PESAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA PADA ARSITEKTUR MASJID KUNA KAUJON
Nanang Saptono
e-mail: nangsap@yahoo.co.id
Masjid Kuna Kaujon |
PENGERTIAN DAN FUNGSI MASJID
Masjid merupakan bangunan utama yang sifatnya
untuk kepentingan komunal bagi masyarakat Islam. Di mana ada masyarakat Islam
dapat dipastikan di situ ada masjid. Arti dan fungsi masjid mengalami
perkembangan. Dari sisi bahasa, masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat untuk bersujud, dengan demikian pada
dasarnya semua tempat di muka bumi yang dipergunakan untuk bersujud adalah
masjid. Dalam salah satu hadits Nabi Muhammad disebutkan bahwa telah dijadikan semua tanah itu suci bagiku.
Pengertian masjid lama kelamaan berubah menjadi suatu bangunan yang
membelakangi arah kiblat dan dipergunakan sebagai tempat sholat baik sendiri
maupun berjamaah. Pengertian masjid sebagai bangunan dimulai sejak Nabi
Muhammad SAW hijrah dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. Di Desa Quba, Nabi
Muhammad mendirikan bangunan berdenah persegi empat dengan dinding tembok
berplester tanah liat. Pada bagian muka dekat mihrab beratap pelepah korma
sedangkan bagian belakang terbuka (Elba, 1983: 1 – 2). Prototipe ini yang
kemudian dijadikan contoh bagi pembangunan masjid berikutnya.
Walaupun masjid di Quba dijadikan prototipe,
namun di dalam Islam tidak ada aturan baku yang sifatnya wajib diikuti kecuali
arah kiblat. Dengan adanya kelonggaran ini, kalangan arsitek di Dunia Islam
mempunyai kebebasan untuk berekreasi membangun masjid (Tjandrasasmita, 2009:
238). Masyarakat muslim pada setiap tempat dan zaman mempunyai kekhasan
masing-masing dalam membangun masjid.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan alam pikiran
manusia, bentuk masjid juga mengalami perkembangan untuk
memenuhi fungsi. Di
Dunia Islam, dalam sebuah
kompleks masjid terdapat ruangan khusus tempat shalat yang disebut livan. Di samping kanan dan kiri livan terdapat bangunan memanjang yang
disebut ruwak. Fungsi bagian
bangunan ini sebagai tempat mukim para musafir yang sedang melakukan
perjalanan, tempat musyawarah, dan juga sebagai tempat untuk mengkaji
Al-Quran. Di tengah-tengah kompleks terdapat halaman terbuka (tanpa
atap) yang disebut sahn. Pada zaman kesultanan, masjid
dilengkapi maqsurah yang berfungsi
sebagai tempat khusus bagi sultan atau raja melaksanakan sholat. Ruangan ini
juga disebut zawiyah yang juga dipakai
untuk tempat khusus bagi qurra
(pembaca Al Quran) mengaji. Pada kompleks bangunan masjid kadang-kadang juga
dilengkapi ghurfah, sebagai tempat tinggal muadzin, khotib, imam, dan pengurus
masjid lainnya (Elba, 1983: 5).
Dalam sejarah perkembangan kebudayaan
Islam, sejak dahulu masjid tidak hanya berfungsi untuk tempat shalat
saja. Rasulullah dalam membina masyarakat, menggunakan sarana
masjid. Seluruh aktivitas manusia ketika itu berpusat di masjid. Meskipun
demikian, masjid sebagai tempat suci tetap terpelihara kesuciannya. Oleh
karena itu ada hal-hal tertentu yang dilarang dilakukan di masjid. Salah satu
hadits menyebutkan bahwa Nabi Muhammad melarang orang berjual-beli di masjid meskipun hanya secara lisan
(perjanjian jual-beli), dan menyuruh orang yang melihat agar mendoakan semoga
Allah tidak melimpahkan keuntungan kepada orang yang jual-beli di
masjid (H.R. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah). Al-Quran surat Al-Jumuah
ayat 9-10 menyebutkan: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah serta
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Dalam ayat ini jelas-jelas diisyaratkan bahwa jual-beli supaya
dilakukan di luar masjid. Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad
melarang orang yang berada di masjid mengeraskan
suaranya meskipun ketika sedang membaca Al-Quran,
karena suara keras dapat mengganggu orang yang sedang shalat.
Berdasarkan contoh dan uraian tersebut, masjid
mempunyai sarat fungsi yang pada dasarnya sebagai pusat pembinaan umat Islam. Karena
adanya kebebasan bagi umat muslim untuk berkreasi dalam membangun masjid, maka
fungsi pembinaan umat banyak yang tertuang dalam makna simbolis bangunan maupun
ragam hiasnya. Salah satu objek masjid kuna yang perlu dibahas adalah Masjid
Kuna Kaujon di Kota Serang, Banten.
MASJID KUNA KAUJON
Sejarah Kabupaten Serang
Serang dapat dikatan merupakan penerus Kesultanan
Banten (http://www.serangkab.go.id/profil_kabupaten/sejarah). Kesultanan Banten
berdiri setelah Sabakingkin berhasil menaklukkan Banten Girang pada tahun 1525.
Penaklukan Banten Girang dilakukan bersama para ajar dari G. Pulosari yang sebelumnya beragama Hindu. Dalam tradisi
Banten, penaklukan Banten Girang ditandai dengan candra sengkala brasta gempung warna tunggal dan ilang kari warna lan nagri. Para ajar yang ikut serta dalam penaklukan
Banten Girang kembali ke G. Pulosari sedangkan Sabakingkin menetap di Banten
Girang menyebarkan ajaran Islam. Strategi Sabakingkin dalam mengembangkan ajaran Islam
adalah dengan cara-cara yang sesuai dengan adat budaya masyarakat Banten pada
masa itu, yaitu adu kekuatan dan penampilan ketangkasan yang dikemas dalam
wujud permainan debus. Di Banten Girang, Sabakingkin
dibantu oleh Ki Jongjo dan Ki Santri. Ketika Sabakingkin berusia 27 tahun,
menikah dengan puteri Sultan Demak. Empat bulan setelah pernikahan kembali ke
Cirebon dan dinobatkan sebagai Sultan Banten dengan gelar Maulana Hasanudin
atau Panembahan Soasowan. Penobatan ini berlangsung pada 1 Muharam 933 H yang
bertepatan dengan 8 Oktober 1526 M (Djajadiningrat, 1983: 34 – 35). Bersamaan
dengan itu pusat pemerintahan yang semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Pasisir.
Pada masa Sultan Hasanuddin dibangun
Keraton
Surosowan yang
berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kota.
Keraton ini dibangun sekitar tahun 1552-1570. Sajarah Banten menyebutkan bahwa pembangunan kota Surosowan
merupakan perintah Sunan Gunung Jati. Perintahnya kepada Sultan Hasanuddin agar
mendirikan kota di pantai dengan memberi petunjuk di mana letak dalem (istana), pasar, dan alun-alun. Salah
satu petunjuk yang harus dipatuhi adalah tidak boleh memindahkan watu gigilang dari tempatnya
(Djajadiningrat, 1983: 36). Dalam sumber lain, pembangunan kota Surosowan melibatkan
seorang arsitek berkebangsaan Belanda, yaitu Hendrik Lucasz Cardeel
(1680–1681), yang memeluk Islam yang bergelar Pangeran Wiraguna. Salah satu karya Cardeel yang hingga sekarang
masih ada adalah menara Masjid Agung Banten. Bangunan ini selesai dibangun pada
1675 (Lombard, 1996: 179). Bangunan lain adalah bangunan tiyamah yang berada di sebelah Masjid Agung Banten, Benteng
Speelwijk dan beberapa bangunan keraton (Tjandrasasmita, 1984: 256).
Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin wafat mencapai usia 100 tahun. Sajarah Banten menyebutkan sirna
ilang iku ingkang yuswa kangjeng gusti. Pemerintahan kemudian diteruskan oleh puteranya yaitu
Maulana Yusuf sebagai Sultan Banten yang kedua (1570-1580). Selama pemerintahan Maulana Yusuf telah dibangun kubu
pertahanan, perkampungan, sawah dan ladang, serta terusan-terusan dan
bendungan-bendungan. Maulanan Yusuf meninggal pada usia 80 tahun dan
kemudian digantikan oleh Maulana Muhammad. Maulana Muhammad memerintah selama
16 tahun, meninggal diperingati dengan candrasengkala prabu lepas tataning prang. Setelah wafat Maulana Muhammad mendapat
sebutan Prabu Seda ing Palembang (Djajadiningrat,
1983: 38 – 43).
Pada zaman kesultanan terutama pada akhir abad ke-16, terjadi
peristiwa-peristiwa penting. Pada bulan Juni
1596 Cornellis de Houtman pertama kalinya mendarat di Pelabuhan Banten dengan tujuan mula-mula untuk berdagang.
Namun cara berdagang bangsa Belanda
ini tidak
menarik simpati pemerintah dan rakyat Banten sehingga sering terjadi
perselisihan di antara orang-orang Banten dengan orang-orang Belanda. Pada waktu itu yang memegang tahta pemerintahan
di Banten adalah Sultan ke-4 yaitu Abdul Mufakir Muhammad Abdulkodir. Namun karena masih bayi maka yang bertindak sebagai walinya adalah
Mangkubumi Jaya Nagara. Pada tahun 1602 wafat
kemudian diganti oleh Yudha Nagara.
Pada tahun 1606 – 1607, Abdul Mufakir berangkat ke Mekkah,
Parsi, Mesir dan Istambul. Pada 1608
perwalian pemerintahan di Banten berganti dari Yudha Negara kepada Pangeran
Arya Menggala. Pemerintahan perwalian ini berlangsung hingga 1624. Sultan
Abdul Mufakir mulai berkuasa penuh dari tahun 1624-1643 dengan Ramananggala
sebagai patih dan penasehat utamanya.
Sultan Abdul Mufakir Abdulkodir berputera Abdul Ma’ali Ahmad
Rahmatullah,
menjadi Sultan Banten ke-5 memerintah pada tahun 1643-1651. Sultan Abdul Ma’ali
Ahmad Rahmatullah mempunyai putera bernama
Abdul Fatah yang kemudian menjadi Sultan Banten ke-6 bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Banten ke-6 ini memegang
kekuasaan dari tahun 1651-1680. Pada zaman pemerintahannya, bidang politik,
perekonomian, perdagangan, pelayaran, kebudayaan dan keagamaan berkembang
pesat. Untuk memajukan pertanian, Sultan Ageng Tirtayasa membangun saluran irigasi. Pada masa Sultan Ageng
Tirtayasa sering terjadi perlawanan atau peperangan dengan kompeni Belanda yang
berkuasa di Batavia. Sultan Ageng
Tirtayasa dapat dikalahkan Belanda melalui politik adu domba dengan puteranya
yang memihak kepada Belanda yaitu Sultan Haji Abdul Kohar. Sultan Ageng Tirtayasa wafat pada
tahun 1692 di tahanan Kompeni
Belanda di Batavia
Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Ishak Zainul Muttaqien (1805-1808) dan Sultan Muhammad Aliyuddin II
(1808-1810),
Gubernur Jenderal Daendels mendirikan pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dengan mengerahkan tenaga rakyat melalui kerja
paksa. Dalam rangka memperlancar
mobilisasi persenjataan dan rempah-rempah, Daendels membangun jalan dari Anyer sampai
Panarukan,
Banyuwangi sepanjang 1000 km.
Tahun 1816 Kompeni Belanda di bawah pimpinan Gubernur van der
Capellen datang ke Banten dan mengambil alih kekuasaan Banten dari Sultan
Muhammad Rafiudin. Wilayah Banten dibagi menjadi
tiga kabupaten
yaitu Banten Lor berpusat di Serang,
Banten Kidul berpusat di Lebak, dan Banten Kulon berpusat di Caringin. Sebagai regent
(bupati) pertama
untuk Serang diangkat Pangeran Arya Adisantika (1816-1827) dengan pusat
pemerintahan bertempat di Keraton Kaibon, Kasemen; untuk Lebak diangkat sebagai regent adalah Pangeran
Jamil Senjaya (1816-1830);
untuk Caringin diangkat regent
Mandura Raja Jayanegara (1827-1840). Serang
kemudian ditetapkan menjadi kawasan landrosambt
(semacam pengawas) yang mencakup tiga daerah setingkat kabupaten.
Pada tahun 1817, Belanda menempatkan residen pertama
J. De Bruijn WD di Serang. Sejak itu penataan
kota dan pembangunan gedung kolonial dimulai. Pusat pemerintahan Serang di Keraton
Kaibon mengalami beberapa kali penghancuran akibat peperangan. Penghancuran
keraton yang dilakukan oleh
kompeni Belanda tidak hanya terhadap Keraton
Kaibon tetapi juga Keraton Surosowan. Proses penghancuran berlangsung sampai
dengan tahun 1832. Sisa reruntuhan keraton Sorosowan dan Kaibon dipakai untuk membangun gedung-gedung Belanda di Serang, diantaranya kini menjadi Pendopo
Gubernur Banten dan Pendopo Kabupaten Serang.
Masjid Kuno Kaujon
Sejarah berdirinya Masjid Kuno Kaujon belum diketahui dengan pasti.
Menurut ketarangan Mukmin Satari (Ketua DKM Masjid Kuno Kaujon), angka tahun
1936 yang terdapat di dinding masjid bukan merupakan tahun pendirian tetapi
tahun renovasi. Pendirian masjid lebih dahulu dari pada pembangunan jembatan
Kaujon yaitu tahun 1875. Sejak tahun 1936 hingga 2002, Masjid Kuno Kaujon telah
mengalami banyak renovasi. Di antaranya ialah dibangunnya pagar, jendela dan
gudang, perbaikan ruang sholat ibu-ibu dan perbaikan bagian lainnya.
Masjid Kuna Kaujon
secara administratif terletak di Jalan RM. HS. Jayadiningrat, Kampung Kaujon
Pasar Sore, Kelurahan Serang, Kecamatan Serang, Kota Serang. Secara geografis
berada pada koordinat 06º07'12,2" LS dan 106º08'09,83" BT. Masjid
berada pada perkampungan penduduk di sebelah selatan kompleks Kantor Gubernur
Banten. Untuk menuju masjid melalui ruas Jalan K.H. Sam’un hingga melintas S.
Cibanten, kemudian masuk jalan kampung. Di sebelah timur masjid terdapat aliran
S. Cibanten, sedangkan di belakang masjid terdapat rumah tinggal yang sekarang
milik keluarga H. Mukhlis. Rumah ini merupakan bekas rumah tinggal pejabat
Pangreh Praja pribumi.
Kompleks masjid pada kondisi sekarang merupakan kompleks terbuka
tidak dilengkapi pagar halaman kecuali di sisi timur. Pada sisi timur terdapat
gerbang masuk dilengkapi tangga naik. Pada bagian luar merupakan ruangan
terbuka yang dahulu terdapat bangunan pancaniti.
Bangunan ini berfungsi untuk tempat azdan, pengumuman waktu imsak dan lain
kegunaan. Bangunan Masjid berdiri di atas pondasi masif yang tingginya 60 cm.
Bagian batur masjid berhias pelipit berbentuk profil persegi bertingkat. Pintu
masuk utama berada di tengah dengan dua daun pintu. Di kanan dan kiri pintu
utama terdapat jendela. Selain pintu utama juga terdapat pintu lain yang berada
di sisi utara. Pintu dan jendela bagian atas berbentuk melengkung. Setelah
memasuki pintu utama selanjutnya memasuki bagian serambi yang merupakan ruangan
berdenah empat persegi panjang berukuran 6 x 12 m. Selanjutnya memasuki ruang
utama masjid yang berbentuk empat persegi dengan ukuran 10 x 10 m. Di sebelah
selatan terdapat ruangan khsus untuk perempuan (pawestren). Ruang utama masjid dibatasi dinding pada keempat
sisinya. Bagian bawah dinding dilapisi keramik putih.
Profil bagian kaki masjid |
Pada sisi barat terdapat mihrab tempat imam memimpin shalat berupa
ceruk. Pada kanan dan kiri mihrab terdapat hiasan pilar semu, dua di kanan dan
dua di kiri. Pada puncak pilar semu terdapat hiasan buah nanas. Buah nanas yang
terdapat pada puncak pilar semu bagian dalam digambarkan dalam keadaan sudah
dikupas, sedangkan buah nanas yang terdapat pada puncak pilar semu bagian luar
belum dikupas. Di atas mihrab berhias motif flora yang digayakan menjadi bentuk
lengkung bertingkat. Ujung kedua hiasan lengkung berada di atas motif hias buah
nanas.
Mihrab Masjid Kuna Kaujon |
Ragam hias nanas pada mihrab |
Di bagian ruang utama terdapat empat tiang utama penyangga
konstruksi atap. Pada bagian kuda-kuda tiang diperkuat dengan lempengan besi. Atap
masjid berbentuk limas bersusun terdiri tiga tingkat. Pada setiap kaki atap
melengkung ke atas dengan ujung runcing melengkung. Bagian puncak berhias motif
floral (daun) dan puncaknya terdapat hiasan kendi.
BEBERAPA MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM ARSITEKTUR
MASJID
Seni
bangunan (arsitektur) Islam di Indonesia khususnya di Pulau Jawa berkembang
bersamaan dengan masuknya Islam. Salah satu hasil karya seni bangunanan Islam
yang terpenting adalah masjid. Arsitektur masjid-masjid kuno di Jawa mengalami
berbagai adaptasi sehingga membentuk satu karya yang sangat spesifik. Pembentukan
arsitektur masjid lebih banyak dideterminasi oleh faktor-faktor globalisasi penyebaran Islam, geografi dan
iklim setempat, dan budaya lokal. Hal ini bisa dipahami, karena memang
faktor-faktor itu tampak lebih langsung dan kasat mata serta bersifat umum berlaku pula bagi pembentukan fungsi-fungsi
arsitektur yang lain. Namun
demikian, berkaitan dengan arsitektur Islam,
faktor norma dan religi tampaknya
dapat diduga memiliki pengaruh terhadap pembentukan arsitektur. Terlebih lagi ketika berbicara tentang bangunan relijius, yaitu masjid.
Masjid, ialah pusat kegiatan ibadah ummat Islam, yang hadir dari segenap kemampuan yang
dimiliki masyarakatnya. Masjid adalah representasi dari komunitas ummat Islam yang melahirkan dan
memakmurkannya (Iskandar,
2004: 110).
Teori Arab menyatakan bahwa Islam yang
datang ke Nusantara, dibawa oleh pedagang yang berasal dari Arab (tepatnya Hadramaut) atau Timur Tengah. Teori India menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari
India.
Sedang teori Cina menyatakan bahwa Islam yang
masuk ke Nusantara (terutama di P. Jawa), dibawa oleh komunitas Cina-Muslim (Handinoto dan Hartono, 2007: 23).
Asal budaya yang melatari budaya Islam di Pulau Jawa terlihat hadir dalam
arsitektur masjid.
Arsitektur
Indonesia pada umumnya adalah arsitektur atap, artinya atap merupakan elemen
arsitektur utama. Melalui bentuk atap dapat dengan mudah diketahui ciri
bangunan, misalnya rumah tradisional adat Minang, bangunan tongkonan dari Tanah Toraja, bangunan wantilan, bangunan joglo
yang semuanya dikenali dari bentuk atap (Subarna, 1985: 95. Arsitektur masjid abad ke- 15 – 16 merupakan arsitektur transisi dari arsitektur Jawa-Hindu/Buddha ke arsitektur Jawa-Islam. Masjid Kuno Jawa
sebagai tempat ibadah kaum Muslim, sangat erat hubungannya dengan awal masuk
dan berkembangnya agama Islam di Nusantara. Dewasa ini ada tiga teori tentang awal masuknya
Islam ke Nusantara
yaitu teori Arab, teori India, dan teori Cina.
Beragamnya
kelompok etnik baik lokal maupun pendatang dengan berbagai budaya yang bermukim
di Pulau Jawa juga tampak memberi pengaruh dalam penampilan arsitektur masjid.
Pada kasus Masjid Kuno Kaujon di Serang, secara konstruktif pengaruh budaya
India (Hindu-Buddha) terlihat pada beberapa bagian. Berkaitan dengan seni bangun sakral
baik Hinduistik maupun Budhistik, dengan seni
hias menurut Krom (1923: 156) dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
arsitektural dan ornamental. Ragam hias yang terkategori arsitektural atau
konstruktif, adalah bersifat aktif karena jika hiasan itu dihilangkan maka
dapat mengganggu struktur bangunan, misalnya bermacam-macam bingkai, stupa, relung, jaladwara, dan tiang penyangga.
Ragam hias yang ornamental adalah hanya
benar-benar berfungsi sebagai hiasan jadi bersifat pasif, maka jika dihilangkan tidak berpengaruh pada bangunan
induk. Seni hias dalam kelompok ini adalah terbagi antara relief.
Masjid
Kuno Kaujon mempunyai ciri-ciri adanya pengaruh Hindu-Buddha pada seni hias
konstruktif. Bagian batur yang berhias pelipit berbentuk profil persegi
bertingkat merupakan adaptasi
dari bentuk profil kaki candi terutama pada masa-masa klasik akhir. Selain itu
bentuk atap bertingkat juga merupakan adaptasi dari seni bangun Hindu-Buddha.
Pada arsitektur Hindu-Buddha, atap bersusun merupakan lambang meru yang mulai
dikenal pada relief-relief candi di Jawa Timur seperti pada Candi Surawana, Panataran, Kedaton, Jago, Jawi dan
pura-pura di Bali sampai kini (Tjandrasamita, 1975: 40). Berdasarkan bagian
batur pejal dan tinggi serta atap bertumpang, menunjukkan bahwa masjid kuno
seperti ini memiliki kekhasan yang dipengaruhi unsur candi (Pijper, 1947: 275).
Bangunan masjid secara keseluruhan mengandung
makna tertentu, namun demikian simbolik dalam Islam tidak dapat diartikan
sebagai ikonografis. Sejarah membuktikan bahwa terdapat sejumlah lambang yang
hidup dalam dunia Islam. Bulan bintang misalnya seringkali dipakai untuk
penghias puncak kubah, bulan sabit seringkali diartikan sebagai simbol
penyebaran Islam sedangkan bintang adalah lambang ketuhanan. Masjid Kuno Kaujon
dengan atap bersusun secara keseluruhan juga mengandung makna simbolis dalam
ajaran Islam (Hoesin, 1964: 151-153).
Masjid Kuno Kaujon dibangun dengan atap
bertingkat. Masjid-masjid kuno di Nusantara mempunyai karakteristik yang sangat
umum yaitu beratap bertingkat (atap tumpang). Dari segi simbolik, bentuk atap
tumpang mempunyai kaitan dengan bentuk gunungan. Bentuk gunungan secara
konstruktif sudah dikenal sejak masa prasejarah dalam bentuk punden berundak. Pada
masa ini terdapat kepercayaan bahwa arwah leluhur berasal dari gunung dan akan
kembali ke gunung. Selanjutnya pada masa klasik bentuk gunungan dikaitkan
dengan Mahameru. Pada ajaran Hindu
terdapat adanya paralelisme dengan kepercayaan masa prasejarah. Gunung Mahameru
dengan Kailaca Cikharaya sebagai tempat
kediaman para dewa. Raja adalah titisan dewa, oleh karena itu perlu diciptakan
replika-replika Mahameru dalam bentuk percandian sebagai tempat pendharmaan. Pada masa Islam, ajaran
bahwa segala makhluk berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Sejak masa prasejarah hingga Islam, konsep
yang melatari gunungan tetap sejalan. Sedikit perbedaan terjadi bahwa pada masa
terdahulu lebih meninitikberatkan pada objek sedang pada masa yang kemudian
lebih pada subjek. Lambang gunungan juga dapat ditemukan pada ajaran kaum sufi.
Gunungan dalam ajaran kaum sufi disebut Qaf
atau Tuba yaitu pohon di surga yang
ditanam oleh Tuhan dengan tangan-Nya sendiri dan Dia meniup pohon itu dengan
jiwa-Nya (Bachtiar, 1979: 57). Dengan menilik pada beberapa makna simbolis atap
tumpang mengisyaratkan bahwa masjid, secara lebih khusus adalah Masjid Kuna
Kaujon, merupakan tempat Allah atau sebagai rumah Allah. Selain itu makna simbolis
atap tumpang juga bisa dikaitkan dengan jumlah tingkatan atap. Atap tumpang dua
diartikan sebagai lambang dua kalimah syahadat; tumpang tiga dengan iman,
Islam, dan ikhsan; jika bertingkat lima dikaitkan dengan rukun Islam.
Secara utuh, bangunan masjid dengan atap
tumpang dapat diartikan sebagai simbol tingkatan ajaran kaum sufi. Atap paling
bawah beserta lantai sebagai lambang syari’at,
yaitu amal perbuatan manusia. Atap tingkat kedua sebagai lambang tarekat, yaitu jalan untuk mencapai
ridlo Allah. Atap ketiga lambang hakikat,
yaitu ruh atau hakikat amal perbuatan manusia. Sedangkan puncak merupakan
lambang ma’rifat sebagai tingkat
kesempurnaan dalam pemahaman ajaran Islam yaitu tingkat mengenal Allah (Subarna,
1985: 94). Bentuk atap tumpang juga mengandung makna keesaan Allah. Puncak atap
masjid jika diproyeksikan ke bawah akan bertemu dengan titik pusat masjid.
Pertemuan antara pusat masjid dengan puncak, memberi makna kehadiran Allah Yang
Mahaesa di dalam masjid (Romli, 1985).
Hiasan kemuncak |
Hal
yang menarik pada puncak atap Masjid Kuno Kaujon terdapat hiasan kendi. Kendi
dalam mitologis Hindu merupakan lambang air kehidupan atau air amrta (Soekmono, 1985). Sebelum manusia diciptakan,
alam didiami oleh dewa-dewa dan daitya
(raksasa). Para dewa tinggal di atas kahyangan mewakili kebaikan, sedangkan daitya tinggal di bawah mewakili
keburukan. Dewa dan daitya tidak
pernah hidup berdampingan sehingga Brahman sebagai Sang Pencipta mengumpulkan
para dewa di puncak Gunung Mahameru. Para dewa disuruh mengaduk laut untuk
mendapatkan amrta. Sebagai alat untuk
mengaduk dipergunakan Gunung Mandara. Gunung itu dengan segala isinya berupa
hutan dan binatang diangkat ke tepi laut. Batara Wisnu menjelma jadi kura-kura
untuk alas Gunung Mandara. Batara Wasuki menjadi ular besar membelit gunung,
ekornya dipegang para dewa dan kepalanya dipegang para daitya. Ekor dan kepala
ditarik secara bergantian sehingga Gunung Mandara berputar. Karena pergeseran
yang terus menerus, Gunung Mandara menjadi panas dan air laut mendidih. Ketika
para dewa mulai kelelahan, Batara Indra mengumpulkan awan. Wajra dilempar
menyebabkan munculnya halilintar. Awan menjadi air hujan yang menyejukkan dan
menyegarkan para dewa dan daitya. Air
laut berubah menjadi keruh dan lama-lama menjadi kental seperti susu tetapi
amrta tidak juga keluar. Para dewa dan daitya akhirnya menyerah kepada Brahman.
Mereka kemudian mendapat kekuatan baru dan melanjutkan mengaduk laut. Kemudian
muncullah tanda-tanda akan keluarnya amrta.
Sura sebagai dewi anggur, penggembira kahyangan keluar kemudian disusu; Laksmi,
dewi kebahagiaan yang kemudian diambil isteri oleh Dewa Wisnu. Ucaihsrawas,
yaitu kuda sembrani putih muncul diambil menjadi kendaraan para dewa.
Kaustubha, yaitu manikam yang bersinar-sinar menjadi penghias dada Brahman.
Pohon parijata, pohon langit yang berbuah segala kekayaan, kebahagiaan serta
kehidupan diseluruh dunia juga muncul. Terakhir muncul adalah Dhanwantari,
tabib kayangan membawa guci berisi amrta.
Karena yang sebelumnya sudah diambil oleh para dewa, amrta akan diambil oleh para daitya.
Para dewa tidak mau dan akhirnya terjadi perselisihan. Pada saat itu Gunung
Mandara mengeluarkan hala-hala
(racun) yang sangat berbahaya. Para dewa dan daitya tidak dapat berbuat
apa-apa. Akhirnya Batara Siwa datang dengan kesaktiannya berhasil meminum
seluruh hala-hala hingga
tenggorokannya terbakar dan berubah warnanya menjadi biru. Karena itulah Batara
Syiwa mendapat julukan Nilakantha yang artinya berleher biru. Disaat itu
ternyata amrta sudah berada di tangan
para daitya. Para dewa tidak berhasil
merebut kembali. Brahman menjelma menjadi bidadari dan berhasil merebut kembali
guci amrta. Guci amrta kemudian
dibawa ke kahyangan diserahkan kepada para dewa. Para dewa kemudian meminum air
penghidupan dan sejak itu mereka tidak pernah terserang segala penyakit
termasuk kematian. Hiasan berupa relief guci amrta misalnya terdapat di Candi
Kidal yang merupakan tempat pendharmaan Raja Anusapati yang meninggal pada
1248. Dalam relief itu digambarkan guci amrta berada di atas kepala Garuda
(Kempers, 1959: 74). Hiasan kendi di puncak atap Masjid Kuno Kaujon bisa
diartikan sebagai lambang kehidupan yang dapat menyelamatkan kehidupan manusia
baik di dunia dan di akhirat.
Hiasan pada ujung atap |
Berkaitan dengan atap, pada Masjid Kuno Kaujon
tampak bahwa pada keempat sudut terdapat hiasan meruncing ke atas. Bentuk
semacam ini mengingatkan pada arsitektur Cina (Tiong Hoa). Bentuk atap
merupakan bagian yang paling mudah untuk mengenal gaya arsitektur bangunan.
Arsitektur Cina di Indonesia kebanyakan menggunakan atap pelana dengan ujung
melengkung ke atas. Bentuk seperti ini disebut model Ngang Shan, sedangkan
ujung atap melengkung ke atas yang diterapkan pada atap berbentuk limas disebut
model Wu Tien (Khol, 1984). Adanya pengaruh Cina memang sangat beralasan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya mengenal bangunan batu sejak kedatangan
bangsa Eropa dan Cina. Pada abad ke-18 banyak dijumpai tukang batu dan tukang
kayu dari Cina (Lombard, 1996: 179). Berdasarkan bentuk atap seperti itu dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh Cina dalam arsitektur Masjid Kuno Kaujon.
Hiasan yang mengandung makna simbolis di Masjid
Kuno Kaujon terlihat pada dinding bagian depan di kanan dan kiri mihrab. Pada
dinding tersebut terdapat hiasan berupa buah nanas dalam kondisi yang belum
dikupas dan yang sudah dikupas. Hiasan nanas sering dipakai dalam ragam hias
rumah tradisional Jawa. Di Jawa, hiasan nanas juga dipakai untuk ujung kembar mayang. Nanas merupakan lambang
ajaran moral yang artinya untuk mendapatkan sesuatu yang lezat harus didahului
dengan mengatasi berbagai rintangan yang penuh duri (Dakung, 1981/1982: 133 –
134).
SIMPULAN
Masjid Kuno Kaujon di Serang dibangun pada masa
sesudah Kesultanan Banten mencapai puncaknya. Secara pasti belum bisa diketahui
titimangsanya tetapi dapat dipastikan sebelum tahun 1875. Gaya arsitektur
bangunan menunjukkan gaya khas masjid kuno di Jawa yaitu berdenah persegi
empat, berdiri di atas batur yang ditinggikan dan beratap tumpang. Bentuk dan
ragam hias Masjid Kuno Kaujon mengandung makna toleransi antar umat beragama.
Bentuk batur dan atap tumpang beserta momolo menunjukkan adanya toleransi
antara Islam dengan Hindu-Buddha. Selain itu, toleransi terhadap etnik Cina
juga ditunjukkan dalam gaya bangunan. Kaki atap pada keempat sudutnya merupakan
adanya unsur arsitektur Cina yang diterapkan pada bangunan masjid. Ajaran moral
juga diekspresikan dalam hiasan buah nanas yang ditempatkan pada dinding di
kanan kiri mihrab. Berdasarkan berbagai makna simbolis tersebut terkandung
makna bahwa masyarakat pada waktu saling toleransi. Ajaran seperti ini perlu
diterapkan pula dalam kehidupan sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Laleh. 1979.
Sufi: Expressions of the Mystyc Quest.
Singapore: Thames and Hudson.
Dakung, Sugiyarto.
1981/1982. Arsitektur Tradisional Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djajadiningrat,
Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang
Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan – KITLV.
Elba, Mundzirin Yusuf.
1983. Masjid Tradisional di Jawa.
Yogyakarta: Nur Cahaya.
Handinoto dan Hartono,
Samuel. 2007. Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Masjid Kuno di Jawa Abad
15 – 16. Dalam Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 35 No. 1 Juli 2007, hlm. 23 – 40.
Hoesin, Oemar Amin.
1964. Kultur Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Iskandar, M. Syaom
Barliana. 2004. Tradisionalistas dan Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid.
Dalam Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 32 No. 2 Desember 2004, hlm. 110 –
118.
Kempers, A.J. Bernet.
1959. Ancient Indonesian Art.
Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Khol, David G. 1984. Chinese Architecture in the Straits
Settlements and Western Malaya: Temples Kongsis and Houses. Kuala Lumpur:
Heineman Asia.
Krom,
N.J. 1923. Inleiding tot de Hindoe – Javaansche Kunst II.
Den
Haag: Martinus Nijhoff - s’ Gravenhage.
Lombart, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya I: Batas-batas
Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pijper, G.F. 1947. The
Minaret in Java. India Antiqua: A Volume
of Oriental Studies Presented by His Friends and Pupils to Jean-Philippe Vogel.
Leiden: E.J. Brill.
Romli, Inajati. 1985.
Konsep Ruang Dalam Keislaman. Dalam Estetika
Dalam Arkeologi Indonesia, Diskusi Ilmiah Arkeologi II, hlm. 117 – 130.
Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Soekmono, R. 1985.
Amertamanthana. Dalam Amerta 1, hlm.
43 – 47. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Subarna, Abay D. 1985.
Unsur Estetika dan Simbolis Pada Bangunan Islam. Dalam Estetika Dalam Arkeologi Indonesia, Diskusi Ilmiah Arkeologi II,
hlm. 84 – 103. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Tjandrasamita, Uka.
1975. The Islamic Antiquitiesof Sendang
Duwur. Jakarta: The Archaeological Foundation – Ford Foundation.
--------- (ed.). 1984.
Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta:
Balai Pustaka.
---------. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah.
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.