Sunan Gunung Djati; Pembuktian Terbalik

Oleh AYAT ROHAEDI

MEMBICARAKAN tokoh panutan suatu kelompok masyarakat tertentu, merupakan sesuatu yang tetap menarik, sekaligus menantang. Kian sedikit sumber yang tersedia, akan kian bertambah pula tantangan yang dihadapi. Misalnya saja, benarkah embaran yang tersaji dalam berbagai sumber yang keshahihannya masih perlu disawalakan lebih lanjut.
Sunan Gunung Djati (SGD) yang menjadi tokoh panutan masyarakat Cirebon khususnya dan sebagian masyarakat Sunda umumnya, termasuk ke dalam kategori itu. Dalam pada itu, hingga saat ini sumber yang dikaithubungkan dengan Sunan Gunung Djati  pada umumnya termasuk kategori sumber yang keshahihannya masih perlu disawalakan lebih lanjut itu. Sumber yang tersedia itu berupa (a) data kepurbakalaan, (b) data kesejarahan, (c) data kesastraan, dan (d) data tradisi lisan (baik yang menonjolkan segi keagamaan, kenegaraan, maupun kemasyarakatan).

Data Arkeologis
LAPORAN pertama mengenai gugus makam Sunan Gunung Djati dan siapa saja yang dimakamkan di sana dibuat oleh F. Roo de la Faille dalam tulisannya “Legende bij de terreinachets van de heilege begraafplaats Goenoeng  Djat” yang dimuat dalam NBG jilid 58, Lampiran X, diterbitkan tahun 1920 (Irma M. Johan 1997:21).
Makam Sunan Gunung Djati dan kerabat dekatnya terletak di bagian puncak bukit Sembung, yang ditandai oleh pintu 9. Menurut salah satu bahan rujukan, di situ terdapat 10 makam, yaitu makam Sunan Gunung Djati (1), Fatahillah atau Fadhilah Khan (2),  Syarifah Muda’im atau Nyi Mas Rarasantang (3), Nyi  Gedang Sembung atau Nyi Quraisyin (4), Nyi Mas Tepasari (5), Pangeran dipati Cirebon atau Pangeran Swarga (8), Pangeran Jakalelana (9),  Pangeran Pasarean (10),  Ratu Mas Nyawa (11), dan Pangeran Sedang Lemper (12). Di halaman-halaman berikutnya ditandai oleh pintu masuk, terletak makam lainnya sehingga jumlahnya mencapai 29 buah (termasuk yang berupa sukugugus dalam gugus makam Sunan Gunung Djati seluruhnya) (Hasan Basyari, 1989:25-26).

