Iket (ikat kepala, penutup kepala orang sunda)
tokoh masyrakat hingga tokoh musik, menggunakan iket (dok. Maria Hardayanto) |
Banyak
pihak yang menyayangkan, ketika Rieke-Teten sebagai representasi
golongan muda Jawa Barat memilih baju kotak-kotak dalam pilkada Jawa
Barat. Karena selain dianggap hanya bentuk plagiasi kampanye Jokowi. Rieke dan Teten juga tidak memahami masyarakat yang akan dipimpinnya.
Provinsi
DKI Jakarta pimpinan Jokowi jelas berbeda dengan provinsi Jawa Barat.
Penduduk DKI Jakarta adalah masyarakat urban yang heterogen. Seorang
pendatang di Kota Jakarta tidak serta merta wajib menggunakan bahasa
Betawi, beda halnya dengan di tanah Pasundan. Walau dihuni banyak
pendatang tapi umumnya mereka mampu berbahasa Sunda, sehingga jangan
heran apabila bertemu tukang bakso yang fasih berbahasa Sunda dengan
dialek Jawa Tengah karena belum minum ‘jamu peluntur’
Busana khas etnis Sunda adalah baju pangsi dan iket. Iket
yang pernah dianggap hanya digunakan masyarakat adat kini digunakan
oleh kalangan anak muda. Berbagai komunitas yang semula identik dengan
busana Western kini beralih pada iket, contohnya komunitas sepeda motor,
Bike Brotherhood dan tokoh komunitas musik underground seperti Man
Jasad dan Kimung Blast Core.
Fenomena
baru? Mungkin juga, fenomena yang dicoba ejawantahkan oleh Ketua
Masyarakat Sunda, Eka Santosa sebagai kerinduan akan tata nilai-nilai
lokal. “Mereka merasa jenuh dengan modernisasi yang tidak menyelesaikan
masalah. Bahkan merumitkan tradisi.” Sehingga ada keinginan kembali pada tata nilai tradisional.
Iket
sebagai bagian budaya Sunda memiliki filosofi Makutawangsa yang
digambarkan dalam tahapan; opat ka lima pancer. Bisa juga diartikan
menyatukan diri dengan unsur-unsur utama alam: angin, cai (air),
seuneu(api), taneuh(tanah).
Keempat
segi kain iket dilipat menjadi bentuk segitiga yang merupakan refleksi
diri, bumi dan negeri. Dalam falsafah Sunda, refleksi ini dikenal dengan
sebutan tritangtu, tiga kepastian yang berujung pada pendekatan dan
berserah diri kepada Sang Pencipta.
Iket ternyata juga multi fungsi yaitu sebagai penutup kepala, pembawa barang dan perlambang status sosial, yaitu:
- Teknik iket barangbang lazim digunakan kusir dan jawara.
- Teknik iket koncer digunakan abdi dalam dan juragan.
- Teknik iket lohen digunakan pasangan pengantin
- Teknik iket parekos digunakan pedagang dan petani.
- Teknik iket kuda mencar digunakan anak-anak.
Iket yang dipakai kepala Urang Sunda secara filosofis menandakan agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dan ngencar (lepas) dari kasundaan. Karena iket itu merupakan ikatan bagi pemakainya, agar tidak ingkah dari agama dan budayanya.
Filosofis
tersebut dapat dipahami dengan mudah, ketika iket masih digunakan oleh
masyarakat adat Cireundeu, Kampung Naga dan Cipta Gelar. Tetapi
bagaimana dengan iket yang kini wajib digunakan oleh beberapa instansi
daerah dan kelompok anak muda tertentu di Jawa Barat? Apakah hanya trend mode tanpa usaha pemaknaannya?
Mungkin
menjadi harapan yang terlalu tinggi, walau pemakaian iket berperan
dalam komunikasi pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Diharapkan warga
menjadi lebih relaks dan tidak canggung dalam berinteraksi. Penggunaan
iket juga diharapkan tidak sekedar menjadi ciri masyarakat Sunda (walau
pemakaian iket bukan monopoli etnis Sunda), tetapi diharapkan dapat
menggugah dalam berperilaku. “Malu dengan iket jika masih berbuat diluar
Kesundaan,” kata Robby Maulana Dzulkarnaen, salah seorang pendiri
Paguyuban Sundawani.
Motif dan cara pembuatan iket bisa cetak maupun tulis tapi umumnya memenuhi pakem yaitu pager, modang, waruga dan juru.
- Pager adalah motif yang ada di sekeliling iket.
- Modang, bentuk kotak bujur sangkar pada bagian tengah iket.
- Waruga, bagian tengah iket yang polos.
- Juru, motif yang ada disetiap ujung iket.
Jika
dulu iket menunjukkan status sosial dan kelompok masyarakat adat yang
diwakili, kini penggunaan iket lebih bervariasi, lebih kreatif. Bahkan
terbentuk Komunitas Iket Sunda (KIS) yang gencar mempromosikan
penggunaan iket terlebih pada generasi muda. Sehingga peminatnya bisa
membeli/memesan iket yang teelahdibuat praktis bak peci.
Karena
seperti kata budayawan Sunda dan pengajar Filsafat Seni STSI, Prof.
Yakob Sumardjo: “Filsafat alam ada pada iket. Iket bak mandala (mata
angin) yang memiliki pusat di bumi. Ketika dari lima menjadi satu, maka
ia berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan yang satu. Setelah dekat
dengan Tuhan, maka pemakainya akan tampak tampan luar dalam.”
Penulis
pribadi merasakan perbedaan tersebut dalam setiap acara ritual
masyarakat adat Sunda atau pertemuan resmi lainnya di Bandung. Mereka
nampak tampan dalam kesatuan dengan alam, walau pemakainya seorang yang
telah sesepuh berumur 80 tahun seperti Solihin GP. Karenanya sangat
disayangkan ketika suatu komunitas yang mengusung isu go green memajang dua orang perwakilan masyarakat Baduy lengkap
dengan baju pangsi dan iket dalam acara Kompasianiival 2012 di Gandaria
City. Apa korelasinya? Apabila mau berbaik hati menjual hasil bumi
masyarakat Baduy, silakan melakukannya tanpa menjadikan mereka bak
‘boneka’ dan tontonan. Jangan memperalat mereka. Tanpa datang di acara
tersebut mereka dapat hidup sejahtera karena hidup selaras dengan
alam………… Rupanya pejabat dan ‘aktivis’ sering bertingkah absurd.
**Maria Hardayanto**
Sumber:
Pikiran Rakyat
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.