Gunung Salak: Eksotisme Tradisi dan Panorama (Dok.Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh: Mohammad Fathi Royyani, Peneliti LIPI.
“Buitenzorg adalah tempat tinggal yang sangat menyenangkan. Daerah ini
cukup tinggi sehingga terasa nyaman bagi orang yang tinggal di dataran
rendah. Pemandangan alam di sini sangat indah dan tanahnya subur. Gunung
Salak, sebuah gunung berapi yang puncaknya terpotong dan bergerigi,
menjadi latar belakang yang khas bagi bentangan alam di sekitarnya”.
Itu adalah kesaksian dari Wallace, seorang ilmuawan berkebangsaan
Inggris ketika mengunjungi daerah Bogor dalam rangkaian penjelajahan
ilmiahnya. Bogor dengan gunung Salaknya telah mempesonakan Wallace,
bahkan tidak hanya Wallace, banyak ilmuan lain yang sangat tertarik
dengan keberadaan gunung Salak. Pesona yang ditawarkan gunung Salak
tidak terbatas pada keindahan alamnya melainkan juga kenakeragaman
hayati, hewani, dan juga keakraban masyarakatnya yang masih masih
menyuguhkan kearifan tradisional.
Diantara ilmuawan yang
tercatat dalam lintasan sejarah yang tersedot oleh magnet gunung Salak
adalah seorang botanis berkebangsaan Swedia Claes Frederic Hornstedt
(1758-1809), murid dari Thunberg. Hornstedt mengunjungi Gunung Salak
pada tahun 1783. Setelah itu disusul oleh Reinwardt yang mendaki dan
melakukan ekplorasi botani di gunung Salak pada tahun 1817.
Sedangkan ilmuwan dari Indonesia yang pernah melakukan ekplorasi di
gunung Salak diantaranya adalah; Kuswata Kartawinata yang melakukan
penelitian pada tahun 1985 di daerah Awibengkok. Di tahun yang sama, Edi
Mirmanto melakukan penelitian ekologi tumbuhan di di daerah Cianten,
sedangkan Harry Wiriadinata melakukan ekplorasi taksonomi di koridor
antara G. Salak dan G. Halimun pada tahun 1997.
Keberadaan
gunung Salak secara ekologis makin terjaga saja ketika kawasan ini
ditetapkan sebagai Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak melaui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/kpts 11/2003 pada tanggal 10
Juni 2003 seluas 113. 357 hektar.
Perubahan status menjadi
Kawasan Taman Nasional merupakan tugas negara untuk melindungi tanah
airnya supaya dapat memenuhi hayat hidup orang banyak. Dengan menjadi
Taman Nasional yang menjadikan kawasan ini relaitif lebih terjaga akan
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap air bersih dan juga
menyelamatkan masyarakat dari ancaman yang lebih besar, yakni banjir dan
longsor.
Gunung Salak merupakan salah satu dari hulu dua
sungai yang membelah kota Jakarta dan Tangerang, yakni sungai Cisadane
dan sungai Ciliwung. Dengan demikian, bila kawasan gunung Salak tidak
rusak maka kawasan ini akan menyerap banyak air yang, di samping dapat
menyediakan kebutuhan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Salak
juga sekaligus mengurangi volume air yang mengalir ke Jakarta, karena
mencegah banjir tidak hanya persoalan hilir melainkan juga hulu.
Keberadaan Taman Nasional atau kawasan konservasi tidak bisa lepas dari
masyarakat yang hidup di sekitarnya, yang telah puluhan bahkan ratusan
tahun tinggal, menetap, dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat
di dalamnya. Bahkan dalam paradigma baru pengelolaan suatu kawasan
konservasi adalah dengan melibatkan secara aktif masyarakat. Karena
memang sejatinya, kehadiran kawasan konservasi, yang relatif baru
dibandingkan kehadiran manusia, adalah dapat berperan dalam
mensejahterakan masyarakat.
Masyarakat yang tinggal di sekitar
gunung Salak masih memiliki kearifan tradisional, diantaranya berupa
pengetahuan tentang pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk berbagai
kebutuhannya. Tradisi dan pengetahuan lokal mengenai konservasi kawasan
merupakan hasil dari interaksi panjang antara manusia dan alam. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat, atau bahkan mungkin
individu, memiliki cara pandang tersendiri tentang keberadaan sebuah
Gunung, tergantung pada hasil interaksinya dengan gunung.
