PRASASTI DI SUNDA – dok Salakanagara
- Get link
- X
- Other Apps
Prasasti
yang dalam bahasa asing disebut glory, laudation, direction, atau
guidance merupakan pujian, sanjungan, keagungan, petunjuk, pedoman atau
doa yang menyatakan suatu permohonan (keinginan untuk kedamaian dalam
kerajaan, atau inskripsi dalam bahasa yang indah (berirama). Prasasti
merupakan salah satu peninggalan nenek moyang masa lampau yang bisa
dijadikan sebagai ciri utama adanya perubahan dalam kehidupan budaya
orang Sunda dari kebudayaan prasejarah kepada kebudayaan sejarah.
Prasasti merupakan tulisan di atas batu atau lembaran logam. Tulisannya
terdiri atas rangkaian aksara, sedangkan aksara itu sendiri merupakan
lambang suara, terutama suara yang dikeluarkan atau yang dipakai dan
digunakan oleh manusia. Ahli prasasti biasa disebut epigraf, sedangkan
ilmunya disebut epigrafi.
Berikut beberapa prasasti peninggalan di Jawa Barat dan Banten.
Prasasti Geger Hanjuang Galunggung
Yang pertama kali membaca Prasasti Geger Hanjuang di Galunggung adalah
Holle yang kemudian mendapat koreksi dari Pleyte. Prasasti tersebut
ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Leuwisari Kecamatan
Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Prasasti ini kini disimpan di Museum
Pusat Jakarta dengan nomor koleksi D-26, berukuran tinggi 80 cm dan
lebar 60 cm. Isinya ditulis dalam aksara/huruf dan bahasa Sunda buhun
yang cukup terang untuk dibaca, dan terdiri atas tiga baris yang
bacaannya sebagai berikut:
Tra ba i gunna apuy nasta gomati sakakala rumatak disusu (k) ku batari hyang pun.
"Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk ‘digali’ oleh Batari Hyang."
Di antara prasasti-prasasti yang terdapat di Jawa Barat, prasasti Geger
Hanjuang dapat dikatakan "tidak pernah" disebut-sebut dalam pembicaraan
sejarah buhun (kuno) Jawa Barat. Penggarapannya masih sangat mentah,
karena sebagaimana disebutkan bahwa baru Holle yang mencoba membacanya
dengan hasil (menurut Holle sendiri) "kurang memuaskan". Dengan
demikian, perlu diadakan penelitian dan penelaahan lebih lanjut serta
berkesinambungan dari para ahli dan pemerintah.
Prasasti Batutulis
Prasasti Batutulis ditemukan di Desa Batutulis pada sekitar bekas
kabuyutan dekat lokasi keraton. Prasasti ini ditulis dengan huruf dan
bahasa Sunda Buhun, terdiri atas delapan baris, yang isinya memberitakan
tokoh Sri Baduga Maharaja yang telah berjasa membangun tanda
peringatan, mengeraskan jalan dengan batu, dan membuat hutan, telaga
Rena Mahawijaya. Beliau adalah penguasa Pakuan Pajajaran yang dinobatkan
dengan gelar Prabu guru Dewataprana.
Prasasti Batutulis dibuat
pada tahun 1455 Saka (1533) oleh Surawisesa Jaya Prakosa putra Sri
Baduga Maharaja sebagai tanda peringatan dalam upacara srada. Nama Sri
Baduga Maharaja (1482-1521) terungkap dalam Prasasti Batutulis Bogor.
Prasasti ditemukan dan berada di daerah Bogor sampai saat ini. Dikatakan
bahwa Sri Baduga Maharaja adalah seorang raja yang bertakhta dan
berkuasa di Pakuan Pajajaran (Ratu Haji di Pakuan Pajajaran). Dia
bergelar lebih dari satu, bergantung kepada kedudukannya (diwastu), di
antaranya: Prebu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja, Sri Sang Ratu
Dewata, dan setelah meninggal bergelar Prebu Ratu.
Pada masa
Pajajaran, terdapat dua macam prasasti, yaitu piteket dan sakakala.
Piteket memuat pengumuman langsung dari raja yang memerintahkan membuat
prasasti, sedangkan sakakala dibuat untuk mengabadikan perintah atau
jasa seseorang (raja) yang telah wafat. Jika dilihat dari pembukaannya,
jelaslah bahwa prasasti Batutulis adalah sakakala. Dari faktor ini saja
sudah jelas bahwa pada saat prasasti Batutulis dibuat, Sri Baduga
sendiri telah wafat.
