AKSARA SUNDA (Ngalagena) - dok Salakanagara
- Get link
- X
- Other Apps
Dalam
Sejarah Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena. Menurut
catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke
-14 sampai abad ke- 18. Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada Prasasti
Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk
mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis,
tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan
tembaga, berasal dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda Kuno.
Berikut Prasasti Kawali dengan aksara Sunda Kuno: Tak ada
bukti yang jelas tentang awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek
moyang orang Sunda menggunakan aksara ini. Yang jelas, sebelum abad
ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak (naskah lontar) ditulis dalam
aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti Tugu abad ke-4) dan aksara
Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11). Bahasanya pun
Sansekerta dan Jawa Kuno bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14 dan
seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam media batu/prasasti dan
naskah kuno.
Sama seperti naskah-naskah kuno di Jawa, yang
menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal (Borassus
flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga daun
palem nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan
dengan seutas tali, bisa seutas di tengah-tengah daun atau dua utas di
sisi kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan menorehkan peso
pangot, sebuah pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta
melalui pena. Tintanya dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu.
Biasanya peso pangot untuk huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena
untuk huruf-huruf bundar.
Naskah-naskah kuno Sunda yang
memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya
Carita Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang
ditulis pada abad ke-16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyangan
ini, di mana di dalamnya terdapat dua kata Arab, yaitu dunya dan niat.
Ini menandakan bahwa persebaran kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah
merasuk pula ke dalam alam bawah sadar penulis carita tersebut. Begitu
pula naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang ditulis pada masa yang
tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan perjalanan spiritual sang tokoh
dalam menghadapi kematian, ketika raga wadag (tubuh) meninggalkan alam
fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran antara Hindu,
Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli. Judul yang lain adalah Sanghyang
Sisksakanda (ng) Karesian (disebut pula Kropak 603), sebuah naskah
tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada 1518 M. Ada pula
naskah Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy
atau Naskah MSA) yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas
mengenai ajaran moral dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai
lebih tua dari Carita Parahyangan; hal ini terbukti dari ejaannya,
seperti kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa (dalam Carita Parahyangan
dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo).
Berikut naskah Sewaka Darma.
Naskah-naskah keagamaan tersebut biasa ditulis di sebuah kabuyutan atau
mandala, yakni pusat keagamaan orang Sunda yang biasanya terletak di
gunung-gunung, yang juga merupakan pusat intelektual. Gunung Galunggung,
Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh dari kabuyutan
tersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.
Setelah islamisasi, keberadaan aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun,
aksara Arab-lah yang mendominasi dunia tulis menulis, yang dikenal
dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga dan penulis tak lagi
menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf Arab
dalam naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada
tahun 1662-1663, di mana Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri.
Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah Kitab Waruga Jagat
dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang
ditulis pada abad ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.
Pemakaian aksara Sunda makin terkikis setelah aksara latin
diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa kolonialisasi pada abad
ke-17 hingga seterusnya. Tak hanya itu, penguasaan Mataram Sultan Agung
atas wilayah-wilayah Sunda pada abad yang sama mengakibatkan
sastra-sastra Sunda lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda
(carakan), bukan aksara Sunda. Contoh naskah Sunda yang ditulis
menggunaka bahasa dan aksara carakan adalah Babad Pakuan atau Babad
Pajajaran yang ditulis pada 1816, di mana terdapat kisah Guru Gantangan,
pada masa pemerintahan Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata), Bupati
Sumedang. Isi babad ini menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda atas
kosmologi dan hubungannya antara manusia sempurna dengan mandala
kekuasaan.
Sistem Aksara Sunda
Aksara Sunda
berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o,
u, e, dan eu) dan 23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga,
ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za).
Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai
untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda
berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya sebagian yang
berbentuk bundar. Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan
bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata
yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata.
Berikut tabel aksara swara Sunda:
Sedangkan aksara ngalagena
adalah tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi
fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata
yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata.
Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar bunyi ngalagena-nya mati.
Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya
dapat mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut tabel aksara ngalagena
Sunda:
Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda,
yakni: panghulu (di atas), panyuku (di bawah), pemepet (di atas),
panolong (di kanan), peneleng (di kiri), dan paneuleung (di atas).
Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda:
Selain
pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran, yakni pengecek (akhiran
–ng), pangwisad (akhiran –h), dan panglayar (akhiran –r). Ada pula
fonem sisipan yang disimpan di tengah-tenngah kata, yakni pamingkal
(sisipan –y-), panyakra (sisipan –r-), dan panyiku (sisipan -l-).
Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda pamaeh
dalam aksara Sunda (Sumber : Diemas Damardjati)
http://www.sabilulungan.org/ aksara/
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.