Bagi
masyarakat Sunda yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, gunung Salak memiliki makna tersendiri. Gunung diyakini
oleh masyarakat sebagai tempat bersemayam dan turunnya para Batara dari
Kahyangan, untuk itu masyarakat Sunda klasik Sunda sering menyebut
gunung sebagai kabuyutan. Peran gunung sebagai kabuyut dapat dilihat
dari cerita-cerita rakyat dan juga tuturan para pini sepuh.
Oleh masyarakat adat yang tinggal di desa GiriJaya, gunung Salak
merupakan kawasan yang penting, karena di gunung salak ini asal usul
daerah dan kehidupan tersimpan. Gunung Salak juga menyimpan banyak
misteri kehidupan, bagi siapa saja yang dapat menemukan atau mengerti
rahasia yang terdapat di gunung Salak akan menjadi manusia arif.
Pendapat mereka didasarkan atas tafsirannya mengenai asal nama Salak
yang menjadi nama gunung ini. Menurut masyarakat, nama Salak berasal
dari Siloka dan salaka yang berarti simbol atau tanda dan juga
asal-usul.
Masyarakat adat ini setiap tahunnya sering menggelar
acara-acara seremonial tradisi, seperti seren taun, muludan, dan
lain-lain. Dalam pelaksanaan seremoni tradisi tersebut, penghormatan
terhadap alam, Gunung Salak dalam hal ini dilakukan. Gunung Salak sangat
dihormat oleh masyarakat.
Terlepas dari benar tidaknya
pendapat masyarakat tentang makna gunung Salak, yang pasti hal tersebut
adalah anggapan yang ada dan tetap hidup di masyarakat, dan itu adalah
sah-sah saja. Namun yang pasti, di Gunung Salak ditemukan penemuan
arkeologis berupa bebatuan yang berbentuk Punden Berundak dari masa
neolithikum atau zaman batu baru di daerah Bogor. Tempat penemuan
arkeologis itu sampai sekarang masih terjaga dan terawat dengan baik.
Masyarakat meyakini bahwa di tempat tersebut pada masa lalu adalah pusat
kekuasaan Sunda pada zaman baheula.
Sedangkan di daerah Girijaya
juga selain terdapat batuan berupa Punden Berundak, walau lebih kecil
dari yang terdapat di Bogor. Punden berundak yang terdapat di Jalur
Girijaya, bila kita hendak mendaki puncak gunung Salak ini, dipercaya
juga sebagai petilasan dari Eyang Santri ketika beliau berkhalwat.
Di daerah ini juga terdapat makan yang diyakini oleh masyarakat sebagai
makam keramat. Pada malam hari, terutama malam-malam tertentu yang
menurut anggapan masyarakat memiliki nuansa spiritual kuat, maka makan
ini akan penuh dikunjungi oleh peziarah. Makam ini merupakan makan Eyang
Santri yang menurut penuturan juru kunci serta keturunannya adalah
seorang Waliyullah (kekasih Allah). Eyang Santri adalah seorang putra
keraton Solo yang lari dari kehidupan Keraton karena tidak puas dengan
kebijakan yang diambil oleh keraton. Beliau lebih memilih berjuang
melawan Belanda dan dakwah agama Islam.
Eyang Santri juga,
menurut penuturan cucu-nya adalah seorang yang penting dalam perjuangan
kemerdekaan. Beliau salah seorang yang membantu pendanaan Sumpah Pemuda
serta menjadi inspirasi Bung Karno dalam penamaan Marhaen. Eyang Santri
adalah sosok petani kecil yang ditemui Bung Karno ketika ia jalan-jalan
di daerah Pasundan.
Dengan perspektif berbeda, seorang Arkeolog dari
UI, Aris Munandar, berdasarkan penelitiannya pada masyarakat adat yang
terdapat di Sindang Barang, Bogor, berpendapat bahwa kedua puncak yang
terdapat di gunung Salak memiliki makna yang berbeda bagi masyarakat
yang masih berpegang pada tradisi dan masih terpengaruh oleh ajaran
Hindu. Munadar lebih lanjut mengatakan bahwa Puncak Gajah ditafsirkan
sebagai tempat bersemayamnya arwah raja-raja Sunda Kuno yang telah
ngahyang. Sedangkan puncak Keramat ditafsirkan sebagai tempat
persemayaman para Hyang, dewata Sunda Kuno, serta Raja-raja kerajaan
Sunda.
Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa gunung
Salak sebagai sebagai Paku Jagat atau Paku Tetenger bagi Pakuan
Pajajaran. Mungkin sama dengan Merapi bagi masyarakat Jogja. Sedangkan
bagi masyarakat Islam yang berkutat pada pencarian spiritualitas,
diyakini bahwa di puncak keramat terdapat satu makam dari tokoh penyebar
agama Islam yang berasal dari Cirebon, yaitu KH Hasan Basri yang
bertugas menyebarkan agama Islam ke daerah Sunda seperti di Bogor,
Sukabumi, Pelabuhan Ratu, dan Cianjur. Puncak Salak juga dianggap
sebagai temapt berkumpulnya ghaib-ghaib Suci, seperti wali songo, dan
lain-lain.
Sebagian masyarakat juga menganggap bahwa terdapat
tiga pilar utama berupa gunung yang menopang kehidupan masyarakat Sunda,
yakni Gunung Salak, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango. Masyarakat
menafsirkan ketiga gunung ini sebagai simbol dari huruf alif, lam, ha,
ketiga kata ini yang kalau digabungkan akan menjadi satu kata, yaitu
ilah yang berarti Allah atau Tuhan.
Sebagian masyarakat juga
percaya bahwa tafsir dari ketiga hurup Arab tersebut adalah sebagai
simbol dari ajaran kebaikan. Gunung Salak adalah simbol dari alif (huruf
pertama dalam abjad Arab) yang berarti hubungan vertikal. Sedangkan
Gunung Pangrango adalah simbol dari lam dan Gunung Gede simbol dari ha.
Jadi mari kita peihara gunung, karena di tempat tersebut antara
konservasi, tradisi, mitos, legenda, kepercayaan, dan juga daerah yang
bisa memenuhi hajat hidup orang banyak membaur menjadi satu.****
foto gunung Salaka (tina Google)
“Buitenzorg adalah tempat tinggal yang sangat menyenangkan. Daerah ini cukup tinggi sehingga terasa nyaman bagi orang yang tinggal di dataran rendah. Pemandangan alam di sini sangat indah dan tanahnya subur. Gunung Salak, sebuah gunung berapi yang puncaknya terpotong dan bergerigi, menjadi latar belakang yang khas bagi bentangan alam di sekitarnya”.
Itu adalah kesaksian dari Wallace, seorang ilmuawan berkebangsaan Inggris ketika mengunjungi daerah Bogor dalam rangkaian penjelajahan ilmiahnya. Bogor dengan gunung Salaknya telah mempesonakan Wallace, bahkan tidak hanya Wallace, banyak ilmuan lain yang sangat tertarik dengan keberadaan gunung Salak. Pesona yang ditawarkan gunung Salak tidak terbatas pada keindahan alamnya melainkan juga kenakeragaman hayati, hewani, dan juga keakraban masyarakatnya yang masih masih menyuguhkan kearifan tradisional.
Diantara ilmuawan yang tercatat dalam lintasan sejarah yang tersedot oleh magnet gunung Salak adalah seorang botanis berkebangsaan Swedia Claes Frederic Hornstedt (1758-1809), murid dari Thunberg. Hornstedt mengunjungi Gunung Salak pada tahun 1783. Setelah itu disusul oleh Reinwardt yang mendaki dan melakukan ekplorasi botani di gunung Salak pada tahun 1817.
Sedangkan ilmuwan dari Indonesia yang pernah melakukan ekplorasi di gunung Salak diantaranya adalah; Kuswata Kartawinata yang melakukan penelitian pada tahun 1985 di daerah Awibengkok. Di tahun yang sama, Edi Mirmanto melakukan penelitian ekologi tumbuhan di di daerah Cianten, sedangkan Harry Wiriadinata melakukan ekplorasi taksonomi di koridor antara G. Salak dan G. Halimun pada tahun 1997.
