Susunan Warna Kasundaan suatu Pendekatan Interpretatif

Oleh : Yusuf Affendi Djalari Sasnitawinata

Penelitian tentang warna kedaerahan telah dilakukan sejak tahun 1978 dan dilanjutkan pada tahun 1982, yang pertama tentang “ Desain Warna Susunan dan Fungsinya” (1978) dan yang kedua “Susunan Warna Lokal  Di Beberapa Daerah Indonesia” (1982).
Melalui Institut Teknologi Bandung Proyek Pengembangan Ilmu dan Teknologi, Ditjen  Dikti, Dept. Dikbud.
Dari Penelitian yang kedua, diuraikan lagi  penelitian khusus tentang  susunan warna Kasundaan, yang telah saya sebarkan melalui ceramah – ceramah diberbagai tempat dan kesempatan. Sambil menunggu perubahan yang terjadi pada susunan warna yang lama serta unsur-unsur yang mempengaruhinya.  Perlu pengamatan lanjutan.
Dalam rangka “ menjernihkan” penelitian susunan warna, maka dilakukan perbandingan susunan warna Kasundaan dengan susunan warna  di daerah lain, seperti dengan susunan warna kedaerahan dari : budaya Jawa, budaya Pesisiran seperti Cirebon dan Pekalongan, Bali, Sulawesi Utara dan Gorontalo, budaya Bugis/ Makasar, Minangkabau dan Palembang.


Latar Belakang Budaya Busana Sunda yang Menjadi Ungkapan Warna dan Motif.
Mengenai adat-istiadat suku bangsa Sunda sudah diuraikan oleh beberapa budayawan seperti H. Hasan Moestapa, Dr. K.A.H. Hidding (1935) dengan bantuan Muhammad Ambri dan Raden Setjadibrata, kemudian oleh Akib Prawirasuganda (1951). Karya Haji Hasan Mustapa diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda  oleh Raden Memed Sastrahadiprawira, tidak sampai selesai karena beliau meninggal dunia, kemudian naskah terjemahannya diselesaikan oleh R.A. Kern.
Di Jawa Tengah seperti Yogykarta dan Solo terdapat pusat preservasi adat Jawa yaitu sekitar keraton, yang tidak hanya berfungsi secara fisik melainkan berfungsi pula secara psikis, yaitu melindungi dan memelihara  seluruh kekayaan seni budaya Jawa. Berbeda dengan di Jawa Barat tidak terdapat pusat preservasi adat –istiadat Sunda atau Priangan, sehingga adat-istiadat Sunda relatif lebih terbuka terhadap unsur-unsur modernisasi pergeseran dan perubahan. Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi. Singgungan dan benturan terhadap pengaruh kebudayaan luar mengakibatkan antara lain suku Sunda cenderung lebih banyak menggunakan logikanya. Sementara itu cara-cara berpikir tradisional yang banyak mengandung unsur religius-magis sedikit demi sedikit terkikis.
Gambaran tentang unsur-unsur adat itu terpantul pada bentuk-bentuk kesenian Sunda seperti seni sastra, tembang kecapi suling, tari, wayang golek, sandiwara, batik tulis serta tata cara berpakaian. Lakon wayang umpamanya , tidak lagi utuh dipertunjukkan  di depan umum  sebagaimana asalnya, melainkan telah mendapat improvisasi  Ki Dalang sesuai dengan masa dan masyarakat penikmatnya. Demikian juga dengan bentuk – bentuk  seni lainya telah mendapat pengembangan daya cipta berdasarkan imajinasi senimannya tanpa beranjak dari akarnya sendiri. Penampilannya disesuaikan dengan lingkungan kondisi masyarakat penerimanya serta zamannya.

Warna Kasundaan : Kaya Nuansa (Sari)
Ungkapan warna yang memantulkan keindahan alam priangan  serta kesenian dan kebudayaan tersirat dalam seni tembang dan sajak pupuh Sunda. Satu contoh dari Celempungan atau Gamelan dari Juru Kawih H. Idjah Hadidjah, produksi Jugala tahun 1981 Bandung, judul Kuwung-kuwung.
Kuwung-kuwung nu melengkung
Cahyana lir emas pinanggih
Katingalna warna-warna
…………………………………………….
Cahya gilang gumilang
Henteu bosen nu ningali
…………………………………………….
Lenglang taya aling-aling
Lenglang taya aling-aling
…………………………………………….
Warna paul anu lucu
Hejona pon kitu deui
Beureum koneng cahyana lir
Emas anyar di sanggih
Lamun dicipta kurasa
Matak katarik birahi
……………………………………………
Cahaya sabumi alam
Ting gurilap cahyana
……………………………………………
Numutkeun ku saur sepuh
Wangsitna seuweu siwi
Baheula dumugi ka kiwari