Dalam kaitannya dengan makam dua tokoh utama yang hingga kini pun masih disawalakan, terdapat kesesuaian embaran dengan apa yang dikemukakan dalam sumber rujukan lain, yang menyatakan bahwa Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah) wafat di Cirebon, dikebumikan di Puncak Gunung Sembung dan Fadhillah  Khan dikebumikan di sebelah timur makam Sunan Gunung Djati (Sulendraningrat, 1978:22). Dalam tulisanya yang lain, P.S. Sulendranigrat menyatakan bahwa makam Fadhillah Khan letaknya “tidak jauh dari gugus makam Sunan Gunung Djati …” (1975:20). Dalam pada itu, Hasan Muarif Ambary dalam tulisannya berjudul Establishment of Islamic Rule in Jayakarta menyertakan denah gugus makam Sunan Gunung Djati. Dalam denah itu makam Sunan Gunung Djati dan Fadhillah Khan mengapit makam Nyi Ratu Tepasari (1983:110), berbeda dengan denah Hasan Basyari.
Semua sumber rujukan itu dengan pasti menyatakan bahwa di puncak gunung itu terdapat dua makam dari dua nama tokoh yang sejak tahun 1913 dinyatakan sebagai nama dari seorang raja. Artinya, nama-nama Fadhillah Khan, Fatahillah, Faletehan, atau bahkan Tagaril menurut berita Portugis, hanyalah nama lain atau alias dari Syarif Hidayatullah (Husein Jayadiningrat 1913).
Gambaran “pasti” yang diberikan oleh para pelapor mengenai gugus makam Sunan Gunung Djati itu, di satu pihak memberikan kemungkinan untuk melakukan penafsiran baru mengenai keseluruhan kisah sejaran Cirebon. Apalagi jika dikaitkan dengan sumber data yang lain, yang menyatakan bahwa fadhillah Khan adalah menantu Sunan Gunung Djati dan memiliki riwayat hidup yang berbeda. Namun, di pihak lain kepastian itu masih memerlukan pengukuhan karena kepastian itu tetap mengandung ketidakpastian.
Masalahnya adalah, berlainan dengan makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik), Maulana Malik Ibrahim di Ampel (Surabaya), atau bahkan makam Malik as-Shalih di Pasai, misalnya, nisan Sunan Gunung Djati dan makam lain di atas pintu 5, tidak ada satupun yang memberikan embaran mengenai siapa yang dimakamkan di bawah nisan itu. Jangankan segala puja dan puji terhadap tokoh yang dimakamkan itu, namanya saja pun tidak tercantum. Pada nisan kepala itu tercantum kalimah syahadat, baik yang lengkap maupun bagian intinya saja.
Jadi, bagaimana caranya agar khalayak yakin bahwa makam itu memang makam Sunan Gunung Djati dan tokoh-tokoh pendiri Cirebon? Prasasti dan sumber sejarah lain yang muasir tidak ada, sedangkan penggalian arkeologis mustahil  dilakukan. Sebaliknya, yang banyak adalah sumber berupa naskah yang berasal dari masa yang (jauh) lebih kemudian (termasuk karya “Panitia” Wangsakerta 1677-98), tradisi lisan dan kepercayaan masyarakat, dan sumber sejarah dari derajat ketiga atau yang lebih lemah lagi.
Dengan demikian, barangkali, diperlukan pembuktian terbalik oleh mereka yang tidak mempercayai sumber-sumber yang tersaji itu. Artinya, mereka yang tidak percaya akan keberdaan Fadhillah Khan dari Sunan Gunung Djati harus dapat membuktikan bahwa kebedaan itu memang salah.

Data Kesejarahan dan Kesastraan
PADA  dasarnya, sumber utama dan pertama sejarah adalah tulisan atau aksara, terutama yang merupakan “rekaman” dari suatu peristiwa, ihwal, atau tokoh sejarah dari suatu masa dan dari suatu tempat. Namun, jika tanpa pembatasan yang ketat, sejarah akan berubah menjadi “keranjang sampah” yang menampung segala macam tulisan atau aksara itu. Agar diperoleh fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, data yang tersedia itu haruslah dipilah dan dipilih dengan cara tertentu yang disebut dengan metode sejarah. Maka para ahli dan peneliti sejarah pun merumuskan empat tahap penelitian sejarah, diawali dengan heuristika, melalui kritika dan penafsiran sehingga akhirnya menghasilkan sebuah historiografi mengenai apa yang hendak dikaji itu.
Data sejarah yang tercatat dalam sumber sejarah yang kian mendekati masa terjadinya suatu peristiwa, ihwal, atau masa hidup seorang tokoh, makin lebih mungkin untuk dipercaya. Hal ituah yang antara lain menyebabkan para peneliti sejarah Indonesia Kuna, misalnya, secara apriori mempercayai kebenaran embaran yang tercantum dalam prasasti dibandingkan dengan yang tercantum dalam naskah. Padahal, tidak jarang embaran yang tercantum dalam kedua jenis sumber sejarah itu pada dasarnya sama. Jika embaran prasasti biasanya langsung mereka terima sebagai suatu “kebenaran”, embaran naskah mereka terima sebagai sesuatu yang sangat meragukan.***
Sumber: Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Sejarah Sunan Gunung Djati dan Pengembangan Pariwisata Sejarah Budaya Islam” Keraton Kasepuhan Cirebon, 22-23 April 2001.

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona