BOGOR TUNAS PAJAJARAN ( I) Ku : Saleh Danasasmita. 1983 Dok.SALAKANAGARA
- Get link
- X
- Other Apps
1. Masa Tilem
Waktu antara "Pajajaran sirna" sampai "ditemukannya kembali" oleh
ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota yang
pernah berpenghuni sekitar 48271 jiwa ini ditemukan sebagai "puing" yang
diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde;
1703). Untuk jamannya, Bogor merupakan kota terbesar kedua di Indonesia
setelah Demak (berpenduduk 49197 jiwa), dan masih dua kali lipat lebih
banyak dari penduduk Pasai (23121 jiwa) yang merupakan kota terbesar
ketiga.
Pakuan tersisih dari percanturan hidup. Kemewahan yang
ditampilkan oleh penghuni keraton dalam masa Nilakendra hanyalah ibarat
KOBARAN API LILIN MENJELANG PADAM. Setelah raja tidak lagi berdiam di
ibukota, maka kehidupan Pakuan sebagai pusat pemerintahan sebenarnya
sudah berakhir. Panembahan Yusuf dari Banten memadamkannya "secara
resmi" walaupun sebenarnya ia sudah berhasil mengakhiri kekuasaan Raga
Mulya (Suryakancana) di Pulasari sebelum itu.
Masa silam yang
lebih sering memantulkan gema yang kabur, proyeksinya dapat kita lihat
dalam lakon pantun dan babad. [Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana
sendiri yang mengantarkan Scipio jelas baru terpisah satu abad dengan
kehidupan Pakuan. Tanggal 1 September 1687 itu mereka menjadi peziarah
pertama di puing Kabuyutan Pajajaran yang mereka duga sebagai
singggasana raja.
Dalam tahun 1703, Abraham van Riebeeck sudah
melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan
tersebut. Jadi sejak ditemukan oleh rombongan Scipio, orang merasa
"bertemu kembali" kembali dengan Pajajaran yang telah hilang.
Tahun 1709, Van Riebeeck melihat ladang baru pada lereng Cipakancilan.
Tanda kehidupan baru di bekas Pakuan mulai muncul. Mudah diperkirakan
bahwa peladang itu akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur
Cipakancilan yang tidak kelihatan oleh Van Riebeeck karena ia berkuda
pada jalur jalan Pahlawan yang sekarang]
Lain lahan lain
pikiran. Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya
"dihidupkan kembali" tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang
dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap
kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka "Geus deukeut ka Pajajaran
ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng
panineungan" (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih
jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak
kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya
menjelmakan gagasan PAJAJARAN NGAHIANG atau PAJAJARAN TILEM seperti
orang Ciamis yang kehilangan Galuhnya mencetuskan DUNIA ONOM.
"Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun"
(Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang)
Ini adalah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya, bahkan mereka berani menghibur diri dengan berkata:
"Ngan engke bakal ngadeg deui"
[Suatu saat akan berdiri kembali)
2. Tanuwijaya peletak dasar Negeri Bogor
Riesz. dalam "De Geschiedenis van Buitenzorg" (1887) menjelaskan bahwa
TANUWIJAYA adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk
"pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka
Hutan Pajajaran sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi
tempat "kelahiran" (de bakermat) Kabupaten Bogor yang didirikan
kemudian. [Tanuwijaya dalam catatan VOC disebut "Luitenant der Javanen"
(Letnan orang-orang Jawa dan merupakan Letnan Senior diantara
teman-temannya. Kampung Baru yang didirikannya ada di Cipinang
(Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung
Angsana. Tetapi ketika Tanuwijaya pindah dari Kampung Baru Cipinang ke
sana, ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang bernama TANAH
BARU]
Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan
bersama Scipio, ia kemudian ingin mendekatkan diri dengan peninggalan
Siliwangi. Kampung-kampung seperti Parakan Panjang, Parung Kujang,
Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan
Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan oleh Tanuwijawa bersama
pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi semacam
"pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan secara
terpencar oleh anak buahnya. Tanuwijaya pula yang mengambil inisiatif
membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan
orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun
pemukiman pada daerah aliran Cikeas. [Sementara itu daerah aliran
Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati
orang-orang MATARAM yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah
tercapainya persetujuan antara Mataram dan VOC tahun 1677. Sebagian dari
mereka adalah pelarian pasukan BAHUREKSO, sebagian lagi kelompok resmi
yang dikirimkan oleh SUNAN AMANGKURAT I tahun 1661 ke Muara Beres bekas
basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng Batavia].
