Gua Purbakala di Bumi Barat Bandung (dok.Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh : Asep Suryana
Sudah lama saya mendengar nama Sangiang Tikoro, bahkan sejak kecil nama
itu diceritakan dan diceritakan lagi. Barulah pada hari Sabtu tanggal 8
Mei 2010 saya berkesempatan melihat mulut gua sungai bawah tanah yang
terkenal itu. Padahal dari Bandung tidaklah begitu jauh l.k. 35 km di
daerah Rajamandala perbatasan Kab. Bandung Barat dengan Cianjur.
Pada Sabtu itu saya mengikuti Jajal Geotrek IV yang digagas Truedee
Pustaka Sejati penerbit buku “Wisata Bumi Cekungan Bandung”. Jalur yang
ditelusur adalah Geotrek 7 dalam buku tersebut. Kami berkumpul di Taman
Ganeca di depan kampus ITB pukul 7. Peserta acara kali lebih dari
seratus orang melebihi batas ideal 60 orang. Pembimbing Jajal geotrek
ini adalah Dr. Budi Brahmantyo dan Drs. T. Bachtiar, MM aktivis dari
Kelompok Riset Cekungan Bandung yang menulis buku tersebut.
Tiba di PLTA Saguling lebih kurang pk 9.30, kami segera menuju samping
timur mulut Gua Sangiang Tikoro. Sekilas saya melihat seekor biawak
bergerak ke dalam di atas bebatuan dekat atap gua. Rupanya rombongan
kami mengusik ketenangannya berjemur di pagi itu. Di plasa dekat
Sangiang Tikoro ini kami dapat melihat pula tempat keluarnya air dari
rumah turbin dan bergabung lagi dengan Ci Tarum lama. Di sebelah selatan
terlihat jelas Pasir Kiara (732 m dpl) dan Puncak Larang (850 m).
Diperkirakan keduanya terpisah setelah terjadinya erosi mudik sungai
kecil ke arah hulu dan menjumpai pantai Danau Bandung Purba bagian
barat. Di sinilah tepatnya di Curug Halimun tempat bobolnya Danau
Bandung Purba dan mengeringkannya. Sayang pada kesempatan itu kami tidak
sampai ke Curug Halimun dan Sangiang Heuleut tempat di mana terjadinya
pengikisan menghasilkan jurang yang sempit dan jeram yang bertingkat.
Maklum pada tengah hari hujan turun terus-menerus, sedangkan peserta
sangat banyak dan kemampuannya tidak merata dengan medan yang menantang.
Kepercayaan bahwa Sangiang Tikoro (394 m) tempat bobolnya Danau Bandung
bertahan hingga awal abad ke-21. Selain itu Sangiang Tikoro juga
merupakan bagian dari Legenda Sangkuriang yang sudah dikenal paling
tidak pada abad ke-15 berdasarkan catatan perjalanan Bujangga Manik.
Pada 1959 K. Kusumadinata seorang geolog mengisyaratkan Sangiang Tikoro
bukan tempat bobolnya Danau bandung Purba. Baru pada tahun 2002 tulisan
ilmiah dalam MGI Vol. 17 (Budi Brahmantyo, Bandono, dan Sampurno),
“Analisis Geomorfologi, Perbukitan Saguling – Sangiangtikoro:
Pengeringan Danau Bandung Purba tidak melalui Gua Sangiangtikoro”
menegaskan lagi hal itu. Seharusnya dari dulu sudah ada yang berpikir
kritis, Kota Bandung yang menjadi danau berada di ketinggian 600-725 m
dpl sedangkan Sangiang Tikoro 394 m. Perbedaan ketinggian dan
geomorfologi/bentang alam sudah harus menjadi pertimbangan berdasarkan
prinsip fisika sederhana. Bayangkan keyakinan itu bertahan berabad-abad.
Dan kini kami berjalan bersama salah seorang peneliti tersebut dan
memberi pencerahan.
Setelah mendengarkan penjelasan dari
pembimbing acara, kami melanjutkan perjalanan mengitari rumah turbin dan
berjalan di samping Ci Tarum Lama. Sejenak saya melihat pertemuan air
dari Ci Tarum lama dan air yang keluar dari rumah turbin sebelum masuk
ke Sangiang Tikoro. Sebelumnya kami melewati sepasang pipa pesat yang
menyalurkan air dari Danau Saguling rumah turbin dengan perbedaan
ketinggian sekira 300 m.
Setelah Ci Tarum dibendung menjadi
Bendungan Saguling dan airnya mengalir melalui pipa pesat, maka
penggalan Ci Tarum lama sebelah barat menjadi surut dan dipasok dari
beberapa anak sungai dan mata air seperti yang saya lewati pada segmen
rumah turbin-Leuwi Malang. Akibatnya kita dapat melihat
bongkahan-bongkahan batu yang dahulunya terendam air, sungguh
menakjubkan. Batu tampak warna-warni, karena selain terdiri dari banyak
jenis batuan sedimen terdapat pula dari jenis karst (kapur/gamping) yang
merupakan bagian dari karst Rajamandala yang memanjang ke daerah
Cianjur Selatan hingga Sukabumi.
Kurang dari satu kilometer
dari rumah turbin terdapat dinding batu kapur yang menjulang tinggi, di
bawah dekat sungai terdapat lubang masuk yang cukup bagi orang dewasa
untuk berdiri tegak. Gua ini disebut Sangiang Poek (jangan dibaca “puk”,
poek artinya gelap). Kemudian masuk lebih kurang 15 m kita tiba pada
suatu tempat yang diperkirakan ruang utama dengan luas lebih kurang sama
dengan rumah T27. Selanjutnya ada jalan lain menuju sungai Ci Tarum
sekira 20 m dan membentuk huruf V dengan jalan masuk tadi. Kita akan
tiba di atas Ci Tarum.
Saya membayangkan andai pernah
ada manusia gua yang pernah menghuni gua ini seperti di Gua Pawon.
Sayang di beranda gua ini yang seharusnya berwarna putih karang sebagian
besar berwarna hitam oleh jelaga, karena ulah “manusia gua modern” yang
membuat api unggun dengan kayu bakar, sehingga atapnya pun berwarna
hitam. Jika kita membawa alat penerangan yang cukup, maka kita dapat
melihat dinding-dinding gua bagian dalam yang indah. Kita dapat melihat
proses pembentukan stalaktit yang masih pendek sekitar beberapa
sentimeter.
Dari Sangiang Poek perjalanan dilanjutkan ke Leuwi
Malang, menyusuri sungai yang penuh bebatuan. Sebagian peserta masih
berusaha loncat dari batu ke batu karena masih belum “ikhlas” berbasah
ria walau pada akhirnya harus nyemplung juga ke air. Di Leuwi Malang
kami tiba pukul 13 dan beristirahat sambil makan siang. Sayang sekali
hujan turun meskipun tidak deras, tetapi ditunggu-tunggu tidak berhenti.
Panitia memutuskan tidak meneruskan perjalanan ke Sangiang Heuleut,
tetapi kembali ke Sangiang Poek.
Setelah berkumpul di sungai
depan Sangiang Poek, peserta beristirahat sambil minum kopi, makan
bala-bala, dan comro. Pak Bachtiar salah seorang pembimbing Jajal
Geotrek mulai berenang di sungai Ci Tarum yang bersih ini dan menarik
keinginan peserta lainnya untuk ikut serta. Beliau memang pandai
menghibur peserta. Diharapkan dari acara seperti ini yang diikuti
peserta dari berbagai kalangan dapat menambah wawasan dan kesadaran
dalam memerlakukan lingkungan.
Mitos
Salah seorang
sepuh berserita kepada saya bahwa dahulu sebelum kemerdekaan apabila
orang tuanya memancing di Ci Tarum, maka tidak lupa membawa "lepit"
sebanyak tujuh buah. "Lepit" adalah bungkusan yang terbuat dari daun
sirih dan di dalamnya berisi sedikit kapur pinang, dan bahan lainnya
yang siap dikunyah tetapi tidak dimakan. Sebelum memancing ketujuh
"lepit" itu dilempar ke sungai. Kebiasaan lainnya adalah ketika akan
pergi ke Cianjur untuk menghadiri pertemuan pendekar silat setelah
menyeberang dengan rakit atau jembatan bambu, maka beliau akan
melemparkan ikatan tali ijuk.
Konon yang "ngageugeuh" Ci Tarum
berupa seekor ular keemasan dengan lingkaran di lehernya. Untuk hal ini
ada beberapa versi cerita. Terlepas dari maksud para orang tua dahulu
menciptakan mitos, kita dapat memaknainya sekarang bahwa memulai sesuatu
selalu memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan agar
memerlakukan lingkungan dan mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak
semena-mena.
