Mengenal Holisme Sunda (jilid 1)
Ketika harimau menjadi raja hutan....Tetapi mengaum di Kebun Binatang....
Ketika Ki Sunda menempuh "Millah" Kehanifannya....Tetapi terkerangkeng oleh jeruji Penjajahan dan Millah wong Jowo
"Millah" kadang sulit di definisikan secara tepat dalam bahsa 
Indonesia, maklumlah...karena kosa kata tersebut adalah unsur serapan 
dari bahasa Arab.... kadang orang artikan Millah dengan makna agama... 
seringpula Millah di artikan dengan gaya hidup... Namun yang penting 
adalah konteks Millah tersebut jelas-jelas bisa kita rasakan ketika ada 
upaya suatu kaum lainnya yang berusaha memaksakan millahnya menjadi 
"millah" kaum lainnya.... dimana upaya pemaksaan millah itu berlangsung 
melalui berbagai bentuk praktek "penjajahan"... baik penjajah fisik, 
mental atau ekonomis dan idiologis
Kaum apapun pastilah punya millah sendiri-sendiri...  dan millah suatu 
kaum, dapat di ibaratkan dengan watak atau sifat dalam level pribadi 
atau personal ....
Urang Sunda telah punya Millahnya tersendiri... dan demikian pula 
dengan wong jowo dengan millahnya pula..... sehingga mudahlah dengan 
millahnya itu untuk membedakannya urang sunda dengan wong jowo walau 
keduanya hidup dalam satu pulau yang sama.... pada kondisi tertentu 
perbedaan Millah itu "mungkin" dapat ditunjukkan dengan perbedaan Bahasa
 dan dialektika.... Namun tidak serta merta faktor bahasa itu dapat 
menjadi representasi suatu millah.... contohnya orang sunda bisa saja 
fasih berbahasa jawa atau sebaliknya... namun tidak serta merta dengan 
kefasihan bahasa jawanya itu menjadikannya "seorang" jawa...
Adalah suatu kesalahan besar jika kita "hanya" membedakan antara Sunda dan jawa dengan faktor pembedaan bahasanya semata....
Urang Sunda juga telah mempunyai "teritory" tatar wilayahnya sendiri...
 dan demikian pula dengan wong jowo... hingga suatu kesalahan besar 
jikalau kita membedakan sunda dengan jawa hanya dari teritori wilayahnya
 saja... sebab urang sunda dapat saja tinggal di teritorial wong jowo 
dan demikian pula sebaliknya....
Hingga satu faktor yang sangat bisa diandalkan membedakan antara "urang
 Sunda" dengan "wong Jowo" adalah dengan menilik millahnya 
masing-masing....
Sunda - Jawa berada dalam satu pulau yang sama, namun keduanya dapat 
secara jelas dibedakan oleh faktor pembedaaan Millahnya sendiri-sendiri.
Secara filologis.... Millah Sunda adalah dibangun dengan faham "holisme".... tepatnya holisme alamiah (Nature"s holism)....
 sedangkan Millah jawa dibangun dengan faham "reduksionisme" atau dapat 
pula dikategorikan sebagai holisme buatan-non alamiah (Artificial holism)....
Dalam faham holisme .......kuda barulah dapat disebut kuda melalui cara
 pandang yang utuh terhadap segala hal-ihwal tentang kuda....dia harus 
menjelma dalam ujud kuda yang tentu saja bisa meringkik, beranak-pinak 
melahirkan anak kuda lagi dan memakan rumput atau pakan lainnya yang 
dapat dimakan oleh seekor kuda "yang benar-benar kuda"
Berbeda halnya dengan faham reduksionisme.... dimana fenomena "seekor 
kuda" tak perlu dipandang secara utuh karena hanyalah suatu bahan 
inspirasi semata untuk kemudian direduksi menjadi 
sebentuk "patung kuda"....kuda kepang... kuda-kudaan...dan lain 
sebagainya yang dapat diciptakan oleh akal-budi manusia.... yang 
kesemuanya itu kadong diujudkan dalam Millah wong jowo berkat faham 
artificial holism yang memberikan ruang kepada ego dan subyektifitas 
setiap manusia untuk leluasa mengkreasikan kuda dalam beragam bentuk 
ciptaannya..... dalam arti luas melalui faham reduksionisme inilah wong 
jowo diberi keleluasaan mereduksi segala hal (merubah komponen sistem 
alami menjadi sesuatu unsur buatan hasil akal-budi manusia).
Tidaklah mengherankan jika dari setiap kerajaan urang sunda... sejak 
kerajaan Galuh hingga Padjadjaran tidaklah mementingkan unsur-unsur 
ciptaan manusia yang Monumental.... tak ada peninggalan Istana dan 
sangat jarang ditemukannya artefak-artefak yang dapat menjadi "barang" 
peninggalan dan penguat eksistensi kerajaan-kerajaan Sunda tersebut...
Hingga akan berbedalah dengan sangat nyata ketika kita membandingkan 
antara eksistensi kerajaan urang sunda (yang tidak mementingkan 
unsur-unsur buatan hasil akal budi manusia) dengan eksistensi 
kerajaan-kerajan wong jowo (yang selalu saja "meninggalkan" 
peninggalan-peninggalan monumental semisal patung-patung 
dewa,candi-candi atau istana sebagai artefak wong jowo yang masih 
menjelma hingga kini).... Dimana semua peninggalan artefak 
kerajaan-kerajaan jawa itu tiada lain dipicu oleh faham reduksionisme 
.... sebagai Millah yang mendorong wong jowo mereduksi Tuhannya menjadi 
sesosok patung-patung dewa-dewa.....hingga mereduksi pula suatu sarana 
peribadatan menjadi "tempat ibadah" dalam bentuk candi-candi,..... juga 
mereduksi aspek-aspek tempat tinggal menjadi sebuah "istana" yang megah.
Lalu apalah urgensinya dan keunggulan "holisme" Sunda tersebut???.... 
yang tidak mengedepankan unsur subjektif dan ego-sentrisme dalam 
mengedepankan warna akal-budi urang sunda??...
Tiada lain urgensi holisme tersebut adalah dalam rangka menumbuhkan 
sifat-sifat "hanifiah"... yaitu sejumput sifat-sifat manusia yang haus 
mencari arah kebenaran setelah dia terbelokan oleh suatu kesalahan ego 
manusia.... sejumput sifat-sifat kehanifan yang terus berusaha menempuh 
jalan lurus setelah sebelumnya pernah terbelok-kan oleh subjektifitas 
dan ego setiap manusia....
Kehanifan Ki sunda tak mungkin terbatasi oleh suatu tampilan 
kuda-kudaan atau kuda kepang dalam rangka mengenal "kuda" yang 
benar-benar kuda... dia tak akan puas dengan hanya "tahu" kuda dari 
kuda-kudaan dan kuda kepang semata... dia selalu ingin tau "ujud" 
alamiah dari kuda... cara alamiah kuda berkembang-biak... hingga sangat 
haus pula untuk mencari "pengetahuan" tentang siapakah pencipta 
kuda-kuda yang dapat meringkik dan beranak pinak itu??.... dan 
seterusnya hingga seterusnya tanpa batasan aspek-aspek materiil yang 
dapat dipuaskan oleh barang-barang artificial buatan akal budi manusia.
Tak mungkinlah kemudian bagi sa-Urang Sunda sejati .... untuk 
terpuaskan "mengetahui" Tuhan dari patung-patung dewa semata.... dia 
akan terus berkelana ke segenaf ufuk untuk menelusuri "eksistensi" Tuhan
 yang  harus dia sembah.... Sementara dalam millah jawa Eksistensi Tuhan
 itu kadong direduksi menjadi patung-patung dewa semata....
Seterusnya... dan seterusnya.... hingga dengan sifat-sifat kehanifan 
sunda yang didorong oleh faham Holisme alamiah itu ... sedikit-banyaknya
 "sebangun" dengan kehanifan Ibrahim bapak Para Nabi.... yang rela 
bersusah payah untuk mencari dan terus mencari ... untuk mengetahui 
sesuatu "eksistensi" Tuhan pencipta seluruh alam termasuk manusia itu 
sendiri.... dan tak pernah terpatok oleh ujud patung-patung Dewa yang 
dianggap sebagai Tuhan dan disembah oleh orang Tua Ibrahim a.s.....
Maka bandingkanlah pula perbedaan cara pandang Leluhur Sunda dan 
leluhur jawa terhadap "Dinul Islam".... yang akan kita kupas pada jilid 
selanjutnya.... bersambung
dari : http://kabayanist.abatasa.com/
dari : http://kabayanist.abatasa.com/
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.