BOGOR TUNAS PAJAJARAN ( I) Ku : Saleh Danasasmita. 1983 Dok.SALAKANAGARA

1. Masa Tilem

Waktu antara "Pajajaran sirna" sampai "ditemukannya kembali" oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota yang pernah berpenghuni sekitar 48271 jiwa ini ditemukan sebagai "puing" yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703). Untuk jamannya, Bogor merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Demak (berpenduduk 49197 jiwa), dan masih dua kali lipat lebih banyak dari penduduk Pasai (23121 jiwa) yang merupakan kota terbesar ketiga.

Pakuan tersisih dari percanturan hidup. Kemewahan yang ditampilkan oleh penghuni keraton dalam masa Nilakendra hanyalah ibarat KOBARAN API LILIN MENJELANG PADAM. Setelah raja tidak lagi berdiam di ibukota, maka kehidupan Pakuan sebagai pusat pemerintahan sebenarnya sudah berakhir. Panembahan Yusuf dari Banten memadamkannya "secara resmi" walaupun sebenarnya ia sudah berhasil mengakhiri kekuasaan Raga Mulya (Suryakancana) di Pulasari sebelum itu.

Masa silam yang lebih sering memantulkan gema yang kabur, proyeksinya dapat kita lihat dalam lakon pantun dan babad. [Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri yang mengantarkan Scipio jelas baru terpisah satu abad dengan kehidupan Pakuan. Tanggal 1 September 1687 itu mereka menjadi peziarah pertama di puing Kabuyutan Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja.

Dalam tahun 1703, Abraham van Riebeeck sudah melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Jadi sejak ditemukan oleh rombongan Scipio, orang merasa "bertemu kembali" kembali dengan Pajajaran yang telah hilang.

Tahun 1709, Van Riebeeck melihat ladang baru pada lereng Cipakancilan. Tanda kehidupan baru di bekas Pakuan mulai muncul. Mudah diperkirakan bahwa peladang itu akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan yang tidak kelihatan oleh Van Riebeeck karena ia berkuda pada jalur jalan Pahlawan yang sekarang]

Lain lahan lain pikiran. Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya "dihidupkan kembali" tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka "Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan" (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan PAJAJARAN NGAHIANG atau PAJAJARAN TILEM seperti orang Ciamis yang kehilangan Galuhnya mencetuskan DUNIA ONOM.

"Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun"
(Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang)
Ini adalah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya, bahkan mereka berani menghibur diri dengan berkata:

"Ngan engke bakal ngadeg deui"
[Suatu saat akan berdiri kembali)

2. Tanuwijaya peletak dasar Negeri Bogor

Riesz. dalam "De Geschiedenis van Buitenzorg" (1887) menjelaskan bahwa TANUWIJAYA adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka Hutan Pajajaran sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat "kelahiran" (de bakermat) Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian. [Tanuwijaya dalam catatan VOC disebut "Luitenant der Javanen" (Letnan orang-orang Jawa dan merupakan Letnan Senior diantara teman-temannya. Kampung Baru yang didirikannya ada di Cipinang (Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana. Tetapi ketika Tanuwijaya pindah dari Kampung Baru Cipinang ke sana, ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang bernama TANAH BARU]

Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan bersama Scipio, ia kemudian ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi. Kampung-kampung seperti Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan oleh Tanuwijawa bersama pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi semacam "pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan secara terpencar oleh anak buahnya. Tanuwijaya pula yang mengambil inisiatif membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas. [Sementara itu daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang MATARAM yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapainya persetujuan antara Mataram dan VOC tahun 1677. Sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan BAHUREKSO, sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan oleh SUNAN AMANGKURAT I tahun 1661 ke Muara Beres bekas basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng Batavia].

Rasa hormat Tanuwijaya terhadap bekas Ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikkan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).

[Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa MENAK KI MAS TANU dalam lirik lagu AYANG-AYANG GUNG itu dimaksudkan Tanuwijaya ini. Entahlah, akan tetapi hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanuwijaya dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci oleh rekan-rekannya. Ia ditunjuk oleh Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali) untuk membuka daerah selatan.

Rupa-rupanya kedekatan batin Tanuwijaya dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni. Ia tentu merasakan kepahitan bahwa sebagai seorang letnan tetap harus tunduk kepada seorang sersan seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia sendiri menjadi atasan sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah dan Tanuwijaya dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Orang dulu menyindir Tanuwijaya dengan "lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong" (ia mengejar harapan kosong dan bermesraan dengan orang tidak bergigi) Yang dimaksudkan dengan "orang tidak bergigi" di sini adalah Perwatasari yang kalah dalam perjuangan.

Dalam masa penjajahan Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanuwijaya sebagai "bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu dicantumkan MENTENGKARA atau MERTAKARA kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 - 1718). Ia adalah putera Tanuwijaya (menurut De Haan). Sebaliknya para penulis Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanuwijaya sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.

Pengalaman Tanuwijaya dengan Kumpeni adalah mirip dengan pengalaman UNTUNG SURAPATI. Akan tetapi, jika benar lirik "Ayang-ayang Gung" diciptakan untuk menyindir Tanuwijaya, maka kita patut merenungkannya kembali].

Tahun 1745, 9 distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di bawah kepala Kampung Baru dan diberi gelar DEMANG. Gabungan 9 distrik inilah yang dahulu disebut "Regentschap Kampung baru" atau "Regentschap Buitenzorg". Atas dasar itulah kedua sungai (Cisadane dan Ciliwung) dalam lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan 9 baris gelombang. Ada benarnya apa yang dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de bakermat" (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor.

3. Letusan Gunung Salak

Pada malam hari tanggal 4/5 Januari 1699, Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat. Sebuah catatan dari tahun 1702 menceritakan keadaan yang diakibatkannya: "Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang disebut Pakuan yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah menjadi lapangan yang luas dan terbuka tanpa pohon-pohonan sama sekali.

Permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah yang halus, seperti yang biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan di atasnya, tetapi pada tempat- tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki.

Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya".

Berita lain mencatat bahwa aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang bebebrapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Van Riebeeck yang membersihkan sumbatan itu mengajukan tuntutan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai upah.

Untuk meneliti akibat gempa ini, Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ram & Coops dalam tahun1701 ke kaki Gunung Pangrango. Dari survey ini diberitakan bahwa aliran Cikeumeuh masuk terbenam ke dalam tanah dan sobekan Puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat laut. Diperkirakan, bahwa tanah yang terbelah hebat itu terjadi antara Ciliwung dan Cisadane. [Panen batu dan pasir di daerah Ciapus saat ni adalah merupakan hadiah yang ditinggalkan oleh letusan Gunung Salak].

Tidak ada berita mengenai nasib penduduk sepanjang aliran Ciliwung waktu itu. Hanya saja pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru masih dapat mengantar Ram & Coops. Selain itu Abraham van Riebeeck tidak mencatat apa-apa mengenai sisa-sisa akibat letusan itu. Ini menunjukkan bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang itu tidak terganggu. Tahun 1704 Van RiebeecK mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi.

4. Kopi membuka Cakrawala Baru

Usaha Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon (1718 - 1725) membiakkan tanaman kopi di sekitar benteng Batavia berhasil baik. Tahun 1721 hasil kopi sudah bisa dihasilkan di beberapa daerah, diantaranya:
Daerah Produksi, (Pikul)
Kampung Baru, 61 000
Kedung Badank, 1 596
Cipamingkis, 43 825
Cianjur & Jampang, 59 900
Cibalagung, 5 750
Cikalong, 4 350
Bekasi, 482
Jati Nagara, 8 450
Cibadak (Cipamingkis), 250
Pager Wesi, 800
Tangerang, 1 800

Melihat hasil yang baik ini, maka sejak 15 April 1723 tanaman kopi diwajibkan juga di tanah-tanah swasta sekitar Jakarta. Sejak saat itu, mulailah apa yang disebut "SISTEM PERIANGAN" (PREANGER STELSEL) yang berlangsung 2 abad lamanya. Tahun 1724, Wiranatu III (Bupati Cianjur) telah dapat memanen kopi sebanyak 1 216 257 pikul (berharga 202 271,25 ringgit).

