PERAN SANGKURIANG DAN DANGHYANG SUMBI DALAM LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU
- Get link
 - X
 - Other Apps
 
Ku : Hidayat Suryalaga
 Legenda tentang terjadinya Gunung Tangkubanparahu sangat dikenal di 
Tatar Sunda, disebut pula sebagai sasakala terjadinya Talaga Bandung 
atau dongeng Sangkuriang. Adapun tokoh Danghyang Sumbi yang seharusnya 
menjadi esensi maknawi dalam mitos ini sering tersisihkan oleh peran 
Sangkuriang - puteranya. Wacana yang tersaji kali ini adalah upaya untuk
 mengarifi nilai-nilai mitos yang terkandung dalam legenda gunung 
Tangkubanparahu, sehingga mempunyai nilai tambah bagi pemaknaan kita 
terhadap wawasan budaya lokal.
 
 MITOS SEBAGAI ACUAN PANDANGAN HIDUP
 Berbincang tentang mitos akan berkaitan erat dengan legenda, cerita, 
dongeng semuanya termasuk kelompok folklore. Mengenai mithos C.A. van 
Peursen (1992:37) mengatakan sebagai sebuah cerita (lisan) yang 
memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti dari 
mitos adalah lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia 
purba tentang kebaikan-kejahatan, perkawinan dan kesuburan, dosa dan 
proses katarsisnya. Sedangkan Rene Wellek & Austin Warren (1989) 
menyebutnya sebagai cerita anonim mengenai penjelasan tentang asal mula 
sesuatu, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta 
menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan 
tersebut.
 
 Mengacu kepada pendapat di atas ternyata mitos yang 
dikandung dalam legenda adalah sumber pengetahuan mengenai kehidupan 
manusia pada masa lampau dalam segala aspeknya. Disusun dalam bentuk 
cerita sastra (sastra lisan) sebagai alat transformasinya, sebab bentuk 
cerita lisan mempunyai pola struktur dan alur yang cukup ajeg. dalam 
menuntun ingatan orang sehingga mudah untuk seseorang menuturkannya 
kembali.
 
 HERMENEUTIKA ILMU TENTANG PENAFISRAN
 Kegiatan 
manusia tidak terlepas dari kemampuan untuk menafsirkan terhadap apa pun
 yang dialaminya. Hasilnya adalah didapatkannya arti dan makna dari yang
 ditafsirkannya. Arti adalah hubungan antara sesuatu dengan yang 
melingkunginya, hubungan teks dengan konteks (Saini KM, 2004). Adapun 
makna adalah hubungan arti dengan nilai esensial yang dikandungnya. 
Kemampuan mengartikan dan memaknai sesuatu dalam budaya Sunda disebut 
dengan kemampuan memanfaatkan Panca Curiga (lima senjata/ilmu), yaitu 
kemampuan untuk menafsirkan secara: silib, yaitu memaknai sesuatu yang 
dikatakan tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (allude); sindir
 yaitu penggunaan susunan kalimat yang berbeda (allusion); simbul yaitu 
penggunaan dalam bentuk lambang (symbol, icon, heraldica); siloka adalah
 penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda 
(aphorisma) dan sasmita adalah berkaitan dengan suasana dan perasaan 
hati (depth aporisma)
 Dalam tulisan ini pun penulis menggunakan 
konsep hermeneutika untuk mencoba menarik arti dan makna yang dikandung 
dalam legenda Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspek yang 
dikandungnya.
 
 Kaidah lain untuk melakukan analisis, penulis 
memanfaatkan leksikografi (cara menuliskan kata); etimologi (tentang 
asal-usul kata), semantik (tentang arti kata) dan semiotika (tentang 
arti dan makna lambang).
 
 BEBERAPA KARYA SASTRA YANG BERTEMAKAN LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU
 Legenda Gunung Tangkubanparahu dengan tokoh-tokohnya telah mengilhami 
para sastrawan untuk mewujudkannya dalam karya sastra seperti dalam:
  Bentuk Cerita : Sang Koeriang, A.C. Deenik diambil dari Pleyte. Tt. - 
Gunung Tangkuban Parahu, R. Satjadibrata, 1946 - Babad Sangkuriang dalam
 Naskah Sunda Lama Kelompok Babad, Edi S. Ekadjati, 1983.
 
  Bentuk Gending Karesmen (opera) : Sangkuriang Larung, Hidayat Suryalaga, 1973.
 
  Bentuk Sajak : Sangkuriang, Hasan Wahyu Atmakusumah, 1955 - Sang 
Kuriang, Kusnadi Prawirasumantri, 1992 - Ngabendung Situ, Ajip Rosidi, 
1962 - Sang Kuriang, Beni Setia, 1972 - Tapak Sangkuriang, Dadan 
Bahtera, 1989- Sangkuriang Kabeurangan, Wahyu Wibisana, 1992
 
  
Bentuk Skripsi : Pergeseran Fungsi Mitos Sangkuriang dari Cerita 
Sangkuriang ke dalam Sajak Sunda, Suhandi, Fakultas Sastra Unpad, 1994.
 
 Semua karya sastra di atas tidaklah sama dalam mengartikan dan memaknai
 legenda Tangkubanparahu atau tokoh pemerannya. Tergantung kepada konsep
 hermeunetika yang diacu oleh penulisnya. Walau demikian alur ceritanya 
tidak banyak berubah. 
 Secara singkat alur ceritanya sebagai berikut:
 
 Raja SUNGGING PERBANGKARA pergi berburu, di tengah hutan Sang Raja 
kencing dan tertampung dalam tempurung kelapa. Seekor babi hutan betina 
bernama WAYUNGYANG yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air
 kencing tadi. Wayungyang hamil, melahirkan seorang bayi cantik.
 
 Bayi cantik itu dibawa ke keraton ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI 
alias RARASATI. banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun 
tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara 
sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri 
di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu si TUMANG.
 
 
Ketika sedang asyik bertenun, TOROPONG (torak) yang tengah digunakan 
bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, 
terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang 
mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan 
dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada 
Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi 
nama SANGKURIANG.
 
 Ketika berburu di hutan Sangkuriang menyuruh 
si Tumang untuk memburu babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak 
menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan 
kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi 
mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun
 memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk sehingga 
luka. Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia.
 
 Setelah 
sekian lama menuju ke arah Timur akhirnya sampailah di arah Barat lagi 
dan tanpa sadar telah sampai di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya 
berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya 
adalah Dayang Sumbi. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. 
Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah 
puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang 
tetap memaksa untuk menikahinya.
 
 Dayang Sumbi meminta agar 
Sangkuriang membuat PERAHU dan TALAGA (danau) dalam waktu semalam dengan
 membendung sungai CITARUM. Sangkuriang menyanggupinya. Maka dibuatlah 
PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah TIMUR, tunggul/pokok pohon 
itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL, rantingnya ditumpukkan di 
sebelah BARAT dan mejadi gunung BURANGRANG Ketika bendungan hampir 
selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar maksud 
Sangkuriang tidak terwujud.
 
 Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH
 RARANG (kain putih hasil tenunannya), sehingga ketika itu pula fajar 
pun terbit. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan 
yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum
 dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung MANGLAYANG.
 
 Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan 
dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud 
menjadi GUNUNG TANGKUBANPARAHU. Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi 
yang mendadak menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai 
BUNGA JAKSI. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang 
disebut dengan UJUNGBERUNG akhirnya menghilang ke alam gaib (NGAHIYANG).
 
 ARTI SERTA MAKNA LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU DENGAN SEGALA ASPEK YANG DIKANDUNGNYA
 Seperti pada awal tulisan, bahwa legenda bukanlah kisah historis, 
tetapi berupa mitos yang menjadi acuan hidup masyarakat pendukung 
kebudayaannya. Demikian pula yang terjadi pada legenda Gunung 
Tangkubanparahu. Di bawah ini saya susun nama dan tempat serta aspek 
lainnya yang terdapat dalam legenda tsb, yaitu: Sungging Perbangkara, 
babi hutan Si Wayungyang, Dayang Sumbi atau Rarasati, anjing Si Tumang, 
Sangkuriang, taropong (torak), Citarum, Sanghyang Tikoro, Gunung Putri, 
Gunung Manglayang, Ujungberung, kembang Jaksi, boeh rarang, Gunung Bukit
 Tungggul, Gunung Burangrang Gunung Tangkuban Parahu dan Talaga Bandung.
 
 Telah disinggung di atas, bahwa banyak penulis yang memberi arti dan 
makna terhadap legenda ini. Pada kesempatan sekarang penulis mencoba 
untuk membuat penasiran arti dan makna menurut konsep nilai-nilai 
intrinsik pandangan hidup “urang Sunda” yang terkandung dalam alur 
cerita dan arti-makna dari setiap kata-kata kunci. Pemaknaan ini pun 
telah dikaji-banding dengan nilai-nilai intrinsik yang terkandung dalam 
cerita lama (pantun) yang dianggap sakral yaitu Cerita Pantun Lutung 
Kasarung dan Mundinglaya di Kusuma. Di bawah ini disertakan deskripsi 
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan legenda gunung 
tangkubanparahu:
 
  SUNGGING PERBANGKARA. Artinya : Sungging = 
ukiran,ornamen. Perbangkara (Prabhangkara) = Prabha = cahaya. > ‘ng =
 penanda hormat, honorifik. > kara = matahari. Maknanya ” Penanda 
dari kebaikan/kebenaran sebagai cahaya pencerahan bagi yang menyimaknya”
 
  Babi hutan WAYUNGYANG. Artinya: Wayungyang > w(b)ayeungyang = 
perasaan yang tidak tenteram, gundah gula. Maknanya: Seseorang yang 
masih berada dalam sifat kehewanan tetapi telah mulai bimbang dan 
menginginkan menjadi seorang manusia seutuhnya (berperi-kemanusiaan).
 
  DAYANG SUMBI (DANGHYANG). Artinya : > Dang = penanda hormat, 
honorific. Yang < Hyang = gaib. > Sumbi = 1) tendok = alat untuk 
menusuk hidung kerbau agar menurut. 2) Bagian ujung terdepan dari perahu
 sebagai penunjuk arah dalam berlayar. Maknanya: Petunjuk gaib sebagai 
kendali manusia dalam menentukan arah dalam melayari kehidupannya. Bisa 
dimaknai pula sebagai kata hati, nurani yang mendapat pencerahan hidayah
 Allah Swt.
 
  RARASATI nama lain dari Dayang Sumbi. Artinya : 
> Raras = perasaan yang sangat halus. > ati = hati, qalbu. 
Maknanya: Hati atau qalbu yang penuh dengan kehalusan budi karena 
mendapat pancaran sinar Ilahi.
 
  Si TUMANG. Artinya: > tumang
 = 1) Peti yang tertutup (b. Kawi), 2) mangmang = sumpah (b.Kawi) 
tu-mang-mang = orang yang terkena sumpah karena waswas. Maknanya: 
karakter seseorang yang selalu asal bersumpah, waswas, akhirnya termakan
 sumpahnya sendiri, hatinya seperti peti yang tertutup rapat tidak 
mendapat pencerahan.
 
  SANGKURIANG. Artinya: > 1) Sang = 
penanda hormat, honorifik. > Kuriang < kuring = saya, ego. 2) Sang
 = penanda hormat, honorific. > Kuriang < guru + hyang = ego yang 
gaib. Maknanya: Sangkuriang = Jiwa (ego) non material yang menjadi dasar
 tumbuhnya kesadaran mental manusia yang selalu mendapat cobaan dan 
ujian kualitas dirinya.
 
  TAROPONG. Artinya : 1) Alat bertenun 
dari sepotong bambu kecil (tamiang) tempat benang pakan (torak); 2) Alat
 untuk melihat sesuatu agar lebih jelas (teropong). Maknanya: Kegiatan 
(semangat) manusia dalam menata perilaku kehidupan agar terusun tertib 
sesuai dengan kualitas dirinya serta mampu melihat dengan jelas alur 
(visi) kehidupannya
 .
  Sungai CITARUM. Artinya: > Ci < cai
 = air. > Tarum = sejenis tumbuhan, daunnya untuk memberi warna 
indigo tua (hampir hitam) pada kain/benang tenun. Maknanya: Kehidupan 
adalah seperti air mengalir dalam perjalanannya akan mengalami beragam 
celupan kehidupan, kebahagiaan, keprihatinan dan juga hal-hal negatif 
lainnya sebagai ujian keteguhan hatinya.
 
  SANGHYANG TIKORO. 
Artinya: > Sang = penanda hormat, honorifik. > Hyang = gaib. 
>Tikoro = saluran di leher untuk bernafas dan berbicara (tenggorokan)
 atau saluran di leher untuk makan (kerongkongan). Maknanya: Kemampuan 
manusia dalam berbicara tentang apa pun yang baik atau pun yang jelek 
serta sering dilalui makanan entah yang halal atau yang haram.
 
 
 Gunung PUTRI. Artinya > Putri = gadis, wanita cantik jelita, 
bangsawan. Maknanya: Karakter manusia yang dihiasi nilai keindahan dan 
cinta kasih. Dimaknai sebagi sifat kewanitaan (feminim, jamalliyah, 
rohimmi) yang penuh rasa kasih sayang.
 
  Gunung MANGLAYANG. 
Artinya: > Manglayang = 1) ngalayang, melayang. 2) Mang-layang > 
palayangan = Saluran untuk pembuangan air kolam/talaga. Maknanya : 
Kemampuan manusia untuk menguras dan membersihkan dirinya dari karakter 
yang kotor.
 
  UJUNGBERUNG. Artinya: > Ujung = akhir. 
>berung > ngaberung = menurutkan hawa nafsu. Maknanya : 
Berakhirnya gejolak hawa nafsu yang negatif.
  Kembang JAKSI . 
Artinya: 1) Jaksi > bisa dimaknai jadi + saksi . 2) Jaksi = bunga 
sejenis pohon pandan. Maknanya: Segala sesuatu yang dikerjakan seseorang
 akhirnya akan menjadi saksi pula bagi dirinya.
 
  BO’EH RARANG. 
Artinya : > Bo’eh = kain kafan. > rarang = suci, mahal. Maknanya: 
Semuanya akan berakhir bila satu saat mau tidak mau harus memakai kain 
kafan yang suci, yaitu datangnya waktu kematian mungkin secara fisik 
atau secara psikis.
 
  Gunung BUKIT TUNGGUL. Artinya : > Bukit
 = Bentuk gunung yang lebih kecil. > Tunggul = pokok pohon. Maknanya:
 Siapapun orangnya, kaya-miskin, pembesar atau pun rakyat kecil semuanya
 mempunyai pokok sejarah dirinya (leluhur) dan juga mempunyai pokok jati
 dirinya.
 
  Gunung BURANGRANG. Artinya > Burangrang > 
Bukit + rangrang. > rangrang = ranting. Maknanya : Siapa pun orangnya
 tetap akhirnya akan ada sangkut pautnya dengan keturun dan masyarakat 
yad. yang pada gilirannya semuanya akan hilang ditelan masa (B.S 
ngarangrangan).
 
  Gunung TANGKUBANPARAHU. Artinya: >Tangkuban
 = tertelungkup, menelungkup. > Parahu = perahu. > Gunung 
Tangkubanparahu = gunung yang bentuknya seperti perahu yang 
tertelungkup. Maknanya: Dalam kosmologi Sunda, gunung dimaknai sebagai 
tubuh manusia. Gunung Tangkubanparahu dimaknai sebagai manusia yang 
sedang menelungkupkan dirinya dan itu menandakan suasana hati yang 
sedang bingung penuh penyesalan.
 
  TALAGA BANDUNG. Artinya: >
 talaga = danau. >bandung = 1) perahu atau dua buah rakit yang 
disatukan dan di atasnya dibuat tempat berteduh. 2) bandung > bandung
 + an = memperhatikan, menyimak. Maknanya: Talaga dimaknai sebagai alam 
kehidupan di dunia ini. Talaga Bandung = Dalam kehidupan di dunia ini 
kita ibarat perahu yang dirakit berpasangan dengan sesama makhluk lain, 
seyogyanya dapat membangun kehidupan bersama, yaitu kehidupan yang 
saling memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, 
interdependency (saling ketergantungan yang harmonis), equaliter ( 
setara di depan hukum) dan egaliter (setara di dalam kehidupan)
 
 KESIMPULAN YANG BISA KITA MAKNAI
 Bila kita runut seluruh informasi di atas, maka akan ditemukan alur 
kearifan pandangan hidup masyarakat Sunda yang terkandung dalam legenda 
Gunung Tangkubanparahu. Kearifan yang dibungkus dengan cerita legenda 
ini dapat menjadi acuan hidup bagi siapa pun dalam melayari 
keberadaannya baik secara manusia lahiriah (fisik) maupun manusia 
transendental (ruhi).
 Di bawah ini dirangkai kembali secara ringkas alur legenda tsb. semoga dapat memperjelas arti dan makna yang dikandungnya:
 
 Legenda atau Sasakala Gunung Tangkubanparahu dimaksudkan sebagai cahaya
 pencerahan (= Sungging Perbangkara) bagi manusia yang masih bimbang 
akan keberadaan dirinya dan berkeinginan untuk menemukan jatidiri 
kemanusiaanya ( = Wayungyang).
 
 Hasil yang diperoleh dari 
pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran 
sejati (= Danghyang Sumbi, Rarasati); tetapi bila tidak disertai dengan 
kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (= taropong), maka dirinya akan 
dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (= 
digagahi si Tumang) dan akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu 
jiwa yang belum tercerahkan (= Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan
 lagi oleh kewaswasan (= Danghyang Sumbi memakan hati si Tumang) maka 
hilanglah kesadaran yang hakiki.
 
 Rasa menyesal yang dialami 
Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (=
 kepala Sangkuriang dipukul). Tentu saja kesombongannya pula yang 
mempengaruhi Sang Ego untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. 
Keangkuhan rasio yang telah lelah mencari ilmu dengan mengelilingi 
seantero jagat, ternyata kembali ke titik awal kehidupannya. Akhirnya 
menemukan Sang Nurani yang secara sadar atau pun tidak tetap dicarinya 
(= Pertemuan Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi). Walau demikian 
ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (= Sangkuriang) dengan Sang 
Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi), tidak semudah yang 
diperkirakan oleh Sang Ego. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah 
dikuasainya Sang Ego (= Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan
 sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency - silih asih-asah 
dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan social
 (= Talaga Bandung) yang berasal dari kumpulan manusia yang bermacam 
corak ragam perangainya (= Citarum). Keutuhan jatidirinya pun harus 
dibentuk pula oleh Sang Ego sendiri (= pembuatan perahu).
 
 
Keberadaan Sang Ego itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada 
pokok yang menjadi asal muasalnya (= Bukit Tunggul, pohon sajaratun) 
yang berasal sejak dari awal keberadaannya (= Timur, tempat awal terbit 
kehidupan) dan Sang Ego pun pada akhirnya akan mempunyai keturunan yang 
terwujud dalam masyarakat yad. dan semuanya berakhir ditelan masa 
menjadi setumpuk tulang-belulang (= gunung Burangrang). Betapa 
mengenaskannya, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego dengan 
Sang Nurani yang tercerahkan ( = hampir terjadinya perkawinan antara 
Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang 
titik akhir, akhir hayat dikandung badan (= Bo’eh rarang = kain kafan).
 
 Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego tidak lain hanyalah rasa 
menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”, maka 
ditendangnya keegoisan dirinya jadilah seonggok manusia transcendental 
yang tengah tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (= 
Gunung Tangkubanparahu). Walau demikian lantaran masih merasa penasaran 
dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi) dengan
 harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego dengan Sang Nurani, tetapi 
ternyata Sang Nurani yang tercerahkan kini hanya menampakkan diri 
menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego ( =
 bunga Jaksi).
 
 Akhir kisah dari Sang Ego (=Sangkuriang) yaitu 
datangnya kesadaran dengan berakhirnya kepongahan hawa nafsunya 
(=Ujungberung); dengan kesadarannya pula, dicabut sumbat dominasi 
keangkuhan rasio (= gunung Manglayang), melalui proses berkomunikasi 
yang santun dengan siapa pun (= Sanghyang Tikoro =tenggorokan; B.Sunda: 
Hade ku omong goreng ku omong) serta memperhatikan dan menjaga dengan 
seksama makanan yang masuk ke dalam lambungnya yaitu makanan yang halal 
dan bersih (=Sanghyang Tikoro = kerongkongan).
 
 AKHIR WACANA
 Seperti ditulis pada awal wacana, Hermeunetika adalah ilmu menafsirkan 
tentang sesuatu agar mempunyai arti dan makna, sehingga dapat dipetik 
manfaatnya. Oleh karena itu sangat bersifat subyektif dan inklusif, 
serta tetap terbuka bagi siapa pun untuk memasukkan tafsirannya secara 
pribadi. Boleh-boleh saja dan itu akan besar manfaatnya dalam membentuk 
masyarakat yang bermartabat.cag
 
 ILUSTRASI GAMBAR TINA GOOGLE
Legenda tentang terjadinya Gunung Tangkubanparahu sangat dikenal di Tatar Sunda, disebut pula sebagai sasakala terjadinya Talaga Bandung atau dongeng Sangkuriang. Adapun tokoh Danghyang Sumbi yang seharusnya menjadi esensi maknawi dalam mitos ini sering tersisihkan oleh peran Sangkuriang - puteranya. Wacana yang tersaji kali ini adalah upaya untuk mengarifi nilai-nilai mitos yang terkandung dalam legenda gunung Tangkubanparahu, sehingga mempunyai nilai tambah bagi pemaknaan kita terhadap wawasan budaya lokal.
MITOS SEBAGAI ACUAN PANDANGAN HIDUP
Berbincang tentang mitos akan berkaitan erat dengan legenda, cerita, dongeng semuanya termasuk kelompok folklore. Mengenai mithos C.A. van Peursen (1992:37) mengatakan sebagai sebuah cerita (lisan) yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti dari mitos adalah lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia purba tentang kebaikan-kejahatan, perkawinan dan kesuburan, dosa dan proses katarsisnya. Sedangkan Rene Wellek & Austin Warren (1989) menyebutnya sebagai cerita anonim mengenai penjelasan tentang asal mula sesuatu, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Mengacu kepada pendapat di atas ternyata mitos yang dikandung dalam legenda adalah sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau dalam segala aspeknya. Disusun dalam bentuk cerita sastra (sastra lisan) sebagai alat transformasinya, sebab bentuk cerita lisan mempunyai pola struktur dan alur yang cukup ajeg. dalam menuntun ingatan orang sehingga mudah untuk seseorang menuturkannya kembali.
HERMENEUTIKA ILMU TENTANG PENAFISRAN
Kegiatan manusia tidak terlepas dari kemampuan untuk menafsirkan terhadap apa pun yang dialaminya. Hasilnya adalah didapatkannya arti dan makna dari yang ditafsirkannya. Arti adalah hubungan antara sesuatu dengan yang melingkunginya, hubungan teks dengan konteks (Saini KM, 2004). Adapun makna adalah hubungan arti dengan nilai esensial yang dikandungnya. Kemampuan mengartikan dan memaknai sesuatu dalam budaya Sunda disebut dengan kemampuan memanfaatkan Panca Curiga (lima senjata/ilmu), yaitu kemampuan untuk menafsirkan secara: silib, yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (allude); sindir yaitu penggunaan susunan kalimat yang berbeda (allusion); simbul yaitu penggunaan dalam bentuk lambang (symbol, icon, heraldica); siloka adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma) dan sasmita adalah berkaitan dengan suasana dan perasaan hati (depth aporisma)
Dalam tulisan ini pun penulis menggunakan konsep hermeneutika untuk mencoba menarik arti dan makna yang dikandung dalam legenda Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspek yang dikandungnya.
Kaidah lain untuk melakukan analisis, penulis memanfaatkan leksikografi (cara menuliskan kata); etimologi (tentang asal-usul kata), semantik (tentang arti kata) dan semiotika (tentang arti dan makna lambang).
BEBERAPA KARYA SASTRA YANG BERTEMAKAN LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU
Legenda Gunung Tangkubanparahu dengan tokoh-tokohnya telah mengilhami para sastrawan untuk mewujudkannya dalam karya sastra seperti dalam:
Bentuk Cerita : Sang Koeriang, A.C. Deenik diambil dari Pleyte. Tt. - Gunung Tangkuban Parahu, R. Satjadibrata, 1946 - Babad Sangkuriang dalam Naskah Sunda Lama Kelompok Babad, Edi S. Ekadjati, 1983.
Bentuk Gending Karesmen (opera) : Sangkuriang Larung, Hidayat Suryalaga, 1973.
Bentuk Sajak : Sangkuriang, Hasan Wahyu Atmakusumah, 1955 - Sang Kuriang, Kusnadi Prawirasumantri, 1992 - Ngabendung Situ, Ajip Rosidi, 1962 - Sang Kuriang, Beni Setia, 1972 - Tapak Sangkuriang, Dadan Bahtera, 1989- Sangkuriang Kabeurangan, Wahyu Wibisana, 1992
Bentuk Skripsi : Pergeseran Fungsi Mitos Sangkuriang dari Cerita Sangkuriang ke dalam Sajak Sunda, Suhandi, Fakultas Sastra Unpad, 1994.
Semua karya sastra di atas tidaklah sama dalam mengartikan dan memaknai legenda Tangkubanparahu atau tokoh pemerannya. Tergantung kepada konsep hermeunetika yang diacu oleh penulisnya. Walau demikian alur ceritanya tidak banyak berubah.
Secara singkat alur ceritanya sebagai berikut:
Raja SUNGGING PERBANGKARA pergi berburu, di tengah hutan Sang Raja kencing dan tertampung dalam tempurung kelapa. Seekor babi hutan betina bernama WAYUNGYANG yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air kencing tadi. Wayungyang hamil, melahirkan seorang bayi cantik.
Bayi cantik itu dibawa ke keraton ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI alias RARASATI. banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu si TUMANG.
Ketika sedang asyik bertenun, TOROPONG (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama SANGKURIANG.
Ketika berburu di hutan Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk memburu babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk sehingga luka. Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia.
Setelah sekian lama menuju ke arah Timur akhirnya sampailah di arah Barat lagi dan tanpa sadar telah sampai di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya.
Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuat PERAHU dan TALAGA (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai CITARUM. Sangkuriang menyanggupinya. Maka dibuatlah PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah TIMUR, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL, rantingnya ditumpukkan di sebelah BARAT dan mejadi gunung BURANGRANG Ketika bendungan hampir selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar maksud Sangkuriang tidak terwujud.
Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH RARANG (kain putih hasil tenunannya), sehingga ketika itu pula fajar pun terbit. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung MANGLAYANG.
Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi GUNUNG TANGKUBANPARAHU. Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai BUNGA JAKSI. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan UJUNGBERUNG akhirnya menghilang ke alam gaib (NGAHIYANG).
ARTI SERTA MAKNA LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU DENGAN SEGALA ASPEK YANG DIKANDUNGNYA
Seperti pada awal tulisan, bahwa legenda bukanlah kisah historis, tetapi berupa mitos yang menjadi acuan hidup masyarakat pendukung kebudayaannya. Demikian pula yang terjadi pada legenda Gunung Tangkubanparahu. Di bawah ini saya susun nama dan tempat serta aspek lainnya yang terdapat dalam legenda tsb, yaitu: Sungging Perbangkara, babi hutan Si Wayungyang, Dayang Sumbi atau Rarasati, anjing Si Tumang, Sangkuriang, taropong (torak), Citarum, Sanghyang Tikoro, Gunung Putri, Gunung Manglayang, Ujungberung, kembang Jaksi, boeh rarang, Gunung Bukit Tungggul, Gunung Burangrang Gunung Tangkuban Parahu dan Talaga Bandung.
Telah disinggung di atas, bahwa banyak penulis yang memberi arti dan makna terhadap legenda ini. Pada kesempatan sekarang penulis mencoba untuk membuat penasiran arti dan makna menurut konsep nilai-nilai intrinsik pandangan hidup “urang Sunda” yang terkandung dalam alur cerita dan arti-makna dari setiap kata-kata kunci. Pemaknaan ini pun telah dikaji-banding dengan nilai-nilai intrinsik yang terkandung dalam cerita lama (pantun) yang dianggap sakral yaitu Cerita Pantun Lutung Kasarung dan Mundinglaya di Kusuma. Di bawah ini disertakan deskripsi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan legenda gunung tangkubanparahu:
SUNGGING PERBANGKARA. Artinya : Sungging = ukiran,ornamen. Perbangkara (Prabhangkara) = Prabha = cahaya. > ‘ng = penanda hormat, honorifik. > kara = matahari. Maknanya ” Penanda dari kebaikan/kebenaran sebagai cahaya pencerahan bagi yang menyimaknya”
Babi hutan WAYUNGYANG. Artinya: Wayungyang > w(b)ayeungyang = perasaan yang tidak tenteram, gundah gula. Maknanya: Seseorang yang masih berada dalam sifat kehewanan tetapi telah mulai bimbang dan menginginkan menjadi seorang manusia seutuhnya (berperi-kemanusiaan).
DAYANG SUMBI (DANGHYANG). Artinya : > Dang = penanda hormat, honorific. Yang < Hyang = gaib. > Sumbi = 1) tendok = alat untuk menusuk hidung kerbau agar menurut. 2) Bagian ujung terdepan dari perahu sebagai penunjuk arah dalam berlayar. Maknanya: Petunjuk gaib sebagai kendali manusia dalam menentukan arah dalam melayari kehidupannya. Bisa dimaknai pula sebagai kata hati, nurani yang mendapat pencerahan hidayah Allah Swt.
RARASATI nama lain dari Dayang Sumbi. Artinya : > Raras = perasaan yang sangat halus. > ati = hati, qalbu. Maknanya: Hati atau qalbu yang penuh dengan kehalusan budi karena mendapat pancaran sinar Ilahi.
Si TUMANG. Artinya: > tumang = 1) Peti yang tertutup (b. Kawi), 2) mangmang = sumpah (b.Kawi) tu-mang-mang = orang yang terkena sumpah karena waswas. Maknanya: karakter seseorang yang selalu asal bersumpah, waswas, akhirnya termakan sumpahnya sendiri, hatinya seperti peti yang tertutup rapat tidak mendapat pencerahan.
SANGKURIANG. Artinya: > 1) Sang = penanda hormat, honorifik. > Kuriang < kuring = saya, ego. 2) Sang = penanda hormat, honorific. > Kuriang < guru + hyang = ego yang gaib. Maknanya: Sangkuriang = Jiwa (ego) non material yang menjadi dasar tumbuhnya kesadaran mental manusia yang selalu mendapat cobaan dan ujian kualitas dirinya.
TAROPONG. Artinya : 1) Alat bertenun dari sepotong bambu kecil (tamiang) tempat benang pakan (torak); 2) Alat untuk melihat sesuatu agar lebih jelas (teropong). Maknanya: Kegiatan (semangat) manusia dalam menata perilaku kehidupan agar terusun tertib sesuai dengan kualitas dirinya serta mampu melihat dengan jelas alur (visi) kehidupannya
.
Sungai CITARUM. Artinya: > Ci < cai = air. > Tarum = sejenis tumbuhan, daunnya untuk memberi warna indigo tua (hampir hitam) pada kain/benang tenun. Maknanya: Kehidupan adalah seperti air mengalir dalam perjalanannya akan mengalami beragam celupan kehidupan, kebahagiaan, keprihatinan dan juga hal-hal negatif lainnya sebagai ujian keteguhan hatinya.
SANGHYANG TIKORO. Artinya: > Sang = penanda hormat, honorifik. > Hyang = gaib. >Tikoro = saluran di leher untuk bernafas dan berbicara (tenggorokan) atau saluran di leher untuk makan (kerongkongan). Maknanya: Kemampuan manusia dalam berbicara tentang apa pun yang baik atau pun yang jelek serta sering dilalui makanan entah yang halal atau yang haram.
Gunung PUTRI. Artinya > Putri = gadis, wanita cantik jelita, bangsawan. Maknanya: Karakter manusia yang dihiasi nilai keindahan dan cinta kasih. Dimaknai sebagi sifat kewanitaan (feminim, jamalliyah, rohimmi) yang penuh rasa kasih sayang.
Gunung MANGLAYANG. Artinya: > Manglayang = 1) ngalayang, melayang. 2) Mang-layang > palayangan = Saluran untuk pembuangan air kolam/talaga. Maknanya : Kemampuan manusia untuk menguras dan membersihkan dirinya dari karakter yang kotor.
UJUNGBERUNG. Artinya: > Ujung = akhir. >berung > ngaberung = menurutkan hawa nafsu. Maknanya : Berakhirnya gejolak hawa nafsu yang negatif.
Kembang JAKSI . Artinya: 1) Jaksi > bisa dimaknai jadi + saksi . 2) Jaksi = bunga sejenis pohon pandan. Maknanya: Segala sesuatu yang dikerjakan seseorang akhirnya akan menjadi saksi pula bagi dirinya.
BO’EH RARANG. Artinya : > Bo’eh = kain kafan. > rarang = suci, mahal. Maknanya: Semuanya akan berakhir bila satu saat mau tidak mau harus memakai kain kafan yang suci, yaitu datangnya waktu kematian mungkin secara fisik atau secara psikis.
Gunung BUKIT TUNGGUL. Artinya : > Bukit = Bentuk gunung yang lebih kecil. > Tunggul = pokok pohon. Maknanya: Siapapun orangnya, kaya-miskin, pembesar atau pun rakyat kecil semuanya mempunyai pokok sejarah dirinya (leluhur) dan juga mempunyai pokok jati dirinya.
Gunung BURANGRANG. Artinya > Burangrang > Bukit + rangrang. > rangrang = ranting. Maknanya : Siapa pun orangnya tetap akhirnya akan ada sangkut pautnya dengan keturun dan masyarakat yad. yang pada gilirannya semuanya akan hilang ditelan masa (B.S ngarangrangan).
Gunung TANGKUBANPARAHU. Artinya: >Tangkuban = tertelungkup, menelungkup. > Parahu = perahu. > Gunung Tangkubanparahu = gunung yang bentuknya seperti perahu yang tertelungkup. Maknanya: Dalam kosmologi Sunda, gunung dimaknai sebagai tubuh manusia. Gunung Tangkubanparahu dimaknai sebagai manusia yang sedang menelungkupkan dirinya dan itu menandakan suasana hati yang sedang bingung penuh penyesalan.
TALAGA BANDUNG. Artinya: > talaga = danau. >bandung = 1) perahu atau dua buah rakit yang disatukan dan di atasnya dibuat tempat berteduh. 2) bandung > bandung + an = memperhatikan, menyimak. Maknanya: Talaga dimaknai sebagai alam kehidupan di dunia ini. Talaga Bandung = Dalam kehidupan di dunia ini kita ibarat perahu yang dirakit berpasangan dengan sesama makhluk lain, seyogyanya dapat membangun kehidupan bersama, yaitu kehidupan yang saling memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, interdependency (saling ketergantungan yang harmonis), equaliter ( setara di depan hukum) dan egaliter (setara di dalam kehidupan)
KESIMPULAN YANG BISA KITA MAKNAI
Bila kita runut seluruh informasi di atas, maka akan ditemukan alur kearifan pandangan hidup masyarakat Sunda yang terkandung dalam legenda Gunung Tangkubanparahu. Kearifan yang dibungkus dengan cerita legenda ini dapat menjadi acuan hidup bagi siapa pun dalam melayari keberadaannya baik secara manusia lahiriah (fisik) maupun manusia transendental (ruhi).
Di bawah ini dirangkai kembali secara ringkas alur legenda tsb. semoga dapat memperjelas arti dan makna yang dikandungnya:
Legenda atau Sasakala Gunung Tangkubanparahu dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (= Sungging Perbangkara) bagi manusia yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan untuk menemukan jatidiri kemanusiaanya ( = Wayungyang).
Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (= Danghyang Sumbi, Rarasati); tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (= taropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (= digagahi si Tumang) dan akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (= Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (= Danghyang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki.
Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (= kepala Sangkuriang dipukul). Tentu saja kesombongannya pula yang mempengaruhi Sang Ego untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Keangkuhan rasio yang telah lelah mencari ilmu dengan mengelilingi seantero jagat, ternyata kembali ke titik awal kehidupannya. Akhirnya menemukan Sang Nurani yang secara sadar atau pun tidak tetap dicarinya (= Pertemuan Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi). Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (= Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan oleh Sang Ego. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego (= Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency - silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan social (= Talaga Bandung) yang berasal dari kumpulan manusia yang bermacam corak ragam perangainya (= Citarum). Keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego sendiri (= pembuatan perahu).
Keberadaan Sang Ego itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (= Bukit Tunggul, pohon sajaratun) yang berasal sejak dari awal keberadaannya (= Timur, tempat awal terbit kehidupan) dan Sang Ego pun pada akhirnya akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yad. dan semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (= gunung Burangrang). Betapa mengenaskannya, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego dengan Sang Nurani yang tercerahkan ( = hampir terjadinya perkawinan antara Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (= Bo’eh rarang = kain kafan).
Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego tidak lain hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”, maka ditendangnya keegoisan dirinya jadilah seonggok manusia transcendental yang tengah tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (= Gunung Tangkubanparahu). Walau demikian lantaran masih merasa penasaran dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego dengan Sang Nurani, tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan kini hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego ( = bunga Jaksi).
Akhir kisah dari Sang Ego (=Sangkuriang) yaitu datangnya kesadaran dengan berakhirnya kepongahan hawa nafsunya (=Ujungberung); dengan kesadarannya pula, dicabut sumbat dominasi keangkuhan rasio (= gunung Manglayang), melalui proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (= Sanghyang Tikoro =tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong) serta memperhatikan dan menjaga dengan seksama makanan yang masuk ke dalam lambungnya yaitu makanan yang halal dan bersih (=Sanghyang Tikoro = kerongkongan).
AKHIR WACANA
Seperti ditulis pada awal wacana, Hermeunetika adalah ilmu menafsirkan tentang sesuatu agar mempunyai arti dan makna, sehingga dapat dipetik manfaatnya. Oleh karena itu sangat bersifat subyektif dan inklusif, serta tetap terbuka bagi siapa pun untuk memasukkan tafsirannya secara pribadi. Boleh-boleh saja dan itu akan besar manfaatnya dalam membentuk masyarakat yang bermartabat.cag
ILUSTRASI GAMBAR TINA GOOGLE
- Get link
 - X
 - Other Apps
 

Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.