Dalam prasasti tersebut disinggung pula
pekerjaan serta silsilahnya. Sri Baduga pernah menggali lombang
(pertahanan) di Pakuan (nyusuk na Pakwan), membuat tanda peringatan
(keagamaan) berbentuk gugunungan, berupa gunung serta jalannya memakai
batu (ngabalay), menetapkan hutan larangan (samida), serta membuat
telaga suci yang bernama Rena Mahawijaya (nyieun sanghyang talaga Rena
Mahawijaya).
Disebutkan pula mengenai keturunannya, bahwa Sri
Baduga Maharaja adalah putra Rahiyang Dewa Niskala yang dikubur di
Gunatiga (Gunung Tilu), cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang
dikuburkan di Nusalarang (Pulo yang berada di Situ Panjalu saat ini,
sebelah utara Ciamis). Prasasti Batutulis terbuat dari batu. Beraksara
Jawa Kuno namun berbahasa Sunda Buhun, yang dibuat pada tahun 1455 ( i
saka panca pandawa emban bumi) atau 1533 Masehi. Prasasti tersebut
dibuat oleh Prabu Surawisesa (1521-1535), putra Sri Baduga Maharaja yang
meneruskan kedudukannya, ketika Beliau mengadakan upacara srada
(upacara keagamaan untuk memperingati 12 tahun meninggal ayahnya).
Sri Baduga Maharaja sebenarnya lahir dan dibesarkan di Kawali, pusat
kota kerajaan Galuh. Baik ayahnya (Dewa Niskala atau Ningrat Kancana,
1475-1482) atau kakeknya (Prabu Niskala Wastu Kancana, 1371-1475)
bertakhta di Kawali, daerah kekuasaan kakeknya yang juga menguasai
Kerajaan Sunda pada waktu itu. Ketika tahun 1382 sehari-harinya
pemerintahan di Kerajaan Sunda dijalankan oleh Prabu Susuk Tunggal,
putra Wastu Kancana dari istrinya yang berasal dari Lampung. Dewa
Niskala adalah putra Wastu Kancana dari Mayangsari, putri Galuh, yang
pertama kali memerintah menjadi mahamentri (menteri agung) di kerajaan
Galuh. Setelah ayahandanya meninggal (1475) Beliau diserahi jabatan dan
bertakhta di Galuh. Ketika masih hidup dan berjaya, Sri Baduga Maharaja
digelari Jayadewata atau Pamanah Rasa
Karena Prabu Niskala
Wastu Kancana pernah ngarempak larangan (melanggar aturan) hampir saja
Kerajaan Sunda memerangi Kerajaan Galuh. Akhirnya Sri Baduga menjadi
"tumbal" damainya kembali kedua kerajaan tersebut. Awalnya Sri Baduga
ditugasi memimpin Kerajaan Galuh, menggantikan ayahnya (1482). Namun
karena Sri Baduga menikah dengan putri raja Sunda, putra Prabu
Susuktunggal, sebagai tanda mempererat hubungan kedua kerajaan tersebut,
akhirnya Beliau dijadikan raja Sunda menggantikan mertuanya. Itulah
sebabnya, dalam Prasasti Batutulis disebutkan bahwa Sri Baduga dilantik
(diistrenan) dua kali serta mempunyai gelar dua juga. Yang pertama,
yakni Guru Dewataprana, ketika dilantik menjadi raja Galuh. Kedua, Sri
Baduga Maharaja, ketika dilantik menjadi raja Sunda. Oleh sebab itu,
daerah kekuasaannya meliputi dua kerajaan. Meskipun demikian, tetap saja
disebut Kerajaan Sunda. Namun, karena Sri Baduga memutuskan untuk
tinggal di Pakuan Pajajaran, maka beliau bersama keluarganya pindah dari
Kawali ke Pakuan Pajajaran.
Raja Sri Baduga Maharaja atau
dikenal dengan sebutan Sang Ratu Jayadewata memerintah dan berkuasa
selama 39 tahun (1482-1521). Beliau meninggal dan dikubur di Rancamaya,
di sebelah timur-ke arah selatan kota Bogor sekarang. Sayang sekali saat
ini kita tidak bisa menyaksikan bekas kerajaan Pakuan Pajajaran
tersebut, karena tempat itu saat ini sudah menjadi kompleks perumahan
mewah. Namun masih ada secercah harapan agar peninggalan warisan karuhun
zaman dahulu tersebut masih terpendam di dalamnya.
Prasasti Kawali
Orang yang pertama kali membaca Prasasti-prasasti Kawali adalah
Friederich pada tahun 1853-1855. Hasil bacaannya tersebut kemudian
dilanjutkan Holle disertai koreksi dan pembahasan secara lebih luas,
bertalian dengan salah satu upaya untuk menjelaskan perihal bahasa yang
terdapat pada prasasti-prasasti Kawali dan prasasti Batutulis Bogor.
Bahkan, terbersit berita bahwa perhatian terhadap prasasti di kedua
prasasti itu mula-mula dari Friederich. Demikian besar minatnya terhadap
pemecahan isi prasasti, sampai-sampai ia membuat prasasti sendiri yang
diletakkan di Kebun Raya Bogor. Prasasti-prasasti tersebut terletak di
kompleks pemakaman Astana Gede Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis.
Ada enam batu di sana, satu di antaranya tidak berisi tulisan yang oleh
juru kunci biasa dinamakan Batu Pangradinan (tempat bersolek) Pangagung
Baheula. Satu batu lagi berisi guratan berbentuk kotak-kotak berjumlah
45 buah, dan di luar guratan tersebut terdapat sepasang bekas telapak
kaki dan telapak tangan kiri. Batu ini dianggap sebagai kalender abadi
yang merupakan sistem penanggalan tradisional bagi masyarakat Sunda dari
abad ke-8 Masehi, yang telah berkembang seabad sebelum kerajaan Mataram
Kuno.
Dua di antara empat prasasti lainnya berisi tulisan:
Sang hyang Linggahyang dan Sanghyang Linggabingba yang mungkin
dipancangkan sebagai tanda penghormatan terhadap kedua nama tokoh
tersebut. Sementara dua prasasti lainnya berisi wangsit Prabu Raja Wastu
bagi para penerusnya. Kedua prasasti tersebut oleh para pakar diberi
nomor I dan II. Prasasti Kawali I terdiri atas sepuluh baris, dan jika
diteliti lebih lanjut, sebenarnya pada bagian punggungnya pun masih
terdapat tulisan. Prasasti Kawali II terdiri atas tujuh baris. Berikut
ini transliterasi kedua prasasti tersebut disajikan berdasarkan bacaan
Holle.
Prasasti Kawali I
** Nihan tapa kawali nu siya
mulia tapa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na
kadatuan surawisésa nu marigi sakulili (ng) dayeuh najur sagala désa
aya ma nu pa(n)deuri pakéna gawé rahayu pakeun jaya dina buana.*
"Yang bertapa di Kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia
Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota Kawali, yang memperindah keraton
Surawisesa yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibukota, yang
menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang kemudian membiasakan
diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia".
Prasasti
Kawali I merupakan Prasasti yang pertama kali ditulis dengan menggunakan
aksara Sunda Kaganga dan bahasa Sunda Buhun "kuno". Dalam prasasti
tersebut disebut-sebut nama Prabu Wastu yang bertakhta di Kota Kawali di
Keraton Surawisesa. Berdasarkan prasasti tersebut, kita tahu bahwa di
Tatar Sunda pernah ada seorang raja yang bernama Prabu Wastu. Raja Wastu
bertempat tinggal di keraton yang bernama Surawisesa, di pusat kota
kerajaan yang bernama Kawali. Prasasti tersebut sebagaimana dijelaskan
tadi ditemukan di Kompleks Astana Gede yang terletak di Kecamatan
Kawali, Kabupaten Ciamis sekarang.
Jika kita amati dengan
seksama, isi Prasasti Kawali menguraikan wasiat Prabu Niskala Wastu
Kancana terhadap anak-anaknya serta keturunannya agar kerajaan Sunda
berjaya selama-lamanya. Tampak sekali ada pertalian bathin dari diri dan
pribadi Prabu Niskala Wastu Kancana sebagai seorang raja serta ahli
bertapa yang sudah menemukan sumber hakikat kehidupan untuk
kesejahteraan negara.
Prasasti Kawali 1B dan 2, menguraikan amanat Prabu Niskala Wastu Kancana yang bunyi teksnya sebagai berikut:
Hayua diponah-ponah,
Hayua dicawuh-cawuh.
Inya nékér inya ager
inya ninycak inya rempag.
