PAKUAN IBUKOTA KERAJAAN SUNDA
- Get link
- X
- Other Apps
Tome
Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak
dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara
Ciliwung. Sunda sebagai nama kerajaan tercata dalam dua buah prasasti
batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Prasasti yang di Bogor banyak
berhubungan dengan KERAJAAN SUNDA PECAHAN TARUMANAGARA, sedangkan yang
di daerah Sukabumi berhubungan dengan KERAJAAN SUNDA SAMPAI MASA SRI
JAYABUPATI.
A. KERAJAAN SUNDA PECAHAN TARUMANAGARA
Di
Bogor, prasasti itu ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh
dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini
tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti
itu dituliskan
“ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda”
Terjemahannya menurut Bosch:
“Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda”.
Karna angka tahunnya bercorak “sangkala” yang mengikuti ketentuan
“angkanam vamato gatih” (angka dibaca dari kanan), maka prasasti
tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Beberapa
ratus meter dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti
lainnya peninggalan Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan
berbahasa Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu disebut
Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi (daerah bekas perkebunan kopi
milik Jonathan Rig). Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran
(sungai) Ciaruteun (100 meter) dari pertemuan sungai tersebut dengan
Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan diletakkan dalam cungkup.
Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi:
“vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam”
Terjemahannya menurut Vogel:
“Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini
kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman
penguasa Tarumanagara”.
Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang
“pandatala” (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda
kekuasaan yang berfungsi mirip “tanda tangan” seperti jaman sekarang.
Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah
itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut “Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara” parwa II sarga 3, halaman 161, diantara bawahan Tarumanagara
pada masa pemerintahan Purnawarman (395-434 M) terdapat nama
“Rajamandala” (Raja daerah) Pasir Muhara. Lahan tempat prasasti itu
ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga
batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19,
tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahul termasuk
bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Cibungbulang.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
“jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam”
(Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa)
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara
Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i
Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama
Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra, bahkan diberitakan juga
bahwa bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai
di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman
berukiran sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah ini dengan
jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan
mengasyikkan diantara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai
perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para
ahli diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan bacaaanya
sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan
telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari
kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan
Pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang
“bhramara” (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala
“kemudaan” nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya
dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Di daerah
Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu
peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa
Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai)
Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi
keterangan berbentuk puisi dua baris:
“shriman data kertajnyo narapatir – asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucarafedyavikyatavam mo tasyedam – padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam – bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam”
Terjemahannya menurut Vogel:
“Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada
taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju
perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya;
kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil
menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan
(kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya”.
Kerajaan Taruma didirikan oleh Rajadirajaguru
Jayasingawarman dalam tahun 358 M. Ia wafat tahun 382 dan dipusarakan di
tepi kali Gomati (Bekasi). Ia digantikan oleh puteranya, Dharmayawarman
(382 – 395 M) yang setelah wafat dipusarakan di tepi kali Candrabaga.
Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395 – 434 M). Ia
membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih
dekat ke pantai dan dinamainya “Sundapura”.
Kampung Muara
tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan
sebuah “Kota pelabuhan sungai” yang bandarnya terletak di tepi pertemuan
Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih
digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan
pleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah
hilir.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M.
Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah
Suryawarman (535 – 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa,
parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam
masa pemerintahan Candrawarman (515 – 535 M), ayah Suryawarman, banyak
penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas
daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara.
Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai
lanjutan politik ayahnya.
Rakryan Juru Pengambat yang tersurat
dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang Pejabat Tinggi
Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan
pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa
prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu
terdapat di sana? apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau
hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M
untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya. Baik sumber-sumber
prasati maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa
Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di
Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai
Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 – 162)
menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah
yang membentang dari SALAKANAGARA atau RAJATAPURA (di daerah Teluk Lada
Pandeglang) sampai ke PURWALINGGA (sekarang Purbolinggo) di Jawa
Tengah. Secara tradisinal CIPAMALI (Kali Brebes) memang dianggap batas
kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja
Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah
berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat
pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tampat lain [contoh yang
sama dapat dilihat dari kedudukaan RAJATAPURA atau SALAKANAGARA (kota
Perak) yang disebut ARGYRE oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini
sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari
Dewawarman I - VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura
ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan
daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja
Dewawarman VIII. Ia sendiri adalah seorang Maharesi dari Salankayana di
India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan
ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang
memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus
pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah
bagian timur. [Dalam tahun 526 M, Manikmaya (menanu Suryawarman) telah
mendirikan kerajaan baru di Kendan (daerah Nagreg antara Bandung dan
Limbangan ). Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di
Ibukota Taruma dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang
Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika
cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M].
Tarumanagara hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam
tahun 669, Linggawarman (Raja Tarumanagara terakhir) digantikan oleh
menantunya. Linggawarman mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama
Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana
menjadi isteri DAPUNTAHYANG SRI JAYANASA pendiri Kerajaan SRIWIJAYA.
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan
mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor
Tarumanagara pada jamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan
keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di Purasaba (ibukota)
Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi
KERAJAAN SUNDA. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun
(pendiri Kerajaan Galuh) untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan
Tarusbawa. Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri
MAHARANI SIMA dari Kerajaan Kalingga Jawa Tengah, maka dengan dukungan
Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan
Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan
perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M
Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu: KERAJAAN SUNDA
dan KERAJAAN GALUH dengan CITARUM sebagai batas. Maharaja Tarusbawa
kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat
Hulu Cipakancilan (seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya).
[Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan
gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bagal Raja-raja
Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M. Karena putera mahkota wafat
mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama
TEJAKANCANA) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri
inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda
II. Ia bernama RAKEYAN JAMRI (Cicit Wretikandayun pendiri Kerajaan
Galuh). Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama PRABU
HARISDARMA dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih
dikenal dengan SANJAYA. Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi
penguasa Kalingga Utara yang disebut BUMI MATARAM dalam tahun 732 M.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari TEJAKENCANA
yang bernama TAMPERAN atau RAKEYAN PANARABAN. Ia adalah kakak seayah
RAKAI PANANGKARAN (putera Sanjaya dari SUDIWARA puteri DEWASINGA Raja
Kalingga Selatan atau BUMI SAMBARA).
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.