MITOS PAJAJARAN DAN SILIWANGI : SEBUAH TANGGAPAN (Dok Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh: Richadiana Kadarisman Kartakusuma
1) MITOS
Mitos memang tidak rasional tetapi lahir bukan tanpa latar pemikiran,
karena manusia sebagai ‘mahluk berakal, sekecil apapun yang
dihasilkannya merupakan produk budaya disertai gagasan sesuai lingkungan
alam manusia itu hidup. Manusia dan kebudayaan senantiasa berpelukan
layaknya ‘amis jeung peueutna’, Bukan kebetulan jika mitos sebagai
produk budaya selalu ditemukan pada kebudayaan-kebudayaan yang ada di
dunia.
Mitos dalam kebudayaan tersimpan di dalam religi dan
religi merupakan salah satu sistem dari tujuh wujud kebudayaan serta
berlaku universal tidak terkecuali bangsa modern, bangsa maju, maupun
yang tradisional sekalipun. Maka mitos merupakan bagian dari Sejarah
Kebudayaan setiap Bangsa di dunia. Tidak keliru jika Ch.Dowson (cf.,
Nurhadi Magetsari 1980: 498) menyatakan: “...we cannot understand the
inner form of society unless we understand religion. We cannot
understand its cultural achievements unless we understand the religious
beliefs that lie behind them. In all ages the first creative works of a
culture are due to religious end..’
Pengertian yang
mengisyaratkan bahwa religi tidak sekedar dimengerti sebagai ‘agama’
tapi lebih melibatkan kepribadian (iman) dan keyakinan
individu/masyarakat terhadap Yang Tertinggi (Supranatural). Kendati
wujud Yang Tertinggi itupun belum pernah diketahui manusia (kecuali pada
tataran metatesis). Tiada satu-pun mahluk di dunia bahkan Nabi
sekalipun pernah melihat wujud sesungguh-sungguhNYA. DIA YANG ADA
diyakini atas hasil CiptaanNYA yang tiada dapat dibuat manusia dan
dengan keyakinan kuat itu pula manusia meyakini bahwa Yang Tertinggi ini
ADA.
Demikian mitos dalam khasanah kebudayaan adalah senarai
yang ditegaskan Hidayat Suryalaga bahwa fikiran manusia layaknya
tentakel, mampu menelusup mencengkram ke berbagai ranah pemikiran fisik
dan metafisik ‘kosmis’. Pemikiran esoterik nilai-nilai filosofis ini
terkonsentrasi di dalam mitos dan mengandung kebenaran
teologis-kosmologis. Nilai-Nilai pemikiran ini yang diaktualisasi dalam
kehidupan sehari-hari oleh kelompok individu/masyarakat kebudayaan.
Masalahnya mitos dalam kebudayaan hampir selalu merupakan produk
anonim, namun di dalamnya sarat penjelasan tentang asal mula sesuatu,
nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta alat
pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Kendati
tidak eksplisit literer namun secara implisit dunia mitos memiliki makna
kekayaan nilai-nilai kemanusiaan dalam upaya menata nilai-nilai
kearifan dan etika kehidupan (Rene Wellek & Austin Warren 1989).
Kandungan isi mitos sedemikian itulah yang menyebabkan para sarjana di
dunia sepakat, diantaranya Mircae Elidae menyatakan bahwa dalam mitos
terkandung kosmologi (pengetahuan susunan/ketersusunan antara yang baik
dengan yang kacau balau/khaos) tentang alam ataupun dunia. Selanjutnya
dikatakan bahwa pada umumnya manusia religius memiliki sikap tertentu
terhadap kehidupan: dunia, manusia, dan terhadap yang dianggapnya suci
(sakral). Karena bagi manusia religius dunia ini merupakan wilayah yang
“dikonsentrasikan”sebagai kosmos. Itu sebabnya mitos dipergunakan
ilmu-ilmu empirik, khususnya untuk mengungkap evolusi kosmis dengan
alasan nyata bahwa manusia pada dasarnya terikat erat pada alam semesta
dan memiliki pandangan adanya hubungan gaib timbal balik antara manusia
dan jagatraya.
