ALOEN-ALOEN BANDOENG (dok. Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Aloen-aloen
Bandoeng mulai dibangun setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Daendels membangun jalan raya pos (Postweg) antara Anyer - Banyuwangi,
turunlah SK tgl 25 Mei 1810 untuk para Bupati di tatar Jawa, agar
memindahkan ibu kota kabupaten ke pinggir jalan raya. Saat itu kantor
Kabupaten Bandung berada di Dayeuh Kolot.
Bupati saat itu Rd.
Wiranatakusumah II pindah ke sekitar Alun-alun (sekarang), karena memang
letaknya strategis di pinggir jalan Postweg (Jl. Asia Afrika sekarang).
Beliaulah perintis pembangunan gedung kabupaten, pendopo dan alun-alun
Bandung. Beliau meninggal th. 1829 dan dimakamkan di belakang Mesjid
Kaum (Mesjid Agung sekarang). Makanya kawasan tsb dikenal dengan nama
Jl. Dalem kaum.
Di Alun-alun bandung sebelah barat dibangun
mesjid besar dengan arsitek Jawa berupa menara bertingkat dan ujungnya
runcing (nyungcung=Sunda). Masjid ini berfungsi juga untuk tempat
menikahkan orang2 di depan penghulu. Hingga terkenallah sebutan bagi
orang yang akan menikah dengan sebutan "Ka Bale Nyungcung". Masjid Kaum
awalnya dibuat dari bahan kayu beratap rumbia dan daun ijuk. Pada th.
1850 dirombak total dengan tembok dan genting.
Di Alun-alun
Bandung sewaktu-waktu ada pertunjukan olahraga dan hiburan. Di tengah
Alun-alun dibangun panggung tempat adu boksen (tinju). Sesekali juga
diadakan pertandingan adu domba dan lomba panahan antar Kabupaten dan
Pasar malam. Sepanjang hari hingga malam, banyak orang berdagang. hingga
kawasan tersebut menjadi "Pujasera" (Pusat jajan Serba Ada).
Mulai th. 1895 hingga 1920 pembangunan sekitar Alun-alun terus
berkembang. Pada th. 1920 dibangun gedung bioskop untuk memutar gambar
idoep (Film bioskop), di Alun-alun timur dibangun gedung bioskop
"Oriental", "Varia", "Feestterein" dan "Elia". Di pojok tenggara
terdapat Bale Bandung, gedung tempat para patih dan jaksa mengadakan
rapat. Di depan Bale Bandung ada panggung kayu dan tiang gantungan,
untuk menghukum mati para penjahat.
Umumnya Alun-alun ditanami
pohon beringin. Di Alun-alun saat itu berdiri dua pohon beringin yang
tumbuh di tengah-tengah lapangan. Yang satu diberi nama "Wilhelmina
Boom" dan satunya lagi "Juliana Boom"", mengambil nama Ratu dan Putri
mahkota kerajaan Belanda saat itu.
Digantoeng di Aloen-aloen
Kisah para tahanan dulu memang mengenaskan. Dahulu di depan Bale
Bandung dibuat sebuah tiang mirip gawang sepak bola. Di "mistar gawang"
tergantung beberapa tambang yang banyaknya disesuaikan dengan jumlah
terdakwa yang akan dieksekusi hari itu. Di saat tanam paksa atau
"Cultuur Stelsel" yang dikomando Gubernur Jenderal Daendels seorang
"Marschallk" atau dalam telinga orang pribumi terdengar sebagai "Mas
Galak" banyak orang pribumi yang membelot dan melawan. Mereka itulah
yang akan diadili dan dieksekusi di tiang gantungan Alun-alun Bandung
atau di lapangan Tegallega.
Adalah Alimu, seorang juru tulis
"Koffie Pakhuis" melihat bahwa pada saat itu kompeni amat serakah dalam
membeli kopi dari rakyat dengan harga murah. Alimu lalu membelot, ia
bersekutu dengan mandor agar setiap kopi yang dipanen rakyat tidak
dijual kepada kompeni melainkan kepada orang Inggris di Cirebon, karena
tawarannya lebih tinggi.
Ketika Alimu dan mandor sedang membawa
kopi dengan menggunakan pedati yang ditarik kerbau menuju Cirebon,
penguasa keamanan bernama Schout yang oleh orang Bandung dipanggil "Tuan
Sakaut" berang. Beberapa aparat segera mengejar memakai kuda.
Alimu dan mandor ditangkap lalu diadili singkat di Bale Bandung. Tanpa
bisa membela diri, tanpa didampingi pengacara. Hakim dan jaksa sepakat
untuk menghukum mati Alimu dan sang mandor dengan hukuman gantung di
tiang gantungan.
Cerita para tahanan yang dieksekusi di tiang
gantungan bukan hanya itu saja. Khhususnya di masa tanam paksa. Banyak
rakyat yang dianggap "makar" karena menentang penjajah Belanda
ditangkapi. Termasuk garong, perampok, dan para preman yang selalu
meresahkan masyarakat. Sidangnya, ya itu tadi, dilakukan singkat di Bale
Bandung, saat itu juga para terdakwa divonis mati di tiang gantungan.
(GM/Dari berbagai sumber)
Gambar dari Google
Bupati saat itu Rd. Wiranatakusumah II pindah ke sekitar Alun-alun (sekarang), karena memang letaknya strategis di pinggir jalan Postweg (Jl. Asia Afrika sekarang). Beliaulah perintis pembangunan gedung kabupaten, pendopo dan alun-alun Bandung. Beliau meninggal th. 1829 dan dimakamkan di belakang Mesjid Kaum (Mesjid Agung sekarang). Makanya kawasan tsb dikenal dengan nama Jl. Dalem kaum.
Di Alun-alun bandung sebelah barat dibangun mesjid besar dengan arsitek Jawa berupa menara bertingkat dan ujungnya runcing (nyungcung=Sunda). Masjid ini berfungsi juga untuk tempat menikahkan orang2 di depan penghulu. Hingga terkenallah sebutan bagi orang yang akan menikah dengan sebutan "Ka Bale Nyungcung". Masjid Kaum awalnya dibuat dari bahan kayu beratap rumbia dan daun ijuk. Pada th. 1850 dirombak total dengan tembok dan genting.
Di Alun-alun Bandung sewaktu-waktu ada pertunjukan olahraga dan hiburan. Di tengah Alun-alun dibangun panggung tempat adu boksen (tinju). Sesekali juga diadakan pertandingan adu domba dan lomba panahan antar Kabupaten dan Pasar malam. Sepanjang hari hingga malam, banyak orang berdagang. hingga kawasan tersebut menjadi "Pujasera" (Pusat jajan Serba Ada).
Mulai th. 1895 hingga 1920 pembangunan sekitar Alun-alun terus berkembang. Pada th. 1920 dibangun gedung bioskop untuk memutar gambar idoep (Film bioskop), di Alun-alun timur dibangun gedung bioskop "Oriental", "Varia", "Feestterein" dan "Elia". Di pojok tenggara terdapat Bale Bandung, gedung tempat para patih dan jaksa mengadakan rapat. Di depan Bale Bandung ada panggung kayu dan tiang gantungan, untuk menghukum mati para penjahat.
Umumnya Alun-alun ditanami pohon beringin. Di Alun-alun saat itu berdiri dua pohon beringin yang tumbuh di tengah-tengah lapangan. Yang satu diberi nama "Wilhelmina Boom" dan satunya lagi "Juliana Boom"", mengambil nama Ratu dan Putri mahkota kerajaan Belanda saat itu.
Digantoeng di Aloen-aloen
Kisah para tahanan dulu memang mengenaskan. Dahulu di depan Bale Bandung dibuat sebuah tiang mirip gawang sepak bola. Di "mistar gawang" tergantung beberapa tambang yang banyaknya disesuaikan dengan jumlah terdakwa yang akan dieksekusi hari itu. Di saat tanam paksa atau "Cultuur Stelsel" yang dikomando Gubernur Jenderal Daendels seorang "Marschallk" atau dalam telinga orang pribumi terdengar sebagai "Mas Galak" banyak orang pribumi yang membelot dan melawan. Mereka itulah yang akan diadili dan dieksekusi di tiang gantungan Alun-alun Bandung atau di lapangan Tegallega.
Adalah Alimu, seorang juru tulis "Koffie Pakhuis" melihat bahwa pada saat itu kompeni amat serakah dalam membeli kopi dari rakyat dengan harga murah. Alimu lalu membelot, ia bersekutu dengan mandor agar setiap kopi yang dipanen rakyat tidak dijual kepada kompeni melainkan kepada orang Inggris di Cirebon, karena tawarannya lebih tinggi.
Ketika Alimu dan mandor sedang membawa kopi dengan menggunakan pedati yang ditarik kerbau menuju Cirebon, penguasa keamanan bernama Schout yang oleh orang Bandung dipanggil "Tuan Sakaut" berang. Beberapa aparat segera mengejar memakai kuda.
Alimu dan mandor ditangkap lalu diadili singkat di Bale Bandung. Tanpa bisa membela diri, tanpa didampingi pengacara. Hakim dan jaksa sepakat untuk menghukum mati Alimu dan sang mandor dengan hukuman gantung di tiang gantungan.
Cerita para tahanan yang dieksekusi di tiang gantungan bukan hanya itu saja. Khhususnya di masa tanam paksa. Banyak rakyat yang dianggap "makar" karena menentang penjajah Belanda ditangkapi. Termasuk garong, perampok, dan para preman yang selalu meresahkan masyarakat. Sidangnya, ya itu tadi, dilakukan singkat di Bale Bandung, saat itu juga para terdakwa divonis mati di tiang gantungan.
(GM/Dari berbagai sumber)
Gambar dari Google
- Get link
- X
- Other Apps
ayam bangkok
ReplyDelete