Semar & Punokawan
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
1. tidak pernah lapar
2. tidak pernah mengantuk
3. tidak pernah jatuh cinta
4. tidak pernah bersedih
5. tidak pernah merasa capek
6. tidak pernah menderita sakit
7. tidak pernah kepanasan
8. tidak pernah kedinginan
2. tidak pernah mengantuk
3. tidak pernah jatuh cinta
4. tidak pernah bersedih
5. tidak pernah merasa capek
6. tidak pernah menderita sakit
7. tidak pernah kepanasan
8. tidak pernah kedinginan
kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau
kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar,
Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku,
Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk
menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi
manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri
dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh
anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah,
Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra,
Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak
sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai
anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama
Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan
Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di
Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali
ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga
dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh
Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita.
Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati.
Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi
istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga
dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada
Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin
dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai
kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan
dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun
Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang
menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh
Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan
rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan
mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin.
Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh
Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya,
Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan
oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta
adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang
ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau
Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam
dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis
(tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang
disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada.
Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan
bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut
keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang
digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut
akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki,
congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar,
tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang
Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan
kemuliaan nan abadi.
(herjaka)
Semar, Gareng, Petruk, Bagong
Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong
keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya,
yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan
Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit
purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh
Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima
tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari
sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat
berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun
gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan
tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).
Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki
hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan
kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak
binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah
dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng,
Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan
Raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan,
rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar
dan anak-anaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan
berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.
Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan
suatu kehidupan? Sudah dipaparkan pada dua tulisan sebelumnya, bahwa
Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses
dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka
tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat panakawan
tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar
mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala
sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng
mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan
berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata
kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan cekot adalah rasa ketelitian dan
kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari
kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika
digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama
dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan
belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya
disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar,
artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa
dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri
manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah
merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa
dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk
kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian
menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan
signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai
cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus
(rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan ‘ngelmu’ sedulur
papat lima pancer. Sedulur papat adalah panakawan, lima pancer adalah
ksatriya. Posisi pancer berada ditengah, diapit oleh dua saudara tua
(kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi ari-ari dan adi
wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep penyadaran
akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia
(sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia diciptakan di awali dari
saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks
ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah
rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian
pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu
kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran
lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah
itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul dengan
keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah
disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan bahwa, manusia
dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang
mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga
sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah
kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam kehidupan, digambarkan
dengan seorang sais mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat
ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta
melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah
melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan
biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih
melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah
mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya.
Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor
kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar
sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.
(herjaka)
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.