Pernyataan senada disampaikan van Peursen bahwa
mitos salah satu bentuk cerita lisan (Ayatrohaedi: Tutur) (sejarah
lokal maupun Histroriografi Tradisional) yang memberikan pedoman dan
arah tertentu. Pada intinya mitos mengandung lambang-lambang yang
menginformasikan pengalaman manusia tentang etika kehidupan juga
pengetahuan tentang kosmos yang tiada lain upaya mencari makna dunia
menurut eksistensinya, baik yang menyangkut keluasan atau lingkupnya,
yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya
sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Dapat disebutkan bahwa
mitos merupakan hubungan pribadi suatu kelompok individu/kelompok
masyarakat kebudayaan dengan unsur-unsur yang bersifat supranatural.
Suatu kesadaran hakiki pada diri manusia tentang asal muasal dan sebab
akibat keberadaannya tentang ‘darimana berasal – keberadaannya sekarang –
dan kemana kelak akan menuju.
A.Chaedar Alwasilah (et.l.,)
menyatakan pentingnya nilai-nilai kearifan lokal bagi ilmu kemanusiaan
bahkan menduduki posisi paling sentral dalam proses pembangunan. Selain
dapat dipakai acuan spiritual mengatasi keadaan yang dinamis, juga
bergerak dari satu capaian ke capaian lainnya; dari satu perasaan ke
perasaan lainnya, dari satu terminat ke terminat lainnya dan dari satu
konsentrat ke konsentrat lainnya.
2) SILIWANGI.
Di alam
kehidupan sehari-hari kendati bukan ‘ahli bahasa’ atau ‘pakar bahasa’
Urang Sunda tahu dan mengetahui bahkan paham bahwa Siliwangi sebagai
istilah terdiri dari dua kata Sili (baca: Silih) dan Wangi (wawangi) –
[silih] kerap diungkapkan ke dalam nyilihan – kasilihan – silih pihapean
– silih simbeuhan bahan secara pepatah Sunda masih menggunakan adanya
ungkapan silih asuh silih asah silih asih sebagai rangkaian yang tidak
terpisahkan serta mengandung makna amat dalam tentang ajaran ‘kasih
sayang saling menghormati dan menghargai antar satu dan yang lainnya.
[Wangi] wangi artinya harum dan dalam kosakata Bahasa Sunda dikenal
pula padanannnya yakni seungit. Istilah wangi juga kerap reduplikasi
wawangi artinya ‘nama’, ‘julukan’, ‘sebutan’ sinonim dengan [seuseungit]
‘nama yang harum’ yang ditujukan kepada seseorang yang memiliki
perilaku menonjol dengan kebaikannya, jasa-jasanya maupun sejarah
perilaku seseorang yang ‘unggul diantara sesamanya’. Julukan ‘Prabu
Wangi’ ditujukan kepada Prabu Maharaja karena perilakunya yang harum.
Julukan yang hadir ketika beliau Prebu Maharaja gugur di ‘palagan Bubat’
demi mempertahankan kehormatan dan martabat negara. Maka raja-raja
keturunannya langsung yang memerintah setelah beliau‘ atau yang
menggantikannya (silih) Prabu Wangi itu dijuluki ‘sili[h]wawangi –
sili[h]wangi- siliwangi tiada lain haris diacu ‘saling mengharumkan’.
Inilah yang selanjutnya menggejala pada kalangan masyarakat Sunda hingga
sekarang. Siliwangi sebagai julukan memang tokoh yang dimitoskan, namun
sosok tokohnya benar-benar ada juga raja-raja keturunan sesudahnya maka
kemudian Siliwangi dipandang seakan ‘Dinasti/Wangsakula/ Wangsakerta
raja-raja Sunda’ sangat beralasan. Karena ketika julukan itu hadir
sebagai istilah telah merupakan kesepakatan ‘bahasa’, bukan istilah atau
kata di dalam suatu kebudayaan lahir dan hadir serta dipergunakan
karena hasik kesepakatan anggota masyarakat?
