Iket (ikat kepala, penutup kepala orang sunda)

13588323741119214377
tokoh masyrakat hingga tokoh musik, menggunakan iket (dok. Maria Hardayanto)

Banyak pihak yang menyayangkan, ketika Rieke-Teten sebagai representasi golongan muda Jawa Barat memilih baju kotak-kotak dalam pilkada Jawa Barat. Karena selain dianggap hanya bentuk plagiasi kampanye Jokowi. Rieke dan Teten juga tidak memahami masyarakat yang akan dipimpinnya.

Provinsi DKI Jakarta pimpinan Jokowi jelas berbeda dengan provinsi Jawa Barat. Penduduk DKI Jakarta adalah masyarakat urban yang heterogen. Seorang pendatang di Kota Jakarta tidak serta merta wajib menggunakan bahasa Betawi, beda halnya dengan di tanah Pasundan. Walau dihuni banyak pendatang tapi umumnya mereka mampu berbahasa Sunda, sehingga jangan heran apabila bertemu tukang bakso yang fasih berbahasa Sunda dengan dialek Jawa Tengah karena belum minum ‘jamu peluntur’ 

Busana khas etnis Sunda adalah baju pangsi dan iket. Iket yang pernah dianggap hanya digunakan masyarakat adat kini digunakan oleh kalangan anak muda. Berbagai komunitas yang semula identik dengan busana Western kini beralih pada iket, contohnya komunitas sepeda motor, Bike Brotherhood dan tokoh komunitas musik underground seperti Man Jasad dan Kimung Blast Core.

Fenomena baru? Mungkin juga, fenomena yang dicoba ejawantahkan oleh Ketua Masyarakat Sunda, Eka Santosa sebagai kerinduan akan tata nilai-nilai lokal. “Mereka merasa jenuh dengan modernisasi yang tidak menyelesaikan masalah. Bahkan merumitkan tradisi.” Sehingga ada keinginan kembali pada tata nilai tradisional.

Iket sebagai bagian budaya Sunda memiliki filosofi Makutawangsa yang digambarkan dalam tahapan; opat ka lima pancer. Bisa juga diartikan menyatukan diri dengan unsur-unsur utama alam: angin, cai (air), seuneu(api), taneuh(tanah). 

Keempat segi kain iket dilipat menjadi bentuk segitiga yang merupakan refleksi diri, bumi dan negeri. Dalam falsafah Sunda, refleksi ini dikenal dengan sebutan tritangtu, tiga kepastian yang berujung pada pendekatan dan berserah diri kepada Sang Pencipta.

Iket ternyata juga multi fungsi yaitu sebagai penutup kepala, pembawa barang dan perlambang status sosial, yaitu:
  • Teknik iket barangbang lazim digunakan kusir dan jawara.
  • Teknik iket koncer digunakan abdi dalam dan juragan.
  • Teknik iket lohen digunakan pasangan pengantin
  • Teknik iket parekos digunakan pedagang dan petani.
  • Teknik iket kuda mencar digunakan anak-anak.
Iket yang dipakai kepala Urang Sunda secara filosofis menandakan agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dan ngencar (lepas) dari kasundaan. Karena iket itu merupakan ikatan bagi pemakainya, agar tidak ingkah dari agama dan budayanya.

Filosofis tersebut dapat dipahami dengan mudah, ketika iket masih digunakan oleh masyarakat adat Cireundeu, Kampung Naga dan Cipta Gelar. Tetapi bagaimana dengan iket yang kini wajib digunakan oleh beberapa instansi daerah dan kelompok anak muda tertentu di Jawa Barat? Apakah hanya trend mode tanpa usaha pemaknaannya?

Mungkin menjadi harapan yang terlalu tinggi, walau pemakaian iket berperan dalam komunikasi pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Diharapkan warga menjadi lebih relaks dan tidak canggung dalam berinteraksi. Penggunaan iket juga diharapkan tidak sekedar menjadi ciri masyarakat Sunda (walau pemakaian iket bukan monopoli etnis Sunda), tetapi diharapkan dapat menggugah dalam berperilaku. “Malu dengan iket jika masih berbuat diluar Kesundaan,” kata Robby Maulana Dzulkarnaen, salah seorang pendiri Paguyuban Sundawani.

Motif dan cara pembuatan iket bisa cetak maupun tulis tapi umumnya memenuhi pakem yaitu pager, modang, waruga dan juru.
  • Pager adalah motif yang ada di sekeliling iket.
  • Modang, bentuk kotak bujur sangkar pada bagian tengah iket.
  • Waruga, bagian tengah iket yang polos.
  • Juru, motif yang ada disetiap ujung iket.
Jika dulu iket menunjukkan status sosial dan kelompok masyarakat adat yang diwakili, kini penggunaan iket lebih bervariasi, lebih kreatif. Bahkan terbentuk Komunitas Iket Sunda (KIS) yang gencar mempromosikan penggunaan iket terlebih pada generasi muda. Sehingga peminatnya bisa membeli/memesan iket yang teelahdibuat praktis bak peci.

Karena seperti kata budayawan Sunda dan pengajar Filsafat Seni STSI, Prof. Yakob Sumardjo: “Filsafat alam ada pada iket. Iket bak mandala (mata angin) yang memiliki pusat di bumi. Ketika dari lima menjadi satu, maka ia berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan yang satu. Setelah dekat dengan Tuhan, maka pemakainya akan tampak tampan luar dalam.”

Penulis pribadi merasakan perbedaan tersebut dalam setiap acara ritual masyarakat adat Sunda atau pertemuan resmi lainnya di Bandung. Mereka nampak tampan dalam kesatuan dengan alam, walau pemakainya seorang yang telah sesepuh berumur 80 tahun seperti Solihin GP. Karenanya sangat disayangkan ketika suatu komunitas yang mengusung isu go green memajang dua orang perwakilan masyarakat Baduy lengkap dengan baju pangsi dan iket dalam acara Kompasianiival 2012 di Gandaria City. Apa korelasinya? Apabila mau berbaik hati menjual hasil bumi masyarakat Baduy, silakan melakukannya tanpa menjadikan mereka bak ‘boneka’ dan tontonan. Jangan memperalat mereka. Tanpa datang di acara tersebut mereka dapat hidup sejahtera karena hidup selaras dengan alam………… Rupanya  pejabat dan ‘aktivis’ sering bertingkah absurd.

**Maria Hardayanto** 

Sumber:
Pikiran Rakyat

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona