Tradisi Masyarakat dalam Hidup dan Mati

Oleh RUSLI PRANATA
Dalam Kamus Filsafat (1996: 1.115-1.116), tradisi merupakan adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, dan aturan-aturan perilaku, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Takdir atau hidup dan mati sebuah tradisi sangat bergantung dan ditentukan oleh dua faktor. Pertama, pengguna atau pemakai tradisi (masyarakat). Kedua, pihak yang berkuasa atau pemerintah.
Untuk faktor pertama (pengguna tradisi), kita ambil saja contoh tradisi lokal yang pernah ada di sekitar Desa Babakan Panjang, Kec. Nagrak, Kab. Sukabumi. Tradisi yang pernah ada di sana salah satunya adalah tradisi yang berkaitan dengan pertanian. Dari dulu sampai sekarang para petani di desa tersebut membajak sawahnya dengan menggunakan kerbau, karena kondisi areal persawahannya yang tidak rata tidak memungkinkan untuk menggunakan tenaga mesin traktor. Akan tetapi, tradisi nembang saat berada di sawah, kini tidak akan pernah ditemukan atau didengar kembali.
Tembang yang dilagukan berkaitan dengan pertanian di sekitar Desa Babakan Panjang, di antaranya, pertama, tradisi membangunkan kerbau. Orang-orang dulu –pemilik kerbau- sering membangunkan kerbaunya pada jam dua dini hari dengan tembang: /Ki Panganten geura gugah/Bisi kasiangan nyawah/Gobang pontrang di tunjangeun/ Jeleker – sora pecut dipecutkeun. (/Sang Pengantin –sepasang kerbau– segera bangun/Takut kesiangan membajak sawah/Gobang pontrang adalah metafora dari cambuk, yang ada di sampingmu/Jeleker –suara cambuk yang dilesatkan/).
Kedua, tradisi nembang waktu membajak sawah. Pembajak sawah yang duduk di atas singkal atau garu, dengan memegang cambuk, mulut mereka pun menembang: /Hur-hur/ Kia-kia/ Jalan aing, jalan sia/Tapak aing, tapak sia/Aing lempeng, sia lempeng/Aing mengkol, sia mengkol/. (/Hur-hur/ Kia-kia/ jalan saya “pembajak” jalan kamu “kerbau”/Bekas saya, bekas kamu/Saya lurus, kamu pun lurus/saya belok, kamu juga harus belok/).

Ketiga, tradisi nembang menunggui padi yang sudah menguning. Para petani yang padinya siap panen, biasanya menunggui padi miliknya itu di dalam gubuk dan menggerakkan orang-orangan sawah dengan memakai benang. Agar burung-burung tidak memakan padi, pak tani pun mengeluarkan “mantra” yang berbunyi: /Sieuh-sieuh/ manuk ka ditu, ka dayeuh/di dieu sagala euweuh/sia moal bisa seubeuh/da aya anu nga geugeuh/. (/Sieuh-sieuh padanan katanya “Hus-hus”/ burung ke sana, ke kota/di sini tidak ada apa-apa/ kamu takkan bisa kenyang/sebab ada yang menunggu/).
Sekali lagi, tradisi-tradisi nembang seperti yang telah ditulis itu, tidak akan pernah ditemukan atau didengar kembali pada saat sekarang.
Tradisi lainnya yang mati di sana adalah tradisi metemeyan, yakni tradisi syukuran panen. Sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan panen padi, juragan sawah biasanya memakai pakaian bagus yang ia miliki. Lalu ia pergi ke sawah dan memberikan sedekah berupa nasi lengkap dengan lauk pauknya kepada para pegawai yang berada di sawah. Para pegawai pada saat sebelumnya telah menyiapkan alat tatabeuhan (bunyi-bunyian) berupa kentungan, kendang atau dog-dog, dan gong kecil. Alat tersebut ditabuh pada saat juragan sawah memberikan sedekah.
Tidak semua tradisi mati. Beberapa di antaranya masih dipraktikkan sampai sekarang. Terutama tradisi yang berkaitan dengan ritus-ritus agama (Islam), seperti: nujuh bulan, mahinum, tahlilan , manakiban atau maca syekh, dan pupujian. Salah satu pupujian yang masih bisa didengar sampai sekarang, misalnya: /Eling-eling umat/ Muslimin, muslimat/ Hayu urang berjamaah salat/estu kawajiban/urang keur di dunya/kangge pibekeleun munggih ka aherat/.
Faktor penentu takdir tradisi yang kedua adalah pihak yang berkuasa atau pemerintah. Contohnya adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967. Dengan inpres itu, pemerintah melarang masyarakat peranakan Tionghoa untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan, tradisi-tradisi kepercayaannya, dan adat istiadat mereka. Begitupun dengan Inpres No. 2/1980 dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 131/1980, dinyatakan bahwa etnis atau peranakan Tionghoa dilarang menggunakan bahasa Tionghoa, dan dilarang merayakan hariraya Imlek (tahun baru Tionghoa).
Baru pada hari Selasa, 18 Januari 2000, pemerintah mengumumkan melalui Keppres No. 6/2000 yang mencabut Inpres No. 14/1967. Mulai hari itu, masyarakat peranakan Tionghoa kembali bebas menjalankan ritus-ritus, tradisi-tradisi kepercayaannya, dan adat istiadat mereka. Selang sebulan kemudian pada tanggal 5 Februari 2000, pemerintah pada saat itu memperbolehkan perayaan Imlek dan penggunaan bahasa Tionghoa.
Dengan kata lain, dengan dicabutnya peraturan yang membelenggu tradisi peranakan Tionghoa, telah terjadi semacam reinkarnasi (hidup kembali) tradisi peranakan Tionghoa. Kita juga dapat melihat pembunuhan tradisi lama yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Pada Revolusi Turki tahun 1923, Mustafa Kemal mengeluarkan kebijakan pelarangan ajaran tarekat sufi, tradisi tulisan dan bahasa Arab, dan tradisi memakai fez (topi khas Turki). Selain membunuh, Mustafa Kemal juga menghidupkan tradisi baru, yang sampai sekarang masih terjaga. Yakni penggunaan tulisan Latin dan bahasa Turki, juga penggunaan topi (gaya khas orang-orang Eropa).
Reza Khan, Syah Iran yang berkuasa tahun 1925-1941, juga mengeluarkan kebijakan yang serupa dengan Mustafa Kemal. Reza melarang penggunaan turban tradisional, tradisi hijab, dan tradisi perayaan untuk menghormati imam-imam Syiah dan Husain. Akan tetapi setelah imperiumnya berakhir, tradisi-tradisi yang lama itu dihidupkan kembali oleh pemerintahan yang baru.
**
SEKALI lagi, baik pengguna tradisi maupun pemerintah adalah sama-sama merupakan dua elemen yang sangat penting dalam menentukan hidup dan matinya sebuah tradisi.
Perbedaannya adalah, tradisi yang dibiarkan mati dan yang dipelihara agar tetap lestari oleh masyarakat pengguna tradisi, tidak akan lepas dari paradigma masyarakat pengguna tradisi yang memandang tradisi dari sudut pandang kegunaan atau manfaatnya. Sedangkan, tradisi yang “dibunuh” dan yang dipelihara atau dihidupkan kembali oleh pihak yang berkuasa (pemerintah), tidak akan lepas dari muatan-muatan politis. Tradisi ini umumnya hanya menguntungkan sebagian golongan, dan tidak peduli atas kerugian golongan lain.*** Penulis, alumnus UPI Bandung, peminat seni tradisi.
Pikiran Rakyat, 04 Nopember 2007.

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona