Melacak Jejak Karuhun Sunda di Kecamatan Sagalaherang, Subang STRUKTUR BATA DI SITUS TALUN
- Get link
- X
- Other Apps
Nanang Saptono - http: //arkeologisunda.blogspot.com
Situs Talun berada di kawasan Subang bagian selatan. Pada masa Kerajaan
Sunda kawasan ini menjadi jalur lalu lintas antara Pakwan Pajajaran
dengan bagian timur Kerajaan Sunda. Pemukiman yang ada di kawasan ini
diperkirakan merupakan pemukiman setingkat desa (wanua) atau distrik
(watak). Struktur bata yang ditemukan di situs Talun menunjukkan adanya
klaster pemukiman. Struktur bata tersebut merupakan sisa bagian lantai
dan fondasi bangunan. Berdasarkan adanya temuan keramik asing
menunjukkan bahwa struktur bata di situs tersebut berasal dari masa
Kerajaan Sunda. Fungsi struktur bata belum diketahui.
Pendahuluan
Situs Talun secara administratif termasuk di wilayah Desa Telaga Sari,
Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Keberadaan situs Talun pertama kali dilaporkan pada sekitar bulan
November 1993, pada waktu tim penelitian Balai Arkeologi Bandung yang
diketuai Dadan Mulyana sedang mengadakan penelitian di situs Pasir Cabe,
Kecamatan Cibogo, Subang. Pada kesempatan itu, tim kemudian mengadakan
peninjauan ke situs Talun. Pengamatan sepintas mendapatkan gambaran
bahwa situs Talun merupakan lahan tanah datar pada puncak bukit kecil.
Kondisi pada waktu itu berupa lahan kering yang ditumbuhi rumput.
Sehari-hari lahan itu dimanfaatkan untuk menggembalakan ternak.
Sekeliling bukit berupa cekungan dan kolam untuk memelihara ikan
(Mulyana, 2003: 51 – 52).
Fakta arkeologis yang teramati berupa
sebaran fragmen bata kuna. Pada waktu itu sangat sulit untuk mengetahui
strukturnya karena bata yang ditemukan dalam keadaan berserakan. Bata
utuh yang ditemukan berukuran panjang 31 cm, lebar 22 cm, dan tebal 8
cm. Aktifitas masyarakat mengakibatkan tersingkapnya struktur bata
membujur arah utara – selatan. Berdasarkan data awal tersebut telah
dilakukan ekskavasi yang berhasil menampakkan adanya struktur bata yang
lebih jelas.
Tinggalan arkeologis berupa struktur bata
berkaitan dengan budaya masa klasik atau masa Islam. Kawasan Subang pada
masa klasik tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah. Meskipun
demikian, beberapa fakta arkeologis pernah juga ditemukan di Subang.
N.J. Krom dalam Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in
Nederlandsch-Indie 1914 mencatat adanya tinggalan dari daerah
Sagalaherang antara lain berupa mangkuk, piring, pinggan, dan baki
perunggu yang ditemukan di Cijengkol. Di Desa Batu Kapur pernah juga
ditemukan benda arkeologis berupa arca Maitreya dari perak. Di
Sindangsari pernah ditemukan senjata upacara dari perunggu (Krom, 1915:
36 – 37). Di Museum Sri Baduga Bandung terdapat koleksi arca nandi
berasal dari Dusun Selaawi, Desa Cipancar, Kecamatan Sagalaherang.
Sedangkan dalam kaitannya dengan kebudayaan masa Islam, sekitar situs
Talun terdapat perkebunan teh yang telah diusahakan sejak zaman
kolonial. Berdasarkan beberapa gejala awal tersebut terdapat
permasalahan menyangkut situs Talun yaitu merupakan bangunan apa dan
dari masa kapan sisa-sisa struktur bata tersebut.
Di dalam
studi arkeologi terdapat tiga tujuan pokok yaitu rekonstruksi sejarah
budaya, rekonstruksi kehidupan manusia masa lampau, dan penggambaran
proses perubahan kebudayaan (Binford, 1972: 80 - 81). Kajian terhadap
struktur bata di situs Talun ini dapat dikatakan mempunyai tujuan pokok
untuk merekonstruksi sejarah budaya. Sejalan dengan tujuan itu, maka
diterapkan tipe penelitian eksploratif dan deskriptif. Penelitian tipe
eksploratif merupakan langkah awal dalam upaya memperoleh generalisasi
empiris. Berdasarkan data yang diperoleh dibuat suatu ikhtisar dan
dijajagi adanya kemungkinan hubungan beberapa variabel. Sedangkan tipe
deskriptif memberikan gambaran yang selengkap-lengkapnya tentang hal-hal
yang diteliti (Gibbon, 1984: 7; Sharer dan Ashmore, 1979: 486). Untuk
memperoleh hasil akhir akan diterapkan metode induktif. Berdasarkan data
yang telah terkumpul kemudian dianalisis dan disintesiskan, akhirnya
ditarik suatu kesimpulan atau generalisasi (Mundardjito, 1986: 200).
Gambaran Umum Situs
Geografis kawasan Dusun Talun merupakan daerah pedataran bergelombang
dengan ketinggian antara 200 m hingga 650 m dari permukaan laut. Di
sebelah tenggara kampung terdapat Pasir Cibadakpasea (475 m) dan di
sebelah timur laut terdapat Pasir Nyomot (640 m). Sebagai kawasan
perbukitan, daerah ini merupakan hulu beberapa sungai. Ci Keruh berhulu
pada dua anak sungai kecil yang berada di sebelah barat dusun dan di
kaki Pasir Cibadakpasea. Kedua sungai kecil ini mengalir ke arah barat
dan menyatu kemudian berbelok ke arah utara. Di sebalah utara dusun,
pada kaki Pasir Nyomot terdapat hulu Ci Bayawak. Sungai ini mengalir ke
arah barat laut kemudian menyatu dengan Ci Keruh. Sungai ini mengalir
berkelok-kelok ke arah barat laut kemudian menyatu dengan Ci Lamaya
(berdasarkan peta topografi Lembar 4523 III daerah Kalijati). Situs
Talun berada pada kebun di ujung selatan kampung. Jarak antara situs
dengan perkampungan sekitar 200 m. Batas situs di sebelah timur adalah
jalan desa, sebelah utara kebun, sebelah barat kompleks makam umum, dan
sebelah selatan sawah. Berdasarkan pembacaan dengan Global Positioning
System, situs 37’32,9” BT pada°38’02,6” LS dan 107°Talun berada pada
posisi 06 ketinggian sekitar 450 m.
Menurut folklore lisan
masyarakat Talun yang disampaikan Tata (40-an tahun), lokasi tersebut
merupakan bekas alun-alun suatu kerajaan. Tata juga menceritakan bahwa
dahulu salah seorang leluhur masyarakat Dusun Talun bermimpi mendapat
petunjuk bahwa di lokasi yang ditandai dengan bambu kuning yang di
dekatnya ada bekas tapak kaki kerbau terpendam bokor emas. Berdasarkan
petunjuk ini kemudian lokasi yang dimaksud digali, ternyata hanya ada
susunan bata besar. Beberapa kali masyarakat mengambil bata-bata
tersebut hingga ada yang dipakai untuk teras rumah dan benteng (talud).
Pada saat sekarang lahan di mana terdapat sebaran bata, merupakan milik
beberapa orang. Bagian barat situs merupakan kebun milik Tajudin,
bagian timur kebun pisang milik Neni (Yana Hadiyana), dan di bagian
barat daya (sebelah selatan kebun Tajudin) adalah sawah milik Machri.
Keberadaan bata besar yang terpendam di Dusun Talun lambat laun menjadi
perhatian banyak orang. Pada awal tahun 2006, dilaporkan ada kelompok
masyarakat yang menaruh perhatian pada peninggalan purbakala melakukan
penggalian di kebun milik Tajudin. Penggalian ini telah menampakkan
struktur bata membujur arah utara-selatan. Panjang struktur 6,80 m
terdiri dua lajur bata. Pada ujung utara dan selatan merupakan bagian
sudut yang bersambung dengan struktur melintang arah timur-barat.
Struktur melintang di bagian utara dan selatan masing-masing juga
terdiri dua lajur, mengarah ke kebun milik Neni. Pada struktur bagian
utara terlihat terdiri lima lapis bata, sedang bagian selatan belum
seluruhnya terlihat. Selain struktur bata tersebut, di Dusun Talun
terdapat beberapa objek yang berkaitan dengan kepurbakalaan.
Di
sebelah utara dusun berjarak sekitar 2 km terdapat kolam alami (telaga)
yang luasnya sekitar 1 ha. Keberadaan kolam ini dijadikan acuan nama
desa yaitu Desa Talaga Sari. Sekeliling kolam masih banyak ditumbuhi
pohon-pohonan. Di pinggir kolam tersebut terdapat makam yang
dikeramatkan. Masyarakat setempat percaya bahwa tokoh yang dimakamkan
adalah Embah Sanghyang Teteg. Di sebelah timur laut situs atau di
sebelah timur kampung terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Geulis.
Di puncak gunung tersebut juga terdapat makam keramat. Tokoh yang
dimakamkan dipercaya bernama Ratna Inten Sari.
Struktur Bata dan Artefak Hasil Ekskavasi
Ekskavasi yang dilakukan di situs Talun baru membuka empat kotak gali
masing-masing berukuran 2 x 2 m. Keempat kotak gali tersebut tidak
semuanya dibuka secara penuh. Kotak gali yang dibuka secara penuh yaitu
kotak U5B1 yang berada di sebelah timur ujung utara singkapan struktur
bata. Kotak ini dibuka untuk menampakkan perkiraan sudut timur laut.
Kotak gali lainnya yang dibuka secara penuh adalah kotak U2B1. Kotak ini
berada di sebelah timur ujung selatan singkapan struktur bata.
Pembukaan kotak gali ini dimaksudkan untuk menampakkan perkiraan sudut
tenggara. Kotak U3B1 yang berada di sebelah utara kotak U2B1 digali
hanya setengah yaitu bagian selatan. Di sebelah selatan kotak U2B1 yaitu
kotak U1B1 dibuka seperempat kotak di bagian utara.
Semua
kotak digali hingga kedalaman sekitar 1 m. Kondisi tanah relatif sama
yaitu pada bagian atas merupakan lempung coklat kehitaman bertekstur
halus sampai kasar. Di bawah lapisan lempung terdapat lapisan lapukan
tufa pasiran berwarna kuning. Lapisan selanjutnya adalah lempung
berwarna coklat. Pada lapisan ini terdapat fragmen bata dan struktur
bata.
Konsentrasi bata yang terdapat di kotak U5B1 sudah tidak
terstruktur. Pada dinding barat kotak dijumpai beberapa bata dalam
keadaan tertata secara mendatar. Pada dinding timur juga terdapat
beberapa bata dalam posisi mendatar. Temuan struktur bata paling utuh
terdapat pada kotak U2B1, U1B1, dan U3B1. Pada kotak U2B1 mulai spit 5
hingga kedalaman spit 7, di bagian timur kotak gali dijumpai struktur
bata dalam posisi berdiri (rolak). Struktur ini berlanjut ke arah
selatan di kotak U1B1. Pada beberapa bagian terdapat struktur yang
terputus sehingga yang tampak terdiri tiga bagian. Bagian paling utara
terdiri dua bata, bagian tengah terdiri lima bata dan bagian selatan
terdiri tujuh bata.
Di bagian barat kotak U2B1, pada spit 6 dan
spit 7 terdapat struktur bata dalam posisi mendatar (lantai). Struktur
ini berlanjut ke utara (kotak U3B1). Di kotak U5B1 jejak struktur lantai
tersebut masih ditemukan tetapi dalam kondisi sudah tidak utuh.
Struktur lantai yang terlihat jelas terdiri tiga lapis. Lapisan paling
atas, bata disusunan memanjang barat-timur, lapisan di bawahnya disusun
memanjang utara-selatan, dan lapisan bata paling bawah disusun memanjang
barat-timur. Teknik penyusunan bata tidak terlihat menggunakan lapisan
perekat. Jarak antar bata (nat) sangat sempit. Jejak teknik penyusunan
secara digosok tidak dijumpai. Dengan kondisi semacam ini, perekat antar
bata mungkin berupa tanah liat halus. Permukaan bata dibuat secara
halus sehingga memungkinkan penyusunan secara sempurna. Struktur bata
dalam posisi tegak juga disusun dengan jarak sangat sempit. Lapisan
perekat antar bata tidak terlihat secara tegas.
Temuan penting
lain adalah fragmen keramik. Di kotak U5B1 pada kedalaman sekitar 60 cm,
di bawah konsentrasi fragmen bata ditemukan fragmen keramik Cina
berwarna putih biru bagian tepian. Fragmen tersebut berasal dari bentuk
mangkuk masa dinasti Ming (abad ke-14 – 17). Fragmen keramik lainnya
ditemukan di kotak U1B1. Pada dinding sisi timur di kedalaman 77 cm
ditemukan fragmen keramik bagian badan berwarna putih. Fragmen keramik
ini berasal dari Cina masa dinasti T’ang (abad ke-7 – 10) dari bentuk
buli-buli.
Berdasarkan data permukaan dan hasil ekskavasi dapat
disimpulkan bahwa bata yang telah tersingkap (di kebun Tajudin)
merupakan sisi barat suatu bangunan. Bangunan tersebut berdenah bujur
sangkar berukuran sekitar 7 m x 7 m, berbentuk semacam batur (pendapa).
Sudut bangunan yang tidak utuh lagi hanya di bagian timur laut.
Di sebelah timur bangunan ini terdapat bagian bangunan lagi. Bagian
yang telah berhasil ditemukan hanya sebagian pondasi sisi barat. Bentuk
dan ukuran denah bangunan belum dapat diketahui karena belum terlihat
bagian-bagian penting lainnya. Susunan bata dalam struktur rolak
menunjukkan fondasi suatu bangunan. Dengan membandingkan ketinggian
antara lantai pada bangunan di sebelah barat dengan bangunan di sebelah
timur, terlihat bahwa bangunan di sebelah timur lebih tinggi. Keletakan
bangunan sebelah timur bila dikaitkan dengan batur yang sudah tampak,
agak bergeser ke selatan.
Umur bangunan dapat diduga secara
relatif. Artefak keramik yang ditemukan menunjukkan berasal dari Cina
masa dinasti T’ang dan Ming. Dengan demikian bangunan tersebut berasal
dari kurun waktu antara abad ke-8 hingga ke-17.
Subang Selatan Dalam Panggung Sejarah Budaya
Situs Talun berada di kawasan Subang bagian selatan. Kurun waktu
tinggalan struktur bata di situs Talun menunjukkan berasal dari sekitar
abad ke-8 hingga ke-17. Abad-abad tersebut merupakan masa Kerajaan
Sunda. Kawasan Subang bila dikaitkan dengan masa Kerajaan Sunda
merupakan daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Beberapa prasasti
Kerajaan Sunda yang pernah ditemukan mengarah pada penunjukan lokasi
pusat pemerintahan di sekitar Ciamis dan Bogor.
Di dalam
beberapa sumber sejarah tentang Kerajaan Sunda, selain pemberitaan
tentang pusat kerajaan, terdapat pula pemberitaan tentang kota pelabuhan
yang terdapat di pantai utara Jawa. Menurut Barros, Kerajaan Sunda
mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram,
Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983: 83). Tomé Pires
juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam,
Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cortesão, 1967: 166).
Baik Barros maupun Pires tidak pernah menyebut kota pelabuhan yang dapat
dilokalisasikan di daerah Subang.
Pemberitaan lain tentang
Kerajaan Sunda selain kota-kota bandar, adalah jalan lalu lintas darat
yang cukup penting. Jalan darat itu berpusat di Pakwan Pajajaran sebagai
ibukota kerajaan, menuju ke arah timur dan barat. Jalan yang menuju ke
arah timur, menghubungkan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung yang
terletak di tepi Cimanuk, melalui Cileungsi dan Cibarusah. Dari
Cibarusah membelok ke arah utara sampai ke Tanjungpura yang terletak di
tepi Citarum, Karawang. Selanjutnya dari Tanjungpura ada sambungannya ke
arah timur dan selatan. Jalan yang ke arah timur sampai Cirebon lalu
berbelok ke selatan melalui Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali.
Sedangkan jalan yang ke arah selatan melalui Sindangkasih dan Talaga dan
berakhir juga di Kawali (Sumadio, 1990: 390). Meskipun kawasan Subang
tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah klasik, keterangan
tentang adanya ruas jalan dari Karangsambung, daerah Purwakarta menuju
Cirebon mengarahkan pada asumsi bahwa di kawasan tersebut terdapat
klaster pemukiman masyarakat. Hanya saja pada tingkat mana klaster
pemukiman tersebut sulit diketahui, apakah setingkat desa (wanua) atau
setingkat di atasnya (watak).
Keberadaan struktur bata di situs
Talun menunjukkan bahwa dahulu di daerah tersebut terdapat klaster
pemukiman. Mengenai fungsi bangunan bata di situs Talun sulit diketahui.
Kawasan yang banyak mengandung tinggalan arkeologi berupa bangunan bata
adalah di kawasan Batujaya (Djafar, 2002: 1 – 4). Beberapa bangunan di
Batujaya hanya menyisakan bagian kaki. Denah candi-candi yang ada
tersebut ada yang bujur sangkar ada pula yang empat persegi panjang.
Beberapa candi yang berdenah bujur sangkar adalah candi Jiwa berukuran
19 x 19 m, candi Blandongan berukuran 25 x 25 m, candi SEG IV berukuran
6,5 x 6,5 m, dan candi TLJ V (unur asem) berukuran 10 x 10 m.
Bata yang digunakan untuk membangun candi di Batujaya berukuran tidak
sama. Secara umum bata pada candi-candi Batujaya ukurannya lebih besar
dibandingkan denga bata dari situs Talun. Bata di situs Talun berukuran
31 x 22 x 8 cm, sedang bata candi Jiwa berukuran 36 x 21 x 9 cm, bata
candi Blandongan berukuran 45 x 22 x 10 cm, dan bata candi Serut 46 x 22
x 9 cm. Berdasarkan perbandingan tersebut terlihat bahwa lebar dan
tebal bata Talun dan Batujaya relatif sama. Sedang ukuran panjang, bata
Talun lebih pendek daripada bata batujaya.
Teknik penyusunan
bata pada candi-candi di Batujaya secara rapat dengan lapisan perekat
sangat tipis dari bahan stuco. Pertanggalan candi-candi di Batujaya
berdasarkan analisis C14 menunjukkan umur tertua dari abad ke-2 dan yang
termuda dari abad ke-12. Sedangkan penentuan umur secara relatif
melalui analisis keramik asing menunjukkan keramik Cina dari abad ke-9 –
14.
Berdasarkan uraian tersebut diperoleh gambaran bahwa
struktur bata di situs Talun terdapat kesamaan teknik konstruksi dengan
bangunan bata di kawasan Batujaya. Sedikit perbedaan adalah penggunaan
lapisan perekat dari bahan stuco yang sangat tipis di Batujaya tidak
ditemukan di situs Talun. Masa pendirian bangunan juga berada pada kurun
waktu yang sama. Mengenai fungsi bangunan bata situs Talun belum ada
gambaran secara jelas.
Kesimpulan
Temuan struktur bata di
situs Talun menunjukkan berasal dari sekitar abad ke-8 – 17. Kurun waktu
ini merupakan masa kerajaan Sunda. Dengan adanya temuan tersebut
tergambar bahwa di kawasan Subang bagian selatan terdapat klaster
pemukiman setingkat wanua atau watak. Struktur bata di situs Talun
mempunyai kesamaan teknik dengan percandian di Batujaya. Kesamaan teknik
ini belum menunjukkan adanya kesamaan fungsi sebagai bangunan sakral.
Daftar Pustaka :
Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspectives. New York: Seminar Press.
Cortesao, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.
Djafar, Hasan. 2002. Situs Percandian di Kawasan Batujaya: Potensi dan
Permasalahannya. Makalah pada Workshop Pelestarian dan Pengembangan
Kawasan Percandian Situs Batujaya, Kab. Karawang. Cikampek, 15 – 19
April 2002 (belum diterbitkan).
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Krisis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan – KITLV.
Gibbon, Guy. 1984. Anthropological Archaeology. New York: Columbia University Press.
Krom, N.J. 1915. Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in
Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Uitgegeven door het Bataviasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Albrecht & Co.
Mulyana, Dadan. 2003. Penelitian di Daerah Subang. Dalam Agus Aris
Munandar (ed.) Mosaik Arkeologi, hlm. 47 – 54. Bandung: Ikatan ahli
Arkeologi Indonesia.
Mundardjito. 1990. Penalaran Induktif –
Deduktif Dalam Arkeologi. Dalam PIA IV Buku III, Konsepsi dan
Metodologi, hlm. 197 – 203. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala
Jakarta.
Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamentals of Archaeology. California: The Binjamin/Cummings Publishing.
Sumadio, Bambang (ed). 1990. Jaman Kuno. Dalam Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Catatan:
tulisan ini dimuat di buku berjudul "Selisik Masa Lalu", hlm. 17 - 26.
Editor: Prof. Dr. Sumijati Admosudiro. Penerbit: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat - Banten. Bandung, 2007.
Situs Talun berada di kawasan Subang bagian selatan. Pada masa Kerajaan Sunda kawasan ini menjadi jalur lalu lintas antara Pakwan Pajajaran dengan bagian timur Kerajaan Sunda. Pemukiman yang ada di kawasan ini diperkirakan merupakan pemukiman setingkat desa (wanua) atau distrik (watak). Struktur bata yang ditemukan di situs Talun menunjukkan adanya klaster pemukiman. Struktur bata tersebut merupakan sisa bagian lantai dan fondasi bangunan. Berdasarkan adanya temuan keramik asing menunjukkan bahwa struktur bata di situs tersebut berasal dari masa Kerajaan Sunda. Fungsi struktur bata belum diketahui.
Pendahuluan
Situs Talun secara administratif termasuk di wilayah Desa Telaga Sari, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Keberadaan situs Talun pertama kali dilaporkan pada sekitar bulan November 1993, pada waktu tim penelitian Balai Arkeologi Bandung yang diketuai Dadan Mulyana sedang mengadakan penelitian di situs Pasir Cabe, Kecamatan Cibogo, Subang. Pada kesempatan itu, tim kemudian mengadakan peninjauan ke situs Talun. Pengamatan sepintas mendapatkan gambaran bahwa situs Talun merupakan lahan tanah datar pada puncak bukit kecil. Kondisi pada waktu itu berupa lahan kering yang ditumbuhi rumput. Sehari-hari lahan itu dimanfaatkan untuk menggembalakan ternak. Sekeliling bukit berupa cekungan dan kolam untuk memelihara ikan (Mulyana, 2003: 51 – 52).
Fakta arkeologis yang teramati berupa sebaran fragmen bata kuna. Pada waktu itu sangat sulit untuk mengetahui strukturnya karena bata yang ditemukan dalam keadaan berserakan. Bata utuh yang ditemukan berukuran panjang 31 cm, lebar 22 cm, dan tebal 8 cm. Aktifitas masyarakat mengakibatkan tersingkapnya struktur bata membujur arah utara – selatan. Berdasarkan data awal tersebut telah dilakukan ekskavasi yang berhasil menampakkan adanya struktur bata yang lebih jelas.
Tinggalan arkeologis berupa struktur bata berkaitan dengan budaya masa klasik atau masa Islam. Kawasan Subang pada masa klasik tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah. Meskipun demikian, beberapa fakta arkeologis pernah juga ditemukan di Subang. N.J. Krom dalam Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1914 mencatat adanya tinggalan dari daerah Sagalaherang antara lain berupa mangkuk, piring, pinggan, dan baki perunggu yang ditemukan di Cijengkol. Di Desa Batu Kapur pernah juga ditemukan benda arkeologis berupa arca Maitreya dari perak. Di Sindangsari pernah ditemukan senjata upacara dari perunggu (Krom, 1915: 36 – 37). Di Museum Sri Baduga Bandung terdapat koleksi arca nandi berasal dari Dusun Selaawi, Desa Cipancar, Kecamatan Sagalaherang. Sedangkan dalam kaitannya dengan kebudayaan masa Islam, sekitar situs Talun terdapat perkebunan teh yang telah diusahakan sejak zaman kolonial. Berdasarkan beberapa gejala awal tersebut terdapat permasalahan menyangkut situs Talun yaitu merupakan bangunan apa dan dari masa kapan sisa-sisa struktur bata tersebut.
Di dalam studi arkeologi terdapat tiga tujuan pokok yaitu rekonstruksi sejarah budaya, rekonstruksi kehidupan manusia masa lampau, dan penggambaran proses perubahan kebudayaan (Binford, 1972: 80 - 81). Kajian terhadap struktur bata di situs Talun ini dapat dikatakan mempunyai tujuan pokok untuk merekonstruksi sejarah budaya. Sejalan dengan tujuan itu, maka diterapkan tipe penelitian eksploratif dan deskriptif. Penelitian tipe eksploratif merupakan langkah awal dalam upaya memperoleh generalisasi empiris. Berdasarkan data yang diperoleh dibuat suatu ikhtisar dan dijajagi adanya kemungkinan hubungan beberapa variabel. Sedangkan tipe deskriptif memberikan gambaran yang selengkap-lengkapnya tentang hal-hal yang diteliti (Gibbon, 1984: 7; Sharer dan Ashmore, 1979: 486). Untuk memperoleh hasil akhir akan diterapkan metode induktif. Berdasarkan data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dan disintesiskan, akhirnya ditarik suatu kesimpulan atau generalisasi (Mundardjito, 1986: 200).
