Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Tatar Sunda
Oleh MOEFLICH HASBULLAH
BELAKANGAN ini, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) melalui
 Balai Arkeologi Bandung sedang mendapat pekerjaan besar di Jawa Barat, 
yaitu penggalian candi di daerah Karawang yang diduga merupakan 
sisa-sisa peninggalan dari kerajaan Tarumanegara dan penggalian candi 
yang baru ditemukan di daerah Bojongmenje Rancaekek, Kabupaten Bandung. Makna
 kedua temuan ini bagi masyarakat Jawa Barat merupakan suatu hal yang 
sangat berarti untuk memperjelas keberadaan orang-orang Sunda dalam 
pentas sejarah di Pulau Jawa pada masa klasik, yaitu masa sebelum 
pengaruh Islam masuk dan berkembang.
Temuan Candi di daerah di Batujaya Karawang yang nampaknya bakal 
merupakan situs paling besar di Jawa Barat mempunyai hubungan yang erat 
dengan prasasti Tugu, yaitu prasasti yang terdapat di desa Tugu, dekat 
Tanjung Priok sekarang. Dalam Prasasti Tugu tersebut dinyatakan bahwa 
Raja Purnawarman memerintahkan untuk menggali dua kanal, yaitu 
Candrabaga dan Gomati di mana kedua kanal tersebut alirannya terlebih 
dahulu dibelokan ke sekitar istananya dan kemudian di alirkan kembali ke
 muara. Panjangnya kanal tersebut setelah digali sejauh 6122 tumbak, 
oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka diperkirakan panjangnya 11 km. Jika 
perkiraan Purbatjaraka ini digunakan sebagai patokan dalam menelusuri 
bekas reruntuhan keraton Tarumanegara, maka situs Batujaya tersebut 
merupakan lokasi yang paling tepat untuk diasumsikan sebagai lokasi 
bekas keraton Raja Purnawarman karena jarak antara lokasi situs dengan 
muara Bendera (tempat terpecahnya aliran sungai Citarum menjadi dua, 
yaitu yang menuju muara Pakis dan yang menuju muara Gembong) berjarak 
sekitar ±11 kilometer. Perkampungan yang terletak antara dua pecahan 
aliran sungai Citarum sampai bibir pantai Pakis dan Muara Gembong 
merupakan sebuah delta yang terus mengalami pendangkalan akibat kegiatan
 sedimentasi fluviatil/erosi yang dibawa oleh aliran sungai Citarum.
Dugaan bahwa pantai Purba tempat bermuaranya kanal/sungai Candrabaga 
dan Gomati yang digali oleh Raja Purnawarman terletak di muara Bendera, 
berdasarkan pada kegiatan sedimentasi fluviatil (sungai) yang terjadi 
pada aliran sungai Citarum. Dari arah hulu, aliran sungai membawa 
sumber-sumber endapan seperti sampah dan lumpur yang kemudian membentuk 
delta pada muara bendera tersebut. Akibat sedimentasi fluviatil (sungai)
 yang terus menerus tersebut, telah memperbesar areal delta dan memecah 
aliran sungai Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju muara Pakis dan 
yang menuju muara Gembong sekarang. Jarak antara muara Bendera ke muara 
Pakis sekarang sekitar + 12 km dan yang menuju muara Gembong kira-kira berjarak +
 15 km. Penelitian geologi di daerah sekitar muara bendera mungkin akan 
memberikan jawaban yang lebih akurat tentang dugaan letak muara Purba 
seperti yang tertulis dalam Prasasti Tugu.
Hal paling baru dalam dunia arkeologi di Jawa Barat adalah temuan 
candi yang terletak di daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung. Di areal 
situs ini sedang dilakukan penggalian yang selanjutnya sedang 
direncanakan upaya restorasi dan rekonstruksi candi oleh tim khusus ahli
 restorasi candi dari UGM. Seperti dikemukakan oleh Prof. Dr. 
Ayatrohaedi dan Dr. Tony Djubianto dalam diskusi terbatas yang 
diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat pada tanggal 9 September
 2002, dimungkinkan bahwa candi tersebut berasal dari abad ke VII 
berdasarkan pada bentuk pelipit dan beberapa aspek lain yang terdapat 
pada pahatan batu candi. Atau mungkin dari abad sebelum itu karena yoni
 (simbol syiwa)-nya ternyata tidak ditemukan yang berarti candi itu 
didirikan masa pra-Hindu. Jika memang asumsi ini benar, maka dapat 
dimungkinkan bahwa candi tersebut dapat memberikan jawaban atas 
keterputusan sejarah Sunda pasca Tarumanegara. Berita prasasti tertua 
pasca Tarumanegara adalah prasasti yang ditemukan di Bogor yang berangka
 tahun 932 M. atau abad ke-10 yang dikenal dengan prasasti Kebon Kopi.
Kendati demikian, penemuan candi-candi tersebut masih belum menjawab 
pertanyaan misteri selama ini yaitu “Mengapa di Tatar Sunda sangat 
langka ditemukan candi-candi peninggalam kerajaan-kerajaan masa lampau 
seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur?” Selama ini mengemuka 
beberapa jawaban yang mencoba menjelaskan pertanyaan tersebut tapi belum
 didukung oleh bukti-bukti sejarah yang kuat. Pertama adalah jawaban 
sosiologis-agrikultural dan kedua, jawaban proses Islamisasi. Jawaban 
sosiologis-agrikultural misalnya ditemukan dalam buku Nina Herlina 
(1998:26): “Mata pencaharian utama penduduk Priangan pada mulanya 
berladang atau ngahuma; baru kemudian bersawah. Sejak zaman 
kerajaan Sunda, orang Sunda dikenal bermata pencaharian sebagai 
peladang. Ciri yang menonjol pada masyarakat peladang adalah kebiasaan 
selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan 
berladang ini berpengaruh pada tempat tinggal. Mereka tidak memerlukan 
bangunan permanen yang kokoh, cukup yang sederhana saja. Kemungkinan 
besar itulah salah satu sebab mengapa di Priangan tidak banyak 
peninggalan berupa candi atau keraton seperti di Jawa Tengah.” Sedangkan
 jawaban yang kedua menjelaskan bahwa proses Islamisasi di Sunda 
cenderung lebih intensif dibanding dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
 Proses Islamisasi yang lebih intensif berpengaruh pada militansi 
beragama orang Sunda. Karena keislamannya yang kuat, masyarakat Sunda 
yang sudah masuk Islam diduga “menghancurkan” bangunan candi-candi 
sebagai peninggalan agama Hindu Budha dan tempat pemujaan yang 
bertentangan dengan keyakinan yang diajarkan Islam. Hingga saat ini 
kedua asumsi tersebut di atas belum didukung oleh bukti-bukti sejarah 
alias baru dugaan. Tulisan ini mengangkat perspektif lain yang selama 
ini belum diungkap dengan mengangkat tiga argumen yaitu monoteisme orang
 Sunda, tradisi egalitarian masyarakatnya dan realitas kekuasaan di 
Sunda pra-Islam.
Monoteisme Orang Sunda 
DARI berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi 
terkini, Jawa Barat atau kawasan Sunda adalah daerah yang pertama 
mendapat pengaruh Hindu dan Budha dari India. Aktifitas politik 
pemerintahan dengan rangkaian kegiatan birokratisnya telah berjalan 
sejak awal-awal abad masehi. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang Sunda 
adalah orang pertama di Indonesia yang telah mengerti dan menggunakan 
mekanisme birokrasi dalam mengatur hubungan penguasa-rakyat dan dalam 
hubungan sosial antara masyarakatnya.
Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami 
proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai 
diterima oleh kalangan elit politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang 
kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para 
ningrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih 
menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang yang oleh Fa-Hien
 disebut sebagai “agama yang buruk” seperti tertuang dalam laporan 
berita Cina. Ungkapan “agama yang buruk” oleh Fa-Hien ini merupakan 
ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang yang taat pada suatu agama 
terhadap orang yang beragama lain.
Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal)
 yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan 
jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di 
hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat dan 
benda-benda lainnya. Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang
 ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang 
kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah 
menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha 
pencipta dan penguasa tunggal di alam. Konsepsi ini sama dengan apa yang
 diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses Islamisasi di 
Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam.
Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda, ajaran Hindu 
mempengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua 
keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi/pembauran 
teologis. Ini tergambar dalam hirarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya sebagai berikut : “Anak
 satia babakti ka bapak; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia
 babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka
 mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu nanganan 
satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja 
satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep hyang merupakan konsep yang memang sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum pengaruh Hindu dan Budha tersebut datang.
Tradisi sesembahan orang Sunda pra Hindu-Budha tidak terpusat di Candi tapi menyembah hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak menyebut tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam mulai dari para dewa lokapala (pelindung dunia) sampai pwah sanghyang sri (dewi padi), pwah naga nagini (dewi bumi) dan pwah soma adi (dewi bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah hyang
 bisa sebutkan sebagai salah satu alasan yang menjelaskan kelangkaan 
candi di tatar Sunda Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap hyang
 yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi 
sebagai pusat peribadatan sebagai mana di Jawa Tengah dan Timur. Satu 
dua candi kecil yang ditemukan di Jawa Barat, ketimbang menunjukkan 
kuatnya pengaruh agama Hindu-Budha, tampaknya dibangun lebih sebagai 
simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari 
Kerajaan Sunda.
Tradisi Egaliter Orang Sunda 
PENGARUH Hindu dan Budha datang ke pulau Jawa sekitar awal abad 
masehi dan daerah yang pertama bersentuhan dengannya adalah Jawa Barat 
dengan pusat pemerintahan yang diduga berada di sekitar Karawang dan 
Bekasi sekarang. Pengaruh kedua agama ini nampaknya kurang begitu kuat 
merekat pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sangat kuat dalam 
menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis yaitu mengabdi pada
 hyang tunggal.
Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti 
arkais yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit 
ditemukan di Jawa Barat. Jika di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak 
terdapat tinggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan 
Budha, ini disebabkan karena sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat 
intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun oleh para 
brahmana dan pedanda.
Cepatnya penyebaran agama Hindu dan Budha pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan karena konsep dan ajaran god-kings
 (dewa-raja) yang sesuai dengan alam berfikir masyarakat Jawa ketika 
itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan yang mutlak 
yang mesti mendapat anutan karena raja dianggap sebagai wakil Tuhan di 
bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas 
politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama dan lain-lain.
Kepatuhan kepada raja secara militan selain berasal dari inti ajaran 
Hindu- Budha itu sendiri juga bersumber dari klasifikasi sosial yang 
sangat ketat. Ini tergambar dari stratifikasi yang muncul dalam 
masyarakat Jawa yang membuat dikotomi sosial secara tegas antar kelas 
seperti ningrat atau priyayi dan wong cilik. 
Pengahayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya pengkelasan sosial 
secara tajam ini berakibat pada sulitnya atau tiadanya perbedaan 
pendapat antara raja dengan rakyatnya termasuk dalam persoalan agama. 
Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran. Oleh 
karena itu sifat dari kebudayaan Jawa adalah kebudayaan keraton di mana 
keraton berfungsi sebagai titik sentral agama, politik dan kebudayaan.
Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya
 yang berkembang adalah kebudayaan rakyat di mana posisi keraton tidak 
terlalu menentukan dalam pembentukan suatu varitas budaya. Jenis 
kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh 
kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Dengan kata lain, 
kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai kebudayaan feodal yang 
hirarkis sementara kebudayaan Sunda dapat dianggap sebagai kebudayaan 
rakyat yang egaliter yang mencerminkan pada kesamaan derajat antar 
manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis 
masa pra-Mataram dimana tidak hierarki bahasa seperti terlihat dalam 
undak-usuk sekarang. Istilah menak dan cacah juga dalam 
masyarakat Sunda ditemukan sebagai bentuk pengaruh kekuasaan dan 
kebudayaan Jawa di tatar Priangan sejak masa kekuasaan Mataram.
Contoh lain yang dapat diajukan dalam mempertegas pendapat ini adalah
 dalam seni pewayangan atau pedalangan. Pada masyarakat Jawa, lakon 
cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial
 mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan 
Ramayana menjadi sumber pendidikan etis yang menghasilkan 
prilaku-prilaku yang kastaistis seperti kemunculan slogan ningrat dan wong cilik tadi.
Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan atau pedalangan yang memainkan
 dua epos besar tadi hanya merupakan media hiburan pelepas lelah dalam 
aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon 
cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah 
memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan 
dengan etika Hindu-Budha yang sangat rumit dengan nilai-nilai 
filosofisnya. Sifat egalitarian masyarakat agraris dan kepercayaan 
monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat ini justru menjadi 
bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai 
dengan kultur dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke
 tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan 
mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat 
biasa. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa orang Sunda merupakan kelompok
 yang paling akhir menerima Islam di seputar tanah Jawa, ini bukan 
berarti sifat konfrontatifnya terhadap Islam, melainkan karena 
sosialisasi Islam yang agak terlambat ke wilayah ini.
Gabungan fenomena di atas yaitu egalitarianisme masyarakat Sunda, 
komunikasi yang sejajar (demokratis) antara raja dan rakyatnya serta 
dikuatkan oleh pengaruh Islam yang luas setelahnya menjadi alasan sosial
 tidak ditemukannya banyak Candi di tatar Sunda. Egalitarianisme 
nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi penguasa rakyat
 berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara 
memandang dirinya masing-masing. Raja tidak perlu memisahkan dirinya 
dalam sebuah bangunan yang eksklusif dan kokoh jauh dari rakyatnya.
Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas 
antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun 
sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih 
merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan 
pemujaan. Di tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam 
sebagai masyarakat agraris menyebabkan fokus sesembahan dan penghormatan
 lebih langsung kepada alam dan ke sanghyang ketimbang kepada para raja.
Hanya Satu Kerajaan 
DI NUSANTARA, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para 
raja semata, tetapi juga berfungsi sebagai monumen sebuah dinasti yang 
berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antar kerajaan 
telah menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa 
Timur seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa 
Sanjaya dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik 
melalui suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan selalu 
diiringi dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. 
Ketika hari ini kita menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa 
Tengah dan Jawa Timur, maka kita dapat menduga selain sebagai simbol 
majunya sebuah kerajaan, betapa banyaknya pula konflik dan persaingan 
politik yang terjadi di Jawa pada zaman itu.
Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan sebuah kerajaan seperti ini 
tidak terjadi di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar 
Sunda hanya satu yaitu Kerajaan Sunda, cuma pusat pemerintahannya saja 
yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan 
Padjadjaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah 
ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan 
raja di Sunda itu tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya 
satu. Tetapi -paling tidak hingga saat ini- keratonnya pun belum 
ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. 
Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, selain
 proses rekonstruksinya masih kontroversial, juga belum 
merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. 
Kekuasaan yang tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang 
mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak 
banyaknya candi di tatar Priangan.
Dengan demikian, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu 
mengkespresikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan 
monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan 
prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan. 
Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika kerajaan 
Madjapahit berada dipuncak kekuasaannya, kerajaan Sunda tidak pernah 
takluk di bawah pengaruhnya. Dengan demikian, pendirian candi dalam 
sebuah wilayah kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola 
kekuasaan, konsep teologis dan tradisi politik yang berkembang. 
Tampaknya, sesuai dengan kecenderungan kuat konsep teologisnya yang 
monoteistik, tradisi pola komunikasi yang demokratis antara penguasa dan
 rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan 
dan bahkan ketiadaan candi di Tatar Sunda memang sudah semestinya. 
Inilah kekhasan lokal dan kekayaan tradisi kekuasaan di Sunda. 
Masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” kelangkaan 
candi di Jawa Barat sebagai sebuah indikasi rendahnya peradaban dan 
sebaliknya banyaknya candi sebagai indikasi prestasi peradaban. Persepsi
 ini justru sebuah sikap “minder kebudayaan” (cultural inferiority complex)
 dihadapan kebudayaan lain, sementara kebudayaan Sunda memiliki sistem 
sosial kebudayaan sendiri yang sesungguhnya lebih berorientasi 
nilai-nilai, relijiusitas dan hal-hal lain yang bersifat abstrak.Wallahu a’lam!!
Klik dulu baru bisa rasakan ayam bangkok
ReplyDelete