Mengenal Holisme Sunda (Jilid II)

Syahdan Prabu Nalendra Sri Baduga Maharaja (berkuasa di Kerajaan Padjadjaran mulai tahun 1482 M)  pernah menasehati Putranya Walangsungsang..... beliau menyampaikan "Pepatah" leluhurnya sebagai berikut :
"Bahwa satu saat pintu Mekah terbuka lebar… dari situ jalan kearifan membelah lautan hingga tembus ke pulau tutung. Lalu banyak manusia menyusuri kearifan, tapi mereka tidak tahu (hakikat) yang disebut kearifan"  (dikutif dari Kisah Walangsunsang karangan WD Darmawan)
Makna dan hakikat "arif" dan kearifan tidaklah sebatas mengetahui sesuatu... tetapi lebih jauh lagi dari sekedar tahu karena merupakan suatu kondisi dan sikap mental dimana pendengaran-penglihatan-fuad seorang manusia telah benar-benar "memindai" sesuatu hal secara holistik dan utuh...  tidak sebatas Ilman Yakin hasil pemindaian oleh pendengarannya semata ... tetapi telah pula Ainul Yakin melalui proses pemindaian oleh penglihatannya .... yang kemudian menghantarkannya kepada Haqqul Yakin yang dihunjamkan kedalam  fuad-nya... Dengan demikian Kearifan dapat di ejawantahkan pula sebagai pendekatan holistik dalam memandang segala sesuatu secara utuh melalui pendengaran-penglihatan-fuad yang dikenal dengan faham "Holisme"
Nasehat yang disampaikan kembali oleh Prabu Nalendra Sri Baduga Maharaja di atas adalah sebentuk Holisme Sunda yang pada Jilid I ditegaskan bahwa Prinsif Holisme Sunda bertumpu kepada "Nature Holism"... yang dengan prinsif  itu membedakannya dengan prinsif Holisme Jawa yang bertumpu kepada Artificial Holism...

Tidaklah berlebihan  jika para leluhur Prabu Nalendra "jauh-jauh hari" telah mensinyalir adanya fenomena para penempuh kearifan dari mekah (Muslim?) yang "tidak tahu" apa itu kearifan.... dan fenomena tersebut dapat tersurat seperti uraian berikut ini...
Catatan sejarah menyatakan bahwa bibit-bibit ajaran Islam mulai ditebarkan di Tanah Jawa oleh Walisongo ... proses itu tercatat dalam sejarah dimulai pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi…
Tetapi sebelum Walisongo berkiprah di tanah Jawi pada sekitar tahun (1340 – 1357) berkuasalah Prabu Maharaja Lingga Buana di Kerajaan Galuh yang mempunyai adik bernama Mangkubumi Suradipati atau dikenal pula dengan pangilan lainnya Prabu Bunisora yang berusaha menempuh perjalanan spiritual ke Mekah untuk memperoleh Ilmu Sajati  yaitu Ajaran Islam yang langsung terpancar dari mata-air sucinya. Prabu Bunisora berputrakan Bratalegawa yang lahir pada tahun 1350 M… kelak Bratalegawa dikenal sebagai  Haji Purwa karena dikenal luas sebagai sosok yang pertama kali menunaikan ibadah haji dalam silsilah raja-raja Sunda. Informasi mengenai fenomena Haji Purwa itu sendiri  telah diutarakan oleh J. Hageman (1867) dan terungkapkan pula se-abad kemudian dalam Naskah Pangeran Wangsakerta.
Dari catatan sejarah di atas nampak jelas adanya dua arah yang berbeda dari Sikap pandangan hidup Ki Sunda dengan Wong Jowo dalam menerima tebaran bibit-bibit keislaman…
Dengan berfaham “nature’s holism” Ki Sunda nampak selalu berusaha memandang dan memperoleh bibit-bibit Keislaman dalam bentuk original yang se-otentik mungkin dari mata-air sucinya… dengan prinsif itu pula Ki Sunda tidaklah mungkin hanya mau “ilman yakin” semata dengan cara menerima khabar-berita tentang ajaran Keislaman dari mulut para penebar bibit keislaman dari daerah maghribi atau dari para pedagang muslim yang menjalin Tijarohan dengan Ki Sunda… dia kemudian selalu berusaha pula untuk memperoleh “Ainul Yakin” melalui penglihatannya dengan cara menyusuri jejak penyebaran Bibit ajaran Keislaman ke Mekkah Al-Mukarromah… hingga akhirnya terhunjamkan ke dalam fuad-nya sebentuk “Haqqul yakin” tentang originalitas dan ke-otentikan ajaran Islam sebagai hasil dari daya upaya para Hunafa Sunda demi memperoleh “Ilmu sajati”  tentang segala hal….
Pendek kata…..Tak ada tempat bagi relung Qalbu Ki Sunda untuk langsung menerima informasi “mentahan” yang bersifat  “kedengarannya” saja… atau “kelihatannya” saja… dan “rasa-rasanya” saja… semuanya harus utuh dipindai oleh pendengaran-penglihatan-fuad(rasa) yang Dianugrahkan Oleh Alloh SWT kepadanya….
Maka bedakanlah dengan kondisi dan sikap mental elitis Jawa yang demikian rela memperoleh “bujukan” dengan segala cara untuk menyemaikan bibit Keislaman…
Tidaklah mengherankan jika proses penebaran bibit ajaran Islam “katanya” disebarkan walisongo salah satunya melalui pertunjukkan wayang kulit sebagai media pembujukan… seraya Qolbu orang jawa tak diberi kesempatan untuk dapat menyelisik apakah yang disampaikan oleh walisongo itu benar-benar ajaran Islam yang original dan otentik?... ataukah sekedar dongeng-dongengan hasil rekaan budi-akal manusia penghias cerita lakon pewayangan yang berasal dari ajaran Hinduisme?...
Upaya Pembujukan semacam itu tidaklah mengherankan jika kita merunut  faham orang jawa yang bertumpu kepada Reduksionisme atau  “Artificial holism” … hingga pendengaran-penglihatan-fuad  orang jawa lebih cenderung terpaku oleh ciptaan-ciptaan manusia yang tidak alami (artificial)… Yang berbeda 180 derajat dengan pandangan “nature’s holism” dalam diri Ki Sunda yang segalanya harus alami murni bersumber dari “semesta alam” ciptaan Alloh SWT…
Pendek kata …nalar orang jawa lebih cenderung menerima dan menghargai hal-hal yang bersifat artificial ciptaan manusia… Hingga Ajaran Islam yang bersumber dari Qolamullah harus terlebih dahulu “dikunyah” lebih lembut “Direduksi” terlebih dahulu oleh upaya artificial manusia sebelum dapat dia cerna dengan mentah-mentah… Tinggallah segalanya bergantung kepada “subyektifitas” manusia-manusia yang bersedia Mereduksi “mengunyah” terlebih dahulu bibit ajaran Islam…. Apakah dengan subyektifitasnya itu akan “Menjamin” dapat menghantarkan jiwa dari orang-orang yang menelan hasil kunyahannya tersebut ke arah originalitas ajaran Islam?... dan otentitas ajaran islam? … dimana segala originalitas dan otentitas haruslah dibangun di atas fondasi “objektifitas”… bersambung ke jilid selanjutnya…

dari : http://kabayanist.abatasa.com/

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona