SEJARAH DAYEUHKOLOT, IBU KOTA KABUPATEN BANDUNG KAPUNGKUR

Di sebelah Barat daerah kekuasaan Mataram, tepatnya di utara kaki Gunung Geulis, mengalir sebuah sungai besar yang menjadi ciri atas berdirinya Kerajaan Tarumanagara. Sungai yang dimaksud yaitu sungai Citarum, Ci berasal dari kata Cai yang berarti air dan Tarum yaitu semacam Perdu (tumbuhan) yang tumbuh di tepi sungai itu. Apabila daun perdu itu terkena rendaman air sungai, maka air itu akan berwarna hitam. Tumbuhan perdu biasanya sering digunakan oleh wanita pada masa itu untuk mencuci rambut. Keadaan tanahnya landai sehingga mudah digunakan untuk lalu-lalang orang dengan mempergunakan rakit penyeberangan (Rini, Dayeuh Kolot. 2005:2).

Dengan semakin ramainya orang menggunakan daerah itu, maka lambat laut daerah itu menjadi daerah persinggahan dan perdagangan. Pada awal abad ke-17, di daerah ini dibentuk organisasi pemerintahan untuk menata, menyusun dan menertibkan masyarakat dan tata lingkungan hidupnya dalam segala hal sampai dengan penetapan pemakaian nama daerah ini yaitu Karapyak/Krapyak yang artinya nama rakit penyebrangan yang dibuat dari batangan bambu.

Pada perkembangan selanjutnya daerah ini dikuasai oleh Kerajaan Mataram. Namun demikian, Pada tahun 1600-an terjadi suatu pemberontakan yang dilakukan Dipati Ukur terhadap Mataram. Pemberontakkan itu terjadi ketika pemerintahan Mataram tengah mengalami kelemahan akibat peperangan melawan VOC sehingga keadaan tersebut dimanfaatkan oleh Dipati Ukur untuk melepaskan diri dari Kekuasaan Mataram. Meskipun menjadi lemah, Pemerintahan Mataram sadar bilamana pemisahan ini tidak ditindak, wibawa Mataram dalam waktu pendek akan hilang di seluruh Jawa. Pada tahun 1632 pemberontakan tersebut berakhir dengan menyisakan dampak berupa kekosongan kekuasaan di Priangan. Sementara itu, pihak Kerajaan Mataram berusaha untuk menguasai Priangan kembali karena daerah itu merupakan benteng pertahanan Mataram di bagian barat terhadap kemungkinan serangan tentara VOC. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kerusuhan di daerah Priangan yang mengancam kekuasaan Mataram seperti yang dilakukan oleh Dipati Ukur, maka Sultan Agung memecah Priangan menjadi beberapa daerah kabupaten yang masing-masing diperintah oleh seorang mantri agung (bupati) (Robert Vaskuil, 2007: 9).

Sultan Agung memecah daerah Priangan menjadi tiga kabupaten, yakni Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang. Pembentukan ketiga kabupaten tersebut ditandai dengan pengangkatan Ki Astamanggala sebagai Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, Tumenggung Wiradadha sebagai Bupati Sukapura, dan Tumenggung Tanubaya sebagai Bupati Parakanmuncang. Pelantikan ketiga orang bupati tersebut berlangsung di ibukota Mataram dan dinyatakan dalam piagam Sultan Agung. Piagam tersebut merupakan bukti sejarah yang kuat yang menyatakan adanya daerah bernama Bandung dan di daerah itu dibentuk pemerintahan kabupaten. Setelah ketiga orang bupati tersebut dilantik oleh Sultan Agung di ibukota Mataram, maka merekapun kembali ke daerah masing-masing dan mencari tempat untuk ibukota kabupaten. Dengan mendapat surat pengangkatan dari Mataram, Tumenggung Wiraangun-angun kembali dari Mataram ke wilayah Tatar Ukur, tepatnya di Timbanganten (Robert Vaskuil, 2007: 9). Selanjutnya pada tahun 1670 Tumenggung Wiraangun-angun membangun pusat pemerintahannya di suatu tempat di tepi Sungai Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, tidak jauh dari pertemuan Sungai Citarum dengan Sungai Citarik. Tempat yang dimaksud adalah Krapyak yang kemudian dijadikan ibukota Kabupaten Bandung. (Ekadjati, 1981: 14).


Krapyak dipilih sebagai ibukota kabupaten didasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, tempat itu terletak di tepi Sungai Citarum dan tidak jauh dari muara Sungai Cikapundung. Dengan demikian, dari segi kepentingan komunikasi daerah yang dilintasi Sungai Citarum ini merupakan penghubung dengan daerah-daerah Mataram di pantai utara sedangkan dari segi transportasi, lokasi Krapyak cukup baik karena waktu itu transportasi yang cukup cepat dan hanya dapat dilakukan melalui sungai yang dapat dilayari perahu atau rakit. Kedua, lahan daerah Krapyak cukup subur dan dekat dengan sumber air sehingga sangat memungkinkan bagi berlangsungnya kehidupan penduduk.

Berkat kepemimpinan Tumenggung Wiraangun-angun, daerah ini mengalami kemajuan yang pesat. Namun, Pada abad ke-19 tepatnya pada tanggal 25 Mei 1811 Gubernur Jendral Daendels memerintahkan untuk mengadakan pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak ke utara karena Krapyak selalu dilanda banjir dan dalam rangka pembangunan jalan raya pos (Groote postweg), yaitu jalan raya yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur sepanjang 1000 km yang di Priangan sendiri, jalan raya tersebut membentang dari Cianjur melalui Kabupaten Badung ke Sumedang. Namun demikian, jalan raya pos tersebut ternyata tidak melalui Krapyak melainkan 10 km di sebelah utara Krapyak sebagai jalan poros.

Untuk mempercepat proses pemindahan ibukota tersebut maka Daendels mengirim utusannya dengan maksud menyampaikan usul dan perintah agar kabupaten dipindahkan dari tempat semula di tepi sungai Citarum ke sebelah utara. Perintah tersebut ternyata ditolak, bahkan salah seorang petinggi pemerintahan waktu itu, Tubagus Anom menentang dengan keras rencana Gubernur Jendral Daendels itu sehingga ia ditangkap dan akhirnya di hukum mati. Untuk kedua kalinya Belanda mengirim utusan dengan maksud berunding dan memecahkan masalah tersebut. Akhirnya setelah dilaksanakan perundingan, maka kabupaten dipindahkan. Adapun daerah yang dijadikan pemerintahan baru itu terletak di bagian tengah wilayah Bandung dengan memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi, dekat dengan sumber air, dikelilingi gunung dan pegunungan serta berada di titik poros Jalan Raya Pos yang sedang dibangun. Dengan demikian, dari berbagai segi, tempat itu sangat baik untuk ibukota dan pemukiman.

Setelah ibukota dipindahkan ke utara, di pinggir Groote Postweg yang baru, maka Karpyak ditinggalkan sehingga segala hal yang menyangkut kehidupan pemerintahan dan perekonomian beralih ke daerah baru. Oleh karena itu, kota lama (Krapyak) namanya diganti menjadi Dayeuh kolot (dalam Bahasa Sunda Dayeuh berarti kota, kolot berarti lama/tua). Orang-orang Belanda menyebutnya dengan Oude Negorij atau negeri lama (Robert Vaskuil, 2007: 10).

Kini, Dayeuh kolot merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung, tepatnya di Bandung Selatan dengan luas wilayah 985.149,5 ha. Secara astronomis Kecamatan Dayeuh kolot terletak pada 107 035’24’’-107037’48’’ Bujur Timur dan 6057’36’’-6059’24’’ Lintang Selatan. Secara administrasi Kecamatan Dayeuh kolot termasuk wilayah Kabupaten Bandung yang berbatasan langsung dengan:

1. Kotamadya Bandung di sebelah utara

2. Kecamatan Bojongsoang di sebelah timur

3. Kecamatan Baleendah di secelah selatan

4. Kecamatan Margahayu di sebelah barat (Profil Kecamatan Dayeuh Kolot Tahun 2008 dan hasil wawancara dengan Bapak Atiek).

Secara geografis letak Kecamatan Dayeuh kolot sangat strategis karena merupakan salah satu daerah penyangga antara pusat kota dengan daerah di sekitarnya. Selain itu, Dayeuh kolot dilalui oleh jalur jalan raya yang menghubungkan Kota Bandung dengan wilayah Bandung Selatan. Jarak tempuh Dayeuh kolot dari Kota Bandung adalah 13 km dengan waktu tempuh sekitar satu jam.

Peta 4.1

Peta Kecamatan Dayeuh kolot


(Sumber: diolah dari profil Kecamatan Dayeuh kolot dan hasil wawancara dengan Bapak Atik tanggal 28 Januari 2008).

Secara historis, ditinjau dari letaknya pada tahun 1946, daerah ini merupakan daerah yang strategis karena merupakan penghubung antara wilayah kekuasaan Belanda di sebelah utara dan kekuasaan Indonesia di sebelah selatan. Hal itu didukung dengan dijadikannya Dayeuh kolot sebagai tempat penyimpanan amunisi Belanda di kawasan Bandung Selatan dan sebagai tempat pertahanan terdepan pejuang Indonesia (http://yulian.firdaus.or.id). Letak Dayeuh kolot yang strategis itu di dukung pula dengan adanya alat transportasi yang memungkinkan para penduduknya untuk mengunjungi tempat lain. Transportasi yang dimaksud adalah mobil, kereta kuda dan sepeda. Dayeuh kolot dilalui oleh sungai besar yaitu sungai Citarum.

Iklim di Dayeuh kolot yaitu tropis agak basah (farrly wet) dengan suhu 280 C- 320 C. Dayeuh kolot memiliki curah hujan yang tinggi yaitu 2.102 mm/t sehingga tidak heran apabila daerah ini berpotensi untuk menghasilkan hujan yang lebih banyak. Disamping itu, ditinjau dari kondisi topografinya, Dayeuh kolot terletak pada ketinggian 600 m dpl dengan wilayah yang relatif datar sehingga wilayah Dayeuh kolot rentan dilanda banjir. Hal itu pula yang dijadikan salah satu faktor penyebab dipindahkannya ibukota kabupaten ke wilayah pinggir Groote Postweg, Bandung.

Pada umumnya wilayah Dayeuh kolot pada tahun 1946 masih didominasi oleh hamparan tanah yang ditumbuhi tanaman liar disamping wilayah pertanian yang dialiri sungai Citarum yang melewati daerah tersebut. Penduduk Dayeuh kolot sebagian besar terdiri dari etnis Sunda, tetapi ada juga yang berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa. Adapun agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Dayeuh kolot adalah agama Islam, dan sebagian kecil penduduk Dayeuh kolot menganut agama Protestan dan Kong Hu Chu.

Ketika terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api yang mengakibatkan adanya pengungsian besar-besaran ke wilayah Bandung Selatan, daerah ini dijadikan salah satu tujuan pengungsian sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk pada masa itu. Namun demikian, pertambahan jumlah penduduk tidak berlangsung lama setelah daerah itu diduduki oleh tentara Sekutu. Sebagian besar penduduk pindah ke wilayah yang lebih aman seperti Banjaran, Majalaya, Garut dan lain-lain. Oleh karena itu, secara drastis jumlah penduduk Dayeuh kolot pada waktu itu menurun (wawancara dengan Bapak Atik tanggal 28 Januari 2008).


Dayeuh Kolot Diduduki Sekutu

Setelah Kota Bandung di kosongkan, pada tanggal 25 Maret 1946 tentara Inggris (Sekutu) memasuki kawasan Bandung Selatan. Dengan dikuasainya Kota Bandung dan sekitarnya, tugas pasukan Sekutu menduduki kota-kota penting di Jawa Barat telah selesai. Tercapai pulalah rencana strategi pendudukan Sekutu, untuk menyiapkan Jawa Barat sebagai wilayah pangkalan yang sekaligus kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia (Adeng, 1995: 87).

Dikuasainya Bandung tidaklah menyurutkan Sekutu dalam melakukan penyerangan untuk memperluas kekuasaan, Sekutu mencoba memperluas kekuasaannya dengan melewati batas kota yang telah ditentukan (Lasjkar, 5 Maret 194, hal 1 kol 3). Sekutu mulai melakukan penyerangan terhadap kawasan luar Bandung, seperti Bandung Barat dan Bandung Timur. Tetapi, tidak ada perlawanan yang berarti dari pihak Indonesia karena keadaan pada saat itu terdesak sehingga pihak Indonesia mundur. Namun demikian, dalam keadaan mundur para pejuang Indonesia telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Setelah upaya perluasan kekuasaan ke wilayah Barat dan Timur Bandung berhasil dilaksanakan, maka Jenderal Hawthorn, panglima tentara Sekutu di Bandung berusaha menduduki Dayeuh kolot, sebagaimana dinyatakan dalam Iriwadi dan Amrin Imron (1985: 161) bahwa:Setelah Bandung dikuasai Sekutu, sifatnya yang kolonialistis itu mendorongnya untuk meluaskan gerakannya ke arah selatan sehingga Dayeuh kolot pun mereka duduki“.






Peta 4.3

Dayeuh kolot pasca diduduki Sekutu


(Sumber: diolah dari Iriwadi dan Amron Imron. Peranan Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan. 1985: 123., dan hasil wawancara dengan Bapak Atik tanggal 28 Januari 2008).

Dayeuh kolot memiliki nilai penting bagi Sekutu dan Belanda, karena merupakan daerah langsung yang berbatasan dengan daerah kekuasaan para pejuang Indonesia. Disamping itu, di Dayeuh kolot terdapat sebuah bangunan bertingkat dua yang semula adalah gudang penyimpanan alat-alat listrik bagi wilayah Priangan sehingga gedung itu disebut gedung listrik. Oleh Sekutu dan Belanda gedung itu dijadikan gudang penyimpanan senjata, mesiu, bahan peledak, dan perlengkapan militer lainnya. Mengenai gudang ini, Barisan Banteng Republik Indonesia wilayah Priangan memberi penjelasan bahwa:

“...kira-kira 200 m sebelah timur dari jembatan Citarum, Dayeuh kolot nampaklah sebuah bangunan bertingkat dua, terbuat daripada beton, yang dahulu dipergunakan sebagai gedung pusat penyimpanan alat-alat listrik daerah Priangan. Pada waktu yang akhir-akhir ini gedung itu dijelmakan menjadi benteng pertahanan musuh yang kokoh kuat. Dari peluru meriam dan mitraliur ke arah pertahanan pemuda-pemuda. Hal inilah yang menimbulkan amarahnya pemuda Bandung, keadaan gedung yang letaknya jelas menjulai itu mencolok...selain dari pada gedung itu, adalah pula sebuah beton yang letaknya tidak jauh dari gedung listrik tadi. Adapun letaknya di kampung Pesayuran dan di jaman Belanda dipergunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat perang“. (Ekadjati, 1981: 259).


Dalam upaya penyerangan yang dilakukan Sekutu dan Belanda terhadap kawasan Bandung Selatan, gudang ini menjadi tempat yang amat penting bagi Sekutu sebagai pertahanan terdepan menghancurkan pos-pos pertahanan para pejuang Indonesia di kawasan Selatan Bandung (wawancara dengan Bapak Sule Sulaeman tanggal 9 September 2008).

Didudukinya Dayeuh kolot senantiasa mempermudah akses untuk menguasai secara keseluruhan kawasan Bandung selatan. Surat kabar Boeroeh yang terbit pada saat itu mengabarkan bahwa pada tanggal 27 Maret 1946 telah mulai terdengar dentuman meriam yang digambarkan sebagai suatu pertempuran yang terjadi di Dayeuh kolot ke arah selatan (Boeroeh, 28 Maret 1946. hal 2 kolom 1-3).

Serangan-serangan terus dilakukan pihak Sekutu dan Belanda setelah mereka menguasai Dayeuh kolot sehingga situasi daerah itu penuh dengan ketegangan. Didudukinya Dayeuh kolot oleh Sekutu dan Belanda mengakibatkan lumpuhnya kegiatan roda pemerintahan, ekonomi dan pertahanan karena sarana dan prasarana banyak mengalami kerusakan berat akibat seringnya terjadi penyerangan dan pengeboman yang dilakukan oleh tentara Sekutu dan Belanda terhadap Dayeuh kolot sehingga penduduk setempat sebagian besar melakukan pengungsian ke selatan yaitu Pameungpeuk, Ciparay dan Banjaran. Dengan ditinggalkannya Dayeuh kolot oleh penduduk maka daerah ini sampai sekarang hanya memiliki sedikit penduduk yang benar-benar asli. Hal senada diungkapkan oleh Bapak Sulaeman dalam pernyataan berikut ini:

“Sekarang mah nggak ada penduduk Dayeuh kolot yang benar-benar dari dulu menetap disini. Kalaupun ada, paling itu cuma sedikit...da yang bapa tahu mereka pada ngungsi karena kondisi perang. Kondisi Dayeuh kolot pada waktu itu sangat terancam, Inggris terus-menerus melancarkan serangan ke Dayeuh kolot sehingga wargapun banyak yang meninggalkan rumahnya karena merasa tidak aman untuk tinggal di sana dengan kondisi yang semakin genting... Tidak ada kegiatan apapun yang dilakukan di sana, walaupun awalnya Dayeuh kolot adalah pangkalan bagi pejuang kita...setelah kejadian itu, para pejuang kita memindahkan pangkalan ke Baleendah. Di sanalah para pejuang, baik itu laskar ataupun yang lainnya berupaya mengembalikan kembali daerah yang telah diduduki “(wawancara tanggal 9 September 2008).


Para pemuda pejuang maupun rakyat yang meninggalkan Dayeuh kolot pergi meninggalkan rumah tanpa membawa barang berharga, mereka pergi membawa barang seadanya sehingga dengan dikosongkannya Dayeuh kolot oleh penduduknya, maka rumah-rumah yang kosong banyak dirampok (wawancara dengan Bapak Sule Sulaeman tanggal 9 September 2008).

Didudukinya Dayeuh kolot tidak menyulutkan semangat pemuda Indonesia yang berada di wilayah Bandung Selatan untuk berusaha merebut kembali Dayeuh kolot dari pihak Sekutu dan Belanda. Pada tanggal 13 April 1946 terjadi kontak senjata antara Sekutu dan Belanda dengan pejuang Indonesia di Dayeuh kolot selama enam jam dengan menewaskan dua serdadu Belanda dan beberapa orang luka-luka. (Berita Indonesia. 25 April 1946). Upaya merebut Dayeuh kolot ini merupakan bagian dari upaya untuk merebut kembali kota Bandung. Oleh karena itu, peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot ini tidak dapat dilepaskan dari peristiwa sebelumnya.

Sementara itu terjadilah suatu peristiwa pemindahan kekuasaan militer dari tangan Sekutu kepada Belanda pada tanggal 15 April 1946 dibawah pimpinan Kolonel Meyer (Lasjkar. 3 Djoeni 1946. hal 2, Kolom 4). Dengan adanya peristiwa tersebut semakin jelaslah bahwa pengembalian penjajahan atau kekuasaan ke tangan Belanda merupakan bentuk kerjasama antara Sekutu dan Belanda. Dengan demikian, Belanda sepenuhnya kembali menjajah Republik Indonesia. Sehubungan dengan peristiwa pemindahan kekuasaan dari tangan Inggris ke tangan Belanda, A.H Nasution (1978: 189) menungkapkan bahwa:

“...Bandung Selatan kemudian diserahkan oleh Divisi ke-23 kepada Belanda. Disinilah Brigade V di bawah pimpinan Kolonel Meyer ditugaskan. Dan buat pertama kali kita langsung berhadapan dengan Belanda di daerah Bandung. Terbukti mereka jauh lebih ganas dari tentara Inggris-India“.


Pemindahan kekuasaan tersebut dimaksudkan untuk melancarkan perang, yaitu sebagai usaha penaklukan terhadap rakyat Indonesia. Dengan maksud itulah Belanda berusaha melancarkan serangan ke segenap penjuru tanpa pembatasan-pembatasan lagi (Lasjkar. 26 April 1946). Dalam usaha memulihkan kekuasaannya, Belanda sangat aktif melakukan perang psikologis dan agitasi politik. Artinya, Belanda berusaha mencampuri urusan-urusan politik pemerintahan. Hal ini tentunya berbeda dengan Inggris (Sekutu) yang tidak mau mencampuri urusan pemerintahan sipil (Nasution, 1978:190).

Dalam kedudukannya di Bandung, Belanda melakukan patroli dengan aktif dan intensif. Selain itu Belanda lebih fanatik, mereka tidak puas dengan menduduki bangunan-bangunan penting dan jalan-jalan utama, tetapi juga melakukan penjagaan ketat. Pada tanggal 1 Mei Belanda melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Indonesia yang berkedudukan di Dayeuh kolot, sehingga terjadi kontak senjata. Tercatat 100 kali tembakan senjata berat ke daerah Dayeuh kolot. Peristiwa penyerangan tersebut menewaskan 5 orang warga sipil Indonesia (Merdeka. 2 Mei 1946).

Pada tanggal 27 Mei 1946 tentara Sekutu secara resmi meninggalkan kota Bandung. Sebagaimana halnya di kota-kota lain di Indonesia, kota Bandung diserahkan oleh Sekutu kepada tentara Belanda. Penyerahan tersebut tidak hanya dalam bidang militer, akan tetapi juga dalam bidang politik pemerintahan. Dalam bidang militer, segala tanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban di dalam maupun di luar kota Bandung telah menjadi kewajiban tentara Belanda beserta pemerintahan sipilnya.



Pada tanggal 29 Mei 1946, tentara sekutu meninggalkan Kota Bandung. Sebagaimana halnya di kota-kota lain di Indonesia, Kota Bandung diserahkan oleh Inggris kepada tentara Belanda (NICA). Penyerahan tersebut tidak hanya dalam bidang militer saja, tetapi juga dalam bidang politik pemerintahan. Dalam bidang militer, segala tanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban di dalam maupun di luar Kota Bandung telah menjadi kewajiban tentara Belanda beserta pemerintahan sipilnya. Pada saat itu Inggris (Sekutu) menyerahkan mobil-mobil, perlengkapan perang dan persenjataan kepada Belanda.


Tembak-menembak pada saat itu masih sering terjadi, tentara Belanda berulangkali berusaha menguasai jembatan Citarum akan tetapi karena pertahanan rakyat sangat kuat di daerah tersebut, maka Belanda mengalami kegagalan dalam usahanya itu. Dalam berita yang dimuat dalam surat kabar Berdjoeang dikemukakan bahwa, pada tanggal 29 Mei 1946 sekitar pukul 08.30 Belanda menerobos garis pertahanan rakyat di Buah batu. Mereka menggunakan kendaraan sebanyak 27 truk yang didahului oleh gerakan mata-mata yang menyamar sebagai tentara Indonesia. Dalam perjalanan menuju Sapan, pasukan Belanda melepaskan tembakan-tembakan sehingga terjadi pertempuran yang terjadi sampai pukul empat sore. Setelah itu, pasukan Belanda mengundurkan diri karena mereka tidak mampu menahan serangan balasan dari Barisan Rakyat. Dikabarkan dua orang diantara mereka tewas dan puluhan orang menderita luka-luka. Pada sore itu juga Belanda melepaskan tembakan, yaitu serangan balasan dari Belanda ke daerah Kulalet sehingga di daerah ini pun terjadi lagi pertempuran. Belanda kerap kali melakukan serangan-serangan ke wilayah selatan sehingga kedudukan pejuang semakin terdesak. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulaeman (7 September 2008), serangan-serangan yang dilakukan Belanda ini didukung dengan persenjataan yang kuat yang bersumber di gudang mesiu Dayeuh kolot. Belanda menggunakan gudang mesiu ini sebagai dasar penyerangan untuk melumpuhkan kekuatan pejuang di Bandung Selatan.

Muhamad Toha merasa kesal dengan tindakan-tindakan Belanda, sehingga ia berniat untuk menghancurkan gudang mesiu itu. Oleh karena itu, ia menyampaikan rencananya untuk menghancurkan gudang mesiu itu kepada atasannya. Akan tetapi, atasannya tidak menyetujui rencana Muhamad Toha tersebut sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Garut. Namun demikian, tekadnya untuk menghancurkan gudang mesiu itu semakin kuat sehingga pada tanggal 8 Juli 1946 Muhamad Toha kembali ke Bandung dan besoknya ia menyampaikan permohonannya kembali dan akhirnya diterima. Komandan MP3 Soetoko kemudian menindaklanjuti permohonan Muhamad Toha dengan mengadakan pertemuan dengan semua badan perjuangan yang bermarkas di Ciparay di rumah Bapak Utju, seorang anggota Pesindo yang kaya yang menjadikan rumahnya sebagai markas perjuangan pertahanan priangan (MP3) (sekarang di Jalan Empang). Adapun hasil dari pertemuan tersebut adalah:

1. Tanggal 10 Juli 1946 pusat pertahanan Belanda di Bandung Selatan harus dihancurkan dengan cara meledakkan gudang mesiu yang terletak di Dayeuh kolot.

2. Dikerahkan perwakilan dari tiga kelaskaran untuk menjalankan penghancuran gudang mesiu Dayeuh kolot.

Berdasarkan hasil kesepakatan tersebut, diputuskan bahwa ketiga kesatuan itu adalah Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Hisbullah dan Barisan Pangeran Papak. Dari ketiga laskar tersebut, hanya sebelas orang yang diberi mandat untuk melaksanakan tugas menghancurkan gudang mesiu yang dibentuk dalam suatu formasi kecil karena tidak mungkin dengan pasukan besar mengingat Dayeuh kolot adalah wilayah terbuka dan kedudukan musuh lebih strategis.

Kesebelas orang tersebut kemudian berangkat dari Ciparay untuk melaksanakan tugas. Tugas yang diemban oleh kesebelas orang tersebut sangatlah berat, namun dengan tekad yang kuat disertai kemampuan mengenal medan yang baik maka merekapun berangkat. Kesebelas orang tersebut dilengkapi dengan persenjataan berupa karaben dan pistol serta setiap anggota pasukan membawa dua atau tiga granat yang digantungkan di pinggang masing-masing (Riva’i, 1983: 136).

Peta 4.4

Rute perjalanan Muhamad Toha dkk dalam misi peledakan gudang mesiu Dayeuh kolot


(Sumber: diolah dari Riva’i. Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. 1983: 136-137 dan hasil wawancara dengan Bapak Suntana tanggal 7 November 2007).

Seperti terlihat pada peta 4.4 bahwa Sebelum tiba ke tempat tujuan, terlebih dahulu mereka singgah di Pasir Cina. Hal itu dituturkan oleh Lettu purn. S. Abbas (Riva’i, 1983: 136), komandan Seksi III Kompi III, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia bahwa:

Pada sore hari tanggal 9 Juli 1946 pasukan BPRI yang bertahan di Pasir Cina yang terletak di seberang kali Citarum bagian Timur Dayeuh kolot menerima tamu dari Ciparay yang terdiri dari dua regu pasukan yang masing-masing dipimpin oleh Muhamad Toha dari BBRI, dan Achmad dari BPRI-Pangeran Papak.

Komandan S. Abbas kemudian melaporkan kedatangan dan tujuan pasukan Muhamad Toha kepada komandan Batalyon BPRI Muhamad Riva’i. Kemudian Muhamad Riva’i menugaskan S. Abbas untuk mendampingi pasukan Muhamad Toha. Selanjutnya dijelaskan dalam buku Rivai (1983: 136) bahwa pasukan Muhamad Toha tidak membawa perbekalan untuk makan sehingga S.Abbas memberikan makanan yang merupakan persediaan terakhir pasukannya kepada Muhamad Toha. Pada malam hari Muhamad Toha melakukan percakapan dengan S. Abbas. Percakapan itu direkonstruksi oleh S. Abbas (1983: 136) sebagai berikut:

“Bang, mana tahu entah ajal saya tiba, tolong sampaikan salam maaf saya terhadap ibu saya. Katakan bahwa saya dengan segala keikhlasan hati menjalankan tugas ini, demi kepentingan tanah air dan bangsa. Demikian toha mulai pembicaraan.


“Insya Allah, pesanmu akan kusampaikan, kalau umurku panjang dan kalau kami bertemu. Tapi untuk tunanganmu ada pesan atau tidak? Tanya S. Abas.


Lalu Muhamad Toha menjawab “Ya, untuk dia juga“. Tapi bang, kami tidak akan menikah kalau kemerdekaan sepenuhnya belum tercapai.


Oh Begitu! Toha, kau yakin tugas ini akan sukses? Ya, sepenuhnya aku yakin! Gudang mesiu musuh itu pasti akan hancur lebur!.

Berdasarkan penuturan dari S. Abbas, maka pasukan Muhamad Toha mendapat penjagaan dari pasukan BPRI. Pada pukul 00.30 malam, pasukan Muhamad Toha dengan penjagaan pasukan BPRI secara menyebar bergerak mencapai tempat penyeberangan Dayeuh kolot yang letaknya dekat dengan gudang mesiu Belanda yang merupakan sasaran utama. Penyeberangan itu berjalan selamat, sementara pasukan BPRI bertahan di belakang desa Dayeuh kolot. Dikabarkan bahwa 25 menit kemudian terdengar suara ranjau meledak bersamaan dengan suara tembak menembak antara pihak Belanda dan pasukan Muhamad Toha.

Kontak antara pihak Belanda dan pihak Muhamad Toha menyebabkan banyak korban di pihak Muhamad Toha sehingga mereka kembali kecuali Muhamad Toha dan Muhamad Ramdan. Muhamad Toha sendiri tetap bertahan dengan kondisi luka parah di paha bahkan terus berjuang untuk masuk ke gudang mesiu (wawancara dengan Warta yang dikutip dari Riva’i dan Suntana tanggal 15 November 2007). Komandan Riva’i yang mendengar laporan bahwa Muhamad Toha tetap bertahan di sekitar gudang mesiu meski dalam keadaan terluka memerintahkan agar S. Abbas mengadakan serangan ke tentara Belanda dari jurusan lain untuk mengalihkan perhatian tentara Belanda dan melapangkan bagi Muhamad Toha untuk menghancurkan gudang mesiu. Menurut S. Abbas, perintah Komandan Riva’i dilaksanakan pukul 9 pagi. Dengan menghindar ke arah timur sekitar 100 m, pasukan S.Abbas melakukan serangan ke arah gudang mesiu sehingga terjadi pertempuran antara pihak S.Abbas dengan tentara Belanda. Sekitar pukul 12.30 terdengar suara dahsyat yang mengejutkan seluruh warga kota, bahkan terdengar hingga 70 km dari pusat ledakan.

Disadari atau tidak, peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Juli 1946 di Dayeuh kolot telah berdampak serius terhadap seluruh kehidupan terutama aspek pertahanan dan keamanan pada masyarakat Bandung, khususnya Dayeuh kolot. Secara tidak langsung peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot ini tidak hanya berdampak terhadap pada orang-orang yang terlibat sebagai korban utamanya, tetapi juga telah berdampak langsung terhadap kondisi kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat di Bandung Selatan.

Menurut A.H Nasution (1978: 431), terdapat 1.100 ton mesiu yang meladak sehingga mengakibatkan 18 orang meninggal dan lebih dari 50 orang menderita luka-luka serta dua kampung habis terbakar disamping bengunan-bangunan penting milik Belanda yang ikut terbakar. Di tempat penimbunan amunisi itu sendiri terjadi lubang yang luasnya sekitar 100x60 m. (Robert Vaskuil, 2007: 165 ).

Setelah peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot, kegiatan perekonomian di Dayeuh kolot lumpuh total. Tidak ada kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh masyarakat karena pada waktu itu jalan-jalan yang berada di Dayeuh kolot dipasifkan. Walaupun sebelum peristiwa meledaknya gudang mesiu terjadi, perekonomian di wilayah ini berkembang sangat lambat akibat ditinggalkan penduduknya. Dengan adanya peristiwa meledaknya gudang mesiu ini, situasi perekonomian semakin lumpuh. Sawah-sawah terlantar akibat tidak ada yang mengurus sehingga pertanian di daerah ini banyak mengalami kegagalan (wawancara dengan Bapak Atik dan Sule Sulaeman).

Dalam bidang militer, surat kabar Merdeka (12 Juli 1946. Hal 1, kolom 1) mengabarkan bahwa beberapa saat setelah meledaknya gudang mesiu tersebut, tentara Belanda langsung mengerahkan tentaranya untuk melakukan penyerangan secara besar-besaran ke daerah Selatan Dayeuh kolot, tempat dimana terdapat pos-pos pejuang Bandung seperti yang diberitakan oleh surat kabar Merdeka (12 Juli 1946 Hal 1, kolom 1) bahwa:

Djam 17.30 sebuah pesawat terbang Belanda sebagai serangan pembalasan mendjatoehkan granat-granat dan bom di dekat Pamongpeuk, Banjaran...letoesan-letusan terdjadi...Beberapa orang penduduk mati dan loeka-loeka.

Hancurnya tempat penyimpanan amunisi Belanda untuk kawasan Bandung Selatan ini ternyata bukan melemahkan kekuatan Belanda malah semakin intensifnya Belanda melakukan penyerangan ke daerah selatan Dayeuh kolot. Penyerangan dilakukan secara terus menerus selama berhari-hari sehingga keadaan semakin tidak menentu.

Sejarah sebagai rangkaian peristiwa atau kejadian tidak berdiri sendiri satu sama lainnya. Terjadinya suatu peristiwa disebabkan oleh peristiwa yang mendahuluinya yaitu faktor penyebab. Peristiwa senantiasa dipandang sebagai suatu akibat dari pertemuan dan pertentangan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Dalam sejarah terjadinya suatu peristiwa disebabkan adanya sebab dan akibat. Berdasarkan pemikiran teori Kausalitas, maka peristiwa timbul disebabkan oleh adanya serangkaian peristiwa yang mendahuluinya. Peristiwa yang mendahuluinya secara konkrit berupa rentetan Peristiwa Bandung Lautan Api serta diduduki dan dijadikannya Dayeuh kolot sebagai basis kekuatan Belanda di Bandung Selatan yang menyebabkan kekuatan pemuda Indonesia menjadi terdesak dan keadaan keamanan yang terus-menerus tidak kondusif karena tentara Belanda selalu melakukan upaya penyerangan terhadap daerah Bandung Selatan. Peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot sebagai kajian dalam tulisan ini adalah merupakan akibat dari pertentangan antara pihak Sekutu dan Belanda dengan pihak Indonesia. Kedudukan Belanda di Bandung terutama di Dayeuh kolot telah mengancam dan meresahkan keamanan masyarakat setempat terutama para pejuang, tekanan yang terus dilakukan oleh pihak Belanda yang dilakukan secara terus-menerus mengakibatkan muncul gagasan dari para pemuda Bandung seperti Muhamad Toha untuk menghancurkan pusat pertahanan Belanda yang berada di Dayeuh kolot. Untuk seterusnya adanya peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot ini membawa pengaruh atau akibat terhadap munculnya peristiwa dibelakangnya, yaitu adanya upaya serangan balasan yang dilakukan secara besar-besaran yang dilakukan tentara Belanda terhadap kekuatan Indonesia di Bandung Selatan.
Peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot 1946 adalah salah satu bukti dari bentuk kemarahan sekelompok orang terhadap kedudukan Belanda di Dayeuh kolot yang selalu mengintimidasi dan menyerang daerah di kawasan Bandung Selatan. Dalam hal ini meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot adalah suatu cara untuk melemahkan kekuatan Belanda yang berada di Dayeuh kolot dimana Daerah ini merupakan pusat kekuatan Belanda di Bandung Selatan. Tindakan peledakan gedung mesiu Dayeuh kolot juga merupakan suatu tindakan jawaban para pemuda Bandung Selatan yang menggambarkan semangat patriotik karena seperti dikemukakan di atas bahwa sebagai cara yang dapat diambil untuk menghancurkan Belanda adalah menghancurkan pusat pertahanannya yaitu Dayeuh kolot. Semangat patriotik dalam peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot merupakan suatu yang dapat dibanggakan dalam perkembangan sejarah Kabupaten Bandung pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Comments

  1. kag bade tumaros, upami bangunan tilas pemerintahan kabupaten bandung di dayeuhkolot masih bisa katingal ayeuna? upasi masih aya, di palih mana? Dayeuhkolot ayeuna pinuh ku pamukiman sareng pertokoan, tilas kareta api nu ngahubungkeun bandung nepi ka ciwidey oge tos katutup ku bumi warga.
    hatur nuhun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. tos teu aya ruruntukna kang, numawi ieu rupina nu kedah di gali ku urang-urang teh margi tos kaleungiteun obor geuning urang teh

      Delete
  2. hiji deui, eta gambar na teu muncul.

    ReplyDelete
  3. kp,ranca getih dayeuhkolot,,jadi kp.manggadua,,kampung halaman uink...hahaha,,,haturnuhun kang,,

    ReplyDelete

Post a Comment

Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona