Prabu Siliwangi dan Mitos Maung Dalam Masyararat Sunda
- Get link
- X
- Other Apps
Dalam
khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau
merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan
dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan
simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal seperti nama daerah
(Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga
julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang
sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya
simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol
hewan karnivora tersebut
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia
keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir
oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang
berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik
sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal
di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa
sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin
menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan
menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan
salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya
adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari
ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang
berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap
sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol
maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya
(nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya
pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin
oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan
darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi
beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di
hutan sebelum akhirnya nga-hyang.
Berdasarkan kepercayaan yang
hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang
bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang
dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu
bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun
aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung”[1]. Ada
hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata
itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata
bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa).
Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti
sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat
Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang
memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa
sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan
historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai
kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang
mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah,
termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian
masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam
keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung
(harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan
belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau
wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan?
Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang
non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain
itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang
Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas,
namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani
dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya
sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung
yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya
menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat
Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi
harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten
Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya
menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat
dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang
mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah
menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang
berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau
karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam.
Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang
telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam.
Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para
pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi
harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau
loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan
Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar
hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local
wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan
yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan
“berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi.
Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat
dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan
ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya
keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen
pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan
mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol
sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan
korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja
menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah?
Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul
pertama kali?
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara
mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan
Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun
yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah
salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata
(Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti
sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita
Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai
lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam
versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.
Problem
lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi”
tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu
Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang
dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut
Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui
bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata
yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu
Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan
julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan
Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475.
Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan
julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata
yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran
Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh
dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3] Sebelum Prabu Jayadewata
berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana
(sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi
penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan
Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran
kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan
atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu
Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi.
Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu
Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu
Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja
lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata.[4]Berikut ini
periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata
alias Siliwangi :
1.) Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.) Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.) Ratu Sakti (1543-1551)
4.) Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.) Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan
Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten
yang dipimpin Maulana Yusuf.[5] Peristiwa tersebut tercatat dalam
Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219,
sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa
Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam
pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah
berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah
tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada
tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu
Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah
dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran
adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi
atau janggawareng[6] nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya
sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari
agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun
bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini
melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut
dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa
prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta
sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos
maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu
berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau
laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur
Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan
Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan
penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi
“dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal
tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut
terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa”
Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah
besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio
pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan
Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran
telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan
mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan
mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan
Pajajaran. Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila
mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam
menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat
Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut
sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di
penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim
Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7] Sepeninggal para penduduk dan
petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan.
Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di
kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan
Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan
sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol,
maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos
maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan
masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus
kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan
Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan
sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya,
khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru
dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak
”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya
kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan
dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut
melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah
menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian
tangguh. Terima kasih.
Sampurasun..
HISKI DARMAYANA, Kader
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni
Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran. (sumber : Berdikarionline)
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang.
Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung”[1]. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali?
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3] Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata.[4]Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.) Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.) Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.) Ratu Sakti (1543-1551)
4.) Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.) Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.[5] Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng[6] nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan Pajajaran. Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7] Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Sampurasun..
HISKI DARMAYANA, Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran. (sumber : Berdikarionline)
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.