KIDUNG SUNDA ( Dokumen Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Kidung
Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan
berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam
kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin
mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda
yang dalam cerita ini tak memiliki nama. Namun patih Gajah Mada tidak
suka karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit
(baca orang Jawa). Kemudian terjadi perang besar-besaran di Bubat,
pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam peristiwa ini
rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan putri Sunda yang merasa pilu
akhirnya bunuh diri.
Versi kidung Sunda
Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr. f, menemukan beberapa versi KS. Dua di antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya:
1. Kidung Sunda
2. Kidung Sundâyana (Perjalanan (orang) Sunda)
Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada
Kidung Sundâyana dan mutu kesusastraannya lebih tinggi dan versi iniliah
yang dibahas dalam artikel ini.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk
dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru
Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa
lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu
Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim
seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan
lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja
Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa
keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka
Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian
prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk
melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam
hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih
raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak
banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa
surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama
kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus
kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal
kecil.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda
buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung
Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.”
(bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk
mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala
desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang.
Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi
patih Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya
seorang maharaja Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazal
seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih
Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya,
terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang
perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan
utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Ia disertai tiga
pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih
Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak
pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar
hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap
seperti layaknya vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi
pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang
pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi
tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo
dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak
bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata
memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi
membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang
Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan
membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan
menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan
bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda
dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda
pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan,
kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk
dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan
Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda
dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh
Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja
Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih
hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda.
Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda.
Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira
Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas
jenazah-jenazah suami mereka.
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam
Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian
menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka
prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita
idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan
mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah
pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau diperabukan
dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya.
Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin
menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke
kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba.
Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan
melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak
terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Maka raja Kahuripan dan
raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka
karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang
terjadi.
Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya
sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan
besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.
Secara garis besar
bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya
lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis.
Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat.
Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini
bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih
Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam
Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang
membuat para pembaca terharu.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam
Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa
saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga
bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin
Nagarakretagama, lihat pula bawah ini.
Perlu dikemukakan bahwa
sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti
sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya.
Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada,
penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.
Kemudian
ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja,
ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering
disebut bernamakan Dyah Pitaloka.
Satu hal yang menarik lagi
ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah
Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh
patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara
adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci
(?), Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura (Kabupaten Ketapang) dan
Sawakung (Pulau Sebuku?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai
dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai
wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di
Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.
Semua naskah kidung
Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak
jelas apakah teks ini ditulis di Jawa atau di Bali.
Kemudian nama
penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui
dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi
ini tidak bisa digunakan untuk menetapkan usia teks. Sebab orang
Indonesia sudah mengenal senjata api minimal sejak datangnya bangsa
Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang
Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa. Sebab
sewaktu orang Portugis mendarat di Maluku, mereka disambut dengan
tembakan kehormatan.
Beberapa cuplikan teks
Di bawah ini
disajikan beberapa cuplikan teks dalam bahasa Jawa dengan alihbahasa
dalam bahasa Indonesia. Teks diambil dari edisi C.C. Berg (1927) dan
ejaan disesuaikan.
Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.)
Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw
angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu,
pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring
yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang
pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong
Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu
malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak
setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
Mangke agung kokohanmu,
uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene
kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh,
dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.
Alihbahasa:
• “Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami?
Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau
menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita
lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
•
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur
di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang
Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.
• Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati.
Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena
duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana
mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
• Sekarang, besar juga
kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing.
Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti
selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk.
Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”
Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71)
[...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sĕmbah, sira sang nataputri.
Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita
potusan, warahĕn tuhanira, nora ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang
rajaputri.
Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan
keri, norengsun ahulap, rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih,
kaya siniwak, karnasula angapi.
Alihbahasa:
• [...], jika
engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk)
dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan
beliau sang Tuan Putri.
• Maka ini terdengar oleh Sri Raja
<Sunda> dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para duta!
Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi
menghantarkan Tuan Putri!”
• “Meskipun orang-orang Sunda tinggal
satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’
beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya
mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).
Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)
Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made
sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas
natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.
Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit
katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa
pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun,
mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena
inisti, marmaning parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si
prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula
mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon,
tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih
katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama
lěnglěng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati,
kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing
katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising
wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.
Alihbahasa:
• Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri.
Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda,
dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah.
Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
•
Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah
dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi
keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke
mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah
Jawa.
• Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat
mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya
malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin
<hamba> masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah
kuasa Tuhan!
• Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah,
berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk.
Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia
yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan
merana.
• Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya
terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras,
bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar,
bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita,
rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
*Bulan Ketiga
kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim
kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak
lazim. (Wikipedia)
Referensi :
• C.C. Berg, 1927, ‘Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen’. BKI 83: 1 – 161.
• C.C. Berg, 1928, Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch (Kidung Sundāyana). Soerakarta: De Bliksem.
• Sri Sukesi Adiwimarta, 1999, ‘Kidung Sunda (Sastra Daerah Jawa)’,
Antologi Sastra Daerah Nusantara, kaca 93-121. Jakarta: Yayasan Obor.
ISBN 979-461-333-9
• P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. (hal. 528-532)
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.