAJEROAN tetap
berikat kepala putih, sedangkan ORANG PANAMPING berikat kepala biru
kehitaman (karena dicelup dengan tarum atau nila?). Tentu saja kenyataan
seperti ini bukan hanya masalah teknis.
Sundapura (Kota Sunda)
adalah ibukota kerajaan Taruma yang dibangun Purnawarman. Kata Sunda
(menurut Macdonell) mengandung arti putih atau bersih, ini sejalan
dengan arti dani atau dane. Sedangkan Tarum mengandung arti nilai yaitu
warna antara biru dengan hitam, dan ini sejalan dengan arti liwung]
Brigjen Polisi Purnawarman R. GOJALI SURIAAMIJAYA dan Alm. Dadang Ibnu
(salah satu pembantu Oto Iskandardinata) dari Sukaraja mengajukan kisah
yang sama, bahwa lambang Galuh adalah HARIMAU KUMBANG, sedangkan lambang
Pajajaran adalah HARIMAU PUTIH. Di sini yang ditonjolkan bukan
harimaunya, melainkan warnanya, yaitu warnah putih dan kumbang (warna
antara biru dengan hitam). Jadi pola ini menunjukkan hal sama dengan
pola sebelumnya. [Orang Pulau Jawa menyadap kata WYAGHRA dari bahasa
Sangsakerta yang mengandung arti HARIMAU atau PAHLAWAN. Dalam Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, dikisahkan bahwa
Purnawarman yang selalu unggul dalam peperangan itu dijuluki WYAGHRA
NING TARUMANAGARA atau Harimau Tarumanagara. Jadi, ada tradisi yang
mengasosiasikan harimau dengan perbuatan kepahlawanan. Ki Buyut Rambeng
dalam lakon DADAPMALANG menggunakan sebutan MAUNG SELANG untuk para
senapati Pajajaran. Konon, harimau ini kecil tetapi terkenal garang
(menurut Coolsma, "tijger met zwarte grondkleur roode strepen" = harimau
dengan bulu dasar hitam bergaris merah)]
Patung Harimau
peninggalan masa silam belum ditemukan, tetapi agama Budha
memperkenalkan patung singa pengawal seperti tampak di pelataran Candi
Borobudur. Singa adalah lambang Sidharta Gautama yang sebeum menjalanai
kehidupan sebagai Budha menjadi pahlawan bangsanya dengan gelar Ksatria
Sakyasimha (singa bangsa Sakya). Ikonografi di Borobudur menampilkan
patung singa-pengawal dengan sikap duduk seragam seperti Spinx dekat
Piramida Gizeh di Mesir. Duduk pada kaki belakang dan bertopang pada
kedua kaki depan yang dilipat menjulur ke depan sambil menegakkan dada.
Itulah sikap santai, tenang dan anggun tetapi penuh kewaspadaan tanpa
menampilkan sikap mengancam. Dengan sikap duduk seperti itu, hewan jenis
harimau dan singa dapat langsung berdiri dengan sekali gerakan lompat.
Masyarakat traditional di Jawa Barat pada tahun 1930-an selalu membuat
tabungan (cengcelengan) berbentuk harimau dengan sikap duduk seperti
singa-pengawal di Borobudur itu. Hal ini tentu saja diwarisinya
turun-temurun. Itulah kajian yang melatar-belakangi sikap duduk patung
harimau di depan Balai Kota Bogor.
Pertanyaannya sekarang
adalah, adakah sebenarnya harimau yang berwana putih? Pertanyaan yang
sama dapat pula diajukan untuk patung badak putih atau sosok wayang
Anoman. Pernahkan pula ada burung rajawali yang berbulu ekor 8 helai,
bersayap 17 helai dan berbulu leher 45? Mungkin ada, entah di mana. Yang
jelas ada dalam MITOS dan LEGENDA atau KISAH ORANG-ORANG TUA. Tapi bila
kita sanksikan bagaimana kisah kepergian Surawisesa atas perintah
ayahnya (Siliwangi) ke Malaka dalam lakon pantun digubah menjadi
kepergian Mundinglaya Dikusuma ke Kahiyangan mencari Lalayang
Salakadomas, dan tokoh Alfonso d'Albuquerque digantikkan posisinya oleh
tokoh Sunan Ambu, dapatlah disimpulkan bahwa kisah-kisah ajaib seperti
itu bernilai simbolik dan menyembunyikan sesuatu kenyataan. Tidak
mungkinkah kisah gaib harimau kumbang dan harimau putih itu juga
melambangkan kaitan historis antara Tarumanagara (tarum=nila=hitam)
dengan Sunda (putih)?.
Terlepas dari itu semua, orang
sependapat bahwa harimau menjadi lambang kepahlawanan dan putih
melambangkan kesucian, kemurnian, kejujuran dan keadilan. Patung harimau
putih hanyalah hiasan yang mudah-mudahan mampu mengingatkan kita apa
arti keadilan dan kejujuran dalam ajaran moral sebagai bagian warga
negara Republik Indonesia. "The Kingdom of Sunda is justly governed"
(kata Tome Pires) patut kita buktikan, minimal di sebagian kecil bekas
ibukotanya.
Taruma-Sunda adalah identitas sejarah Bogor.
Ciliwung-Cisadane menjadi identitas topografinya (waruga). Sesuai dengan
makna yang terkandung di dalamnya, Kotamadya Bogor memiliki bendera
pengenal yang berwarna TARUM dan PUTIH dengan lambang daerah di
tengahnya. Silahkan baca saja bendera itu dengan KOTAMADYA BOGOR DI ATAS
LAHAN CILIWUNG DAN CISADANE.
Uraian ini ditambahkan sebagai
pelengkap dengan maksud memandang ke sisi lain tempat orang-orang tua
yang bijak merenungkan sesuatu di luar wujud materi. Manusia modern
pernah beranjak terlalu jauh dan menganggap dirinya berhadapan, bahkan
berhak menaklukkan alam. Namun pengalaman membuktikan bahwa mereka hanya
sebagian dari alam itu. Menaklukkan alam berarti memusnahkan diri
sendiri karena lingkungan hidup itu BUKAN UNTUK PARA PENGHUNINYA,
melainkan TERDIRI ATAS PARA PENGHUNINYA.
Sumber: Saleh Danasasmita. 1983. Sejarah Bogor (Bagian I). PEMDA DT II Bogor
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.