SITUS BUKIT CULA (Dok Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
PERADABAN
batu yang berlangsung sejak 40.000 tahun lalu masih menyiratkan
perjalanan panjang sejarah manusia. Batu merupakan sumber kekayaan alam
yang tak pernah habis, meskipun secara terus-menerus dieksploitasi untuk
berbagai kepentingan. Bahkan dari batu inilah timbul suatu peradaban di
masyarakat purba yang dikenal dengan budaya batu.
Sisa-sisa
peradaban batu inilah yang kemudian menyisakan berbagai tanggapan dan
persepsi oleh sebagian masyarakat yang dikait-kaitan dengan kehidupan
masa lampau. Sebagai contoh, ketika orang menemukan seonggok batu yang
menyerupai benda-benda tertentu, maka secara serta merta muncul gambaran
yang dikaitkan dengan apa yang pernah didengar tentang masa lalu, baik
yang bersumber dari cerita turun-temurun, atau bahkan timbul idea untuk
merentang kembali kisah-kisah lama.
Di Kecamatan Ciparay,
tepatnya di Desa Gunungleutik terdapat sebuah situs yang dikenal dengan
nama Situs Bukit Cula. Situs ini terletak tidak jauh dari Kadaleman yang
nantinya akan dijadikan areal waduk untuk penampungan air irigasi.
Di areal Situs Bukit Cula ini, terdapat beragam bentuk batu yang telah
memiliki nama masing-masing. Entah dari mana asal-usul nama tersebut.
Tapi, masyarakat sekitar tetap memercayainya bahwa kemungkinan di sini
sempat berdiri sebuah kekuasan mirip sebuah kerajaan. Tapi, tak seorang
pun tahu makna dari nama-nama tersebut.
Penamaan Bukit Cula
sendiri, tentu sangat ganjil. Sebab, tak ada sesuatu tanda yang mengarah
kepada hubungan dengan binatang bercula. Batu-batu yang terdapat di
situ, lebih mirip kebanyakan batu-batu biasa. Akan tetapi, jika menengok
kembali kepada masa silam sekitar abad ke-17, mungkin akan sedikit
terungkap mengenai asal-muasal nama Bukit Cula.
Pada masa itu,
sempat dikabarkan bahwa selama pengungsian ke wilayah selatan dengan
cara menyamar sebagai rakyat biasa, Dipati Ukur sempat melucuti pakaian
kebesaran kadaleman untuk kemudian diganti dengan pakaian rakyat
kebanyakan. Dan salah satu asesoris pakaian kebesarannya itu terselip
sebuah benda pusaka berupa duhung yang bernama culanagara.
Konon,
duhung pusaka tersebut merupakan warisan terakhir dari Raja Pajajaran,
Prabu Suryakancana Sang Nusia Mulya sebagai sebuah amanat untuk menjaga
dan mempertahankan tanjeur Panjajaran pasca-Pajajaran burak. Amanat itu
memang sempat dijalankan manakala Dipati Ukur berhasil menguasai wilayah
tatar Sunda sebagai wedana bupati menggantikan Rangga Gempol.
Salah satu tugas Dipati Ukur dalam kepemimpinannya adalah
mempertahankan keutuhan Tatar Sunda yang menapak pada gaya kepemimpinan
tradisional Sunda dengan berlandaskan kepada tatanan budaya dan
peradaban Sunda sakabeh, yaitu sebuah tatanan pemerintah yang berpedoman
kepada amateguh kadatwan sebagai master plan Pajajaran.
Prinsip kepemimpinan amateguh kadatwan ditandai dengan delapan komitmen, yaitu:
•Mawusana panyatrwanan (menghentikan permusuhan);
•Mitrasamaya (merentang silaturahmi) untuk saling bekerja sama (atuntunan tangan) dan saling membantu (parasparopakara);
•Menghindari dendam (paribhaksa) terhadap sesama karena sesungguhnya masih tunggal kawitan (seketurunan);
•Mhardika (memerdekakan) setiap manusia dari ketertawanan hidup;
•Telasaken (segera menyelesaikan friksi dan konflik) dengan cara
apakenak (damai) melalui mapulungrahi (musyawarah) dengan semangat
kahareup paduluran (persaudaraan);
•Silih asih, silih asah, silih asuh (saling mengasih, saling mendewasakan, dan saling mencerdaskan);
•Tidak boleh saling menguasai wilayah kewenangan (parapura); serta
•Menghormati hak atas ahli waris yang sah (maryada sakeng si tutu).
Delapan komitmen inilah yang dilaksanakan para raja Sunda sakabeh
(se-Nusantara) sebelum datangnya pihak-pihak asing yang mencoba untuk
menguasai wilayah nusantara. Dalam konteks mempertahankan wilayah
kewenangan (parapura) serta menghormati hak atas ahli waris yang sah
(maryada sakeng si tutu) inilah, Dipati Ukur memosisikan diri dalam
menghadapi ekspansi kolonisasi Mataram dan kolonialis-imperialisme VOC.
Namun, upaya Sang Palangka Culanagara ini menemui hambatan, justru
karena sebagian besar para bupati di tatar Priangan itu kebanyakan telah
menjadi daerah bawahan (vazal) dari Kesultanan Mataram.
Bahkan,
pada akhirnya, Tatar Ukur sendiri sebagai wilayah kekuasaan Sang Adipati
Ukur, secara de fakto mulai dikuasainya setelah ada celah kekosongan di
pusat pemerintahan. Pengosongan pusat pemerintahan ini, terutama untuk
menghindari benturan fisik antara pihak Mataram dan rakyat. Maka, Dipati
Ukur lebih memilih menghindar dan melakukan gerilya bersama pasukannya
di hutan-hutan pegunungan.
Saat bergerilya itulah, Dipati Ukur
lebih memusatkan perjuangannya di Wilayah Ciparay dan sekitarnya di
daerah selatan hingga wilayah Pangalengan. Tidak heran apabila
jejak-jejak Dipati Ukur tersebar di wilayah ini.
Jejak-jejak
peninggalan Dipati Ukur di wilayah ini lebih banyak berupa folklor yang
hidup di kalangan masyarakat. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu
kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, diantara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat
atau alat pembantu pengingat.
Berdasarkan rumusan tersebut,
pakar kebudayaan James Dananjaya (2002), menyebutkan bahwa setiap
folklore mempunyai ciri-ciri utama, yang pada umumnya dapat dirumuskan
sebagai berikut:
(a) penyebaran dan pewarisannya biasanya
dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melali tutur kata dari mulut ke
mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan
alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
(b) folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk
relative tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif
tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
(c) flklor ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal
ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan),
biasanya buklan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proises lupa
diri manusia ata proses interpolusi, folklore dengan mudah dapat
mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada
bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
(d) folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi
(e) folklor biasanya mempunyai bentuk dan berpola
(f) folklor mempunyai keguanaan dalam kehidupan bersama satu
kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat
pendidik, pelipur lara, proses social, dan proyeksi keinginan terpendam.
(g) folklor begitu pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri
yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku
bagi folklore lisan dan sebagian lisan
(h) folklor menjadi
milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu disebabkan
karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahi lagi, sehingga
setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya
(i) folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali
kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila
mengingat bahwa banyak folklore merupakan proyeksi emosi manusia yang
paling jujur manifestasinya.
Folklor dapat digolongkan dalam 3 kelompok besar berdasarkan tipenya:
(1) folklor lisan,
(2) folklor sebagian lisan, dan
(3) folklor bukan lisan. Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.
Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain:
(a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan,
(b) ungkapan tradisonal, seperti peribahasa, pepatah, pameo,
(c) pernyataan sosial, seperti teka-teki (tatarucingan), uga.
(d) puisi rakyat, seperti sisindiran (paparikan, rarakitan, wawangsalan), rajah, jangjawokan,
(e) cerita prosa rakyat, seperti sasakala atau legenda,
(f) nyanyian rakyat, seperti kakawihan.
Folklor sebagian lisan adalah folklore yang bentuknya merupakan
campuran unsur lisan dan unsure bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat
semacam takhayul, yaitu dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah
dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib. Bentuk-bentuk
folklore yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan
rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta
rakyat, dan lain-lain.
Folklor bukan lisan adala folklor yang
bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara
lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi 2 subkelompok, yakni yang
material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklore yang tergolong
material antara lain arsitektu rakyat (bentuk rumah asli daerah atau
rumah adat, bentuk lumbung padi, bentuk karaton Sunda, kerajinan tangan
rakyat, pakaian dan perhiasan adat, makan dan minuman tradisional.
Sedangkan yang termasuk yang bkan material antara lain, gerak isyarat
tradisional untuk komunikasi rakyat, misalnya kentongan, kohkol dan
musik rakyat.
Berdasarkan keterangan di atas, folklor
peninggalan Jejak-jejak semasa perjuangan Dipati Ukur di wilayah
kecamatan Ciparay ini, diantaranya terhimpun di kawasan Situs Bukit
Cula, berupa bongkahan-bongkahan batu yang telah diberi nama, seperti
Batu Ramogiling, Batu Palalangon, Batu Korsi, Batu Altar, Batu Korsi
Oray Sinduk, Batu Tangkorak Monyet, Batu Bandera, dan Batu Undak Sindang
Panon.
Selain terdapat penyebaran bongkahan batu dengan
nama-nama unik, di kawasan Situs Bukit Cula ini, terdapat pula blok-blok
lahan bernama Kadaleman, Leuit Salawe Jajar, Astana Gede, Cukang Irung,
Sindang Reureuh, Pamoyanan, dan Pasarean Embah Sakti.
Nama-nama tersebut bila dikaitkan dengan konsep tata ruang pemerintahan
tradisional, jelas memiliki keterkaitan makna. Seperti nama Leuit Salawe
jajar, Kadaleman, Batu Korsi, Batu Palalangon, batu Bandera, adalah
tidak lain merupakan konsep lima mandala dari tata ruang wilayah di
dalam karaton, yaitu Sri Bima (Kadaleman) Punta (Pamoyanan) Narayana
(Batu Palalangon), Madura (Sindang Reureuh) Suradipati (Leuit salawe
Jajar).*** Dicopas tina : http://bandungkabmozaik.com/
Gambar : Gunung Bukit Culah (cula) - Ciparay Kab.Bandung- Google
Sisa-sisa peradaban batu inilah yang kemudian menyisakan berbagai tanggapan dan persepsi oleh sebagian masyarakat yang dikait-kaitan dengan kehidupan masa lampau. Sebagai contoh, ketika orang menemukan seonggok batu yang menyerupai benda-benda tertentu, maka secara serta merta muncul gambaran yang dikaitkan dengan apa yang pernah didengar tentang masa lalu, baik yang bersumber dari cerita turun-temurun, atau bahkan timbul idea untuk merentang kembali kisah-kisah lama.
Di Kecamatan Ciparay, tepatnya di Desa Gunungleutik terdapat sebuah situs yang dikenal dengan nama Situs Bukit Cula. Situs ini terletak tidak jauh dari Kadaleman yang nantinya akan dijadikan areal waduk untuk penampungan air irigasi.
Di areal Situs Bukit Cula ini, terdapat beragam bentuk batu yang telah memiliki nama masing-masing. Entah dari mana asal-usul nama tersebut. Tapi, masyarakat sekitar tetap memercayainya bahwa kemungkinan di sini sempat berdiri sebuah kekuasan mirip sebuah kerajaan. Tapi, tak seorang pun tahu makna dari nama-nama tersebut.