Rasa hormat Tanuwijaya terhadap bekas Ibukota Pakuan demikian besar
sampai gerakan okupasinya dihentikkan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak
berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi
sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi
dan Cisarua).
[Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam
Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa MENAK KI MAS
TANU dalam lirik lagu AYANG-AYANG GUNG itu dimaksudkan Tanuwijaya ini.
Entahlah, akan tetapi hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan
kepada keadaan Tanuwijaya dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas
Kumpeni dan dibenci oleh rekan-rekannya. Ia ditunjuk oleh Camphuijs
menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali) untuk membuka daerah selatan.
Rupa-rupanya kedekatan batin Tanuwijaya dengan Pajajaran telah
melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni. Ia tentu merasakan kepahitan
bahwa sebagai seorang letnan tetap harus tunduk kepada seorang sersan
seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia sendiri menjadi atasan
sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni ini menjadi sekutu dan
pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap
perluasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah dan Tanuwijaya dibuang ke
Tanjung Harapan di Afrika.
Orang dulu menyindir Tanuwijaya
dengan "lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong" (ia mengejar
harapan kosong dan bermesraan dengan orang tidak bergigi) Yang
dimaksudkan dengan "orang tidak bergigi" di sini adalah Perwatasari yang
kalah dalam perjuangan.
Dalam masa penjajahan Belanda,
penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanuwijaya
sebagai "bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu
dicantumkan MENTENGKARA atau MERTAKARA kepala Kampung Baru yang ketiga
(1706 - 1718). Ia adalah putera Tanuwijaya (menurut De Haan). Sebaliknya
para penulis Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanuwijaya sebagai
Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.
Pengalaman Tanuwijaya dengan Kumpeni adalah mirip dengan pengalaman
UNTUNG SURAPATI. Akan tetapi, jika benar lirik "Ayang-ayang Gung"
diciptakan untuk menyindir Tanuwijaya, maka kita patut merenungkannya
kembali].
Tahun 1745, 9 distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede,
Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru
digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di bawah kepala Kampung Baru
dan diberi gelar DEMANG. Gabungan 9 distrik inilah yang dahulu disebut
"Regentschap Kampung baru" atau "Regentschap Buitenzorg". Atas dasar
itulah kedua sungai (Cisadane dan Ciliwung) dalam lambang Kabupaten
Bogor masing-masing digambarkan dengan 9 baris gelombang. Ada benarnya
apa yang dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de
bakermat" (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor.
3. Letusan Gunung Salak
Pada malam hari tanggal 4/5 Januari 1699, Gunung Salak meletus dengan
iringan gempa bumi yang sangat kuat. Sebuah catatan dari tahun 1702
menceritakan keadaan yang diakibatkannya: "Dataran tinggi antara Batavia
dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang
disebut Pakuan yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa
bumi berubah menjadi lapangan yang luas dan terbuka tanpa pohon-pohonan
sama sekali.
Permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah
yang halus, seperti yang biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa
tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan
di atasnya, tetapi pada tempat- tempat lain orang dapat terbenam
sedalam satu kaki.
Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan
yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah terjadi
bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah
menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya".
Berita lain mencatat bahwa aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat
sepanjang bebebrapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Van
Riebeeck yang membersihkan sumbatan itu mengajukan tuntutan agar tanah
Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai upah.
Untuk meneliti akibat gempa ini, Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ram
& Coops dalam tahun1701 ke kaki Gunung Pangrango. Dari survey ini
diberitakan bahwa aliran Cikeumeuh masuk terbenam ke dalam tanah dan
sobekan Puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat laut. Diperkirakan,
bahwa tanah yang terbelah hebat itu terjadi antara Ciliwung dan
Cisadane. [Panen batu dan pasir di daerah Ciapus saat ni adalah
merupakan hadiah yang ditinggalkan oleh letusan Gunung Salak].
