KERAJAAN PAJAJARAN BAG KE 2 - Dok.Salakanagara
- Get link
- X
- Other Apps
Kiriman : Yudhi S Suradimadja
Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah
dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar
dengan si ayah.
Demikianlah, BATUTULIS itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri LINGGA BATU.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu.
Satu berisi ASTATALA ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi PADATALA
ukiran jejak kaki. [Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan
upacara SRADA yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12
tahun seorang raja wafat.
Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi].
[Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan GURU
GANTANGAN atau MUNDING LAYA DIKUSUMA. Permaisurinya, KINAWATI, berasal
dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah PASAR MINGGU
sekarang. Kinawati adalah puteri MENTAL BUANA, cicit MUNDING KAWATI yang
kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun
Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini
terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu KAUNG
PANDAK). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung
Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah
Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan
titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan
dari Muara Ciliwung dan disebut JALAN BANTEN LAMA ("oude Bantamsche
weg")]
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun
setelah ia membuat prasasti sebagai SAKAKALA untuk ayahnya, ia wafat
dan dipusarakan di PADAREN. Diantara raja-raja jaman Pajajaran, hanya
dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babadd maupun
pantun. [Babad Pajajaran atau Babad Pakuan sebenarnya mengisahkan
"petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan gaya cerita Panji].
3. Ratu Dewata (1535 - 1543)
Surawisesa digantikan oleh puteranya (RATU DEWATA). Berbeda dengan
Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa
dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia
melakukan upacara SUNATAN (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa
PWAH-SUSU (hanya makan buah-buahan dan minum susu). Menurut istilah
kiwari VEGETARIAN.
Resminya perjanjian perdamaian PAJAJARAN -
CIREBON masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai TUNGGUL
NEGARA ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk POLITIK.
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian
perdamaian Pajajaran - Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena
kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan jati) yang melihat
kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi
Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah
kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran.
Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat.
[Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah
dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda,
terutama gerakan pasukan SYEKH YUSUF].
Menurut Carita
Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan
mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal
asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran.
Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi
sergapan musuh. Disamping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan
Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa)
ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang
pernah menjadi RANAMANDALA (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa
kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya] Penyerang tidak
berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran
gugur, yaitu TOHAAN RATU SANGIANG dan TOHAAN SARENDET.
[Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada
tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia
ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh.
Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di
awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan
ini diperluas pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada
Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja)
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang
bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan
jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan)
kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama
yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat KAPUTREN
(tempat isteri-isteri-nya), KESATRIAN (asrama prajurit), satuan-satuan
tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan memperkuat angkatan perang,
memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan
menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
AMATEGUH KEDATWAN
(memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit"
(memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai
arti pokok keraton atai kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan
bahwa kata kedatuan dalam hal ini KOTA RAJA. Jadi sama dengan Pakuan
dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang
berada pada posisi yang disebut LEMAH DUWUR atau LEMAH LUHUR (dataran
tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte").
Pada posisi
ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas
bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit
rendah yang dikelilingi 3 batang sungai pernah dijadikan pemukiman
"lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi} Lokasi Pakuan
merupakan lahan Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah
Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan
pelindung alamiah. {Tipe Lemah Duwur biasanya dipilih sama masyarakat
dengan latar belakang kebudayaan LADANG. Kota-kota yang seperti ini
adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur.
Kota seperti ini biasanya
dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan PERKEBUNAN. Tipe lain
adalah apa yang disebut GARUDA NGUPUK. Tipe seperti ini biasanya dipilih
oleh masyarakat dengan latar belakang KEBUDAYAAN SAWAH. Mereka
menganggap bahwa lahanyang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan
yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan.
Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung
dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini.
Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme PESISIR CIREBON
karena ia orang SINDANGKASIH (MAJALENGKA) yang selalu hilir mudik ke
Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola Garuda
Ngupuk pada lokasi Pusat Kota Sumedang yang sekarang.
Gagal
merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke
utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang dan
Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa Kawikuan yang
dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin
bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus
"memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu
hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan
MANURAJASUNIYA seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena
itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan
sindiran (kepada para pembaca) "Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta
sira kabalik pupuasaan" (Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah
engkau berpura-pura rajin puasa)
Rupa-rupanya penulis kisah
kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia
tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek
"Samangkana ta precinta" (begitulah jaman susah).
