INGGIT GARNASIH,cinta yg tak pernah pudar
- Get link
- X
- Other Apps
Rumah
yang dulunya adalah hanya berbentuk rumah panggung ini dibangun tahun
1920-an, dizaman pergerakan, rumah ini sering digunakan Bung Karno dan
kawan-kawan untuk berdiskusi.
Di tahun 1946 rumah ini pernah
rata dengan tanah dalam peristiwa Bandung Lautan Api yang
membumihanguskan Bandung Selatan. Setelah Ibu Inggit meninggal, tahun
1984, anak-anaknya memutuskan untuk menjual rumah karena kesulitan
ekonomi.
tahun 1989 Pemprov Jawa Barat membili rumah ini seharga
Rp300 juta. Jauh di atas harga pasaran kala itu. Setelah di tangan
Pemprov Jabar, rumah ini mengalami tiga kali renovasi, di antaranya
tahun 1991 dan 2001.
”Rumah Sejarah Inggit Garnasih merupakan
tempat persinggahan terakhir sebelum Bung Karno dibuang ke Ende, Flores,
Nusa Tenggara Timur. Rumah ini menyimpan kenangan paling kuat bagi
Inggit Garnasih. Di tempat ini, ia melewati masa-masa yang paling manis
sampai yang paling pahit dalam menjalani kehidupannya di hari tua.
Inggit adalah wanita asal Banjaran,lahir tahun 1888,lebih tua 12 tahun
yang menikah dengan pemuda Soekarno pada tahun 1923,saat itu usianya 21
tahun.
Anak ketiga pasangan Ardjipan dan Asmi ini terlahir dengan
nama Garnasih pada 17 Februari 1888 di Desa Kamasan Banjaran Kabupaten
Bandung. Kakaknya bernama Natadisastra dan Moertasih. Ia tumbuh menjadi
gadis cantik yang dikagumi banyak pria. Karena kecantikannya, di
kalangan pemuda beredar ungkapan “Mendapat senyuman dari Garnasih bagai
mendapat uang seringgit. Kata “ringgit” kemudian berubah menjadi Inggit
yang menempel terus pada nama Garnasih.
Sebagai pendamping Bung
Karno, Inggit bukan hanya menjadi istri, tetapi sekaligus menjadi tulang
punggung ekonomi keluarganya. Apalagi setelah Bung Karno bersama dua
pengurus Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap dan kemudian
dijebloskan ke penjara Banceuy karena melakukan kegiatan politik di Solo
dan terakhir di Yogyakarta pada 29 Desember 1929. Ia kemudian
dipindahkan ke penjara Sukamiskin setelah dalam sidang Landraad Bandung
dijatuhi hukuman empat tahun penjara.
Dari 8 perempuan yang diperistri soekarno inggit bagai sebuah pondasi bagi soekarno.
Terhadap wanita-wanita yang mengisi hatinya, semua mendapat tempat yang
begitu mulia di hati Soekarno. Inggit Garnasih sdikataakan sebagai
perempuan gigih, penyayang, dan mendukungnya sejak era pergerakan hingga
menjelang Indonesia merdeka.
Apabila Bung Karno api maka
Inggit kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno
kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian. Inggit menjahitkan
ketika kancing baju Soekarno lepas, Inggit hadir ketika Soekarno muda
membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai Ibu maupun teman. Inggit
bagi Soekarno laksana Khadijah bagi Muhammad. Bedanya Muhammad setia
hingga Khadijah meninggal sedangkan Soekarno kawin lagi, melangkah ke
gerbang istana dan Inggit pulang ke Bandung, menenun sepi.
Dalam kamus hidupnya hanya ada kata memberi tak ada kata meminta. Inggit
menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah keluarga,
sementara Soekarno seperti singa yang mengaum dari satu podium ke podium
berikutnya, pikirannya tercurah untuk pergerakan, Inggit yang setia
mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi.
Suatu malam di jalan Jaksa, kedua pasang mata bertemu, Soekarno berkata
“Aku cinta padamu”. Inggit tersipu menunduk dalam-dalam sambil
mempermainkan ujung kebaya. Itulah cinta yang dibawakan Inggit dengan
mesra, tanpa suara tanpa kata-kata, tanpa bahasa. Kejadian yang sangat
lazim dan sederhana tetapi merupakan kejadian penting yang terlupakan
oleh segenap bangsa.
Inggit menemani Soekarno yang
terlunta-lunta di pembuangan. Jauh di Pulau Ende lalu di Bengkulu,
Inggit tetap menemani, merupakan batere bagi kehidupan Soekarno yang
menderita. Tetapi di ujung masa penjajahan Soekarno berkata pada Inggit:
“Euis, aku akan menikah lagi supaya punya anak seperti orang-orang lain.”
“Kalau begitu antarkan saja aku ke Bandung!” jawab Inggit.
“Tidak begitu, maksudku engkau akan tetap jadi istri utama. Jadi first lady seandainya kita nanti merdeka.”
“Tidak, antarkan saja aku ke Bandung.” jawab Inggit lirih............
Akhirnya Soekarno mengantar Inggit ke Bandung. Kembali tinggal di jalan
Tjiateul dan Soekarno balik ke Jakarta. Dalam kesepiannya Inggit selalu
berdoa bagi kebaikan Soekarno. Inggit kembali menjual bedak, meramu
jamu dan menjahit kutang sebagai nafkah.
Dagangannya dititipkan di
toko Delima. Inggit tidak mengeluh, tidak menangis. Demikianlah cinta
Inggit pada Soekarno. Cinta semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika
dilukai dan tidak sakit ketika disakiti, tanpa pamrih tanpa
motivasi.(dicopas tina Bandung Kuring)
“Dibalik kebesaran nama seorang lelaki, ada keagungan hati seorang
perempuan ….”
Di tahun 1946 rumah ini pernah rata dengan tanah dalam peristiwa Bandung Lautan Api yang membumihanguskan Bandung Selatan. Setelah Ibu Inggit meninggal, tahun 1984, anak-anaknya memutuskan untuk menjual rumah karena kesulitan ekonomi.
tahun 1989 Pemprov Jawa Barat membili rumah ini seharga Rp300 juta. Jauh di atas harga pasaran kala itu. Setelah di tangan Pemprov Jabar, rumah ini mengalami tiga kali renovasi, di antaranya tahun 1991 dan 2001.
”Rumah Sejarah Inggit Garnasih merupakan tempat persinggahan terakhir sebelum Bung Karno dibuang ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Rumah ini menyimpan kenangan paling kuat bagi Inggit Garnasih. Di tempat ini, ia melewati masa-masa yang paling manis sampai yang paling pahit dalam menjalani kehidupannya di hari tua.
Inggit adalah wanita asal Banjaran,lahir tahun 1888,lebih tua 12 tahun yang menikah dengan pemuda Soekarno pada tahun 1923,saat itu usianya 21 tahun.
Anak ketiga pasangan Ardjipan dan Asmi ini terlahir dengan nama Garnasih pada 17 Februari 1888 di Desa Kamasan Banjaran Kabupaten Bandung. Kakaknya bernama Natadisastra dan Moertasih. Ia tumbuh menjadi gadis cantik yang dikagumi banyak pria. Karena kecantikannya, di kalangan pemuda beredar ungkapan “Mendapat senyuman dari Garnasih bagai mendapat uang seringgit. Kata “ringgit” kemudian berubah menjadi Inggit yang menempel terus pada nama Garnasih.
Sebagai pendamping Bung Karno, Inggit bukan hanya menjadi istri, tetapi sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. Apalagi setelah Bung Karno bersama dua pengurus Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap dan kemudian dijebloskan ke penjara Banceuy karena melakukan kegiatan politik di Solo dan terakhir di Yogyakarta pada 29 Desember 1929. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin setelah dalam sidang Landraad Bandung dijatuhi hukuman empat tahun penjara.
Dari 8 perempuan yang diperistri soekarno inggit bagai sebuah pondasi bagi soekarno.
Terhadap wanita-wanita yang mengisi hatinya, semua mendapat tempat yang begitu mulia di hati Soekarno. Inggit Garnasih sdikataakan sebagai perempuan gigih, penyayang, dan mendukungnya sejak era pergerakan hingga menjelang Indonesia merdeka.
Apabila Bung Karno api maka Inggit kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian. Inggit menjahitkan ketika kancing baju Soekarno lepas, Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai Ibu maupun teman. Inggit bagi Soekarno laksana Khadijah bagi Muhammad. Bedanya Muhammad setia hingga Khadijah meninggal sedangkan Soekarno kawin lagi, melangkah ke gerbang istana dan Inggit pulang ke Bandung, menenun sepi.
Dalam kamus hidupnya hanya ada kata memberi tak ada kata meminta. Inggit menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah keluarga, sementara Soekarno seperti singa yang mengaum dari satu podium ke podium berikutnya, pikirannya tercurah untuk pergerakan, Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi. Suatu malam di jalan Jaksa, kedua pasang mata bertemu, Soekarno berkata “Aku cinta padamu”. Inggit tersipu menunduk dalam-dalam sambil mempermainkan ujung kebaya. Itulah cinta yang dibawakan Inggit dengan mesra, tanpa suara tanpa kata-kata, tanpa bahasa. Kejadian yang sangat lazim dan sederhana tetapi merupakan kejadian penting yang terlupakan oleh segenap bangsa.
Inggit menemani Soekarno yang terlunta-lunta di pembuangan. Jauh di Pulau Ende lalu di Bengkulu, Inggit tetap menemani, merupakan batere bagi kehidupan Soekarno yang menderita. Tetapi di ujung masa penjajahan Soekarno berkata pada Inggit:
“Euis, aku akan menikah lagi supaya punya anak seperti orang-orang lain.”
“Kalau begitu antarkan saja aku ke Bandung!” jawab Inggit.
“Tidak begitu, maksudku engkau akan tetap jadi istri utama. Jadi first lady seandainya kita nanti merdeka.”
“Tidak, antarkan saja aku ke Bandung.” jawab Inggit lirih............
Akhirnya Soekarno mengantar Inggit ke Bandung. Kembali tinggal di jalan Tjiateul dan Soekarno balik ke Jakarta. Dalam kesepiannya Inggit selalu berdoa bagi kebaikan Soekarno. Inggit kembali menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang sebagai nafkah.
Dagangannya dititipkan di toko Delima. Inggit tidak mengeluh, tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit pada Soekarno. Cinta semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti, tanpa pamrih tanpa motivasi.(dicopas tina Bandung Kuring)
“Dibalik kebesaran nama seorang lelaki, ada keagungan hati seorang
perempuan ….”
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.