Karajaan Galuh
Sungai Citarum
menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
|
Kerajaan Sunda Galuh adalah suatu kerajaan yang
merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat,
yaitu Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh.
Kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari kerajaan Tarumanagara. Berdasarkan peninggalan sejarah
seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang
menjadi kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten Ciamis.
Namun demikian, banyak sumber
peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja. Perjalanan pertama Prabu
Jaya Pakuan (Bujangga Manik)
mengelilingi pulau Jawa dilukiskan sebagai berikut: [1] [2]:
Sadatang
ka tungtung Sunda
(Ketika ku mencapai perbatasan Sunda).
Meuntasing di Cipamali (Aku menyeberangi Cipamali (yang sekarang dinamai kali Brebes)).
Datang ka alas Jawa (dan masuklah aku ke hutan Jawa).
Meuntasing di Cipamali (Aku menyeberangi Cipamali (yang sekarang dinamai kali Brebes)).
Datang ka alas Jawa (dan masuklah aku ke hutan Jawa).
Menurut Tome Pires (1513) dalam
catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia menuliskan bahwa:
The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to
whom more authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third
part of the island and an eight more. It ends at the river chi Manuk. They say
that from the earliest times God divided the island of Java from that of Sunda
and that of Java by the said river, which has trees from one end to the other,
and they say the trees on each side line over to each country with the branches
on the ground.
Keterangan
keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah
lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti
di daerah Sukabumi
bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.
|
Berdirinya
kerajaan Sunda dan Galuh
Pembagian Tarumanagara
Tarusbawa yang berasal dari
Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor
Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan
keharuman zaman Purnawarman
yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia
mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan
alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan
Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.
Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada
Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi
karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri
Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi
lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh.
Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Lokasi ibukota Sunda
Maharaja Tarusbawa kemudian
mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan.[3] Dalam Carita Parahiyangan,
tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja
Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723
M.
Sunda sebagai nama kerajaan
tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati
di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda
terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada
bagian Sungai Cicatih
yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran
batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak
menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.
Keterlibatan Kalingga
Karena putera mahkota wafat
mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama
Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri ini
adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan Jamri, yang dalam tahun 723
menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda
ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh
dikenal dengan nama Sanjaya.
Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA,
cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah
Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa. Sena
adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua
(702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA.
Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan
keluarganya menyelamatkan diri ke Sundapura, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta
pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena,
sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara
/ Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan
Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan
Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan Sunda Galuh.
Sanjaya adalah penguasa Kerajaan
Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Sebagai ahli waris Kerajaan Kalingga, Sanjaya menjadi penguasa
Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) di tahun 732 M. Kekuasaan di
Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan
Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai
Panangkaran,
putera Sanjaya dari Sudiwara
puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Prasasti Jayabupati
Isi prasasti
Telah diungkapkan di awal bahwa
nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di
daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat
(4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada
aliran Sungai
Cicatih di
daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung
Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan
prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang
disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan
D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita
952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka
diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen
wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana
wikra-mottunggadewa, ma-
D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang
tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya
baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang
tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i
wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang
sapatha.
D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda.
lwirnya nihan.
Terjemahan isi
prasasti, adalah sebagai berikut:
Selamat. Dalam tahun Saka 952
bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku
Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat
oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah
prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh Raja
Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris,
intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi
keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya
kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup
dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu
parahiyang semuanya).
Tanggal prasasti
Tanggal pembuatan Prasasti
Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa
III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030
-1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan
gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan
Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut
dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja
Tarusbawa.
Penyebab perpecahan
Telah diungkapkan sebelumnya,
bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun
670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan
Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M.
Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada
Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9
bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal
18 Mei 669 M.
Sanna dan Purbasora
Tarusbawa adalah sahabat baik
Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal
dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang
mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias
Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M.
Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang
Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu
Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya Purbasora dan Sena
adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri
Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi
Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat
jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari
Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh.
Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora
untuk merebut tahta Galuh dari Sena.
Dengan bantuan pasukan dari
mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan
perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.
Sanjaya dan Balangantrang
Sanjaya, anak Sannaha saudara
perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu
ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah
menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Sebelum itu ia telah menyiapkan
pasukan khusus di daerah Gunung Sawal
atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini
langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada.
Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga
Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang
menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.
Patih itu bernama Bimaraksa yang
lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati
kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama
Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun
karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di
kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia
mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar
Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai
pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sanjaya mendapat pesan dari Sena,
bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus tetap
dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan
penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan
Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta
beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan
tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan
muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sanjaya sendiri tidak bisa
menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya
Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia
menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja
Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di
Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu
berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia
telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa
sejak muda. Ia memiliki julukan Bagawat Sajalajaya.
Premana, Pangreyep dan Tamperan
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya
cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum,
adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan
Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.
Pasangan Premana dan Naganingrum
sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia
baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah
dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian
hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan
mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan
Manarah untuk melakukan pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan Premana
Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh
ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya
menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin
"garnizun" Sunda di ibukota Galuh.
Premana Dikusumah menerima
kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena
Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan
yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya.
Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena
mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.
Kedudukan Premana serba sulit, ia
sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk
kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka
ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda
sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep.
Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus
menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya,
Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep,
istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).
Skandal itu terjadi karena
beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan
kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah
berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa;
ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai
orang Sunda di Galuh kurang disenangi.
Untuk menghapus jejak Tamperan
mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya
sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium
oleh senapati tua Ki Balangantrang.
Tamperan sebagai raja
Dalam tahun 732 M Sanjaya
mewarisi tahta Kerajaan Mataram
dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur
pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda
dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan
Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah Tamperan menjadi
penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M.
Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana
perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger
Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan
seperti anak sendiri.
Sesuai dengan rencana
Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta
sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama
anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang
memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.
Kudeta itu berhasil dalam waktu
singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh
dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat
ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam
harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.
Akan tetapi hal itu diketahui
oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah
pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga.
Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan
panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.
Manarah dan Banga
Berita kematian Tamperan didengar
oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan
besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia
telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan
Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan
raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang besar sesama keturunan
Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M,
ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai
kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama
periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian
itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang
senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap
hidup atas kebaikan hati Manarah.
Untuk memperteguh perjanjian,
Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai
penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri
Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji
Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.
Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah tua dari kabuyutan
Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14
memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini
dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang
merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di
sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia
memerintah 27 tahun lamanya (739-766).
Manarah, dengan gelar Prabu
Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur
panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[4] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya,
yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir
hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi
Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana
Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam
naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga.
Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita
Waruga Guru, yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling
menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru
didirikan Raden Wijaya
dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.
Keturunan Manarah putus hanya
sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh
diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon
(819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari
Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah
oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton
Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).
ubungan Sunda Galuh dan Sriwijaya
Sri Jayabupati yang prasastinya
telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang
Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja
Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut
Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah
yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah
mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda
keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan
yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada
puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam
kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan
dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya
serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar
bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta
(disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Hubungan dengan berdirinya Majapahit
Prabu Guru Darmasiksa Prabu
Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma, dan berkedudukan di
Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah
menantu Mahisa Campaka
di Jawa Timur, karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari
Mahisa Wong Ateleng,
yang merupakan anak dari Ken
Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.
Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu
Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya
yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah
turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia
muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden
Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.
Dalam Babad Tanah Jawi Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan.
Sebagai keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang
sah, yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat.
Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya
berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi raja
pertama Majapahit.
Daftar raja-raja Sunda Galuh
Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati
Di
bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah
20 orang :
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.