4. Ratu Sakti (1543 - 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang
ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras
bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan
melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih
dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan
keraton tanpa rasa malu sama sekali. Kemudian raja ini melakukan
pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri
larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih
ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas
para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan.
Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin
dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan
Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran
yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan
frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan
memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan
pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang
bila tidak bertanam sesuatu) Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa
kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan
lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan
serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para
pembesarnya memperdalam aliran keagamaan TANTRA. Aliran ini
mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai
kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di
sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu,
digunakan meinuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak.
"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan
sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar" (Karena terlalu lama raja tergoda
oleh makanan, tiada ilmu yang disenaginya kecuali perihal makanan lezat
yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra
malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu
("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah
keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam
kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya,
sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera
keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya
menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi
Laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib
Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan"
(kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton)
[Nilakendra
sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi
buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan
Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang
tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf]
[Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih
hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian].
Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja
dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang
ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
6. Raga Mulya (1567 - 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita
Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut RAGA MULYA
alias PRABU SURYAKANCANA. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi
di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun
(=Panembahan) Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kadu-hejo,
Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari]
Menurut Pustaka
Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, "Pajajaran sirna ing ekadaca
cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala"
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501
Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah
Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan
penyerangan ke Pakuan dalam PUPUH KINANTI (artinya saja)
"Waktu keberangkatan itu
terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan
hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya
satu lima kosong satu"
Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam
tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan
1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari,
sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada
hari Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah
memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah
terjadi "penghianatan". Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati
karena "tidak memperoleh kenaikan pangkat". Ia adalah saudara Ki Jongjo
(seorang kepercayaan Panembahan Yusuf). Tengah malam, Ki Jongjo bersama
pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih
dahulu dibukakan oleh saudaranya itu. [Kisah itu mungkin benar mungkin
tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan
yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun,
pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya]
Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari
Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran
200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi
politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya
Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus
kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri
Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut:
"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri
Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri
Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk)
Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di
keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan).
Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah TAHTA NOBAT yaitu tempat
duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas
Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi.
Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai
dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap.
Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan
atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti
balai-balai biasa).
Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya
di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan
Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh
di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di
Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah
yang terjepit pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat
ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena
mengkilap, orang Banten menyebutnya WATU GIGILANG. Kata Gigilang berarti
mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman
Kehancuran Pajajaran :
Kisah bermula dari cirebon
Ketika Syarif Hidayatullah (putra Rarasantang) bermukim di Cirebon, ia
diangkat menjadi guru agama menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah
wafat. Oleh uanya, yakni Walangsungsang dinobatkan menjadi Tumenggung
Cirebon.
Pangeran Walangsungsang mendapat restu dari ayahnya,
yakni Sri Baduga Maharaja untuk menjadi penguasa Cirebon. Namun karena
kecintaannya terhadap adiknya (Rarasantang) maka ia menyerahkan tahtanya
kepada Syarif Hidayatullah, putra Rarasantang. Pangeran Walangsungsang
selanjutnya bertindak sebagai pelindungnya.
Syarif Hidayatullah
atas dukungan para wali lainnya, pada tahun 1404 Saka
(<span>+</span> bulan april 1482 M) memproklamirkan Cirebon
sebagai kerajaan merdeka, sebelumnya Cirebon termasuk bawahan Galuh.
Berita ini tentunya sangat menganggu perasaan Sri Baduga Maharaja
sebagai penguasa di tatar Sunda, iapun mengutus Tumenggung untuk
menyelesaikan masalah ini. Konon kabar SangTumenggung tidak pernah
kembali, pasukannya di Gunung Sembung disergap oleh gabungan pasukan
Cirebon – Demak. Karena utusannya tersebut tidak kembali maka Sri Baduga
mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyerangan ke Cirebon.
Niat Sri Baduga tersebut dapat dicegah oleh Ki Purwagalih, seorang
Purohita (pendeta tertinggi kerajaan), dengan pertimbangan Syarif
Hidayatullah adalah masih cucu Sri Baduga dan diangkat oleh
Walangsungsang, putra Sri Baduga Maharaja. Saran Ki Purwagalih tersebut
sangatlah dapat dipertimbangkan, seperti yang ditulis dalam buku
rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, ia menyarakan, bahwa
:
”Seorang kakek yang memerangi anaknya (walangsung) dan cucunya (Syarif Hidayatullah) tentu akan dicemoohkan orang”.
Demikian pula dari pihak Cirebon, ada keengganan dari Walangsungsang
dan Syarif Hidayaytullah untuk memerangi Sri Baduga Maharaja yang masih
dianggap leluhurnya. Perasaan-perasaan dari kedua belah pihak inilah
yang dapat meredakan perseteruan Sri Baduga Maharaja dengan para
penguasa Cirebon.
Perjanjian Damai
Setelah Sri Baduga
Maharaja wafat keengganan rasa hormat Cirebon terhadap Pajajaran mulai
hilang. Meungkin pula karena desakan untuk melakukan ekspansi
perdagangan, sebagaimana dalam pelaksanaan, gabungan Cirebon – Demak
pertama-tama menaklukan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai kerajaan
Pajajaran.
Cirebon memerangi Pajajaran yang waktu itu telah di
perintah oleh Surawisesa, saudara se ayah Walangsungsang, dari Kentring
Manik Mayang Sunda. Peperangan diperkirakan terjadi lima tahun.
Menurut Cartita Parahyangan, peperangan tersebut terjadi 15 kali dan
berakhir di sebelah barat Citarum. Kedua belah pihak saling menunggu,
bahkan gabungan pasukan Demak – Cirebon tidak mampu menembus jantung
pertahanan Pajajaran, demikian pula pasukan Pajajaran, ia tidak mampu
merebut kembali pelabuhannya yang telah dikuasasi pasukan gabungan
Cirebon – Demak.
Di sebelah timur Galuh berupaya menguasai
Cirebon, iapun mengirim surat kepada Syarif Hidayatullah untuk bergabung
dengan Galuh, sebagai negara yang memiliki hak sejarah atas Cirebon.
Namun permintaan tersebut di tolaknya, bahkan Syarif Hidayatullah dan
meminta bantuan Fadillah Khan untuk memperkuat Pakungwati. Fadillah Khan
mengirim 700 orang pasukan bantuannya untuk mempertahankan Cirebon.
Kekalahan Pajajaran yang sangat fatal terjadi di front timur. Cirebon
mampu mengalahkan Galuh di daerah Bukit Gundul Palimanan. Untuk kemudian
merebut jantung pertahanan Galuh di Talaga. Peperangan antara Cirebon
dengan Galuh yang diperkirakan terjadi pada tahun 1528 sampai dengan
1530 M Cirebon. Pada tahun itu pula Cirebon praktis berhasil menguasai
Galuh.
Kekalahan pasukan Sunda di front timur menyebabkan
Surawisesa untuk mengambil langkah politis melalui perjanjian
perdamaian. Niat tersebut dilakukan dengan cara mengirimkan duta ke
Pakungwati, dan Susuhunan Cirebon menerima tawaran tersebut, maka pada
tahun 1531 terjadilah perdamaian.
Isi dari perjanjian damai
tersebut menyetujui, bahwa : “kedua belah pihak (Cirebon – Pajajaran)
saling mengakui kedaulatan masing-masing, sederajat dan bersaudara
sebagai akhli waris Sri Baduga Maharaja.
Serangan Pertama Banten ke Pakuan
Pada tahun 1535 M Surawisesa wafat digantikan oleh puteranya Sang Ratu
Dewata. Pewaris tahta Pajajaran ini cenderung mengabaikan urusan
duniawi. Ia lebih memilih untuk mengambil jalan untuk menjadi raja resi,
berpuasa, hanya memakan buah-buahan dan minum susu. Mungkin ia merasa
jemu dengan urusan duniawi, seperti peperangan yang tidak ada hasilnya
yang dilakukan oleh ayahnya. Disisi lain iapun sangat percaya sepenuhnya
terhadap jaminan perjanjian damai Pajajaran – Cirebon 29 Juni 1531 M
yang dilakukan oleh ayahnya.
Peristiwa tersebut disindir Carita
Parahiyangan, “Ya hati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah
engkau kalah perang karena rajin puasa.” Mungkin amanah tersebut dimasa
kini dapat dipahami sebagai perlunya menjaga keseimbangan antara dunia
dan masalah akherat.
Disis lain pihak Panembahan Hasanudin dari
Banten Pasisir kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon.
Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi
ancaman bagi Banten. Ia menyetujuinya, karena harus taat kepada
kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.
Niat Hasanudin untuk
menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk
pasukan khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang
telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan. Secara garis
keturunan dan pandangan keagamaan, Panembahan Hasanudin adalah cicit
dari Sri Baduga Maharaja dari alur darah Kawunganten maupun dari
Susuhunan Jati. Mungkin ia merasa berhak atas tahta Kerajaan Pajajaran.
Dalam masa pemerintahan Sang Ratu Dewata itulah, pasukan Panembahan
Hasanudin menyerang ibukota Pakuan Pajajaran. Akan tetapi serangan itu
disongsong pasukan Pakuan dialun-alun Pakuan, sekarang alun-alun Empang.
Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu
Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak Pajajaran.
Peperangan
ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya : “datangna bancana musuh
ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu
Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”. (Datang bencana dari laskar
musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah
Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang).
Pasukan Hasanudin
setelah gagal menyerang Pakuan, mengundurkan diri, lalu melakukan
serangan ke daerah utara, kemudian Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri.
Setelah Sang Ratu Dewata wafat, digantikan oleh puteranya, Ratu Sakti,
pada tahun 1543 M. Namun Ratu Sakti, dalam menjalankan pemerintahannya
sebagai raja kejam.
Dalam situasi Pajajaran sedang memburuk
tidak lagi memperdulikan etika kenegaraan. Ia membunuh orang-orang tak
berdosa, merampas harta rakyat tanpa perasaan malu, tidak berbakti
kepada orang tua, dan menghinakan para pendeta. Ia menikahi “rara
hulanjar” gadis yang sudah bertunangan, bahkan yang menjadi puncak
ketidak etisannya, menikahi ibu tirinya. Sang Ratu Sakti diturunkan dari
tahtanya, pada tahun 1551 M.
Kelemahan Pajajaran ini tidak
sempat dimanfaatkan Banten, karena saat itu Hasanudin sedang mengerahkan
pasukannya ke Pasuruan, membantu Sultan Trenggono.
Ekspansi Kewilayah Timur Jawa
Panembahan Hasanudin memiliki peranan yang cukup besar ketika ia masih
berstatus Bupati bawahan Cirebon. Pada masa tersebut Sultan Trenggono
mengutus adiknya, yakni Nyi Pembayun, isteri dari Fadillah Khan, meminta
bantuan pasukan Banten agar bergabung dengan pasukan Fadillah Khan
(Bupati Kalapa), untuk menaklukkan, Blambangan, Panarukan dan Pasuruan.
Dalam penyerangan tersebut, Demak menyertakan Pasukan Portugis untuk
membantunya.
Pada masa itu Demak tidak lagi memusuhi Portugis,
bahkan Portugis diijinkan membuka kantor dagang di Banten Pasisir, serta
menempatkan armada lautnya disana. Armada Portugis pada saat itu
dipimpin oleh Tome Pinto (pelaku penanda tangan perjanjian Pajajaran -
Portugis 21 Agustus 1522 M di Pakuan). Dari catatan Tom Pires inilah
sejarah ini diketahui.
Mungkin cerita ini akan sangat menganggu
mengingat peristiwa penandatanganan Perjanjian Pajajaran – Portugis di
pahami sebagai kesalahan Pajajaran melakukan kolaborasi dengan pihak
asing dalam mempertahankan kedaulatannya.
Namun akan menjadi
lain ketika mengetahui sejarah selanjutnya, terutama ketika Demak
menyertakan Portugis untuk menaklukan Blambangan, Panarukan dan
Pasuruan.
Begitu pula pandangan Demak. Awalnya dimasa
pemerintahan Raden Patah sangat memusihi Portugis. Namun ketika Banten,
Sunda Kelapa dan Cirebon sudah berada dibawah pengaruhnya, demi
kepentingan perdagangan maka Demak tidak mengharamkan untuk menjalin
persahabatan dengan Portugis.
Ketika Banten Pasisir sudah
berubah menjadi Kerajaan Surasowan, dunia perdagangannya semakin pesat.
Islam telah mewarnai Surasowan menjadi Negara perniagaan.
Menurut Yosep Iskandar, : dari catatan perjalanan (terjemahan Saleh Danasasmita) dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari Malaka berlayar lagi, Setelah 17 hari, tibalah aku dipelabuhan
Banten tempat yang biasa dikunjungi orang Portugis untuk berdagang.
Disana keperluan untuk muatan kapal kita, merica, ketika itu sedang
sangat jarang didapat diseluruh negeri. Karena itu kami terpaksa harus
tinggal disini selama musim hujan.
Telah berlangsung dua bulan
lamanya kami dalam perdagangan yang menyenangkan disin, ketika raja
Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia mengirim utusan
kepada Tagaril, raja Sunda, meminta bantuan dengan pesan bahwa dalam
tempo setengah bulan harus datang ke Jepara tempat peralatan perang
sedang disiapkan untuk menyerang Pasuruan.
Bala bantuan Banten
ketika itu berkekuatan yang terdiri dari 30 calaluzes dan 10 jurupango
diperlengkapi dengan keperluan perjalan dan peralatan perang. Dalam 40
kapal itu terdapat 7.000 orang diluar para pendayung. Sedangkan dari
Portugis menyertakan 40 orang. Kesertaan Portugis tentunya setelah
mendapat konsensi, bahwa Portugis akan dibantu di Banten, sehingga janji
ini mendorong Portugis untuk membantu peperangan ini.
Dari
catatan Tome Pinto, menyebutkan, bahwa Raja Sunda (Hasanudin) bertolak
dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 januari 1546 dan tiba pada tanggal
19 bulan itu dikota Jepara. Disana peralatan perang sedang disiapkan.
Dari catatan ini diketahui pula adanya kepentingan politik perdagangan
antara Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak dengan Portugis. Walaupun 24
tahun yang lalu Portugis telah mengadakan perjanjian dagang dengan
Pajajaran, namun kemudian berpaling dan mengikat persahabatan dengan
negara-negara yang memiliki pelabuhan dagang. Pada waktu semua pelabuhan
milik Pajajaran sudah direbut Demak. Hal ini ditegaskan dalam vatatan
Tome Pinto, bahwa raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura,
Angenia.
Suatu hal yang jarang dibahas dalam kondisi ini, yakni
kesempatan Pajajaran untuk menguasai kembali daerahnya yang telah
direbut Cirebon – Demak. Keengganan Pajajaran untuk menggunakan
kesempatan ini dimungkinkan karena penguasa Pajajaran percaya terhadap
Perjanjian Cirebon – Pajajaran untuk tidak saling mengganggu. Sedangkan
setiap serangan Panembahan Hasanudin dilakukan tanpa menggunakan
identitas Banten, sehingga tidak ada kecurigaan Pajajaran terhadap
Banten dan Cirebon. Spekulasi kedua, yang banyak disebut-sebut dikaitkan
dengan tabiat Ratu Sakti yang saat itu berkuasa di Pajajaran. Ia
dianggap tidak memikirkan negara, kecuali kesenangannya. Dimungkinkan
pula cemoohan para penulis sejarah terhadapnya diakibatkan dari
“laweurnya’ Ratu Sakti tidak menggunakan kesempatan untuk mengembalikan
wilayah Pajajaran.
Serangan Kedua Benten Ke Pakuan
Pada masa itu kerajaan Pajajaran sudah tidak lagi sekuat dulu, menginat
ada beberapa masalah dalam negeri yang melumpuhkan roda pemerintahan.
Seperti masa Ratu Dewata yang lebih memilih sebagai raja resi ketimbang
mengurus negara. Sebaliknya, penggantinya, yakni Ratu Sakti diangap
paling kejam dan tidak mau tahu urusan rakyat.
Akibat yang
dilakukan pada dua periode tersebut, pada masa pemerintahan Prabu
Nilakendra, Pajajaran sudah demikian bobrok. Rakyat dilanda kelaparan.
Masa ini dikenal dengan sebutan masa Kaliyuga.
Pada masa
Kaliyuga (zaman kejahatan dan kemaksiatan), Nilakendra masih sempat
membuat bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun taman
berbalay (dihampari batu), mendirikan bangunan megah 17 baris yang
dilukisi dengan emas, menggambarkan bermacam-macam cerita.
Setiap keratin dimeriahkan oleh pesta-pora, makan enak, disertai
minum-minum (tuak) sampai mabuk. Mengenai Prabu Nilakendra, tidak ada
ilmu yang disukainya, kecuali perihal makanan lezat yang sesuai dengan
kekayaannya. Itulah bunga pralaya yang disebut kaliyuga. Pajajaran telah
berada diambang kehancuran.