Gambaran Umum Situs
Geografis kawasan Dusun Talun merupakan daerah pedataran bergelombang dengan ketinggian antara 200 m hingga 650 m dari permukaan laut. Di sebelah tenggara kampung terdapat Pasir Cibadakpasea (475 m) dan di sebelah timur laut terdapat Pasir Nyomot (640 m). Sebagai kawasan perbukitan, daerah ini merupakan hulu beberapa sungai. Ci Keruh berhulu pada dua anak sungai kecil yang berada di sebelah barat dusun dan di kaki Pasir Cibadakpasea. Kedua sungai kecil ini mengalir ke arah barat dan menyatu kemudian berbelok ke arah utara. Di sebalah utara dusun, pada kaki Pasir Nyomot terdapat hulu Ci Bayawak. Sungai ini mengalir ke arah barat laut kemudian menyatu dengan Ci Keruh. Sungai ini mengalir berkelok-kelok ke arah barat laut kemudian menyatu dengan Ci Lamaya (berdasarkan peta topografi Lembar 4523 III daerah Kalijati). Situs Talun berada pada kebun di ujung selatan kampung. Jarak antara situs dengan perkampungan sekitar 200 m. Batas situs di sebelah timur adalah jalan desa, sebelah utara kebun, sebelah barat kompleks makam umum, dan sebelah selatan sawah. Berdasarkan pembacaan dengan Global Positioning System, situs 37’32,9” BT pada°38’02,6” LS dan 107°Talun berada pada posisi 06 ketinggian sekitar 450 m.
Menurut folklore lisan masyarakat Talun yang disampaikan Tata (40-an tahun), lokasi tersebut merupakan bekas alun-alun suatu kerajaan. Tata juga menceritakan bahwa dahulu salah seorang leluhur masyarakat Dusun Talun bermimpi mendapat petunjuk bahwa di lokasi yang ditandai dengan bambu kuning yang di dekatnya ada bekas tapak kaki kerbau terpendam bokor emas. Berdasarkan petunjuk ini kemudian lokasi yang dimaksud digali, ternyata hanya ada susunan bata besar. Beberapa kali masyarakat mengambil bata-bata tersebut hingga ada yang dipakai untuk teras rumah dan benteng (talud).
Pada saat sekarang lahan di mana terdapat sebaran bata, merupakan milik beberapa orang. Bagian barat situs merupakan kebun milik Tajudin, bagian timur kebun pisang milik Neni (Yana Hadiyana), dan di bagian barat daya (sebelah selatan kebun Tajudin) adalah sawah milik Machri.
Keberadaan bata besar yang terpendam di Dusun Talun lambat laun menjadi perhatian banyak orang. Pada awal tahun 2006, dilaporkan ada kelompok masyarakat yang menaruh perhatian pada peninggalan purbakala melakukan penggalian di kebun milik Tajudin. Penggalian ini telah menampakkan struktur bata membujur arah utara-selatan. Panjang struktur 6,80 m terdiri dua lajur bata. Pada ujung utara dan selatan merupakan bagian sudut yang bersambung dengan struktur melintang arah timur-barat. Struktur melintang di bagian utara dan selatan masing-masing juga terdiri dua lajur, mengarah ke kebun milik Neni. Pada struktur bagian utara terlihat terdiri lima lapis bata, sedang bagian selatan belum seluruhnya terlihat. Selain struktur bata tersebut, di Dusun Talun terdapat beberapa objek yang berkaitan dengan kepurbakalaan.
Di sebelah utara dusun berjarak sekitar 2 km terdapat kolam alami (telaga) yang luasnya sekitar 1 ha. Keberadaan kolam ini dijadikan acuan nama desa yaitu Desa Talaga Sari. Sekeliling kolam masih banyak ditumbuhi pohon-pohonan. Di pinggir kolam tersebut terdapat makam yang dikeramatkan. Masyarakat setempat percaya bahwa tokoh yang dimakamkan adalah Embah Sanghyang Teteg. Di sebelah timur laut situs atau di sebelah timur kampung terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Geulis. Di puncak gunung tersebut juga terdapat makam keramat. Tokoh yang dimakamkan dipercaya bernama Ratna Inten Sari.
Struktur Bata dan Artefak Hasil Ekskavasi
Ekskavasi yang dilakukan di situs Talun baru membuka empat kotak gali masing-masing berukuran 2 x 2 m. Keempat kotak gali tersebut tidak semuanya dibuka secara penuh. Kotak gali yang dibuka secara penuh yaitu kotak U5B1 yang berada di sebelah timur ujung utara singkapan struktur bata. Kotak ini dibuka untuk menampakkan perkiraan sudut timur laut. Kotak gali lainnya yang dibuka secara penuh adalah kotak U2B1. Kotak ini berada di sebelah timur ujung selatan singkapan struktur bata. Pembukaan kotak gali ini dimaksudkan untuk menampakkan perkiraan sudut tenggara. Kotak U3B1 yang berada di sebelah utara kotak U2B1 digali hanya setengah yaitu bagian selatan. Di sebelah selatan kotak U2B1 yaitu kotak U1B1 dibuka seperempat kotak di bagian utara.
Semua kotak digali hingga kedalaman sekitar 1 m. Kondisi tanah relatif sama yaitu pada bagian atas merupakan lempung coklat kehitaman bertekstur halus sampai kasar. Di bawah lapisan lempung terdapat lapisan lapukan tufa pasiran berwarna kuning. Lapisan selanjutnya adalah lempung berwarna coklat. Pada lapisan ini terdapat fragmen bata dan struktur bata.
Konsentrasi bata yang terdapat di kotak U5B1 sudah tidak terstruktur. Pada dinding barat kotak dijumpai beberapa bata dalam keadaan tertata secara mendatar. Pada dinding timur juga terdapat beberapa bata dalam posisi mendatar. Temuan struktur bata paling utuh terdapat pada kotak U2B1, U1B1, dan U3B1. Pada kotak U2B1 mulai spit 5 hingga kedalaman spit 7, di bagian timur kotak gali dijumpai struktur bata dalam posisi berdiri (rolak). Struktur ini berlanjut ke arah selatan di kotak U1B1. Pada beberapa bagian terdapat struktur yang terputus sehingga yang tampak terdiri tiga bagian. Bagian paling utara terdiri dua bata, bagian tengah terdiri lima bata dan bagian selatan terdiri tujuh bata.
Di bagian barat kotak U2B1, pada spit 6 dan spit 7 terdapat struktur bata dalam posisi mendatar (lantai). Struktur ini berlanjut ke utara (kotak U3B1). Di kotak U5B1 jejak struktur lantai tersebut masih ditemukan tetapi dalam kondisi sudah tidak utuh. Struktur lantai yang terlihat jelas terdiri tiga lapis. Lapisan paling atas, bata disusunan memanjang barat-timur, lapisan di bawahnya disusun memanjang utara-selatan, dan lapisan bata paling bawah disusun memanjang barat-timur. Teknik penyusunan bata tidak terlihat menggunakan lapisan perekat. Jarak antar bata (nat) sangat sempit. Jejak teknik penyusunan secara digosok tidak dijumpai. Dengan kondisi semacam ini, perekat antar bata mungkin berupa tanah liat halus. Permukaan bata dibuat secara halus sehingga memungkinkan penyusunan secara sempurna. Struktur bata dalam posisi tegak juga disusun dengan jarak sangat sempit. Lapisan perekat antar bata tidak terlihat secara tegas.
Temuan penting lain adalah fragmen keramik. Di kotak U5B1 pada kedalaman sekitar 60 cm, di bawah konsentrasi fragmen bata ditemukan fragmen keramik Cina berwarna putih biru bagian tepian. Fragmen tersebut berasal dari bentuk mangkuk masa dinasti Ming (abad ke-14 – 17). Fragmen keramik lainnya ditemukan di kotak U1B1. Pada dinding sisi timur di kedalaman 77 cm ditemukan fragmen keramik bagian badan berwarna putih. Fragmen keramik ini berasal dari Cina masa dinasti T’ang (abad ke-7 – 10) dari bentuk buli-buli.
Berdasarkan data permukaan dan hasil ekskavasi dapat disimpulkan bahwa bata yang telah tersingkap (di kebun Tajudin) merupakan sisi barat suatu bangunan. Bangunan tersebut berdenah bujur sangkar berukuran sekitar 7 m x 7 m, berbentuk semacam batur (pendapa). Sudut bangunan yang tidak utuh lagi hanya di bagian timur laut.
Di sebelah timur bangunan ini terdapat bagian bangunan lagi. Bagian yang telah berhasil ditemukan hanya sebagian pondasi sisi barat. Bentuk dan ukuran denah bangunan belum dapat diketahui karena belum terlihat bagian-bagian penting lainnya. Susunan bata dalam struktur rolak menunjukkan fondasi suatu bangunan. Dengan membandingkan ketinggian antara lantai pada bangunan di sebelah barat dengan bangunan di sebelah timur, terlihat bahwa bangunan di sebelah timur lebih tinggi. Keletakan bangunan sebelah timur bila dikaitkan dengan batur yang sudah tampak, agak bergeser ke selatan.
Umur bangunan dapat diduga secara relatif. Artefak keramik yang ditemukan menunjukkan berasal dari Cina masa dinasti T’ang dan Ming. Dengan demikian bangunan tersebut berasal dari kurun waktu antara abad ke-8 hingga ke-17.
Subang Selatan Dalam Panggung Sejarah Budaya
Situs Talun berada di kawasan Subang bagian selatan. Kurun waktu tinggalan struktur bata di situs Talun menunjukkan berasal dari sekitar abad ke-8 hingga ke-17. Abad-abad tersebut merupakan masa Kerajaan Sunda. Kawasan Subang bila dikaitkan dengan masa Kerajaan Sunda merupakan daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Beberapa prasasti Kerajaan Sunda yang pernah ditemukan mengarah pada penunjukan lokasi pusat pemerintahan di sekitar Ciamis dan Bogor.
Di dalam beberapa sumber sejarah tentang Kerajaan Sunda, selain pemberitaan tentang pusat kerajaan, terdapat pula pemberitaan tentang kota pelabuhan yang terdapat di pantai utara Jawa. Menurut Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983: 83). Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cortesão, 1967: 166). Baik Barros maupun Pires tidak pernah menyebut kota pelabuhan yang dapat dilokalisasikan di daerah Subang.
Pemberitaan lain tentang Kerajaan Sunda selain kota-kota bandar, adalah jalan lalu lintas darat yang cukup penting. Jalan darat itu berpusat di Pakwan Pajajaran sebagai ibukota kerajaan, menuju ke arah timur dan barat. Jalan yang menuju ke arah timur, menghubungkan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung yang terletak di tepi Cimanuk, melalui Cileungsi dan Cibarusah. Dari Cibarusah membelok ke arah utara sampai ke Tanjungpura yang terletak di tepi Citarum, Karawang. Selanjutnya dari Tanjungpura ada sambungannya ke arah timur dan selatan. Jalan yang ke arah timur sampai Cirebon lalu berbelok ke selatan melalui Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Sedangkan jalan yang ke arah selatan melalui Sindangkasih dan Talaga dan berakhir juga di Kawali (Sumadio, 1990: 390). Meskipun kawasan Subang tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah klasik, keterangan tentang adanya ruas jalan dari Karangsambung, daerah Purwakarta menuju Cirebon mengarahkan pada asumsi bahwa di kawasan tersebut terdapat klaster pemukiman masyarakat. Hanya saja pada tingkat mana klaster pemukiman tersebut sulit diketahui, apakah setingkat desa (wanua) atau setingkat di atasnya (watak).
Keberadaan struktur bata di situs Talun menunjukkan bahwa dahulu di daerah tersebut terdapat klaster pemukiman. Mengenai fungsi bangunan bata di situs Talun sulit diketahui. Kawasan yang banyak mengandung tinggalan arkeologi berupa bangunan bata adalah di kawasan Batujaya (Djafar, 2002: 1 – 4). Beberapa bangunan di Batujaya hanya menyisakan bagian kaki. Denah candi-candi yang ada tersebut ada yang bujur sangkar ada pula yang empat persegi panjang. Beberapa candi yang berdenah bujur sangkar adalah candi Jiwa berukuran 19 x 19 m, candi Blandongan berukuran 25 x 25 m, candi SEG IV berukuran 6,5 x 6,5 m, dan candi TLJ V (unur asem) berukuran 10 x 10 m.
Bata yang digunakan untuk membangun candi di Batujaya berukuran tidak sama. Secara umum bata pada candi-candi Batujaya ukurannya lebih besar dibandingkan denga bata dari situs Talun. Bata di situs Talun berukuran 31 x 22 x 8 cm, sedang bata candi Jiwa berukuran 36 x 21 x 9 cm, bata candi Blandongan berukuran 45 x 22 x 10 cm, dan bata candi Serut 46 x 22 x 9 cm. Berdasarkan perbandingan tersebut terlihat bahwa lebar dan tebal bata Talun dan Batujaya relatif sama. Sedang ukuran panjang, bata Talun lebih pendek daripada bata batujaya.
Teknik penyusunan bata pada candi-candi di Batujaya secara rapat dengan lapisan perekat sangat tipis dari bahan stuco. Pertanggalan candi-candi di Batujaya berdasarkan analisis C14 menunjukkan umur tertua dari abad ke-2 dan yang termuda dari abad ke-12. Sedangkan penentuan umur secara relatif melalui analisis keramik asing menunjukkan keramik Cina dari abad ke-9 – 14.
Berdasarkan uraian tersebut diperoleh gambaran bahwa struktur bata di situs Talun terdapat kesamaan teknik konstruksi dengan bangunan bata di kawasan Batujaya. Sedikit perbedaan adalah penggunaan lapisan perekat dari bahan stuco yang sangat tipis di Batujaya tidak ditemukan di situs Talun. Masa pendirian bangunan juga berada pada kurun waktu yang sama. Mengenai fungsi bangunan bata situs Talun belum ada gambaran secara jelas.
Kesimpulan
Temuan struktur bata di situs Talun menunjukkan berasal dari sekitar abad ke-8 – 17. Kurun waktu ini merupakan masa kerajaan Sunda. Dengan adanya temuan tersebut tergambar bahwa di kawasan Subang bagian selatan terdapat klaster pemukiman setingkat wanua atau watak. Struktur bata di situs Talun mempunyai kesamaan teknik dengan percandian di Batujaya. Kesamaan teknik ini belum menunjukkan adanya kesamaan fungsi sebagai bangunan sakral.
Daftar Pustaka :
Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspectives. New York: Seminar Press.
Cortesao, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.
Djafar, Hasan. 2002. Situs Percandian di Kawasan Batujaya: Potensi dan Permasalahannya. Makalah pada Workshop Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Percandian Situs Batujaya, Kab. Karawang. Cikampek, 15 – 19 April 2002 (belum diterbitkan).
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Krisis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan – KITLV.
Gibbon, Guy. 1984. Anthropological Archaeology. New York: Columbia University Press.
Krom, N.J. 1915. Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Uitgegeven door het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Albrecht & Co.
Mulyana, Dadan. 2003. Penelitian di Daerah Subang. Dalam Agus Aris Munandar (ed.) Mosaik Arkeologi, hlm. 47 – 54. Bandung: Ikatan ahli Arkeologi Indonesia.
Mundardjito. 1990. Penalaran Induktif – Deduktif Dalam Arkeologi. Dalam PIA IV Buku III, Konsepsi dan Metodologi, hlm. 197 – 203. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta.
Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamentals of Archaeology. California: The Binjamin/Cummings Publishing.
Sumadio, Bambang (ed). 1990. Jaman Kuno. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Catatan:
tulisan ini dimuat di buku berjudul "Selisik Masa Lalu", hlm. 17 - 26. Editor: Prof. Dr. Sumijati Admosudiro. Penerbit: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat - Banten. Bandung, 2007.
- Get link
- X
- Other Apps
ayam tarung
ReplyDelete