Yen aya sasakala
Pelukisan bianglala seputar alam, dengan pemandangan warna yang sulit dilukiskan, karena penuh warna yang gemerlapan. Apabila diciptakan melalui rasa, berahipun akan tertarik yaitu cinta terhadap alam Maha Pencipta.
Cahayanya seputar alam : warna-warna koneng keemasan, paul atau ungu, hejo atau hijau, beureum atau merah, koneng atau kuning kejinggaan. Digambarkan kemudian, pada waktu  warna-warna itu hadir  memenuhi ruang langit, melengkung taya aling-aling atau terhampar luas tanpa ada yang menghalanginya. Secara  alamiah  apabila yang menjadi dasar susunan warna , dalam suatu teori, maka hampir tidak terdapat  warna yang kegelapan , suram atau kumal, itukah warna-warna Kasundaan ?
Dalam pantun Sinyur terdapat pelukisan warna dari benda sehari – hari :
Lawon sepre gandaria
Nu kayas kantun sakodi
teu malire nu satia
bet luas ngantunkeun abdi
Warna kayas atau merah ros atau merah muda, gandaria atau violet muda atau ungu muda, warna paul atau biru dan warna hejo paul atau kebiruan lebih sering disebut-sebut  dalam kawih atau pantun. Hal itu menandakan kesukaan masyarakat Sunda akan nada – nada warna itu ( nuansa lembut, sari atau semu-semu).
Apabila disusun dalam satu palet warna, maka terdapat dua warna dasar yang mendukung terciptanya nada warna itu. Kedua warna dasar itu ialah biru yang ultramarine dicampur dengan merah yang karmen, tetapi dilengkapi  satu sumbu yaitu ke arah putih, sehinga terjadilah warna : kayas dan gandaria dengan warna  ungu ditepinya yang biasa disebut gandola, terjadilah susunan nada warna yang bersifat analong (A. Munsell, color notation, 1898) sebagai berikut :
Kayas
Kasumba
Gandaria
Gandola
Paul
Nada warna kayas tergolong yang paling muda dan lembut, sedangkan warna paul tergolong  nada warna yang tua dan berat. Kayas, Kasumba, dan Gandaria sering terungkapkan dalam berbagai sajak atau seni pantun tembang Sunda yang sifatnya melankolik. Irama melankolik  itu telah menjadi salah satu ciri ungkapan sebagai kesenian Sunda, terutama seni tembangnya yang dikenal  dengan Kecapi Suling.
Dari susunan nada yang lembut melankolik  itu kiranya tidak akan timbul susunan warna yang keras atau berat melainkan cenderung ke arah nada lembut dengan reka-rekaan khayal.

Pola Hias

Selain nada warna yang terang dan lembut masyarakat Sunda  menyenangi pula berbagai ragam hias  untuk mengimbangi kemeriahan susunan warnanya. Kidung Sunda yang diterbitkan pada tahun 1928 oleh Bale Poestaka di Waltevreden, Batavia, melukiskan bagaimana para bangsawan Sunda berpakaian, yang disusun dalam Kinanti sebagai berikut :
Anggoana aralus
Matak serab nu ningali
Sang Nalendra kahuripan
Ngagem Kaprabon lineuwih.
Dodotna buatan sebrang.
Dikembang parada rukmi.
Beulitan giringsing kawung.
Surup lamun ditingali.
Duhungna kadipatian.
Landean duhung mas adi
Ditabur mirah delima
Sarta mutiara manik
Cahya permata harurung.
Tinggal ebyar adu manis
Lir cika-cika maruntang.
Sanggul geyot cara keling
Dicangklek kancana mubyar
Ditarapang inten rukmi

Direka garuda mungkur
Payus lamun ditingali
Disusumping kembang bodas
Mencenges di kanan keri
Kilat Bahu Atmaraksa

Wuwuh surup, Sang Narpati

Sang Prabu Daha kacatur
Salira tegep raspati
Nganggo dodot sutra kembang
Diparada warna sari

Sinjang kayas ti Banyumas
Wuwuh sigit ditingali
Kata – kata yang digaris bawahi ialah istilah-istilah yang mengandung pengertian ragam hias, sebagian kata –kat aragam hias itu menjadi nama dari ragam hias batik tulis  yang dibanggakan oleh masyarakat pemakainya, seperti dodot, giringsing kawung, parada, garuda mungkur dan kembang bodas.

Susunan Warna Kasundaan
(nafas Kasundaan disandingkan dasar teori warna Brewster, A. Munsell, J. Itten)
1)      Nada warna ke arah merah atau kemerahan dan kuning :
Beureum
beureum cabe
beureum ati
kasumba
kayas
gedang asak
gading
koneng
koneng enay

2)      Nada warn ake arah biru atau kebiruan dan hijau :
hejo
hejo lukut
hejo ngagedod
hejo paul
gandaria
gandola
bulao saheab
pulas haseup
bulao
3)      Nada warna yang tidak termasuk ke dalam dua kelompok terdahulu :
bodas
hideung
borontok
coklat kopi atau pulas kopi, kopi tutung
candra mawat
bulu hiris
bulu oa : dawuk, hawuk, kulawu, pulas
lebu
(oa adalah sebangsa primata/ monyet berbulu warna abu-abu)
skema katun
Sejumlah pertanyaan dan penelitian lanjutan, sebagai berikut; perlu diteliti secara cermat :
  • Apakah susunan warna Kasundaan itu tetap hingga kini, tanpa perubahan ?
  • Apakah Susunan warna Kasundaan itu menerima unsur-unsur dari luar sehingga terjadi susunan baru ?
  • Apakah susunan warna Kasundaan itu sudah tidak ada lagi “nafasnya”, nuansanya, sarinya, sehingga ngahiang atau hilang (Punah) ?
Tiga pertanyaan pokok tersebut , perlu ditindak lanjuti, melalui penelitian yang akan datang .
Pemakalah/ Penulis :
Yusuf Affendi Djalari Sasnitawinata, Guru Besar, Ilmu Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Kini menangani Program Magister dan Doktor – bidang Seni Rupa dan Desain.
Dekan Fakultas Seni Rupa & Desain , Universitas Trisakti di Jakarta.

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona