SAJARAH BANDUNG LAUTAN API
- Get link
- X
- Other Apps
Catetan : Milangkala kajadinan Bandung Laut Api ka 67 , 25 Maret 2013
SUATU hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000
penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka,
meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun
kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi
mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi
lautan api.
Insiden Perobekan Bendera
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya
merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui
perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang
kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka
berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk
menjajah kembali Indonesia.
Berita pembacaan teks Proklamasi
Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI
pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945,
cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh
Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank
Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga
warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan
dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama
Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.
Tanggal 27
Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh
terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober
1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur,
Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Peristiwa yang
memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain
menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya
Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk
kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk
menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Berbagai
tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda.
Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah
Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan
bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak
berjatuhan.
Bandoeng Laoetan Api
Ultimatum agar
Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat,
melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung
dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para
pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui
musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua
kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul
Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah
tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari
itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang
meninggalkan kota.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat
dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini
asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua listrik mati.
Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran
yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung,
di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud
menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad
Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut
dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi
kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota
Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi
keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat
itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk
dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun
berubah menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut
merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan
sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI
bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung.
Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat
membakar daya juang rakyat Indonesia.
Bandung Lautan Api
kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu.
Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum
Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di
Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari
pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan
apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum
Inggris.
Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan
Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan
itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana,
Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin
Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi
sebenarnya lautan air”
A.H Nasution, 1 Mei 1997
Istilah
Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret
1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan
pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar
Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang
memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di
Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan
memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang
untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng
Laoetan Api.
Sumber: Bandung Society For Herritage Conservation
Ket.foto : Para pelaku kajadian Bandung Lautan Api (foto: Rony Suprayogi)
SUATU hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api.
Insiden Perobekan Bendera
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia.
Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.
Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.
Bandoeng Laoetan Api
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air”
A.H Nasution, 1 Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.
Sumber: Bandung Society For Herritage Conservation
Ket.foto : Para pelaku kajadian Bandung Lautan Api (foto: Rony Suprayogi)
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.