Tidak ada berita mengenai nasib penduduk sepanjang aliran Ciliwung waktu
itu. Hanya saja pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru masih dapat
mengantar Ram & Coops. Selain itu Abraham van Riebeeck tidak
mencatat apa-apa mengenai sisa-sisa akibat letusan itu. Ini menunjukkan
bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang itu tidak terganggu. Tahun
1704 Van RiebeecK mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena
ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi.
4. Kopi membuka Cakrawala Baru
Usaha Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon (1718 - 1725) membiakkan
tanaman kopi di sekitar benteng Batavia berhasil baik. Tahun 1721 hasil
kopi sudah bisa dihasilkan di beberapa daerah, diantaranya:
Daerah Produksi, (Pikul)
Kampung Baru, 61 000
Kedung Badank, 1 596
Cipamingkis, 43 825
Cianjur & Jampang, 59 900
Cibalagung, 5 750
Cikalong, 4 350
Bekasi, 482
Jati Nagara, 8 450
Cibadak (Cipamingkis), 250
Pager Wesi, 800
Tangerang, 1 800
Melihat hasil yang baik ini, maka sejak 15 April 1723 tanaman kopi
diwajibkan juga di tanah-tanah swasta sekitar Jakarta. Sejak saat itu,
mulailah apa yang disebut "SISTEM PERIANGAN" (PREANGER STELSEL) yang
berlangsung 2 abad lamanya. Tahun 1724, Wiranatu III (Bupati Cianjur)
telah dapat memanen kopi sebanyak 1 216 257 pikul (berharga 202 271,25
ringgit).
Tanaman yang diwajibkan dalam "stelsel", selain kopi
adalah kapas, lada dan tarum (indigo). Akan tetapi, saat itu kopi
menjadi komoditi utama karena laku keras di pasar dunia. Produk kopi
dari Jawa Barat ini laku keras di Meksiko dan telah berjasa menolong Kas
Keuangan Pemerintah Hindia Belanda jamannya Daendels. Saat itu,
hubungan ke negeri Belanda terputus akibat peperangan antara Perancis
dan Inggris. Atas dasar ini Jawa barat mendapat julukan GABUS PELAMPUNG
PEMERINTAH HINDIA BELANDA DI INDONESIA. Politik dan sistem pemerintahan
Belanda di Jawa Barat selalu disesuaikan dengan kepentingan kopi ini.
[Sistem tanam paksa yang hanya berlaku di Cirebon disebut CULTURSTELSEL]
5. Bogor "sirung" Pajajaran
Di lokasi Istana Bogor sekarang, mula-mula dibangun sebuah bangunan
sederhana oleh van Imhoff yang dimaksukan untuk singgah istirahat dalam
perjalanan dari benteng Batavia ke Cipanas (jadi menurut penulis adalah
kurang tepat kalau menyebut Istana Bogor itu gagasan van Imhoff). Van
Imhoff sendiri merencankan membuat istana di Cipanas. Di Cipanas pula
didirikan Rumah Sakit Militer waktu itu. [Baron van Imhoff adalah tipe
khusus kaum elite terpelajar eropa barat abad ke-18 yang umumnya
cenderung kepada liberalisme Perancis dan penganut setia faham
ROMANTISME ajaran Rosseau. Ajaran ini menhanjurkan manusia kembali
kepada alam dan peradaban dianggap sebagai "racun bagi kemurnian
manusia.
Mode kaum cendikiawan Eropa Barat waktu itu adalah
mencari tempat-tempat yang sepi-hening. Mencari daerah yang kalau
mungkin belum dijamah oleh tangan peradaban sehingga dapat digunakan
sebagai tempat persembunyian di mana kesibukan tidak mungkin
mengejarnya. Dengan penuh kerinduan mereka mengaakrabi tampang alam dan
dengan demikian mereka menikmati kehadiran dirinya sebagai bagian dari
alam itu.
Mode para pencari kewajaran alami ini adalah
membangun vila sederhana yang mungil dan serasi dengan alam sekitarnya.