Tanaman yang diwajibkan dalam "stelsel", selain kopi adalah kapas, lada dan tarum (indigo). Akan tetapi, saat itu kopi menjadi komoditi utama karena laku keras di pasar dunia. Produk kopi dari Jawa Barat ini laku keras di Meksiko dan telah berjasa menolong Kas Keuangan Pemerintah Hindia Belanda jamannya Daendels. Saat itu, hubungan ke negeri Belanda terputus akibat peperangan antara Perancis dan Inggris. Atas dasar ini Jawa barat mendapat julukan GABUS PELAMPUNG PEMERINTAH HINDIA BELANDA DI INDONESIA. Politik dan sistem pemerintahan Belanda di Jawa Barat selalu disesuaikan dengan kepentingan kopi ini. [Sistem tanam paksa yang hanya berlaku di Cirebon disebut CULTURSTELSEL]

5. Bogor "sirung" Pajajaran

Di lokasi Istana Bogor sekarang, mula-mula dibangun sebuah bangunan sederhana oleh van Imhoff yang dimaksukan untuk singgah istirahat dalam perjalanan dari benteng Batavia ke Cipanas (jadi menurut penulis adalah kurang tepat kalau menyebut Istana Bogor itu gagasan van Imhoff). Van Imhoff sendiri merencankan membuat istana di Cipanas. Di Cipanas pula didirikan Rumah Sakit Militer waktu itu. [Baron van Imhoff adalah tipe khusus kaum elite terpelajar eropa barat abad ke-18 yang umumnya cenderung kepada liberalisme Perancis dan penganut setia faham ROMANTISME ajaran Rosseau. Ajaran ini menhanjurkan manusia kembali kepada alam dan peradaban dianggap sebagai "racun bagi kemurnian manusia.

Mode kaum cendikiawan Eropa Barat waktu itu adalah mencari tempat-tempat yang sepi-hening. Mencari daerah yang kalau mungkin belum dijamah oleh tangan peradaban sehingga dapat digunakan sebagai tempat persembunyian di mana kesibukan tidak mungkin mengejarnya. Dengan penuh kerinduan mereka mengaakrabi tampang alam dan dengan demikian mereka menikmati kehadiran dirinya sebagai bagian dari alam itu.

Mode para pencari kewajaran alami ini adalah membangun vila sederhana yang mungil dan serasi dengan alam sekitarnya. Tempat-tempat seperti ini dinamakan SANS-SOUCI, kata berbahasa Perancis yang berarti TANPA KESIBUKAN atau TANPA-URUSAN. Orang-orang belanda menerjemahkan nama tersebut ke dalam bahasa mereka menjadi BUITENZORG]

Demikianlah bangunan sederhana yang didirikan van Imhoff pada lokasi Istana Bogor yang sekarang diberinya nama BUITENZORG mengikuti mode yang sedang berkembang di negaranya. Karena suasana di benteng Batavia yang selalu sibuk, penuh sesak dan kepengangan udara yang berasal dari muara Ciliwung, para Gubernur Jenderal sangat senang dengan adanya Villa Buitenzorg itu.

Dengan Surat Keputusan Dewan Direksi VOC di Amsterdam tanggal 07.06.1745, lahan di sekitar Buitenzorg yang diusulkan van Imhoff dijadikan "eigendom" van Imhoff dan para Gubernur Jenderal, selanjutnya "in officio". Dengan demikian Tanah Buitenzorg itu dijadikan semacam TANAH BENGKOK yang harus dibeli oleh tiap Gubernur Jenderal baru kepada pejabat lama yang digantikannya. [Jacob Mossel adalah pembeli pertama kali dari van Imhoff dengan harga 5500 ringgit. Pembeli terakhir adalah Daendels dalam tahun 1808 seharga 39000 ringgit. Tetapi dengan alasan "gajinya tidak cukup" ia secara licik menjualnya kepada pemerintah yang dikepalainya dengan harga 360000 ringgit.

Batas-batas Tanah Buitenzorg adalah Puncak Gunung Gede - Puncak - Talaga Warna - Mega Mendung - Ciliwung - Muara Cihideung - Puncak Gunung Salak - Puncak Gunung Gede.

Dengan tanah seluas itu, maka tiap Gubernur Jenderal VOC yang resminya hanya Ketua Dewan Hindia dalam jaringan dagang Kumpeni Belanda di Timur Jauh, langsung menjadi LANDVOOGD (tuan tanah). Ia boleh menyewakannya, tetapi tidak boleh menjualnya kecuali kepada pejabat
yang menggantikan kedudukanya].

Van Imhoff adalah pimpinan VOC pertama yang melaksanakan politik teritorial melalui sistem PENCETAKAN SAWAH. Di samping untuk mempertinggi hasil padi, ia juga ingin mengikat penduduk kepada pemukiman tetap. Lewat keputusan tanggal 10 Agustus 1745, ia menetapkan bahwa sejauh 10 jam perjalanan dari rumah Buitenzorg ke arah hulu (Ciliwung) tidak boleh ada "gaga atau Tipar". Politik sawah van Imhoff mulai dilaksanakan di Cisarua.

Lewat kemungkinan penyewaan Tanah Buitenzorg, maka mulailah lahan antara Ciliwung dengan Cisadane (pada lokasi bekas Kota Pakuan) dihuni orang. Berkembanglah pula perkebunan kopi, lada dan tarum.

Dokumen Belanda menunjukkan bahwa tahun 1752 sudah ada KAMPUNG BOGOR di bawah kekuasaan Kepala Kampung Baru. Jadi penduduk yang tinggal tidak jauh dari rumah Buitenzorg itu tidak termasuk Rakyat Gubernur Jenderal, melainkan tetap menjadi rakyat Bupati di Kampung Baru. Tahun 1754 Bupati Kampung Baru mengajukan permohonan kepada Mossel agar diizinkan menyewa Tanah Sukahati untuk kediamannya. Dokumen tertanggal 29 Desember 1761 nomor 9092 memberitakan, bahwa Bupati Kampung Baru (Natanagara) sudah berkedudukan di Sukahati. [Kemungkinan besar, Demang Wiranata (1749 - 1758) sebagai bupati pertama juga sudah berkedudukan di sana. Sebelumnya, Demang Wiranata (adik Wiranatu III, Dalem Dicondre) adalah Patih Cianjur. Ia dikenal baik Kumpeni karena merupakan salah seorang pelopor perkebunan kopi di Jampang]

Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan, bahwa kediaman bupati di Sukahati itu terletak di sebelah timur Cisadane dekat muara Cipakancilan, berdiri di atas lahan yang termasuk dalam kawasan Buitenzorg di sebuah lembah dan di depannya terdapat sebuah empang atau kolam besar ("vijver"). [Bila demikian, sejak tahun 1770-an (sebelum taun 1775) nama Empang sudah mulai muncul dan berangsur-angsur mendesak nama Sukahati] Dokumen 28 November tahun 1815 secara resmi sudah menyebut tempat itu dengan nama EMPANG. Catatan tahun 1816 melukiskan, bahwa rumah itu terdiri atas dua bangunan tempat tinggal yang dihubungkan dengan galeri, terbuat dari kayu bukan jati, berlantai PALUPUH (bambu) dan sebuah paseban terbuat dari kayu serta beratap genting.

[Sebuah lukisan rumah di Sukahati pada masa G.J. Van der Parra (1761 - 1775) menunjukkan, bahwa bila orang berdiri di bawah jembatan kereta api Pasar "Ramayana" yang sekarang, maka tatapannya akan tepat berhadapan dengan rumah tersebut. Di luar pagar alun-alun di depan rumah tersebut ada sebuah kolam besar. Yang penting di sini, bahwa Rumah Bupati itu didirikan pada tepi bekas alun-alun luar Pakuan].

Dengan kepindahan bupati dari Tanah Baru ke Sukahati (Empang), kesibukan urusan pemerintahan pun berpindah. Terbukalah salah satu sumber penghasilan baru bagi Gubernur Jenderal yang memiliki tanahnya. Pasar (seminggu sekali) segera dibuka dan menjadi ramai. Dalam tahun 1777 dari penghasilan tambahan Gubernur Jenderal yang sebanyak 14000 ringgit, ternyata 8000 ringgit berasal dari hasil sewa pasar, selebihnya dari 4 sumber lain. Pasar ini "tumbuh" dekat kampung Bogor sehingga namanya pun sampai sekarang masih bertahan dengan sebutan PASAR BOGOR.

Kemajuan pasar mengundang para pedagang untuk bermukim, termasuk orang-orang Cina. Mula-mula para pedagang ini menempati lereng Ciliwung di daerah Lebak Pasar. Baru kemudian berangsur-angsur ada yang merayap naik ke sepanjang Jl. Suryakancana. Tumbuhnya pasar pada lokasi itu mudah di mengerti karena semua hasil bumi (tanaman) wajib diangkut ke "gudang" pada lokasi jajaran Toko HINDIA. Dari situ, para petani yang baru saja menerima uang singgah di pasar.

Untuk mendekati lokasi pasar ini, KAUM PALEDANG (pandai tembaga) mendirikan pemukiman pada lokasi Kebun Palem dekat lokasi Kantor Pos yang sekarang. Kampung ini kemudian dipindahkan ke Kampung Paledang yang sekarang (di seberang Kantor Pos) sewaktu lokasi asal dimasukkan ke dalam bagian Kebun Raya Bogor. Embah JEPRA adalah pemimpin kaum paledang tersebut (makamnya ada di dalam Kebun Raya Bogor).

Bila kita perhatikan, kampung-kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti pertumbuhan Kota Bogor, yaitu Lawang Gintung (yang pertama), Lebak Pasar, Baranangsiang (dekat Pulo Geulis), Bogor, Gudang dan Sukahati (sekarang Empang), semuanya terletak pada lahan yang "menempel" pada tepi bagian luar bekas benteng Pakuan. Tempat-tempat itu tumbuh laksana SIRUNG (tunas pohon) di sekitar tunggul pohon induknya. Pertumbuhan Kota Bogor itu seolah-olah "berakar" pada sisa-sisa benteng Pakuan. Selain itu, para penghuni Kota Bogor masa itu mampu pula menghasilkan "karya besar" seperti penghuni Pakuan di masa silam. Karya yang dimaksud adalah MEMBELAH ALIRAN CISADANE pada tahun 1775. [Sebagian air yang mengalir di Cisadane, dialirkan ke Cipakancilan. Kemudian muara Cipakancilan (pada tepi Cisadane) dibendung dan disalurkan lewat kanal baru (sungai buatan). Dengan pengalihan alur Cipakancilan ini, maka terbentuklah EMPANG PULO yang dikelilingi air dari tiga penjuru beserta bekas alur Cipakancilan pada sisi yang ke empat. Alur Cipakancilan sendiri dipecah dua lagi dengan kanal Cidepit yang alirannya diarahkan ke Ciliwung. Pada hari Selasa tanggal 6 Agustus 1776, untuk pertama kalinya air Cisadane dapat bertemu dengan aliran Ciliwung]