"Jangan dihalangi, jangan diganggu, yang berusaha memotong niscaya akan
jatuh tersungkur, yang berusaha menginjak niscaya akan roboh."
Prasasti Kawali II
Aya ma...nu ngeusi bhagya kawali bari pakéna kereta bener pakeun na(n)jeur na juritan
"Semoga ada yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan
kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar
unggul dalam perang".
Amanat dari Prabu Niskala Wastu Kancana
dalam Prasasti Kawali tersebut berupa larangan serta doa. Jangan berbuat
keburukan atau hal-hal yang tidak baik. Niscaya yang melanggar larangan
tersebut akan bertemu dengan kesusahan atau akan celaka. Dia berharap
agar daerah Kawali terus ada dan ditempati, Dia juga berupaya agar
masyarakat yang berada di tempat itu pun diharapkan bahagia, makmur, dan
adil. Dengan cara demikian, selamanya akan unggul dalam peperangan.
Tatkala di Kerajaan Majapahit ada Perang Paregreg (perang saudara)
sekitar tahun 1453-1456 yang mengakibatkan mundurnya kerajaan tersebut,
Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu sedang "bertapa dalam keadaan
senang hati" karena melihat negaranya dalam keadaan sejahtera, sambil
melakukan brata siya puja tan palum (tirakat dan beribadah).
Piagam Kebantenan
Piagam Kebantenan yang dimaksud terdiri atas lima lempeng tembaga yang
ditulis dengan aksara dan bahasa Sunda Buhun. Piagam ini diperkirakan
sezaman dengan prasasti Batutulis Bogor, yang dibuat atas perintah Sri
Baduga Maharaja. Secara garis besar, piagam ini berisi tentang penetapan
batas dan pengukuhan status wilayah tertentu di wilayah Pakuan
Pajajaran, serta keputusan pembebasan pajak bagi penduduk di daerah yang
dikukuhkan tersebut. Sebagai bukti, terjemahan dari lempengan piagam
III/IV, tampak berikut ini:
"Semoga selamat. Ini tanda
peringatan Rahiyang Wastu Kancana, turun kepada Rahiyang Ningrat
Kancana, lalu diamanatkan kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran.
Menitipkan dayeuh di Jayagiri dan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang
mengurusnya. Jangan membebaninya dengan dasa, calagara, kapas timbang,
dan paré dongdang. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar
jangan memungut pajak (kepada penduduknya) karena mereka itulah yang
berbakti dan mengabadikan dirinya kepada ajaran agama. Merekalah yang
teguh melaksanakan hukum-hukum dewa."
Dalam Prasasti Kebantenan
II disebut-sebut nama Sri Baduga Maharaja beserta gelarnya yang lain,
yakni Sri Sang Ratu Dewata, yang berkaitan dengan kejadian ketika Beliau
membuat keputusan bahwa Sunda Sembawa akan dibuat daerah suci keagamaan
(kabuyutan, dewasasana). Prasasti Kebantenan I pun dibuat oleh Sri
Baduga Maharaja sendiri, untuk memperingati (sakakala) kakeknya, yakni
Rahyang Niskala Wastu Kancana yang memberi amanat kepada putranya, Hyang
Ningrat Kancana, yang diamanatkan lagi kepada Beliau. Dalam amanatnya,
Niskala Wastu Kancana menitipkan daerahnya (dayeuhan kabuyutan) Jayagiri
dan Sunda Sembawa agar tetap dipelihara serta dijaga dari gangguan
bangsa lain. Pakuan Pajajaran merupakan pusat kota Kerajaan Sunda yang
terletak di Kota Bogor sekarang. Ketika membuat Prasasti Kebantenan, Sri
Baduga Maharaja sudah bertakhta di Kerajaan Sunda serta menempati dan
tinggal di Pakuan Pajajaran, mendiami keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati.
Selain itu, sebagai informasi saja ada
prasasti yang bernama Prasasti Pasir Muara (Cibubulang) berkaitan dengan
kerajaan Sunda, yang menurut Bosch, bunyinya sebagai berikut:
ini sabdakalanda juru panga –
mbat i kawihaji panyca pasagi marsa
ndeca barpapulihkan haji sunda.
"Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam (tahun Saka) 458 bahwa
pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda". (Elis Suryani
N.S./-Dosen & Mahasiswa S-3 Filologi Unpad)***
Sumber: http: //newspaper.pikiran-rakyat.com
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.