Gejala memitoskan
Siliwangi tiada beda dengan gejala memitoskan Bra-Wijaya (Majapahit).
Istilah julukan ini hadir atas kesepakatan masyarakat Jawa (timur da
tengah) guna mengagungkan Majapahit berpangkal kepada Kertarajasa
Jayawardhana. Sosok yang disebut sejarah lokal ‘Raden Wijaya (Nararyya
Wijaya/Harsa-wijaya) dan raja-raja yang memerintah Kerajaan Majapahit
sesudahnya dijuluki Bra Wijaya I, II, III dan seterus nya hingga
keruntuhannya.
Julukan Bra Wijaya maupun Siliwangi hanya ditemukan
di dalam sumber-sumber lokal (manuskrip, pantun, tutur, maupun
folklore). Suatu petunjuk nyata yang mengisyaratkan Prabu Siliwangi
dengan berbagai sebutan ‘hormat’ kepadanya, semata diberikan oleh
masyarakat luas (rakyat Sunda) dan bukan oleh raja atau penguasa nya.
Dalam artian julukan sosok tokoh disampaikan (tradisi) lisan (tutur)
secara turun temurun dari generasi ke generasi seterusnya yang
seringkali tidak atau jarang dilengkapi ‘gelar resminya’ sebagai raja.
Maka tidak heran jika Siliwangi hanya diketahui dari cerita rakyat dan
sulit ditemukan sumbernya. Terlebih lagi sumber-sumber lokal seperti itu
hampir selalu ‘anonim’ merupakan milik bersama anggota masyarakat
bersangkutan. Juga tidak ada dalam prasasti karena prasasti adalah
dokumen resmi pemerintah (piteket) dikeluarkan hanya oleh raja dan atas
wewenang raja/pemerintah yang berdaulat.
Hal ini pula berkaitan
kepada‘mental template’ Urang Sunda yang berkarakter asli masyarakat
yang berciri dan berkarakter manusia ladang. Di dalam hal ini Saleh
Danasasmita (1975) mengungkapkan detil mengacu kepada C.M. Pleyte (cf.
Danasasmita l975:37) bahwa: “Hinduisme i.e. Sivaism made its entry into
the Pasundan but wether it ever became popular is rather doubtful, as
not more about half a score of images belonging to the Sivaitic pantheon
have been discovered, whilst such temples and monasteries as in Middle
and Eastern Java sought for in vain. It is fair to conclude therefore,
that while a few of the native princes did perhaps adopt the foreign
religion, the bulk of the population remained true to their original
creed founded on indegenous of ancestor worship”.
Tanggapan
atas kenyataan sesungguhnya pengaruh India di Nusantara kerap ditandai
bangunan dengan latar keagamaan yang diasumsi Hindu-Buda. Pandangan yang
menyebabkan kekunaan sejarah Nusantara seakan semua harus diukur dan
dinilai melalui penetrasi kebudayaan Hindu-Buda. Maka menimbulkan kesan
seakan seluruh masyarakat Nusantara memeluk Hindu-Buda, padahal
kenyataannya tidaklah seluruhnya demikian. Masyarakat Sunda akrab dengan
kehidupan berladang identik pula dengan sebutan masyarakat peladang
tidak memberi peluang subur untuk pertumbuhan atas kultur Hindu,
sebaliknya tradisi megalitik bertahan sebagai esensi dari kehidupan
spiritualnya. Konsekwensi logis lain budaya berladang dan corak
kehidupannya adalah tidak memberi peluang menulis terkecuali yang
dianggap ‘paling penting’ saja dan ini terjadi hingga ketika
masyarakatnya mulai kehidupan menetap.
Dampak dari jarangnya
sumber tertulis prasasti yang tergolong kategori ‘dokumen pemerintah’
tidak hanya sekedar menimbulkan ‘polemik Siliwangi’ juga ke
peristiwa-peristiwa lainnya di dalam khasanah kebudayaan Sunda. Satu
diantaranya adalah polemik ‘peristiwa massacre di Bubat’. Hanya karena
peristiwa Bubat tidak tercantum dalam prasasti maka peristiwa ini
dianggap ‘tidak pernah sungguh-sungguh terjadi” bahkan konon alasan ini
pula yang mengakibatkan Peristiwa Bubat gagal difilmkan ‘hanya karena
dianggap mitos’
Padahal, sekurang-kurangnya ada tiga acuan yang
dapat dijadikan bukti yakni Kidung Sunda (telah diteliti dan dibahas
oleh P.J. Zoetmulder); Serat Pararaton dan Kakawin Nagarakertagama.
Kidung Sundayana (KS) dan Serat Pararaton (SP) karyasastra yang
merupakan produk masyarakat kecil (little tradition), dan Kakawin
Nagarakertagama (KN) merupakan produk istana (great tradition), maka
yang dituangkannya pun jauh berbeda. Dalam KS dan SP peristiwa Bubat
lebih gamblang dibeberkan hanya saja dalam SP peritiwa Bubat merupakan
bagian rangkaian peristiwa dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di
Jawa Timur (sejak Ken Arok hingga Majapahit); tetapi KS melukiskannya
lebih detil. Sementara KN karena sejak awal dicanangkan si penulis
sebagai pujasastra (Mpu Prapanca sebagai Pujangga Istana) dalam rangka
proses silunglung menuju moksa. Maka hal-hal buruk yang menimbulkan ‘aib
dan noda’ kepada Raja dan kerajaan dihilangkan sama-sekali, hanya
disebut Bubat adalah lapangan besar di lingkungan Majapahit.
Secara
logika setiap gejala kebudayaan selalu merupakan produk manusia yang
telah dimaknai latar budaya pemangkunya layaknya (jiwa). Sebagai produk
budaya mitos termasuk katagori data ‘intangible’ pada tataran gagasan
dan bukan data tangible (materi), namun justru data intangible inilah
yang ‘menghidupkan’ (memberi jiwa/roh) data tangible. Tanpa data
intangible maka data tangible tetap bisu tiada mampu bicara kecuali
sebagai benda beku yang mati. Maka dikatakan bahwa warisan budaya
bagaimanapun bentuk penampilannya merupakan produk dari yang tertanam
dalam pengalaman internal; yang di dalam beberapa hal ada yang tidak
terutarakan sehingga merupakan self-conscious speech – sebagaimana
halnya mitos yang tertanam di dalam tataran gagasan dan perasaan bahasa
si pemangkunya. Namun mitos mampu memberikan insight lebih dalam tentang
makna internal dari yang menjalani kehidupan di masa kebudayaan itu
berfungsi.
3)
BUKTI OTENTIK TENTANG PAJAJARAN
Kendati Pajajaran sebagai nama salah satu kerajaan di Tatar Sunda dan
selalu dihubungkan dengan Siliwangi, namun dalam tataran yang disebut
mitos memiliki kedudukan yang berbeda. Karena Pajajaran benar-benar
tercantum dalam data tertulis yang disebut Prasasti.
A.Prasasti (Tembaga) Piteket : Prasasti terdiri dari lima lempeng
tembaga (I – V) ditemukan di kampung Kebantenan-Bekasi, Jawa Barat
(NGB.1886:30; NBG.1911. XXVIII). Kini Disimpan di Museum Nasional
(Jakarta) Beraksara dan berbahasa Sunda Kuno tanpa mencantumkan unsur
pertanggalan, kronologi terhadap Prasasti Kebantenan ini didasarkan
kepada jenis dan gaya aksara yang disebut analisis palaeografis, juga
nama raja yang disebutkannya dalam prasasti tersebut, maka dapat
diketahui bahwa prasasti Kebantenan dikeluarkan oleh Sri Baduga
Maharajadhiraja yang memerintah di Pakwan Pajajaran (1482-1521 AD).
Lempeng E42a: muka
1. //0// om awighnamastu nihan sakakala RA-
2. HIYANG WASTU KANCANA pun/turun ka RA
3. HIYANG NINGRAT KANCANA /maka nguni ka susuhunan
4. na di PAKWAN PAJAJARAN pun/ mulah mo mihape
Lempeng E.43: Muka:
1. //0// pun INI PITEKET SRI BADUGA MAHARAJA RATU
2. di PAKWAN SRI SANG RATU DEWATA /…
Lempeng E.44: Muka:
1. ini piteket nu seba di PAJAJARAN. miteke
2. tanna kabuyutan di sunda sembawa aya ma nu
3. yuan mulah aya nu nyekapan. mulah
4. nu munah-munah inya. nu ngaheuryanan lamun aya nu
Belakang
1. keudeu paambahna lurah sunda sembawa. KU AING DITAH DIPAEH-
2. HAN. kena eta lurah kawikwan
B.Prasasti Batutulis
Situs yang terletak di desa Batu Tulis, Sukasari Bogor merupakan
peninggalan Kerajaan Pakwan Pajajaran, dituliskan pada batu yang
dibentuk berupa ‘gunung” namun dengan memperlihatkan kesan alami.
Beraksara dan berbahasa Sunda Kuno terdiri dari sembilan baris.
Keterangan yang menguraikan Pajajaran sebagai berikut: “… (2) diya
wingaran prebu guru dewataprana di wastu diya wingaran sri (3) baduga
maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran sri sang ratu de (4) wata pun ya
nu nyusuk na pakwan…”
Piteket Kebantenan dan Batutulis keduanya
fakta keberadaan Pajajaran diawali Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata)
memerintah selama 39 tahun (1482–1521). Pada masa inilah Pakwan
Pajajaran mencapai puncak kejayaan perkembangannya. Prasasti Batutulis
mencatat bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, pertama ketika menerima
Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) dianugrahi gelar
Dewatapranata; kedua ketika menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya
(Susuktunggal). Melaui peristiwa ini Jayadewata resmi penguasa
Sunda-Galuh yang digelari Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Di Jawa Barat Sri Baduga lebih dikenal
dengan sebutan [Prabu] Siliwangi. Siliwangi tercatat dalam kropak 630
sebagai lakon pantun yang ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih
hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya juga berintikan
kisah sosok tokoh yang sama ini menjadi raja di Pakwan. Dari segi
sejarah berarti saat Sri Baduga memiliki kekuasaan sama besarnya dengan
Wastukancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para
pujangga Sunda). Mengapa masyarakat Sunda menjuluki [Prabu] Siliwangi
karena menurut tradisi lama ada semacam segan menyebut gelar raja yang
sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan
nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.
Jikalau saja karya
Pangeran Wangsakerta tidak dinilai ‘PALSU’ (tuduhan yang ikut-ikutan
tanpa disertai telaah yang seksama) maka karya inilah yang banyak
mengungkapkan sejarah Ki Sunda dengan gamblang bahkan mampu ‘membuka
tuntas Sejarah Nasional’ Naskah Pangeran Wangsakerta menyatakan bahawa
Siliwangi bukan nama pribadi: “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang
Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja
Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira” (Hanya orang Sunda dan
orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi
raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Sri
Baduga diagungkan oleh Urang Sunda sesuai yang dicatan dalam Carita
Parahiyangan: “Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal
musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan
kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa” (Ajaran
dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik
berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat
dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang
banyak yang serakah akan ajaran agama). Demikian pula Waruga Jagat
(Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis ditulis abad
ke-XVIII menggunakan bahasa Jawa dan aksara Pegon) menyebut pemerintahan
Sri Baduga sebagai Gemuh Pakwan (kemakmuran Pakuan). Maka tiada
mengherankan bila Sri Baduga diabadikan kebesarannya dalam MITOS URANG
SUNDA! Lebih dari itu mitos merupakan cara manusia memahami, menyatakan
dan menghubungkan kepada diri sendiri tentang konsep yang penting bagi
identitas diri sebagai budaya bahkan mitos dalam konteks semiotik adalah
untuk menaturalkan budaya (O’Sullivan, et.al, 1996).
Teringat kala
Bung Karno mempersiapkan Pancasila sebagai landasan moral NKRI. Ia
belajar dan menimba’ ide tokoh-tokoh "negeri seberang" namun akhirnya
kembali ke realitas Nusantara bahwa menentukan masa depan kelangsungan
NKRI tidak bisa mengingkari kenyataan pluralisme warisan sejarah yang
telah beratus-ratus tahun, termasuk pluralisme agama. Ia mengutip pidato
Ernest Renan (Sorbone 1882): ‘… Qu'est-ce qu'une Nation’ (apakah suatu
bangsa itu?) salah satu aspek yang ditekankan adalah bahwa nasionalisme
dimanapun dan oleh sipapapun tidak dapat didasarkan atas kesamaan tetapi
kesetaraan.
Bung Karno menyadari nasionalisme NKRI telah
punya pijakan historis yang lebih kokoh sejak awal, konsep yang tidak
hanya meletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme etnis
dan kultur tetapi sudah dikembangkan landasan teologis lebih memadai.
Maka ia mengangkat mitos Sutasoma (karya Mpu Tan Tular) ‘Bhineka Tunggal
Ika Tan Hana Dharma Mangrwa’ yang menegaskan sesungguhnya kebenaran itu
satu dan tidak terbagi, meski mewujud dalam simbol-simbol yang secara
eksoteris berbeda-beda. Prinsip kasunyatan Tantular inilah yang oleh
Bung Karno diterjemahkan secara politis ke dalam sila "Ketuhanan Yang
Maha Esa" dalam Pancasila, bersamaan dengan dibaptisnya siloka Bhinneka
Tunggal Ika sebagai lambang negara.
Melalui konsep ‘Bhineka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa inilah Bung Karno membebaskan negara
dan bangsa-nya dari ‘keharusan menantikan pesawat penyelamat dari
Moskwa atau seorang kalifah dari Istanbul’. Artinya Indonesia tidak akan
bisa dibentuk dan dijadikan negara dengan satu kekuatan kultur atau
satu kekuatan keyakinan, karena itu akan bertentangan dengan realitas
kemajemukan bangsa, juga bukan negara sekuler, karena melawan degup hati
sanubari rakyat yang sangat religius. Sejarah mencatat bahwa Bung Karno
memiliki dasar spiritualitas yang lapang, terbuka, inklusif dan toleran
berhasil mempersatukan bangsa yang majemuk ini menjadi satu. Justru
keragaman inilah pula yang menjadi ‘kekayaan warna hakiki’ NKRI.
Bung Karno mengingatkan salah satu sloka ‘mitos’ Ramayana (karya
pujangga Valmiki) mengenai cinta dan bakti kepada Janani Janmabhumi: ‘…
agar setiap orang mencintai Tanah Airnya layaknya mencintai ibu
kandungnya sendiri. Juga sebagaimana sikap pembelaan Kumbakarna terhadap
negeri Alengka yang diteladankan dalam Serat Tripama (Mangkunegara IV).
Ksatria berwujud raksasa yang membela Tanah Airnya bukan karena
mendukung kejahatan, tetapi karena tidak tega melihat Tanah Airnya,
sumur dan ladang sehari-hari yang ia makan dan minum itu, diinjak-injak
pasukan musuh, sekalipun musuhnya berada di pihak yang benar. Sikap
Kumbakarna diartikan right or wrong is my country…’
Tetapi Bung
Karno tidak menafsirkan nasionalisme se-ekstrem itu hanya penolakannya
terhadap chauvinisme. Dan sebagai gantinya menawarkan nasionalisme yang
tumbuh subur dalam Taman Sari’ perikemanusiaan ‘My Nasionalism is
humanity’. Layaknya ucapan pujangga Jawa: ’berbakti kepada keindahan’
(ahyun ing kalangwan) karena keyakinan bahwa Tuhan sendiri sesungguhnya
‘tattwa ning lango’ (inti segala keindahan).
Bagi Bung Karno
pemikiran ‘Spiritualitas semesta’ (holistic spirituality) bukan
sinkretisme (percampuran) agama-agama, melainkan karena gayabahasa
teologisnya ‘melintas batas’ (passing over) berbagai agama dan tradisi
spiritual. Maka itu tatkala mengemukakan perbandingan berbagai agama di
Nusantara dengan lantang mengemukakan tamsil-tamsil ajaran Islam,
Kristen, Hindu, dan Budha. Ayat-ayat suci yang dikutipnya diucap-kan di
luar komunitas agama yang menganutnya. Tanpa ragu-ragu ia mengutip Injil
atau Bhagawad Gita di forum Islam.
Karean Bung Karno juga
menyadari bahwa suatu keberadaan tidak demikian saja hadir tanpa
pendahulu atau sang pemula yang telah melalui perjalanan sejarah teramat
panjang. Selaras ungkapan sosok raja Sunda: ‘Hana nguni hana mangke,
tan hana nguni tan hana mangke, Hana tunggak hana watang, tan hana
tunggak tan hana watang, Hana ma tunggulna aya tu catangna’. Pernyataan
seperti ini kerap dituduh berbau esoteris dan mudah terperangkap ke alam
transedental (Mitos); atau sebagai yang tidak punya ‘welt-aanschaung’
(filsafat berfikir); atau terlalu tradiosionil atau terlalu berpegang
pada Mitos sebagaimana disebutkan pakar bernuansa ‘barat’.
Jangan
lupa bahwa sejak lahir Nusantara termasuk ke fisafat timur yang berbeda
dengan filsafat barat. Juga hendaknya ingat kita punya Local Genius
sehingga itu pula Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dari
konsep mitos Sutasoma diangkat Proklamator Kemerdekaan menjadi landasan
negara.
Mitos merupakan signifikansi bahasa simbolik manusia karena
'Apa yang tidak kita katakan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah
mengatakannya' Sebab manusia dalam kehidupannya selain dibekali
kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa
itu sendiri. Tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa
nonverbal manusia, juga bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti
gambar) atau gerakan-gerakan tertentu yang disebut tanda tentang semua
yang ada di dunia. Semuanya menyimpan makna penting type of speech (tipe
wicara atau gaya bicara) seseorang. Maka Mitoslah yang digunakan untuk
mengungkapkan sesuatu yang tersimpan di dalam dirinya, karena umumnya
manusia tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya ternyata
dapat dibaca orang lain.
Jangan lupa ketika Sunan Kalijaga
menyebarkan Islam di Jawa, ia menyadari bahwa Islam hanya akan bisa
diterima oleh masyarakat Jawa apabila budaya inti orang Jawa (wayang)
tidak diganggu gugat. Karena bagi masyarakat Jawa, wayang bukan sekedar
tontonon tapi etika budaya Jawa yang berusia sangat tua yang masih hidup
sampai sekarang. Karenanya wajah Islam di Jawa (Indonesia) memiliki
ciri berbeda dengan Islam Saudi Arabia tanpa mengurangi maknanya. Wayang
oleh Sunan Kalijaga dijadikan alat penyebaran Islam dengan memasukkan
unsur Islam dalam Mahabharata dimana Puntadewa/Yudistira (raja
Amartapura) memiliki jimat/pusaka “Jamus Kalimasada”pegangan/lambang
keunggulan yang sebenarnya “Kalimat Sahadat”
Inilah kelebihan
mitos sehingga menjadi telaah ilmu-ilmu pengetahuan budaya guna
mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda
(gambar). Studi tentang mitos dapat mengungkap gejala tersembunyi dalam
sosial budaya dimana masih banyak sekali makna-makna belum terungkap.
Mitos menjadi medium untuk membedah makna-makna tersebut. Selain sebagai
ilmu, mitos juga digunakan sebagai cara pandang atau paradigma untuk
menganalisa peristiwa.
Kiranya Sejarawan senior seperti
M.M.Soekarto Karto Atmojo memang bukan bernama besar seperti Sartono
Kartodirjo, tetapi ia mengingatkan bahwa: “… sensus divinus dalam bentuk
religio/relevatio naturalis yang tumbuh di kalangan masyarakat baik
yang masih mendekati asli maupun yang telah berkembang baik setelah
kontak dengan inovasi luar …. Jangan ditentang atau dikecam, melainkan
biarlah berkembang sesuai situasi dan kondisi (desa-kala-patra)… sebab
apabila ditentang akan menimbulkan kekosongan patologis atau bahaya
pengasingan diri dan kehilangan identitas…” Maka Mitos Siliwangi
merupakan sensus divinus relevatio naturalis yang tumbuh di kalangan
masyarakat Sunda tidak perlu ditentang karena inilah Local Genius yang
merupakan ICON MILIK MASYARAKAT TATAR SUNDA.
4.SUNDA BUKAN KETURUNAN PAJAJARAN:
Pernyataan bahwa Urang Sunda bukan keturunan Pajajaran, mungkin kalimat
itu seharusnya masyarakat Jawa Barat bukan atau tidak semua keturunan
Pajajaran. Jikalau Sunda bangga akan Pajajaran adalah suatu kewajaran
yang patut diterima karena bukan suatu paksaan pula untuk tidak bangga
karena tidak semua yang ada dan menghuni Jawa Barat adalah Urang Sunda.
Sebab ada hal hal yang ‘tidak bisa diabaikan bahwa NKRI ditakdirkan
kepulauan dengan aneka etnis dan aneka kultur dan keyakinannya.
Tertidurnya Urang Sunda memang suatu hal yang perlu digali. Namun tentu
bukan sekedar ‘piwejang, nasihat saran atau usul’ yang hanya menjadi
wacana, melainkan realisasi ‘peluang berbicara, lahan untuk turut serta
bekerja, berkiprah dalam berbagai bidang selaras kodrat kebudayaannya.
Kenyataannya, tidak semua Urang Sunda mampu berbicara, tidak semua Urang
Sunda duduk enak dalam suatu lingkungan, dan tidak semuanya memiliki
luang dan peluang ke arah itu. Inilah yang perlu diperhatikan dan
disediakan seluas-luasnya karena bukan karean Urang Sunda tidak mampu
atau tidak ada kemampuan melainkan kesempatan yang demikian sempit:
Contohnya: 1) Karya Wangsakrta seharusnya membuka peluang ditelaah
ulang dengan menyertakan berbagai disiplin ilmu budaya memerlukan uluran
tangan yang memiliki kelebihan materi serta peluang; 2) Sejarah
kebudayaan Sunda di dalam Sejarah Nasional Indonesia II (Jaman Kuna)
layaknya ‘indekost’ (nyiruruk) pada satu kamar sempit pengap tidak
berjendela; 3) Sastra Sunda di Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya Universitas
Indonesia hingga saat ini ‘numpang hidup’ di jurusan Sastra Jawa. Tak
pelak lagi kenyataan inilah yang dialami KiSunda, maka yang diperlukan
uluran tangan ‘orang kuat’ yang dengan kesadaran dirinya membuka
peluang.
Urang Sunda mengagungkan Pajajaran dan Siliwangi bukan
tanpa menyadari untuk maju dan tanpa kemauan tetapi kondisi lingkungan
yang tidak memungkinkannya, sebagaimana dihayati Bung Karno pluralisme
agama adalah problem tersendiri yang harusnya diberi perhatian khusus
dalam membangun bangsa karena Bung Karno memiliki latar belakang
pandangan teologis mengakrabi alam semesta. Kunci memahaminya adalah Tat
Twam Asi ‘Aku adalah dia, dia adalah aku!’ bahwa mencintai sesama
berarti mencintai Tuhan, mencintai alam berarti mencintai PenciptaNya.
Cag-Peun!
Ing dalem sipawindu hurip, Bintaro - Jakarta Minggu 12 April 2011
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.