Tempat-tempat seperti ini dinamakan SANS-SOUCI, kata berbahasa Perancis
yang berarti TANPA KESIBUKAN atau TANPA-URUSAN. Orang-orang belanda
menerjemahkan nama tersebut ke dalam bahasa mereka menjadi BUITENZORG]
Demikianlah bangunan sederhana yang didirikan van Imhoff pada lokasi
Istana Bogor yang sekarang diberinya nama BUITENZORG mengikuti mode yang
sedang berkembang di negaranya. Karena suasana di benteng Batavia yang
selalu sibuk, penuh sesak dan kepengangan udara yang berasal dari muara
Ciliwung, para Gubernur Jenderal sangat senang dengan adanya Villa
Buitenzorg itu.
Dengan Surat Keputusan Dewan Direksi VOC di
Amsterdam tanggal 07.06.1745, lahan di sekitar Buitenzorg yang diusulkan
van Imhoff dijadikan "eigendom" van Imhoff dan para Gubernur Jenderal,
selanjutnya "in officio". Dengan demikian Tanah Buitenzorg itu dijadikan
semacam TANAH BENGKOK yang harus dibeli oleh tiap Gubernur Jenderal
baru kepada pejabat lama yang digantikannya. [Jacob Mossel adalah
pembeli pertama kali dari van Imhoff dengan harga 5500 ringgit. Pembeli
terakhir adalah Daendels dalam tahun 1808 seharga 39000 ringgit. Tetapi
dengan alasan "gajinya tidak cukup" ia secara licik menjualnya kepada
pemerintah yang dikepalainya dengan harga 360000 ringgit.
Batas-batas Tanah Buitenzorg adalah Puncak Gunung Gede - Puncak - Talaga
Warna - Mega Mendung - Ciliwung - Muara Cihideung - Puncak Gunung Salak
- Puncak Gunung Gede.
Dengan tanah seluas itu, maka tiap
Gubernur Jenderal VOC yang resminya hanya Ketua Dewan Hindia dalam
jaringan dagang Kumpeni Belanda di Timur Jauh, langsung menjadi
LANDVOOGD (tuan tanah). Ia boleh menyewakannya, tetapi tidak boleh
menjualnya kecuali kepada pejabat
yang menggantikan kedudukanya].
Van Imhoff adalah pimpinan VOC pertama yang melaksanakan politik
teritorial melalui sistem PENCETAKAN SAWAH. Di samping untuk
mempertinggi hasil padi, ia juga ingin mengikat penduduk kepada
pemukiman tetap. Lewat keputusan tanggal 10 Agustus 1745, ia menetapkan
bahwa sejauh 10 jam perjalanan dari rumah Buitenzorg ke arah hulu
(Ciliwung) tidak boleh ada "gaga atau Tipar". Politik sawah van Imhoff
mulai dilaksanakan di Cisarua.
Lewat kemungkinan penyewaan
Tanah Buitenzorg, maka mulailah lahan antara Ciliwung dengan Cisadane
(pada lokasi bekas Kota Pakuan) dihuni orang. Berkembanglah pula
perkebunan kopi, lada dan tarum.
Dokumen Belanda menunjukkan
bahwa tahun 1752 sudah ada KAMPUNG BOGOR di bawah kekuasaan Kepala
Kampung Baru. Jadi penduduk yang tinggal tidak jauh dari rumah
Buitenzorg itu tidak termasuk Rakyat Gubernur Jenderal, melainkan tetap
menjadi rakyat Bupati di Kampung Baru. Tahun 1754 Bupati Kampung Baru
mengajukan permohonan kepada Mossel agar diizinkan menyewa Tanah
Sukahati untuk kediamannya. Dokumen tertanggal 29 Desember 1761 nomor
9092 memberitakan, bahwa Bupati Kampung Baru (Natanagara) sudah
berkedudukan di Sukahati. [Kemungkinan besar, Demang Wiranata (1749 -
1758) sebagai bupati pertama juga sudah berkedudukan di sana.
Sebelumnya, Demang Wiranata (adik Wiranatu III, Dalem Dicondre) adalah
Patih Cianjur. Ia dikenal baik Kumpeni karena merupakan salah seorang
pelopor perkebunan kopi di Jampang]
Dokumen tanggal 18 Januari
1776 memberitakan, bahwa kediaman bupati di Sukahati itu terletak di
sebelah timur Cisadane dekat muara Cipakancilan, berdiri di atas lahan
yang termasuk dalam kawasan Buitenzorg di sebuah lembah dan di depannya
terdapat sebuah empang atau kolam besar ("vijver"). [Bila demikian,
sejak tahun 1770-an (sebelum taun 1775) nama Empang sudah mulai muncul
dan berangsur-angsur mendesak nama Sukahati] Dokumen 28 November tahun
1815 secara resmi sudah menyebut tempat itu dengan nama EMPANG. Catatan
tahun 1816 melukiskan, bahwa rumah itu terdiri atas dua bangunan tempat
tinggal yang dihubungkan dengan galeri, terbuat dari kayu bukan jati,
berlantai PALUPUH (bambu) dan sebuah paseban terbuat dari kayu serta
beratap genting.
