Islam dan Sunda dalam Mitos
Oleh JAKOB SUMARDJO
PANDANGAN
manusia Sunda masa kini terhadap hubungan antara agamanya (Islam) dan
kebudayaannya (Sunda) tentulah berdasarkan pandangan dan pengetahuan
yang sudah modern. Bagaimana hubungan itu seharusnya, tentulah menjadi
bahan wacana yang aneka ragam. Tetapi orang sering melupakan bagaimana
gagasan manusia Sunda itu dalam praksisnya. Bagaimana masyarakat Sunda
pra-modern memandang dirinya dalam hubungan antara Islam dan Sunda.
Gagasan semacam itu bertebaran dalam bentuk wawacan yang oleh
Viviane Sukanda-Tessier dan Hasan M. Ambary telah dihimpun ringkasan
isinya setebal lebih dari 2000 (dua ribu) halaman.
Untuk memahami hubungan antara Islam dan Sunda, ratusan wawacan itu dapat menjadi sumber utamanya. Kalau pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman Pajajaran dapat disimak dari carita pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda setelah memeluk agama Islam dapat disimak dari wawacannya. Wawacan-wawacan inilah yang ikut membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda sejak abad ke 17.
“Pantun dan wawacan itu bukankah dongengan saja Pak?” Memang
kita sekarang menampakkannya sebagai dongeng-dongeng belaka, tetapi di
zamannya (bahkan mungkin masa kini di perdesaan Sunda) masih merupakan
mitos. Setiap masyarakat memiliki sejumlah mitos untuk mempersatukan
dirinya dalam sebuah bangunan alam pikiran yang sama. Mitologi-mitologi
Islami Sunda dalam bentuk ratusan wawacan ini berperan sangat
penting dalam menyatukan kesadaran sosial masyarakat Sunda pada
zamannya. Dan kesadaran inilah yang memimpin sikap mereka dalam
mengarungi hidup ini.
**
MASYARAKAT Sunda zaman wawacan itu memandang dirinya dalam hubungannya dengan agama Islam, dapat dilihat dari hanya dua wawacannya saja, yakni Wawacan Guru Gantangan dan Wawacan Kean Santang. Masih tersedia puluhan wawacan
lain yang dapat memperkuat thesis yang akan diajukan di sini. Dalam
sebuah diskusi tentang kesundaan, seorang mahasiswa menolak keras
diperhitungkannya nama Kean Santang dalam membaca budaya Sunda di masa
lampau. Kean Santang itu tidak dapat dibuktikan keberadaannya dalam
sejarah Sunda. Jawaban saya, mana yang lebih penting, kesadaran kolektif
masyarakat Sunda atas “adanya” Kean Santang, atau bukti sejarah
keberadaannya? Kalau benar ada secara faktual, tetapi tidak ada secara
kesadaran, mana yang lebih penting dalam ilmu budaya? Realitas kesadaran
bahwa Kean Santang itu benar-benar ada dalam alam pikiran masyarakat
Sunda di zaman itu, atau jauh lebih penting dari realitas faktual yang
memang “tidak ada”?
Perlu saya tambahkan di sini, bahwa wawacan bukan untuk dibaca secara personal seperti kita sekarang membaca roman Siti Nurbaya. Wawacan itu untuk dibacakan di depan sejumlah hadirin dengan melagukannya. Inilah second literary. Genesisnya dari dua komunitas, yakni lingkungan pesantren Sunda dan lingkungan kaum menak. Inilah sebabnya wawacan berhuruf Pegon (pesantren) dan berhuruf cacarakan Jawa (menak). Wawacan berisi ajaran Islam dan mitos-mitos Islami diduga berasal dari komunitas santri, sedangkan wawacan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam, berasal dari komunitas menak. Dua jenis wawacan ini diwarisi oleh rakyat Sunda. Dengan demikian, jelaslah bahwa wawacan Sunda menggambarkan alam kesadaran seluruh masyarakat Sunda.
Seperti halnya masyarakat Melayu, masyarakat Sunda memandang Sunda
dan Islam itu identik. Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Sebuah ungkapan
yang amat membingungkan dalam pola berpikir modern kita. Tetapi
ungkapan ini berasal dari tradisi berpikir masyarakat Sunda pra-modern.
Dalam masyarakat Minang identitas Islam ini dirumuskan dalam ungkapan:
adat bersendi sarak (syariat), sarak bersendi Kitab Allah.
Ungkapan Minang ini kemudian dipakai cendekiawan Sunda modern untuk
mengoreksi ungkapan aslinya yang membingungkan itu, yakni Islam dahulu
sebelum Sunda.
**
MENGAPA muncul ungkapan “Islam itu Sunda?” Nenek Moyang Sunda bukan
orang bodoh yang tak tahu membedakan antara agama Islam yang dijunjung
tinggi dengan adat istiadat leluhurnya. Ungkapan “Islam itu Sunda” sama
sekali tidak bermaksud mereduksi Islam menjadi budaya. Ungkapan ini
mirip dengan “Siliwangi itu Jawa Barat, Jawa Barat itu Siliwangi”. Sunda
dan Siliwangi itu identik.
Identitas Sunda sebagai Islam itu mengacu kepad Trias Politika Sunda.
Di masyarakat Baduy, terdapat kesatuan tiga kampung besar yang
masing-masing mempunyai peranannya sendiri. Kampung yang amat dihormati
adalah Cikeusik, karena kampung ini bersifat resik yakni penentu
adat seluruh kesatuan kampung. Meskipun ia dihormati, tetapi tidak
menjalankan kekuasaan kampung. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada
kampung di tengah, yakni Cikertawana. Sedang kampung paling luar, Cibeo,
bertanggung jawab atas keamanan tiga kampung besar dan bertugas
menjalin komunikasi dengan pihak luar kampung. Jadi, Cikeusik sebagai
resi, Cikertawana sebagai ratu dan Cibeo sebagai rama.
Dalam zaman Pajajaran, Pakuan menggantikan kedudukan Cikeusik, jadi
raja Pajajaran itu raja-pendeta. Kekuasaan eksekutif Pajajaran di Jawa
Barat tersebar di negara-negara “tengah”, misalnya Sumedang,
Tasikmalaya, Majalengka, dst. Sedangkan Cibeonya Pajajaran adalah
kota-kota pesisir seperti Indramayu, Karawang, Tangerang, dst. Inilah
muncul ungkapan Sunda bahwa Sunda itu Pajajaran dan Pajajaran itu Sunda,
atau yang lebih mutakhir, Siliwangi itu Sunda dan Sunda itu Siliwangi.
Bagaimana ketika Sunda memeluk Islam? Tetap trias politika.
Triloginya adalah santri (Islam), Menak, dan Rakyat mengikuti ungkapan
resi, ratu, rama. Resinya menjadi ulama, ratunya menjadi kaum menak, dan
rama menjadi rakyat Sunda umumnya. Dibaca secara demikian maka pola
pikir masyarakat Sunda mengenai hubungan antara sistem kepercayaannya
dengan sosio-budayanya masih tetap Trias Politika Sunda. Cikeusik,
Pakuan-Pajajaran, dan Islam adalah otoritas rohaniah yang amat dihormati
dan dipatuhi. Inilah yang menyatukan alam pikir seluruh komunitas
Sunda. Sunda itu ya Cikeusik itu, Pakuan – Pajajaran itu, Islam itu
sendiri.
Oleh karena itu masyarakat Sunda mentakan bahwa “Islam itu Sunda”.
Ungkapan ini jangan dibaca secara modern, tetapi secara tradisi berpikir
masyarakat Sunda sendiri, yang artinya Islam adalah pengganti identitas
Sunda yang sebelumnya dipegang oleh Pajajaran. Karena kerajaan
Pajajaran tidak berkelanjutan dengan berdirinya kerajaan Islam-Sunda
(kecuali kerajaan Banten dan Cirebon disebut sebagai Sunda), maka
otoritas rohani Sunda diserahkan kepada kaum ulama Sunda di
pesantren-pesantren.
Jadi, resi-ratu-rama menjadi Islam-menak-rakyat.
Seperti dahulu Pajajaran itu sunda, maka sekarang Islam itu Sunda.
Dengan demikian, ungkapan “Islam itu Sunda” harus dibaca secara
sosio-historis Sunda, dan jangan dibaca secara teologis.
Permasalahannya sekarang, mengapa identitas Sunda adalah Islam?
Inilah alam pikiran Sunda pra-modern, suatu realitas kesadaran yang
ditanamkan lewat berbagai mitos-mitos Islami Sunda dalam wawacan. Dalam wawacan
Guru Gantangan (abad 18?), masyarakat Sunda percaya bahwa Pulau Jawa
ini pada mulanya kosong. Maka raja Mesir, Sri Putih, membawa seribu
orang Mesir dan seribu orang Selon bermukim di Pulau Jawa (Sunda),
Penyebutan orang Mesir dalam abad 17 atau 18 dapat dipahami sebagai
kekuasaan kesultanan Turki di Mesir yang jelas Islam. Dengan demikian,
masyarakat Sunda dalam abad-abad itu percaya bahwa orang Sunda itu
setengah Mesir (Arab, Turki, Islam) dan setengah Selon (India). Mitos
ini meneguhkan bahwa Sunda itu sejak mulanya memang sudah Islam.
Mitologi kedua berasal dari wawacan Kean Santang. Kean Santang
adalah putra Siliwangi yang tak terkalahkan oleh siapa pun, sehingga ia
mencari lawan yang dapat melukainya dan dengan demikian ia akan dapat
melihat darahnya sendiri. Petunjuk mengatakan bahwa ia harus bertapa di
Ujung Kulon. Dalam pertapaannya ia mendengar suara agar pergi ke arah
barat. Perjalanan ke barat sampai di Arab. Di sana ia bertemu seorang
kakek yang kemudian dikenal sebagai Baginda Ali. Kakek ini bersedia
mempertemukan Kean Santang dengan siapa yang dicari Kean Santang selama
ini.
Dalam perjalanan, Baginda Ali menyuruh Kean Santang mengambilkan
tongkatnya yang ketinggalan. Kean Santang pergi mengambilnya, tetapi
tongkat yang tertanam di pasir itu tak bisa ditariknya, meskipun telah
mengeluarkan segenap tenaganya. Baginda Ali datang menyusul, dan dengan
amat gampang menarik tongkat itu. Kean Santang sadar, bahwa Baginda Ali
yang hanya pengikut Nabi Muhammad SAW begitu perkasanya, apalagi
beliaunya sendiri. Kean Santang bertobat dan masuk Islam. Kean Santang
mendapat ajaran Islam dari nabi sendiri, dan ikut mendirikan sebuah
tiang dalam membangun masjid di Mekkah.
Kean Santang sebenarnya ingin tetap tinggal dekat nabi, namun ia
diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam di Sunda. Sesampainya di
tanah airnya, ia membujuk ayahandanya Prabu Siliwangi agar bersedia
masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi memilih moksha bersama
keluarga dan pembesar-pembesarnya. Pajajaran lenyap. Tetapi Kean Santang
tidak mau menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Ia
menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Sunda.
**
SEKALI lagi mitos ini menunjukkan keyakinan masyarakat Sunda bahwa
Islam di Sunda itu berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW yakni Islam
yang semurni-murninya Islam. Dan Kean Santang adalah murid dan sekaligus
utusan Nabi Muhammad SAW. Tidak mengherankan apabila rakyat hilang
kenangannya terhadap kebudayaan Hindu-Budha-Sunda yang pernah berjaya
sekitar seribu tahun. Nama Siliwangi itu sendiri barangkali dalam
kesadaran rakyat hanya dikenal sebagai “bukan Islam”, namun bukan raja
Hindu-Budha.
Pengalaman saya waktu ceramah di daerah Banjaran membuktikan
kenyataan itu. Ketika saya jelaskan makna pantun yang berhubungan dengan
sistem kepercayaan Hindu-Budha di Sunda, salah seorang peserta
membantah bahwa orang Sunda pernah memeluk agama Hindu-Budha. Orang
Sunda sejak dahulu kala telah memeluk agama Islam, tidak ada agama yang
lain. Mula-mulanya saya terperanjat, tetapi kemudian saya memahami
sikapnya setelah saya membaca ringkasan-ringkasan wawasan hasil kerja
Ibu Viviane dan Bapak Ambary.
Betapa hebatnya wawacan atas alam pikiran rakyat Sunda di perdesaan.***
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 14 Mei 2005.
Klik dulu baru bisa rasakan ayam bangkok
ReplyDelete