Bahan bacaan:
Brahmantyo, B. & Bachtiar, T., “Wisata Bumi Cekungan Bandung”, Truedee
Pustaka Sejati, Bandung, 2009
Bachtiar, T., “Menyelamatkan Alam Sunda: Dano Bandung Purba”, Pusat Studi
Sunda, Bandung, 2007
Brahmantyo, B., “Menyelamatkan Alam Sunda: Geologi Jawa barat dan Kawasan
Kars di Tatar Sunda”, Pusat Studi Sunda, Bandung, 2007
gambar tina Google
Sudah lama saya mendengar nama Sangiang Tikoro, bahkan sejak kecil nama itu diceritakan dan diceritakan lagi. Barulah pada hari Sabtu tanggal 8 Mei 2010 saya berkesempatan melihat mulut gua sungai bawah tanah yang terkenal itu. Padahal dari Bandung tidaklah begitu jauh l.k. 35 km di daerah Rajamandala perbatasan Kab. Bandung Barat dengan Cianjur.
Pada Sabtu itu saya mengikuti Jajal Geotrek IV yang digagas Truedee Pustaka Sejati penerbit buku “Wisata Bumi Cekungan Bandung”. Jalur yang ditelusur adalah Geotrek 7 dalam buku tersebut. Kami berkumpul di Taman Ganeca di depan kampus ITB pukul 7. Peserta acara kali lebih dari seratus orang melebihi batas ideal 60 orang. Pembimbing Jajal geotrek ini adalah Dr. Budi Brahmantyo dan Drs. T. Bachtiar, MM aktivis dari Kelompok Riset Cekungan Bandung yang menulis buku tersebut.
Tiba di PLTA Saguling lebih kurang pk 9.30, kami segera menuju samping timur mulut Gua Sangiang Tikoro. Sekilas saya melihat seekor biawak bergerak ke dalam di atas bebatuan dekat atap gua. Rupanya rombongan kami mengusik ketenangannya berjemur di pagi itu. Di plasa dekat Sangiang Tikoro ini kami dapat melihat pula tempat keluarnya air dari rumah turbin dan bergabung lagi dengan Ci Tarum lama. Di sebelah selatan terlihat jelas Pasir Kiara (732 m dpl) dan Puncak Larang (850 m). Diperkirakan keduanya terpisah setelah terjadinya erosi mudik sungai kecil ke arah hulu dan menjumpai pantai Danau Bandung Purba bagian barat. Di sinilah tepatnya di Curug Halimun tempat bobolnya Danau Bandung Purba dan mengeringkannya. Sayang pada kesempatan itu kami tidak sampai ke Curug Halimun dan Sangiang Heuleut tempat di mana terjadinya pengikisan menghasilkan jurang yang sempit dan jeram yang bertingkat. Maklum pada tengah hari hujan turun terus-menerus, sedangkan peserta sangat banyak dan kemampuannya tidak merata dengan medan yang menantang.
Kepercayaan bahwa Sangiang Tikoro (394 m) tempat bobolnya Danau Bandung bertahan hingga awal abad ke-21. Selain itu Sangiang Tikoro juga merupakan bagian dari Legenda Sangkuriang yang sudah dikenal paling tidak pada abad ke-15 berdasarkan catatan perjalanan Bujangga Manik. Pada 1959 K. Kusumadinata seorang geolog mengisyaratkan Sangiang Tikoro bukan tempat bobolnya Danau bandung Purba. Baru pada tahun 2002 tulisan ilmiah dalam MGI Vol. 17 (Budi Brahmantyo, Bandono, dan Sampurno), “Analisis Geomorfologi, Perbukitan Saguling – Sangiangtikoro: Pengeringan Danau Bandung Purba tidak melalui Gua Sangiangtikoro” menegaskan lagi hal itu. Seharusnya dari dulu sudah ada yang berpikir kritis, Kota Bandung yang menjadi danau berada di ketinggian 600-725 m dpl sedangkan Sangiang Tikoro 394 m. Perbedaan ketinggian dan geomorfologi/bentang alam sudah harus menjadi pertimbangan berdasarkan prinsip fisika sederhana. Bayangkan keyakinan itu bertahan berabad-abad. Dan kini kami berjalan bersama salah seorang peneliti tersebut dan memberi pencerahan.
Setelah mendengarkan penjelasan dari pembimbing acara, kami melanjutkan perjalanan mengitari rumah turbin dan berjalan di samping Ci Tarum Lama. Sejenak saya melihat pertemuan air dari Ci Tarum lama dan air yang keluar dari rumah turbin sebelum masuk ke Sangiang Tikoro. Sebelumnya kami melewati sepasang pipa pesat yang menyalurkan air dari Danau Saguling rumah turbin dengan perbedaan ketinggian sekira 300 m.