[Sebuah lukisan rumah di Sukahati pada masa
G.J. Van der Parra (1761 - 1775) menunjukkan, bahwa bila orang berdiri
di bawah jembatan kereta api Pasar "Ramayana" yang sekarang, maka
tatapannya akan tepat berhadapan dengan rumah tersebut. Di luar pagar
alun-alun di depan rumah tersebut ada sebuah kolam besar. Yang penting
di sini, bahwa Rumah Bupati itu didirikan pada tepi bekas alun-alun luar
Pakuan].
Dengan kepindahan bupati dari Tanah Baru ke Sukahati
(Empang), kesibukan urusan pemerintahan pun berpindah. Terbukalah salah
satu sumber penghasilan baru bagi Gubernur Jenderal yang memiliki
tanahnya. Pasar (seminggu sekali) segera dibuka dan menjadi ramai. Dalam
tahun 1777 dari penghasilan tambahan Gubernur Jenderal yang sebanyak
14000 ringgit, ternyata 8000 ringgit berasal dari hasil sewa pasar,
selebihnya dari 4 sumber lain. Pasar ini "tumbuh" dekat kampung Bogor
sehingga namanya pun sampai sekarang masih bertahan dengan sebutan PASAR
BOGOR.
Kemajuan pasar mengundang para pedagang untuk bermukim,
termasuk orang-orang Cina. Mula-mula para pedagang ini menempati lereng
Ciliwung di daerah Lebak Pasar. Baru kemudian berangsur-angsur ada yang
merayap naik ke sepanjang Jl. Suryakancana. Tumbuhnya pasar pada lokasi
itu mudah di mengerti karena semua hasil bumi (tanaman) wajib diangkut
ke "gudang" pada lokasi jajaran Toko HINDIA. Dari situ, para petani yang
baru saja menerima uang singgah di pasar.
Untuk mendekati
lokasi pasar ini, KAUM PALEDANG (pandai tembaga) mendirikan pemukiman
pada lokasi Kebun Palem dekat lokasi Kantor Pos yang sekarang. Kampung
ini kemudian dipindahkan ke Kampung Paledang yang sekarang (di seberang
Kantor Pos) sewaktu lokasi asal dimasukkan ke dalam bagian Kebun Raya
Bogor. Embah JEPRA adalah pemimpin kaum paledang tersebut (makamnya ada
di dalam Kebun Raya Bogor).
Bila kita perhatikan,
kampung-kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti pertumbuhan Kota
Bogor, yaitu Lawang Gintung (yang pertama), Lebak Pasar, Baranangsiang
(dekat Pulo Geulis), Bogor, Gudang dan Sukahati (sekarang Empang),
semuanya terletak pada lahan yang "menempel" pada tepi bagian luar bekas
benteng Pakuan. Tempat-tempat itu tumbuh laksana SIRUNG (tunas pohon)
di sekitar tunggul pohon induknya. Pertumbuhan Kota Bogor itu
seolah-olah "berakar" pada sisa-sisa benteng Pakuan. Selain itu, para
penghuni Kota Bogor masa itu mampu pula menghasilkan "karya besar"
seperti penghuni Pakuan di masa silam. Karya yang dimaksud adalah
MEMBELAH ALIRAN CISADANE pada tahun 1775. [Sebagian air yang mengalir di
Cisadane, dialirkan ke Cipakancilan. Kemudian muara Cipakancilan (pada
tepi Cisadane) dibendung dan disalurkan lewat kanal baru (sungai
buatan). Dengan pengalihan alur Cipakancilan ini, maka terbentuklah
EMPANG PULO yang dikelilingi air dari tiga penjuru beserta bekas alur
Cipakancilan pada sisi yang ke empat. Alur Cipakancilan sendiri dipecah
dua lagi dengan kanal Cidepit yang alirannya diarahkan ke Ciliwung. Pada
hari Selasa tanggal 6 Agustus 1776, untuk pertama kalinya air Cisadane
dapat bertemu dengan aliran Ciliwung]
Untuk memahami karya
besar ini, silahkan berjalan sepanjang Jalan Paledang antara Tanjakkan
Pala dengan Jembatan Merah. Saluran buatan itu sangat lebar dan dalam.