Untuk memahami karya besar ini, silahkan berjalan sepanjang Jalan Paledang antara Tanjakkan Pala dengan Jembatan Merah. Saluran buatan itu sangat lebar dan dalam. Itupun baru sepenggal dari karya besar mereka yang dikerjakkan selama satu setengah tahun di bawah pimpinan ARIA NATANAGARA (1761 - 1787). Yang penting di sini bahwa karya besar itu tidak dikendalikan dari rumah peristirahatan Buitenzorg, melainkan dari rumah bupati di Empang.

WARISAN NILAI BUDAYA

Di bagian awal telah diungkapkan, bahwa Pakuan mencapai puncak perkembangannya dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang oleh masyarakat Jawa Barat dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Sejalan dengan itu penduduk Pakuan pun mencapai jumlah nomor dua terbesar di antara kota-kota di Nusantara waktu itu. Masa inilah yang disebut GEMUH PAKUAN dalam beberapa naskah tradisional karena di daerah-daerah pun banyak kerabat atau yang terikat kekerabatan dengan Siliwangi menjadi pemegang kekuasaan dan mengembangkan kesejahteraan hidup di kawasannya.

Jaman dahulu, ketika segala hal masih harus dikerjakan dengan tenaga manusia, jumlah penduduk menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran negara. Bagi negara agraris jaman dulu, penyerangan dan penaklukan negara tetangga lebih ditujukan kepada upaya menambah jumlah penduduk dari pada perluasan tanah. Oleh sebab itulah, negara agraris dalam jaman silam selalu mengidap watak agresif yang tersebunyi dan akan meledak setiap kali ada kesempatan.

Negara yang banyak penduduknya disebut negara yang GEMAH RIPAH. Gemah atau Gemuh berarti banyak penduduknya (Volkrijk, menurut Coolsma). Sedangkan Ripah atau Rimpah sama artinya dengan kata Indonesia Limpah (meluap). Jadi Gemah-ripah mengandung arti sangat banyak penduduk seolah-olah melimpah. namun entah mengapa, timbul salah kaprah mengenai artinya yang pada saat ini banyak dipahami sebagai subur makmur. Akibat pengaruh Hindu, kata Gemah-ripah sering disambung dengan LOH JINAWI. Loh atau lwah berarti sungai, dan Jinawi adalah nama lain untuk SUNGAI GANGGA di India. Jadi arti utuh dari GEMAH-RIPAH LOH JINAWI adalah padat (banyak sekali penduduknya seperti daerah Sungai Gangga. Keadaan seperti ini, memang yang didambakan negara-negara agraris jaman dahulu.

Masa Gemah Pakuan disertai oleh kemajuan dalam berbagai segi kehidupan. sesuai dengan jamannya, apa yang kita sebut maju waktu itu mungkin hanya keadaan "sederhana" menurut ukuran hidup jama sekarang ini. Meskipun demikian ada hal yang sifatnya bisa "abadi" jika dilihat dari segi isi dan maknanya, yaitu "NILAI BUDAYA".

Dari jaman Siliwangi, kita diwarisi sebuah naskah kuno yang disebut SISKANDANG KARESIAN DAN KUNDANGEUN URANG REYA (untuk pegangan hidup orang banyak). Naskah ini tersiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah dicantumkan tahun penulisannya, yaitu NORA CATUR SAGARA WULAN (tahun 1440 (Saka) atau 1518 M. Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode KROPAK 630.

Sebagian isi dari naskah itu, ada baiknya juga kita ketahui sebagai berikut:
1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)
2. Tapa di Nagara
3. Panca parisuda
4. Hidup yang penuh berkah
5. Parigeuing dan dasa pasanta
6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)
NYAMBUNG BAGEAN KA DUA
 

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona