SEJARAH DAYEUHKOLOT, IBU KOTA KABUPATEN BANDUNG KAPUNGKUR
Di
 sebelah Barat daerah kekuasaan Mataram, tepatnya di utara kaki Gunung 
Geulis, mengalir sebuah sungai besar yang menjadi ciri atas berdirinya 
Kerajaan Tarumanagara. Sungai yang dimaksud yaitu sungai Citarum, Ci berasal dari kata Cai yang berarti air dan Tarum
 yaitu semacam Perdu (tumbuhan) yang tumbuh di tepi sungai itu. Apabila 
daun perdu itu terkena rendaman air sungai, maka air itu akan berwarna 
hitam. Tumbuhan perdu biasanya sering digunakan oleh wanita pada masa 
itu untuk mencuci rambut. Keadaan tanahnya landai sehingga mudah 
digunakan untuk lalu-lalang orang dengan mempergunakan rakit 
penyeberangan (Rini, Dayeuh Kolot. 2005:2). 
  
Dengan semakin ramainya orang menggunakan daerah itu, maka lambat laut daerah itu menjadi  daerah
 persinggahan dan perdagangan. Pada awal abad ke-17, di daerah ini 
dibentuk organisasi pemerintahan untuk menata, menyusun dan menertibkan 
masyarakat dan tata lingkungan hidupnya dalam segala hal sampai dengan 
penetapan pemakaian nama daerah ini yaitu Karapyak/Krapyak yang artinya nama rakit penyebrangan yang dibuat dari batangan bambu. 
  
Pada
 perkembangan selanjutnya daerah ini dikuasai oleh Kerajaan Mataram. 
Namun demikian, Pada tahun 1600-an terjadi suatu pemberontakan yang 
dilakukan Dipati Ukur terhadap Mataram. Pemberontakkan itu terjadi 
ketika pemerintahan Mataram tengah mengalami kelemahan akibat peperangan
 melawan VOC sehingga keadaan tersebut dimanfaatkan oleh Dipati Ukur 
untuk melepaskan diri dari Kekuasaan Mataram. Meskipun menjadi lemah, 
Pemerintahan Mataram sadar bilamana pemisahan ini tidak ditindak, wibawa
 Mataram dalam waktu pendek akan hilang di seluruh Jawa. Pada tahun 1632
 pemberontakan tersebut berakhir dengan menyisakan dampak berupa 
kekosongan kekuasaan di Priangan. Sementara itu, pihak Kerajaan Mataram 
berusaha untuk menguasai Priangan kembali karena daerah itu merupakan 
benteng pertahanan Mataram di bagian barat terhadap kemungkinan serangan
 tentara VOC. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kerusuhan di
 daerah Priangan yang mengancam kekuasaan Mataram seperti yang dilakukan
 oleh Dipati Ukur, maka Sultan Agung memecah Priangan menjadi beberapa 
daerah kabupaten yang masing-masing diperintah oleh seorang mantri agung
 (bupati) (Robert Vaskuil, 2007: 9). 
  
Sultan
 Agung memecah daerah Priangan menjadi tiga kabupaten, yakni Bandung, 
Sukapura, dan Parakanmuncang. Pembentukan ketiga kabupaten tersebut  ditandai
 dengan pengangkatan Ki Astamanggala sebagai Bupati Bandung dengan gelar
 Tumenggung Wiraangun-angun, Tumenggung Wiradadha sebagai Bupati 
Sukapura, dan Tumenggung Tanubaya sebagai Bupati Parakanmuncang. 
Pelantikan ketiga orang bupati tersebut berlangsung di ibukota Mataram 
dan dinyatakan dalam piagam Sultan Agung. Piagam tersebut 
merupakan bukti sejarah yang kuat yang menyatakan adanya daerah bernama 
Bandung dan di daerah itu dibentuk pemerintahan kabupaten. Setelah 
ketiga orang bupati tersebut dilantik oleh Sultan Agung di ibukota 
Mataram, maka merekapun kembali ke daerah masing-masing dan mencari 
tempat untuk ibukota kabupaten. Dengan mendapat surat pengangkatan dari 
Mataram, Tumenggung Wiraangun-angun kembali dari Mataram ke wilayah 
Tatar Ukur, tepatnya di Timbanganten (Robert Vaskuil, 2007: 9). 
Selanjutnya pada tahun 1670 Tumenggung Wiraangun-angun membangun pusat 
pemerintahannya di suatu tempat di tepi Sungai Citarum dekat muara 
Sungai Cikapundung, tidak jauh dari pertemuan Sungai Citarum dengan 
Sungai Citarik. Tempat yang dimaksud adalah Krapyak yang kemudian dijadikan ibukota Kabupaten Bandung. (Ekadjati, 1981: 14).
 
Krapyak dipilih sebagai ibukota kabupaten didasarkan beberapa pertimbangan. Pertama,
 tempat itu terletak di tepi Sungai Citarum dan tidak jauh dari muara 
Sungai Cikapundung. Dengan demikian, dari segi kepentingan komunikasi 
daerah yang dilintasi Sungai Citarum ini merupakan penghubung dengan 
daerah-daerah Mataram di pantai utara sedangkan dari segi transportasi, 
lokasi Krapyak cukup baik karena waktu itu transportasi yang cukup cepat
 dan hanya dapat dilakukan melalui sungai yang dapat dilayari perahu 
atau rakit. Kedua, lahan daerah Krapyak cukup subur dan dekat 
dengan sumber air sehingga sangat memungkinkan bagi berlangsungnya 
kehidupan penduduk.
  