Penamaan Bukit Cula sendiri, tentu sangat ganjil. Sebab, tak ada sesuatu tanda yang mengarah kepada hubungan dengan binatang bercula. Batu-batu yang terdapat di situ, lebih mirip kebanyakan batu-batu biasa. Akan tetapi, jika menengok kembali kepada masa silam sekitar abad ke-17, mungkin akan sedikit terungkap mengenai asal-muasal nama Bukit Cula.
Pada masa itu, sempat dikabarkan bahwa selama pengungsian ke wilayah selatan dengan cara menyamar sebagai rakyat biasa, Dipati Ukur sempat melucuti pakaian kebesaran kadaleman untuk kemudian diganti dengan pakaian rakyat kebanyakan. Dan salah satu asesoris pakaian kebesarannya itu terselip sebuah benda pusaka berupa duhung yang bernama culanagara.
Konon, duhung pusaka tersebut merupakan warisan terakhir dari Raja Pajajaran, Prabu Suryakancana Sang Nusia Mulya sebagai sebuah amanat untuk menjaga dan mempertahankan tanjeur Panjajaran pasca-Pajajaran burak. Amanat itu memang sempat dijalankan manakala Dipati Ukur berhasil menguasai wilayah tatar Sunda sebagai wedana bupati menggantikan Rangga Gempol.
Salah satu tugas Dipati Ukur dalam kepemimpinannya adalah mempertahankan keutuhan Tatar Sunda yang menapak pada gaya kepemimpinan tradisional Sunda dengan berlandaskan kepada tatanan budaya dan peradaban Sunda sakabeh, yaitu sebuah tatanan pemerintah yang berpedoman kepada amateguh kadatwan sebagai master plan Pajajaran.
Prinsip kepemimpinan amateguh kadatwan ditandai dengan delapan komitmen, yaitu:
•Mawusana panyatrwanan (menghentikan permusuhan);
•Mitrasamaya (merentang silaturahmi) untuk saling bekerja sama (atuntunan tangan) dan saling membantu (parasparopakara);
•Menghindari dendam (paribhaksa) terhadap sesama karena sesungguhnya masih tunggal kawitan (seketurunan);
•Mhardika (memerdekakan) setiap manusia dari ketertawanan hidup;
•Telasaken (segera menyelesaikan friksi dan konflik) dengan cara apakenak (damai) melalui mapulungrahi (musyawarah) dengan semangat kahareup paduluran (persaudaraan);
•Silih asih, silih asah, silih asuh (saling mengasih, saling mendewasakan, dan saling mencerdaskan);
•Tidak boleh saling menguasai wilayah kewenangan (parapura); serta
•Menghormati hak atas ahli waris yang sah (maryada sakeng si tutu).
Delapan komitmen inilah yang dilaksanakan para raja Sunda sakabeh (se-Nusantara) sebelum datangnya pihak-pihak asing yang mencoba untuk menguasai wilayah nusantara. Dalam konteks mempertahankan wilayah kewenangan (parapura) serta menghormati hak atas ahli waris yang sah (maryada sakeng si tutu) inilah, Dipati Ukur memosisikan diri dalam menghadapi ekspansi kolonisasi Mataram dan kolonialis-imperialisme VOC. Namun, upaya Sang Palangka Culanagara ini menemui hambatan, justru karena sebagian besar para bupati di tatar Priangan itu kebanyakan telah menjadi daerah bawahan (vazal) dari Kesultanan Mataram.
Bahkan, pada akhirnya, Tatar Ukur sendiri sebagai wilayah kekuasaan Sang Adipati Ukur, secara de fakto mulai dikuasainya setelah ada celah kekosongan di pusat pemerintahan. Pengosongan pusat pemerintahan ini, terutama untuk menghindari benturan fisik antara pihak Mataram dan rakyat. Maka, Dipati Ukur lebih memilih menghindar dan melakukan gerilya bersama pasukannya di hutan-hutan pegunungan.
Saat bergerilya itulah, Dipati Ukur lebih memusatkan perjuangannya di Wilayah Ciparay dan sekitarnya di daerah selatan hingga wilayah Pangalengan. Tidak heran apabila jejak-jejak Dipati Ukur tersebar di wilayah ini.
Jejak-jejak peninggalan Dipati Ukur di wilayah ini lebih banyak berupa folklor yang hidup di kalangan masyarakat. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Berdasarkan rumusan tersebut, pakar kebudayaan James Dananjaya (2002), menyebutkan bahwa setiap folklore mempunyai ciri-ciri utama, yang pada umumnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
(a) penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melali tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
(b) folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relative tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
(c) flklor ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya buklan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proises lupa diri manusia ata proses interpolusi, folklore dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
(d) folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi
(e) folklor biasanya mempunyai bentuk dan berpola
(f) folklor mempunyai keguanaan dalam kehidupan bersama satu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, proses social, dan proyeksi keinginan terpendam.
(g) folklor begitu pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklore lisan dan sebagian lisan
(h) folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu disebabkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahi lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya
(i) folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklore merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Folklor dapat digolongkan dalam 3 kelompok besar berdasarkan tipenya:
(1) folklor lisan,
(2) folklor sebagian lisan, dan
(3) folklor bukan lisan. Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.
Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain:
(a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan,
(b) ungkapan tradisonal, seperti peribahasa, pepatah, pameo,
(c) pernyataan sosial, seperti teka-teki (tatarucingan), uga.
(d) puisi rakyat, seperti sisindiran (paparikan, rarakitan, wawangsalan), rajah, jangjawokan,
(e) cerita prosa rakyat, seperti sasakala atau legenda,
(f) nyanyian rakyat, seperti kakawihan.
Folklor sebagian lisan adalah folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsure bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat semacam takhayul, yaitu dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib. Bentuk-bentuk folklore yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
Folklor bukan lisan adala folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi 2 subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklore yang tergolong material antara lain arsitektu rakyat (bentuk rumah asli daerah atau rumah adat, bentuk lumbung padi, bentuk karaton Sunda, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan adat, makan dan minuman tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bkan material antara lain, gerak isyarat tradisional untuk komunikasi rakyat, misalnya kentongan, kohkol dan musik rakyat.
Berdasarkan keterangan di atas, folklor peninggalan Jejak-jejak semasa perjuangan Dipati Ukur di wilayah kecamatan Ciparay ini, diantaranya terhimpun di kawasan Situs Bukit Cula, berupa bongkahan-bongkahan batu yang telah diberi nama, seperti Batu Ramogiling, Batu Palalangon, Batu Korsi, Batu Altar, Batu Korsi Oray Sinduk, Batu Tangkorak Monyet, Batu Bandera, dan Batu Undak Sindang Panon.
Selain terdapat penyebaran bongkahan batu dengan nama-nama unik, di kawasan Situs Bukit Cula ini, terdapat pula blok-blok lahan bernama Kadaleman, Leuit Salawe Jajar, Astana Gede, Cukang Irung, Sindang Reureuh, Pamoyanan, dan Pasarean Embah Sakti.
Nama-nama tersebut bila dikaitkan dengan konsep tata ruang pemerintahan tradisional, jelas memiliki keterkaitan makna. Seperti nama Leuit Salawe jajar, Kadaleman, Batu Korsi, Batu Palalangon, batu Bandera, adalah tidak lain merupakan konsep lima mandala dari tata ruang wilayah di dalam karaton, yaitu Sri Bima (Kadaleman) Punta (Pamoyanan) Narayana (Batu Palalangon), Madura (Sindang Reureuh) Suradipati (Leuit salawe Jajar).*** Dicopas tina : http://bandungkabmozaik.com/
Gambar : Gunung Bukit Culah (cula) - Ciparay Kab.Bandung- Google
- Get link
- X
- Other Apps
Klik dulu baru bisa rasakan ayam bangkok
ReplyDelete