Keberadaan gunung Salak secara ekologis makin terjaga saja ketika kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak melaui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/kpts 11/2003 pada tanggal 10 Juni 2003 seluas 113. 357 hektar.
Perubahan status menjadi Kawasan Taman Nasional merupakan tugas negara untuk melindungi tanah airnya supaya dapat memenuhi hayat hidup orang banyak. Dengan menjadi Taman Nasional yang menjadikan kawasan ini relaitif lebih terjaga akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap air bersih dan juga menyelamatkan masyarakat dari ancaman yang lebih besar, yakni banjir dan longsor.
Gunung Salak merupakan salah satu dari hulu dua sungai yang membelah kota Jakarta dan Tangerang, yakni sungai Cisadane dan sungai Ciliwung. Dengan demikian, bila kawasan gunung Salak tidak rusak maka kawasan ini akan menyerap banyak air yang, di samping dapat menyediakan kebutuhan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Salak juga sekaligus mengurangi volume air yang mengalir ke Jakarta, karena mencegah banjir tidak hanya persoalan hilir melainkan juga hulu.
Keberadaan Taman Nasional atau kawasan konservasi tidak bisa lepas dari masyarakat yang hidup di sekitarnya, yang telah puluhan bahkan ratusan tahun tinggal, menetap, dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya. Bahkan dalam paradigma baru pengelolaan suatu kawasan konservasi adalah dengan melibatkan secara aktif masyarakat. Karena memang sejatinya, kehadiran kawasan konservasi, yang relatif baru dibandingkan kehadiran manusia, adalah dapat berperan dalam mensejahterakan masyarakat.
Masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Salak masih memiliki kearifan tradisional, diantaranya berupa pengetahuan tentang pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk berbagai kebutuhannya. Tradisi dan pengetahuan lokal mengenai konservasi kawasan merupakan hasil dari interaksi panjang antara manusia dan alam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat, atau bahkan mungkin individu, memiliki cara pandang tersendiri tentang keberadaan sebuah Gunung, tergantung pada hasil interaksinya dengan gunung.
Bagi masyarakat Sunda yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, gunung Salak memiliki makna tersendiri. Gunung diyakini oleh masyarakat sebagai tempat bersemayam dan turunnya para Batara dari Kahyangan, untuk itu masyarakat Sunda klasik Sunda sering menyebut gunung sebagai kabuyutan. Peran gunung sebagai kabuyut dapat dilihat dari cerita-cerita rakyat dan juga tuturan para pini sepuh.
Oleh masyarakat adat yang tinggal di desa GiriJaya, gunung Salak merupakan kawasan yang penting, karena di gunung salak ini asal usul daerah dan kehidupan tersimpan. Gunung Salak juga menyimpan banyak misteri kehidupan, bagi siapa saja yang dapat menemukan atau mengerti rahasia yang terdapat di gunung Salak akan menjadi manusia arif. Pendapat mereka didasarkan atas tafsirannya mengenai asal nama Salak yang menjadi nama gunung ini. Menurut masyarakat, nama Salak berasal dari Siloka dan salaka yang berarti simbol atau tanda dan juga asal-usul.
Masyarakat adat ini setiap tahunnya sering menggelar acara-acara seremonial tradisi, seperti seren taun, muludan, dan lain-lain. Dalam pelaksanaan seremoni tradisi tersebut, penghormatan terhadap alam, Gunung Salak dalam hal ini dilakukan. Gunung Salak sangat dihormat oleh masyarakat.
Terlepas dari benar tidaknya pendapat masyarakat tentang makna gunung Salak, yang pasti hal tersebut adalah anggapan yang ada dan tetap hidup di masyarakat, dan itu adalah sah-sah saja. Namun yang pasti, di Gunung Salak ditemukan penemuan arkeologis berupa bebatuan yang berbentuk Punden Berundak dari masa neolithikum atau zaman batu baru di daerah Bogor. Tempat penemuan arkeologis itu sampai sekarang masih terjaga dan terawat dengan baik. Masyarakat meyakini bahwa di tempat tersebut pada masa lalu adalah pusat kekuasaan Sunda pada zaman baheula.
Sedangkan di daerah Girijaya juga selain terdapat batuan berupa Punden Berundak, walau lebih kecil dari yang terdapat di Bogor. Punden berundak yang terdapat di Jalur Girijaya, bila kita hendak mendaki puncak gunung Salak ini, dipercaya juga sebagai petilasan dari Eyang Santri ketika beliau berkhalwat.
Di daerah ini juga terdapat makan yang diyakini oleh masyarakat sebagai makam keramat. Pada malam hari, terutama malam-malam tertentu yang menurut anggapan masyarakat memiliki nuansa spiritual kuat, maka makan ini akan penuh dikunjungi oleh peziarah. Makam ini merupakan makan Eyang Santri yang menurut penuturan juru kunci serta keturunannya adalah seorang Waliyullah (kekasih Allah). Eyang Santri adalah seorang putra keraton Solo yang lari dari kehidupan Keraton karena tidak puas dengan kebijakan yang diambil oleh keraton. Beliau lebih memilih berjuang melawan Belanda dan dakwah agama Islam.
Eyang Santri juga, menurut penuturan cucu-nya adalah seorang yang penting dalam perjuangan kemerdekaan. Beliau salah seorang yang membantu pendanaan Sumpah Pemuda serta menjadi inspirasi Bung Karno dalam penamaan Marhaen. Eyang Santri adalah sosok petani kecil yang ditemui Bung Karno ketika ia jalan-jalan di daerah Pasundan.
Dengan perspektif berbeda, seorang Arkeolog dari UI, Aris Munandar, berdasarkan penelitiannya pada masyarakat adat yang terdapat di Sindang Barang, Bogor, berpendapat bahwa kedua puncak yang terdapat di gunung Salak memiliki makna yang berbeda bagi masyarakat yang masih berpegang pada tradisi dan masih terpengaruh oleh ajaran Hindu. Munadar lebih lanjut mengatakan bahwa Puncak Gajah ditafsirkan sebagai tempat bersemayamnya arwah raja-raja Sunda Kuno yang telah ngahyang. Sedangkan puncak Keramat ditafsirkan sebagai tempat persemayaman para Hyang, dewata Sunda Kuno, serta Raja-raja kerajaan Sunda.
Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa gunung Salak sebagai sebagai Paku Jagat atau Paku Tetenger bagi Pakuan Pajajaran. Mungkin sama dengan Merapi bagi masyarakat Jogja. Sedangkan bagi masyarakat Islam yang berkutat pada pencarian spiritualitas, diyakini bahwa di puncak keramat terdapat satu makam dari tokoh penyebar agama Islam yang berasal dari Cirebon, yaitu KH Hasan Basri yang bertugas menyebarkan agama Islam ke daerah Sunda seperti di Bogor, Sukabumi, Pelabuhan Ratu, dan Cianjur. Puncak Salak juga dianggap sebagai temapt berkumpulnya ghaib-ghaib Suci, seperti wali songo, dan lain-lain.
Sebagian masyarakat juga menganggap bahwa terdapat tiga pilar utama berupa gunung yang menopang kehidupan masyarakat Sunda, yakni Gunung Salak, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango. Masyarakat menafsirkan ketiga gunung ini sebagai simbol dari huruf alif, lam, ha, ketiga kata ini yang kalau digabungkan akan menjadi satu kata, yaitu ilah yang berarti Allah atau Tuhan.
Sebagian masyarakat juga percaya bahwa tafsir dari ketiga hurup Arab tersebut adalah sebagai simbol dari ajaran kebaikan. Gunung Salak adalah simbol dari alif (huruf pertama dalam abjad Arab) yang berarti hubungan vertikal. Sedangkan Gunung Pangrango adalah simbol dari lam dan Gunung Gede simbol dari ha.
Jadi mari kita peihara gunung, karena di tempat tersebut antara konservasi, tradisi, mitos, legenda, kepercayaan, dan juga daerah yang bisa memenuhi hajat hidup orang banyak membaur menjadi satu.****
foto gunung Salaka (tina Google)
- Get link
- X
- Other Apps
ayam tarung
ReplyDelete