Pada jaman Nilakendra muncul
kembali serangan dari pasukan tidak dikenal indentitasnya, menggempur
ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia meloloskan diri
meninggalkan keratin. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan
wafatnya dan dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal ditengan hutan
belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara.
Peristiwa ini
digambarkan didalam Carita Parahyangan, : “Tohaan Majaya alah prangrang
mangka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak
tinggal di Keraton)
Nasib ibukota Pakuan, dimasa bodohkan
begitu saja, dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya
dalam pelarian. Para pembesar kerajaan Pajajaran dengan segala daya
upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat perlindungan parit
pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Keraton
dapat diselamatkan.
Pajajaran Sirna
Pasca penyerangan
Banten kali kedua ke Pakuan, tokoh penanda tangan perjanjian
Pajajaran-Cirebon, satu persatu menutup usianya, yakni Sanghiyang
Surawisesa (raja Pajajaran), wafat lebih awal, pada tahun 1535 M ;
Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun
1490 Saka atau 19 September 1568 M ; Fadillah Khan, yang menggantikan
Susuhunan Jati, wafat, pada tahun 1570 Masehi ; dan Panembahan
Hasanudin, wafat pada tahun 1570 Masehi.
Panembahan Hasanudin
digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra dari
pernikahannya puteri Indrapura. Panembahan Yusuf tertarik untuk
memperkuat wilayah negaranya, iapun mempersiapkannya dengan matang,
terutama setelah Hasanudin Gagal menghancurkan Pakuan untuk yang kedua
kalinya. Penyerangan tersebut dilakukan setelah sembilan tahun
Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan. Serangan tersebut
mendapat bantuan dari kerajaan Cirebon, sehingga disebut serangan
besar-besaran ke Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten :
Nalika kesah punika
Ing sasih muharam singgih
Wimbaning sasih sapisan
Dinten ahad tahun alif
Puningka sangkalanya
Bumi rusak rikih iki
(Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal
bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong
satu).
Kondisi di Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu
Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk
telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru
didaerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi
ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa
beserta adik-adiknya.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada
pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut mengungsi
dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu
Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke
wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang,
Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang
mencoba bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan
yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan keraton Sri
Bima-Punta-Narayana-Madura-Sur adipati (keraton Pajajaran). Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya, berupaya menegakkan
kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari.
Ia
bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah
dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk
diselamatkan.
Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu
karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara.
Namun ada juga yang menyebutkan, bahwa Pulasari bukanlah ibukota seperti
yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu
sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana
untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Menurut Yosep Iskandar, :
Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa
pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan
petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ketitik-asal
(purbajati).
Mungkin juga ia “mengetahui” melalui bacaan
lontar, catatan tentang “Rajakasawa” yang mengisahkan “Karuhun”
(leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan “dorongan batin” yang ia
miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab
pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan
Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan
Pajajaran tersebut adalah “patilasan” (bekas) pemukiman yang dahulu kala
didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua
Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota
Salakanagara pada tahun 130 Masehi. Namun sejarah mencatat, bahwa :
Prabu Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana
Yusuf.
Sepeninggalnya Nilakendra, Pakuan masih memiliki
aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah tidak lagi digunakan
sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki
pertahanan yang sangat kuat. Bukan karena ada parit-parir dan
benteng-benteng pertahanan yang dahulu dibangun Sri Baduga Maharaja,
melainkan juga soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran
yang masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan
berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam
yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia
bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk
mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan
akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan yang dengan susah payah
membangun kembali kehidupannya pasca penyerangan kedua kembali dilanda
bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri
Bima-Punta-Narayana-Madura-Sur adipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke
Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia
berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya
Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.
Perundingan Yang Sangat Menentukan
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah
dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada
tahun 15687 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat
sepuh hampir 120 tahun (1568). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir
dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan
dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau
Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang
ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar
dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk
diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan
ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke
1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang
merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2.
Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus
menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan
dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah
ke pemukiman Baduy Luar.
Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III
sarga I halaman 219. : Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa
Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala.
(Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka
tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah,
atau 8 Mei 1579 M).
- Get link
- X
- Other Apps
ayam tarung
ReplyDelete