Berkat
 kepemimpinan Tumenggung Wiraangun-angun, daerah ini mengalami kemajuan 
yang pesat. Namun, Pada abad ke-19 tepatnya pada tanggal 25 Mei 1811 
Gubernur Jendral Daendels memerintahkan untuk mengadakan pemindahan 
ibukota kabupaten dari Krapyak ke utara karena Krapyak selalu dilanda 
banjir dan dalam rangka pembangunan jalan raya pos (Groote postweg),
 yaitu jalan raya yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur 
sepanjang 1000 km yang di Priangan sendiri, jalan raya tersebut 
membentang dari Cianjur melalui Kabupaten Badung ke Sumedang. Namun 
demikian, jalan raya pos tersebut ternyata tidak melalui Krapyak 
melainkan 10 km di sebelah utara Krapyak sebagai jalan poros.
  
Untuk
 mempercepat proses pemindahan ibukota tersebut maka Daendels mengirim 
utusannya dengan maksud menyampaikan usul dan perintah agar kabupaten 
dipindahkan dari tempat semula di tepi sungai Citarum ke sebelah utara. 
Perintah tersebut ternyata ditolak, bahkan salah seorang petinggi 
pemerintahan waktu itu, Tubagus Anom menentang dengan keras rencana 
Gubernur Jendral Daendels itu sehingga ia ditangkap dan akhirnya di 
hukum mati. Untuk kedua kalinya Belanda mengirim utusan dengan maksud 
berunding dan memecahkan masalah tersebut. Akhirnya setelah dilaksanakan
 perundingan, maka kabupaten dipindahkan. Adapun daerah yang dijadikan 
pemerintahan baru itu terletak di bagian tengah wilayah Bandung dengan 
memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi, dekat dengan sumber air, 
dikelilingi gunung dan pegunungan serta berada di titik poros Jalan Raya
 Pos yang sedang dibangun. Dengan demikian, dari berbagai segi, tempat 
itu sangat baik untuk ibukota dan pemukiman.
  
Setelah
 ibukota dipindahkan ke utara, di pinggir Groote Postweg yang baru, maka
 Karpyak ditinggalkan sehingga segala hal yang menyangkut kehidupan 
pemerintahan dan perekonomian beralih ke daerah baru. Oleh karena itu, 
kota lama (Krapyak) namanya diganti menjadi Dayeuh kolot (dalam Bahasa 
Sunda Dayeuh berarti kota, kolot berarti lama/tua). Orang-orang Belanda menyebutnya dengan Oude Negorij atau negeri lama (Robert Vaskuil, 2007: 10).
  
Kini,
 Dayeuh kolot merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten 
Bandung, tepatnya di Bandung Selatan dengan luas wilayah 985.149,5 ha. 
Secara astronomis Kecamatan Dayeuh kolot terletak pada 107 035’24’’-107037’48’’ Bujur Timur dan 6057’36’’-6059’24’’
 Lintang Selatan. Secara administrasi Kecamatan Dayeuh kolot termasuk 
wilayah Kabupaten Bandung yang berbatasan langsung dengan:
  
1.       Kotamadya Bandung di sebelah utara
  
2.       Kecamatan Bojongsoang di sebelah timur
  
3.       Kecamatan Baleendah di secelah selatan
  
4.       Kecamatan Margahayu di sebelah barat (Profil Kecamatan Dayeuh Kolot  Tahun 2008 dan hasil wawancara dengan Bapak Atiek).
  
Secara
 geografis letak Kecamatan Dayeuh kolot sangat strategis karena 
merupakan salah satu daerah penyangga antara pusat kota dengan daerah di
 sekitarnya. Selain itu, Dayeuh kolot dilalui oleh jalur jalan raya yang
 menghubungkan Kota Bandung dengan wilayah Bandung Selatan. Jarak tempuh
 Dayeuh kolot dari Kota Bandung adalah 13 km dengan waktu tempuh sekitar
 satu jam.
  
Peta 4.1
  
Peta Kecamatan Dayeuh kolot
  
(Sumber: diolah dari profil Kecamatan Dayeuh kolot dan hasil wawancara dengan Bapak Atik tanggal 28 Januari 2008).
  
Secara
 historis, ditinjau dari letaknya pada tahun 1946, daerah ini merupakan 
daerah yang strategis karena merupakan penghubung antara wilayah 
kekuasaan Belanda di sebelah utara dan kekuasaan Indonesia di sebelah 
selatan. Hal itu didukung dengan dijadikannya Dayeuh kolot sebagai 
tempat penyimpanan amunisi Belanda di kawasan Bandung Selatan dan 
sebagai tempat pertahanan terdepan pejuang Indonesia 
(http://yulian.firdaus.or.id). Letak Dayeuh kolot yang strategis itu di 
dukung pula dengan adanya alat transportasi yang memungkinkan para 
penduduknya untuk mengunjungi tempat lain. Transportasi yang dimaksud 
adalah mobil, kereta kuda dan sepeda. Dayeuh kolot dilalui oleh sungai 
besar yaitu sungai Citarum.
  
Iklim di Dayeuh kolot  yaitu tropis agak basah (farrly wet) dengan suhu 280 C- 320
 C. Dayeuh kolot memiliki curah hujan yang tinggi yaitu 2.102 mm/t 
sehingga tidak heran apabila daerah ini berpotensi untuk menghasilkan 
hujan yang lebih banyak. Disamping itu, ditinjau dari kondisi 
topografinya, Dayeuh kolot terletak pada ketinggian 600 m dpl dengan 
wilayah yang relatif datar sehingga wilayah Dayeuh kolot rentan dilanda 
banjir. Hal itu pula yang dijadikan salah satu faktor penyebab 
dipindahkannya ibukota kabupaten ke wilayah pinggir Groote Postweg, 
Bandung. 
  
Pada
 umumnya wilayah Dayeuh kolot pada tahun 1946 masih didominasi oleh 
hamparan tanah yang ditumbuhi tanaman liar disamping wilayah pertanian 
yang dialiri sungai Citarum yang melewati daerah tersebut. Penduduk 
Dayeuh kolot sebagian besar terdiri dari etnis Sunda, tetapi ada juga 
yang berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa. Adapun agama yang dianut oleh
 sebagian besar penduduk Dayeuh kolot adalah agama Islam, dan sebagian 
kecil penduduk Dayeuh kolot menganut agama Protestan dan Kong Hu Chu. 
  
Ketika
 terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api yang mengakibatkan adanya 
pengungsian besar-besaran ke wilayah Bandung Selatan, daerah ini 
dijadikan salah satu tujuan pengungsian sehingga menyebabkan 
bertambahnya jumlah penduduk pada masa itu. Namun demikian, pertambahan 
jumlah penduduk tidak berlangsung lama setelah daerah itu diduduki oleh 
tentara Sekutu. Sebagian besar penduduk pindah ke wilayah yang lebih 
aman seperti Banjaran, Majalaya, Garut dan lain-lain. Oleh karena itu, 
secara drastis jumlah penduduk Dayeuh kolot pada waktu itu menurun 
(wawancara dengan Bapak Atik tanggal 28 Januari 2008). 
  
Dayeuh Kolot Diduduki Sekutu
  
Setelah
 Kota Bandung di kosongkan, pada tanggal 25 Maret 1946 tentara Inggris 
(Sekutu) memasuki kawasan Bandung Selatan. Dengan dikuasainya Kota 
Bandung dan sekitarnya, tugas pasukan Sekutu menduduki kota-kota penting
 di Jawa Barat telah selesai. Tercapai pulalah rencana strategi 
pendudukan Sekutu, untuk menyiapkan Jawa Barat sebagai wilayah pangkalan
 yang sekaligus kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia 
(Adeng, 1995: 87).
  
Dikuasainya
 Bandung tidaklah menyurutkan Sekutu dalam melakukan penyerangan untuk 
memperluas kekuasaan, Sekutu mencoba memperluas kekuasaannya dengan 
melewati batas kota yang telah ditentukan (Lasjkar, 5 Maret 194, hal 1 
kol 3). Sekutu mulai melakukan penyerangan terhadap kawasan luar 
Bandung, seperti Bandung Barat dan Bandung Timur. Tetapi, tidak ada 
perlawanan yang berarti dari pihak Indonesia karena keadaan pada saat 
itu terdesak sehingga pihak Indonesia mundur. Namun demikian, dalam 
keadaan mundur para pejuang Indonesia telah bersiap-siap menghadapi 
segala kemungkinan. 
  
Setelah
 upaya perluasan kekuasaan ke wilayah Barat dan Timur Bandung berhasil 
dilaksanakan, maka Jenderal Hawthorn, panglima tentara Sekutu di Bandung
 berusaha menduduki Dayeuh kolot, sebagaimana dinyatakan dalam Iriwadi 
dan Amrin Imron (1985: 161) bahwa:“Setelah Bandung dikuasai 
Sekutu, sifatnya yang kolonialistis itu mendorongnya untuk meluaskan 
gerakannya ke arah selatan sehingga Dayeuh kolot pun mereka duduki“.
  
Peta 4.3
  
Dayeuh kolot pasca diduduki Sekutu
  
(Sumber: diolah dari Iriwadi dan Amron Imron. Peranan Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan. 1985: 123., dan hasil wawancara dengan Bapak Atik tanggal 28 Januari 2008).
  