Setelah Ci Tarum dibendung menjadi Bendungan Saguling dan airnya mengalir melalui pipa pesat, maka penggalan Ci Tarum lama sebelah barat menjadi surut dan dipasok dari beberapa anak sungai dan mata air seperti yang saya lewati pada segmen rumah turbin-Leuwi Malang. Akibatnya kita dapat melihat bongkahan-bongkahan batu yang dahulunya terendam air, sungguh menakjubkan. Batu tampak warna-warni, karena selain terdiri dari banyak jenis batuan sedimen terdapat pula dari jenis karst (kapur/gamping) yang merupakan bagian dari karst Rajamandala yang memanjang ke daerah Cianjur Selatan hingga Sukabumi.
Kurang dari satu kilometer dari rumah turbin terdapat dinding batu kapur yang menjulang tinggi, di bawah dekat sungai terdapat lubang masuk yang cukup bagi orang dewasa untuk berdiri tegak. Gua ini disebut Sangiang Poek (jangan dibaca “puk”, poek artinya gelap). Kemudian masuk lebih kurang 15 m kita tiba pada suatu tempat yang diperkirakan ruang utama dengan luas lebih kurang sama dengan rumah T27. Selanjutnya ada jalan lain menuju sungai Ci Tarum sekira 20 m dan membentuk huruf V dengan jalan masuk tadi. Kita akan tiba di atas Ci Tarum.
Saya membayangkan andai pernah ada manusia gua yang pernah menghuni gua ini seperti di Gua Pawon. Sayang di beranda gua ini yang seharusnya berwarna putih karang sebagian besar berwarna hitam oleh jelaga, karena ulah “manusia gua modern” yang membuat api unggun dengan kayu bakar, sehingga atapnya pun berwarna hitam. Jika kita membawa alat penerangan yang cukup, maka kita dapat melihat dinding-dinding gua bagian dalam yang indah. Kita dapat melihat proses pembentukan stalaktit yang masih pendek sekitar beberapa sentimeter.
Dari Sangiang Poek perjalanan dilanjutkan ke Leuwi Malang, menyusuri sungai yang penuh bebatuan. Sebagian peserta masih berusaha loncat dari batu ke batu karena masih belum “ikhlas” berbasah ria walau pada akhirnya harus nyemplung juga ke air. Di Leuwi Malang kami tiba pukul 13 dan beristirahat sambil makan siang. Sayang sekali hujan turun meskipun tidak deras, tetapi ditunggu-tunggu tidak berhenti. Panitia memutuskan tidak meneruskan perjalanan ke Sangiang Heuleut, tetapi kembali ke Sangiang Poek.
Setelah berkumpul di sungai depan Sangiang Poek, peserta beristirahat sambil minum kopi, makan bala-bala, dan comro. Pak Bachtiar salah seorang pembimbing Jajal Geotrek mulai berenang di sungai Ci Tarum yang bersih ini dan menarik keinginan peserta lainnya untuk ikut serta. Beliau memang pandai menghibur peserta. Diharapkan dari acara seperti ini yang diikuti peserta dari berbagai kalangan dapat menambah wawasan dan kesadaran dalam memerlakukan lingkungan.
Mitos
Salah seorang sepuh berserita kepada saya bahwa dahulu sebelum kemerdekaan apabila orang tuanya memancing di Ci Tarum, maka tidak lupa membawa "lepit" sebanyak tujuh buah. "Lepit" adalah bungkusan yang terbuat dari daun sirih dan di dalamnya berisi sedikit kapur pinang, dan bahan lainnya yang siap dikunyah tetapi tidak dimakan. Sebelum memancing ketujuh "lepit" itu dilempar ke sungai. Kebiasaan lainnya adalah ketika akan pergi ke Cianjur untuk menghadiri pertemuan pendekar silat setelah menyeberang dengan rakit atau jembatan bambu, maka beliau akan melemparkan ikatan tali ijuk.
Konon yang "ngageugeuh" Ci Tarum berupa seekor ular keemasan dengan lingkaran di lehernya. Untuk hal ini ada beberapa versi cerita. Terlepas dari maksud para orang tua dahulu menciptakan mitos, kita dapat memaknainya sekarang bahwa memulai sesuatu selalu memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan agar memerlakukan lingkungan dan mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak semena-mena.
Bahan bacaan:
Brahmantyo, B. & Bachtiar, T., “Wisata Bumi Cekungan Bandung”, Truedee
Pustaka Sejati, Bandung, 2009
Bachtiar, T., “Menyelamatkan Alam Sunda: Dano Bandung Purba”, Pusat Studi
Sunda, Bandung, 2007
Brahmantyo, B., “Menyelamatkan Alam Sunda: Geologi Jawa barat dan Kawasan
Kars di Tatar Sunda”, Pusat Studi Sunda, Bandung, 2007
gambar tina Google
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.