Itupun baru sepenggal dari karya besar mereka yang dikerjakkan selama
satu setengah tahun di bawah pimpinan ARIA NATANAGARA (1761 - 1787).
Yang penting di sini bahwa karya besar itu tidak dikendalikan dari rumah
peristirahatan Buitenzorg, melainkan dari rumah bupati di Empang.
WARISAN NILAI BUDAYA
Di bagian awal telah diungkapkan, bahwa Pakuan mencapai puncak
perkembangannya dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang oleh
masyarakat Jawa Barat dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Sejalan
dengan itu penduduk Pakuan pun mencapai jumlah nomor dua terbesar di
antara kota-kota di Nusantara waktu itu. Masa inilah yang disebut GEMUH
PAKUAN dalam beberapa naskah tradisional karena di daerah-daerah pun
banyak kerabat atau yang terikat kekerabatan dengan Siliwangi menjadi
pemegang kekuasaan dan mengembangkan kesejahteraan hidup di kawasannya.
Jaman dahulu, ketika segala hal masih harus dikerjakan dengan tenaga
manusia, jumlah penduduk menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran negara.
Bagi negara agraris jaman dulu, penyerangan dan penaklukan negara
tetangga lebih ditujukan kepada upaya menambah jumlah penduduk dari pada
perluasan tanah. Oleh sebab itulah, negara agraris dalam jaman silam
selalu mengidap watak agresif yang tersebunyi dan akan meledak setiap
kali ada kesempatan.
Negara yang banyak penduduknya disebut
negara yang GEMAH RIPAH. Gemah atau Gemuh berarti banyak penduduknya
(Volkrijk, menurut Coolsma). Sedangkan Ripah atau Rimpah sama artinya
dengan kata Indonesia Limpah (meluap). Jadi Gemah-ripah mengandung arti
sangat banyak penduduk seolah-olah melimpah. namun entah mengapa, timbul
salah kaprah mengenai artinya yang pada saat ini banyak dipahami
sebagai subur makmur. Akibat pengaruh Hindu, kata Gemah-ripah sering
disambung dengan LOH JINAWI. Loh atau lwah berarti sungai, dan Jinawi
adalah nama lain untuk SUNGAI GANGGA di India. Jadi arti utuh dari
GEMAH-RIPAH LOH JINAWI adalah padat (banyak sekali penduduknya seperti
daerah Sungai Gangga. Keadaan seperti ini, memang yang didambakan
negara-negara agraris jaman dahulu.
Masa Gemah Pakuan disertai
oleh kemajuan dalam berbagai segi kehidupan. sesuai dengan jamannya, apa
yang kita sebut maju waktu itu mungkin hanya keadaan "sederhana"
menurut ukuran hidup jama sekarang ini. Meskipun demikian ada hal yang
sifatnya bisa "abadi" jika dilihat dari segi isi dan maknanya, yaitu
"NILAI BUDAYA".
Dari jaman Siliwangi, kita diwarisi sebuah
naskah kuno yang disebut SISKANDANG KARESIAN DAN KUNDANGEUN URANG REYA
(untuk pegangan hidup orang banyak). Naskah ini tersiri atas 30 lembar
dan pada akhir naskah dicantumkan tahun penulisannya, yaitu NORA CATUR
SAGARA WULAN (tahun 1440 (Saka) atau 1518 M. Naskah ini disimpan di
Museum Pusat dengan nomor kode KROPAK 630.
Sebagian isi dari naskah itu, ada baiknya juga kita ketahui sebagai berikut:
1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)
2. Tapa di Nagara
3. Panca parisuda
4. Hidup yang penuh berkah
5. Parigeuing dan dasa pasanta
6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)
NYAMBUNG BAGEAN KA DUA
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.