Dayeuh
 kolot memiliki nilai penting bagi Sekutu dan Belanda, karena merupakan 
daerah langsung yang berbatasan dengan daerah kekuasaan para pejuang 
Indonesia. Disamping itu, di Dayeuh kolot terdapat sebuah bangunan 
bertingkat dua yang semula adalah gudang penyimpanan alat-alat listrik 
bagi wilayah Priangan sehingga gedung itu disebut gedung listrik. Oleh 
Sekutu dan Belanda gedung itu dijadikan gudang penyimpanan senjata, 
mesiu, bahan peledak, dan perlengkapan militer lainnya. Mengenai gudang 
ini, Barisan Banteng Republik Indonesia wilayah Priangan memberi 
penjelasan bahwa:
  
“...kira-kira
 200 m sebelah timur dari jembatan Citarum, Dayeuh kolot nampaklah 
sebuah bangunan bertingkat dua, terbuat daripada beton, yang dahulu 
dipergunakan sebagai gedung pusat penyimpanan alat-alat listrik daerah 
Priangan. Pada waktu yang akhir-akhir ini gedung itu dijelmakan menjadi 
benteng pertahanan musuh yang kokoh kuat. Dari peluru meriam dan 
mitraliur ke arah pertahanan pemuda-pemuda. Hal inilah yang menimbulkan 
amarahnya pemuda Bandung, keadaan gedung yang letaknya jelas menjulai 
itu mencolok...selain dari pada gedung itu, adalah pula sebuah beton 
yang letaknya tidak jauh dari gedung listrik tadi. Adapun letaknya di 
kampung Pesayuran dan di jaman Belanda dipergunakan sebagai tempat 
penyimpanan alat-alat perang“. (Ekadjati, 1981: 259).
  
Dalam
 upaya penyerangan yang dilakukan Sekutu dan Belanda terhadap kawasan 
Bandung Selatan, gudang ini menjadi tempat yang amat penting bagi Sekutu
 sebagai pertahanan terdepan menghancurkan pos-pos pertahanan para 
pejuang Indonesia di kawasan Selatan Bandung (wawancara dengan Bapak 
Sule Sulaeman tanggal 9 September 2008). 
  
Didudukinya
 Dayeuh kolot senantiasa mempermudah akses untuk menguasai secara 
keseluruhan kawasan Bandung selatan. Surat kabar Boeroeh yang terbit 
pada saat itu mengabarkan bahwa pada tanggal 27 Maret 1946 telah mulai 
terdengar dentuman meriam yang digambarkan sebagai suatu pertempuran 
yang terjadi di Dayeuh kolot ke arah selatan (Boeroeh, 28 Maret 1946. 
hal 2 kolom 1-3). 
  
Serangan-serangan
 terus dilakukan pihak Sekutu dan Belanda setelah mereka menguasai 
Dayeuh kolot sehingga situasi daerah itu penuh dengan ketegangan. 
Didudukinya Dayeuh kolot oleh Sekutu dan Belanda mengakibatkan lumpuhnya
 kegiatan roda pemerintahan, ekonomi dan pertahanan karena sarana dan 
prasarana banyak mengalami kerusakan berat akibat seringnya terjadi 
penyerangan dan pengeboman yang dilakukan oleh tentara Sekutu dan 
Belanda terhadap Dayeuh kolot sehingga penduduk setempat sebagian besar 
melakukan pengungsian ke selatan yaitu Pameungpeuk, Ciparay dan 
Banjaran. Dengan ditinggalkannya Dayeuh kolot oleh penduduk maka daerah 
ini sampai sekarang hanya memiliki sedikit penduduk yang benar-benar 
asli. Hal senada diungkapkan oleh Bapak Sulaeman dalam pernyataan 
berikut ini:
  
“Sekarang
 mah nggak ada penduduk Dayeuh kolot yang benar-benar dari dulu menetap 
disini. Kalaupun ada, paling itu cuma sedikit...da yang bapa tahu mereka
 pada ngungsi karena kondisi perang. Kondisi Dayeuh kolot pada waktu itu
 sangat terancam, Inggris terus-menerus melancarkan serangan ke Dayeuh 
kolot sehingga wargapun banyak yang meninggalkan rumahnya karena merasa 
tidak aman untuk tinggal di sana dengan kondisi yang semakin genting... 
Tidak ada kegiatan apapun yang dilakukan di sana, walaupun awalnya 
Dayeuh kolot adalah pangkalan bagi pejuang kita...setelah kejadian itu, 
para pejuang kita memindahkan pangkalan ke Baleendah. Di sanalah para 
pejuang, baik itu laskar ataupun yang lainnya berupaya mengembalikan 
kembali daerah yang telah diduduki “(wawancara tanggal 9 September 
2008).
  
Para
 pemuda pejuang maupun rakyat yang meninggalkan Dayeuh kolot pergi 
meninggalkan rumah tanpa membawa barang berharga, mereka pergi membawa 
barang seadanya sehingga dengan dikosongkannya Dayeuh kolot oleh 
penduduknya, maka rumah-rumah yang kosong banyak dirampok (wawancara 
dengan Bapak Sule Sulaeman tanggal 9 September 2008).
  
Didudukinya
 Dayeuh kolot tidak menyulutkan semangat pemuda Indonesia yang berada di
 wilayah Bandung Selatan untuk berusaha merebut kembali Dayeuh kolot 
dari pihak Sekutu dan Belanda. Pada tanggal 13 April 1946 terjadi kontak
 senjata antara Sekutu dan Belanda dengan pejuang Indonesia di Dayeuh 
kolot selama enam jam dengan menewaskan dua serdadu Belanda dan beberapa
 orang luka-luka. (Berita Indonesia. 25 April 1946). Upaya merebut 
Dayeuh kolot ini merupakan bagian dari upaya untuk merebut kembali kota 
Bandung. Oleh karena itu, peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot
 ini tidak dapat dilepaskan dari peristiwa sebelumnya.
  
Sementara
 itu terjadilah suatu peristiwa pemindahan kekuasaan militer dari tangan
 Sekutu kepada Belanda pada tanggal 15 April 1946 dibawah pimpinan 
Kolonel Meyer (Lasjkar. 3 Djoeni 1946. hal 2, Kolom 4).
 Dengan adanya peristiwa tersebut semakin jelaslah bahwa pengembalian 
penjajahan atau kekuasaan ke tangan Belanda merupakan bentuk kerjasama 
antara Sekutu dan Belanda. Dengan demikian, Belanda sepenuhnya kembali 
menjajah Republik Indonesia.  Sehubungan dengan 
peristiwa pemindahan kekuasaan dari tangan Inggris ke tangan Belanda, 
A.H Nasution (1978: 189) menungkapkan bahwa:
  
“...Bandung
 Selatan kemudian diserahkan oleh Divisi ke-23 kepada Belanda. Disinilah
 Brigade V di bawah pimpinan Kolonel Meyer ditugaskan. Dan buat pertama 
kali kita langsung berhadapan dengan Belanda di daerah Bandung. Terbukti
 mereka jauh lebih ganas dari tentara Inggris-India“.
  
Pemindahan
 kekuasaan tersebut dimaksudkan untuk melancarkan perang, yaitu sebagai 
usaha penaklukan terhadap rakyat Indonesia. Dengan maksud itulah Belanda
 berusaha melancarkan serangan ke segenap penjuru tanpa 
pembatasan-pembatasan lagi (Lasjkar. 26 April 1946). Dalam usaha 
memulihkan kekuasaannya, Belanda sangat aktif melakukan perang 
psikologis dan agitasi politik. Artinya, Belanda berusaha mencampuri 
urusan-urusan politik pemerintahan. Hal ini tentunya berbeda dengan 
Inggris (Sekutu) yang tidak mau mencampuri urusan pemerintahan sipil 
(Nasution, 1978:190).
  
Dalam
 kedudukannya di Bandung, Belanda melakukan patroli dengan aktif dan 
intensif. Selain itu Belanda lebih fanatik, mereka tidak puas dengan 
menduduki bangunan-bangunan penting dan jalan-jalan utama, tetapi juga 
melakukan penjagaan ketat. Pada tanggal 1 Mei Belanda melakukan 
penyerangan terhadap pos pertahanan Indonesia yang berkedudukan di 
Dayeuh kolot, sehingga terjadi kontak senjata. Tercatat 100 kali 
tembakan senjata berat ke daerah Dayeuh kolot. Peristiwa penyerangan 
tersebut menewaskan 5 orang warga sipil Indonesia (Merdeka. 2 Mei 1946).
  
Pada
 tanggal 27 Mei 1946 tentara Sekutu secara resmi meninggalkan kota 
Bandung. Sebagaimana halnya di kota-kota lain di Indonesia, kota Bandung
 diserahkan oleh Sekutu kepada tentara Belanda. Penyerahan tersebut 
tidak hanya dalam bidang militer, akan tetapi juga dalam bidang politik 
pemerintahan. Dalam bidang militer, segala tanggung jawab mengenai 
keamanan dan ketertiban di dalam maupun di luar kota Bandung telah 
menjadi kewajiban tentara Belanda beserta pemerintahan sipilnya. 
  
Pada
 tanggal 29 Mei 1946, tentara sekutu meninggalkan Kota Bandung. 
Sebagaimana halnya di kota-kota lain di Indonesia, Kota Bandung 
diserahkan oleh Inggris kepada tentara Belanda (NICA). Penyerahan 
tersebut tidak hanya dalam bidang militer saja, tetapi juga dalam bidang
 politik pemerintahan. Dalam bidang militer, segala tanggung jawab 
mengenai keamanan dan ketertiban di dalam maupun di luar Kota Bandung 
telah menjadi kewajiban tentara Belanda beserta pemerintahan sipilnya. 
Pada saat itu Inggris (Sekutu) menyerahkan mobil-mobil, perlengkapan 
perang dan persenjataan kepada Belanda.
  
Tembak-menembak
 pada saat itu masih sering terjadi, tentara Belanda berulangkali 
berusaha menguasai jembatan Citarum akan tetapi karena pertahanan rakyat
 sangat kuat di daerah tersebut, maka Belanda mengalami kegagalan dalam 
usahanya itu. Dalam berita yang dimuat dalam surat kabar Berdjoeang 
dikemukakan bahwa, pada tanggal 29 Mei 1946 sekitar pukul 08.30 Belanda 
menerobos garis pertahanan rakyat di Buah batu. Mereka menggunakan 
kendaraan sebanyak 27 truk yang didahului oleh gerakan mata-mata yang 
menyamar sebagai tentara Indonesia. Dalam perjalanan menuju Sapan, 
pasukan Belanda melepaskan tembakan-tembakan sehingga terjadi 
pertempuran yang terjadi sampai pukul empat sore. Setelah itu, pasukan 
Belanda mengundurkan diri karena mereka tidak mampu menahan serangan 
balasan dari Barisan Rakyat. Dikabarkan dua orang diantara mereka tewas 
dan puluhan orang menderita luka-luka. Pada sore itu juga Belanda 
melepaskan tembakan, yaitu serangan balasan dari Belanda ke daerah 
Kulalet sehingga di daerah ini pun terjadi lagi pertempuran. Belanda 
kerap kali melakukan serangan-serangan ke wilayah selatan sehingga 
kedudukan pejuang semakin terdesak. Berdasarkan hasil wawancara dengan 
Bapak Sulaeman (7 September 2008), serangan-serangan yang dilakukan 
Belanda ini didukung dengan persenjataan yang kuat yang bersumber di 
gudang mesiu Dayeuh kolot. Belanda menggunakan gudang mesiu ini sebagai 
dasar penyerangan untuk melumpuhkan kekuatan pejuang di Bandung Selatan.
  
Muhamad
 Toha merasa kesal dengan tindakan-tindakan Belanda, sehingga ia berniat
 untuk menghancurkan gudang mesiu itu. Oleh karena itu, ia menyampaikan 
rencananya untuk menghancurkan gudang mesiu itu kepada atasannya. Akan 
tetapi, atasannya tidak menyetujui rencana Muhamad Toha tersebut 
sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Garut. Namun demikian, tekadnya 
untuk menghancurkan gudang mesiu itu semakin kuat sehingga pada tanggal 8
 Juli 1946 Muhamad Toha kembali ke Bandung dan besoknya ia menyampaikan 
permohonannya kembali dan akhirnya diterima. Komandan MP3 Soetoko 
kemudian menindaklanjuti permohonan Muhamad Toha dengan mengadakan 
pertemuan dengan semua badan perjuangan yang bermarkas di Ciparay di 
rumah Bapak Utju, seorang anggota Pesindo yang kaya yang menjadikan 
rumahnya sebagai markas perjuangan pertahanan priangan (MP3) (sekarang 
di Jalan Empang). Adapun hasil dari pertemuan tersebut adalah:
  
1. Tanggal
 10 Juli 1946 pusat pertahanan Belanda di Bandung Selatan harus 
dihancurkan dengan cara meledakkan gudang mesiu yang terletak di Dayeuh 
kolot.  
  
2. Dikerahkan perwakilan dari tiga kelaskaran untuk menjalankan penghancuran gudang mesiu Dayeuh kolot.
  
Berdasarkan
 hasil kesepakatan tersebut, diputuskan bahwa ketiga kesatuan itu adalah
 Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Hisbullah dan Barisan 
Pangeran Papak. Dari ketiga laskar tersebut, hanya sebelas orang yang 
diberi mandat untuk melaksanakan tugas menghancurkan gudang mesiu yang 
dibentuk dalam suatu formasi kecil karena tidak mungkin dengan pasukan 
besar mengingat Dayeuh kolot adalah wilayah terbuka dan kedudukan musuh 
lebih strategis.
  
Kesebelas
 orang tersebut kemudian berangkat dari Ciparay untuk melaksanakan 
tugas. Tugas yang diemban oleh kesebelas orang tersebut sangatlah berat,
 namun dengan tekad yang kuat disertai kemampuan mengenal medan yang 
baik maka merekapun berangkat. Kesebelas orang tersebut dilengkapi 
dengan persenjataan berupa karaben dan pistol serta setiap anggota 
pasukan membawa dua atau tiga granat yang digantungkan di pinggang 
masing-masing (Riva’i, 1983: 136).
  
Peta 4.4
  
Rute perjalanan Muhamad Toha dkk dalam misi peledakan gudang mesiu Dayeuh kolot
  
 (Sumber:
 diolah dari Riva’i. Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 
17 Agustus 1945. 1983: 136-137 dan hasil wawancara dengan Bapak Suntana 
tanggal 7 November 2007).
  
Seperti
 terlihat pada peta 4.4 bahwa Sebelum tiba ke tempat tujuan, terlebih 
dahulu mereka singgah di Pasir Cina. Hal itu dituturkan oleh Lettu purn.
 S. Abbas (Riva’i, 1983: 136), komandan Seksi III Kompi III, Barisan 
Pemberontak Rakyat Indonesia bahwa: 
  
Pada
 sore hari tanggal 9 Juli 1946 pasukan BPRI yang bertahan di Pasir Cina 
yang terletak di seberang kali Citarum bagian Timur Dayeuh kolot 
menerima tamu dari Ciparay yang terdiri dari dua regu pasukan yang 
masing-masing dipimpin oleh Muhamad Toha dari BBRI, dan Achmad dari 
BPRI-Pangeran Papak.
  
Komandan
 S. Abbas kemudian melaporkan kedatangan dan tujuan pasukan Muhamad Toha
 kepada komandan Batalyon BPRI Muhamad Riva’i. Kemudian Muhamad Riva’i 
menugaskan S. Abbas untuk mendampingi pasukan Muhamad Toha. Selanjutnya 
dijelaskan dalam buku Rivai (1983: 136) bahwa pasukan Muhamad Toha tidak
 membawa perbekalan untuk makan sehingga S.Abbas memberikan makanan yang
 merupakan persediaan terakhir pasukannya kepada Muhamad Toha. Pada 
malam hari Muhamad Toha melakukan percakapan dengan S. Abbas. Percakapan
 itu direkonstruksi oleh S. Abbas (1983: 136) sebagai berikut:
  
“Bang,
 mana tahu entah ajal saya tiba, tolong sampaikan salam maaf saya 
terhadap ibu saya. Katakan bahwa saya dengan segala keikhlasan hati 
menjalankan tugas ini, demi kepentingan tanah air dan bangsa. Demikian 
toha mulai pembicaraan.
  
“Insya
 Allah, pesanmu akan kusampaikan, kalau umurku panjang dan kalau kami 
bertemu. Tapi untuk tunanganmu ada pesan atau tidak? Tanya S. Abas.
  
Lalu Muhamad Toha menjawab “Ya, untuk dia juga“. Tapi bang, kami tidak akan menikah kalau kemerdekaan sepenuhnya belum tercapai.
  
Oh Begitu! Toha, kau yakin tugas ini akan sukses? Ya, sepenuhnya aku yakin! Gudang mesiu musuh itu pasti akan hancur lebur!.
  
Berdasarkan
 penuturan dari S. Abbas, maka pasukan Muhamad Toha mendapat penjagaan 
dari pasukan BPRI. Pada pukul 00.30 malam, pasukan Muhamad Toha dengan 
penjagaan pasukan BPRI secara menyebar bergerak mencapai tempat 
penyeberangan Dayeuh kolot yang letaknya dekat dengan gudang mesiu 
Belanda yang merupakan sasaran utama. Penyeberangan itu berjalan 
selamat, sementara pasukan BPRI bertahan di belakang desa Dayeuh kolot. 
Dikabarkan bahwa 25 menit kemudian terdengar suara ranjau meledak 
bersamaan dengan suara tembak menembak antara pihak Belanda dan pasukan 
Muhamad Toha.
  
Kontak
 antara pihak Belanda dan pihak Muhamad Toha menyebabkan banyak korban 
di pihak Muhamad Toha sehingga mereka kembali kecuali Muhamad Toha dan 
Muhamad Ramdan. Muhamad Toha sendiri tetap bertahan dengan kondisi luka 
parah di paha bahkan terus berjuang untuk masuk ke gudang mesiu 
(wawancara dengan Warta yang dikutip dari Riva’i dan Suntana tanggal 15 
November 2007). Komandan Riva’i yang mendengar laporan bahwa Muhamad 
Toha tetap bertahan di sekitar gudang mesiu meski dalam keadaan terluka 
memerintahkan agar S. Abbas mengadakan serangan ke tentara Belanda dari 
jurusan lain untuk mengalihkan perhatian tentara Belanda dan melapangkan
 bagi Muhamad Toha untuk menghancurkan gudang mesiu. Menurut S. Abbas, 
perintah Komandan Riva’i dilaksanakan pukul 9 pagi. Dengan menghindar ke
 arah timur sekitar 100 m, pasukan S.Abbas melakukan serangan ke arah 
gudang mesiu sehingga terjadi pertempuran antara pihak S.Abbas dengan 
tentara Belanda. Sekitar pukul 12.30 terdengar suara dahsyat yang 
mengejutkan seluruh warga kota, bahkan terdengar hingga 70 km dari pusat
 ledakan. 
  
Disadari
 atau tidak, peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Juli 1946 di Dayeuh 
kolot telah berdampak serius terhadap seluruh kehidupan terutama aspek 
pertahanan dan keamanan pada masyarakat Bandung, khususnya Dayeuh kolot.
 Secara tidak langsung peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot 
ini tidak hanya berdampak terhadap pada orang-orang yang terlibat 
sebagai korban utamanya, tetapi juga telah berdampak langsung terhadap 
kondisi kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat di Bandung 
Selatan.  
  
Menurut
 A.H Nasution (1978: 431), terdapat 1.100 ton mesiu yang meladak 
sehingga mengakibatkan 18 orang meninggal dan lebih dari 50 orang 
menderita luka-luka serta dua kampung habis terbakar disamping 
bengunan-bangunan penting milik Belanda yang ikut terbakar. Di tempat 
penimbunan amunisi itu sendiri terjadi lubang yang luasnya sekitar 
100x60 m. (Robert Vaskuil, 2007: 165 ). 
  
Setelah
 peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot, kegiatan perekonomian 
di Dayeuh kolot lumpuh total. Tidak ada kegiatan perekonomian yang 
dilakukan oleh masyarakat karena pada waktu itu jalan-jalan yang berada 
di Dayeuh kolot dipasifkan. Walaupun sebelum peristiwa meledaknya gudang
 mesiu terjadi, perekonomian di wilayah ini berkembang sangat lambat 
akibat ditinggalkan penduduknya. Dengan adanya peristiwa meledaknya 
gudang mesiu ini, situasi perekonomian semakin lumpuh. Sawah-sawah 
terlantar akibat tidak ada yang mengurus sehingga pertanian di daerah 
ini banyak mengalami kegagalan (wawancara dengan Bapak Atik dan Sule 
Sulaeman). 
  
Dalam
 bidang militer, surat kabar Merdeka (12 Juli 1946. Hal 1, kolom 1) 
mengabarkan bahwa beberapa saat setelah meledaknya gudang mesiu 
tersebut, tentara Belanda langsung mengerahkan tentaranya untuk 
melakukan penyerangan secara besar-besaran ke daerah Selatan Dayeuh 
kolot, tempat dimana terdapat pos-pos pejuang Bandung seperti yang 
diberitakan oleh surat kabar Merdeka (12 Juli 1946 Hal 1, kolom 1) 
bahwa:
  
         Djam
 17.30 sebuah pesawat terbang Belanda sebagai serangan pembalasan 
mendjatoehkan granat-granat dan bom di dekat Pamongpeuk, 
Banjaran...letoesan-letusan terdjadi...Beberapa orang penduduk mati dan 
loeka-loeka.
  
Hancurnya
 tempat penyimpanan amunisi Belanda untuk kawasan Bandung Selatan ini 
ternyata bukan melemahkan kekuatan Belanda malah semakin intensifnya 
Belanda melakukan penyerangan ke daerah selatan Dayeuh kolot. 
Penyerangan dilakukan secara terus menerus selama berhari-hari sehingga 
keadaan semakin tidak menentu. 
  
Sejarah
 sebagai rangkaian peristiwa atau kejadian tidak berdiri sendiri satu 
sama lainnya. Terjadinya suatu peristiwa disebabkan oleh peristiwa yang 
mendahuluinya yaitu faktor penyebab. Peristiwa senantiasa dipandang 
sebagai suatu akibat dari pertemuan dan pertentangan antara golongan 
yang satu dengan golongan yang lain. Dalam sejarah terjadinya suatu 
peristiwa disebabkan adanya sebab dan akibat. Berdasarkan pemikiran 
teori Kausalitas, maka peristiwa timbul disebabkan oleh adanya 
serangkaian peristiwa yang mendahuluinya. Peristiwa yang mendahuluinya 
secara konkrit berupa rentetan Peristiwa Bandung Lautan Api serta 
diduduki dan dijadikannya Dayeuh kolot sebagai basis kekuatan Belanda di
 Bandung Selatan yang menyebabkan kekuatan pemuda Indonesia menjadi 
terdesak dan keadaan keamanan yang terus-menerus tidak kondusif karena 
tentara Belanda selalu melakukan upaya penyerangan terhadap daerah 
Bandung Selatan. Peristiwa meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot sebagai 
kajian dalam tulisan ini adalah merupakan akibat dari pertentangan 
antara pihak Sekutu dan Belanda dengan pihak Indonesia. Kedudukan 
Belanda di Bandung terutama di Dayeuh kolot telah mengancam dan 
meresahkan keamanan masyarakat setempat terutama para pejuang, tekanan 
yang terus dilakukan oleh pihak Belanda yang dilakukan secara 
terus-menerus mengakibatkan muncul gagasan dari para pemuda Bandung 
seperti Muhamad Toha untuk menghancurkan pusat pertahanan Belanda yang 
berada di Dayeuh kolot. Untuk seterusnya adanya peristiwa meledaknya 
gudang mesiu Dayeuh kolot ini membawa pengaruh atau akibat terhadap 
munculnya peristiwa dibelakangnya, yaitu adanya upaya serangan balasan 
yang dilakukan secara besar-besaran yang dilakukan tentara Belanda 
terhadap kekuatan Indonesia di Bandung Selatan.   
  Peristiwa
 meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot 1946 adalah salah satu bukti dari 
bentuk kemarahan sekelompok orang terhadap kedudukan Belanda di Dayeuh 
kolot yang selalu mengintimidasi dan menyerang daerah di kawasan Bandung
 Selatan. Dalam hal ini meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot adalah 
suatu cara untuk melemahkan kekuatan Belanda yang berada di Dayeuh kolot
 dimana Daerah ini merupakan pusat kekuatan Belanda di Bandung Selatan. 
Tindakan peledakan gedung mesiu Dayeuh kolot juga merupakan suatu 
tindakan jawaban para pemuda Bandung Selatan yang menggambarkan semangat
 patriotik karena seperti dikemukakan di atas bahwa sebagai cara yang 
dapat diambil untuk menghancurkan Belanda adalah menghancurkan pusat 
pertahanannya yaitu Dayeuh kolot. Semangat patriotik dalam peristiwa 
meledaknya gudang mesiu Dayeuh kolot merupakan suatu yang dapat 
dibanggakan dalam perkembangan sejarah Kabupaten Bandung pada khususnya 
dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
hatur nuhun kang
ReplyDeleteijin share
Mangga wilujeng teh..
Deletekag bade tumaros, upami bangunan tilas pemerintahan kabupaten bandung di dayeuhkolot masih bisa katingal ayeuna? upasi masih aya, di palih mana? Dayeuhkolot ayeuna pinuh ku pamukiman sareng pertokoan, tilas kareta api nu ngahubungkeun bandung nepi ka ciwidey oge tos katutup ku bumi warga.
ReplyDeletehatur nuhun.
tos teu aya ruruntukna kang, numawi ieu rupina nu kedah di gali ku urang-urang teh margi tos kaleungiteun obor geuning urang teh
Deletehiji deui, eta gambar na teu muncul.
ReplyDeletekp,ranca getih dayeuhkolot,,jadi kp.manggadua,,kampung halaman uink...hahaha,,,haturnuhun kang,,
ReplyDelete