Mistisme Masyarakat Sunda; Sebuah Perbandingan dengan Jawa
oleh AFIF MUHAMMAD
KETIKA seseorang mendengar istilah “Agama Jawa” disebut orang,
serta-merta terlintas suatu gambaran tentang tradisi yang berkembang
dalam komunitas Jawa tertentu yang dapat dibedakan secara jelas dari
agama, khususnya Islam, yang juga berkembang berdampingan dengannya.
Artinya, dalam “Agama Jawa” itu terdapat suatu pandangan hidup yang
terdiri atas sistem kepercayaan, peribadatan, etika filsafat, seni, dan
lain-lain, yang secara keseluruhan disebut dengan “Agama Jawa”, dan itu
bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, dan bukan Budha.
Kalaupun dalam The Religion of Java Clifford Geertz mengemukakan trikotomi Santri, Priyayi, dan Abangan (Clifford Geertz,
1960), sebenarnya varian santri tidak mungkin dapat dimasukkan dalam
kategori “pemeluk” Agama Jawa, tetapi lebih tepat jika disebut sebagai
pemeluk Islam yang bersuku Jawa. Sebab, dalam religiusitasnya, mereka
lebih menampakkan kesantriannya ketimbang kejawaannya. Berbeda dengan
Priyayi dan Abangan yang memiliki warna Jawa lebih pekat daripada warna
Islamnya.
Lalu, apa yang kira-kira terlintas dalam pikiran seseorang ketika
mendengar istilah “Agama Sunda” diucapkan? Pertama-tama, mungkin dia
akan mengernyitkan dahi, karena rasa-rasanya istilah ini hampir tidak
pernah didengar atau dibacanya dalam literatur-literatur budaya dan
antropologi. Kedua, kalaupun istilah itu ada dan pernah diucapkan orang,
sosok yang disebut “Agama Sunda” itu tidak tergambar secara jelas
seperti yang ada dalam istilah “Agama Jawa”.
Sebagai orang Jawa yang sudah mukim di tatar Sunda lebih lama
dibandingkan di kampung sendiri, saya bahkan belum pernah mendengar
kawan-kawan doktor saya yang asli Sunda menyebut istilah “Agamaa Sunda”,
baik dalam ucapan sehari-hari, dalam diskusi-diskusi, maupun dalam
literatur dan makalah-makalah yang mereka tulis.
Adalah benar bahwa corak keislaman orang Jawa, pada sebagian
penganutnya, terwarnai oleh tradisi-tradisi Jawa, dan kejawaan orang
Jawa terpengaruh oleh tradisi-tradisi Islam. Akan tetapi, istilah
“penganut Kejawen” dan “Penghayat Kepercayaan” yang begitu dikenal luas
oleh masyarakat Jawa, secara jelas membedakan kedua komunitas tersebut.
Bahkan, para penghayat kepercyaan tampak gigih mempertahankan identitas
diri mereka dan enggan disebut muslim. Pada dekade 70-an Pak Rasyidi (Prof. Dr. HM. Rasyidi, alm.) terlibat polemik sangat sengit dengan Warsito S., salah seorang tokoh dan pembela kebatinan Jawa. Dalam polemik tersebut, Pak Rasyidi (dan Hasbullah Bakri) menegaskan bahwa ajaran kejawen adalah semacam penyelewengan terhadap ajaran Islam, sedangkan Warsito
mengatakan bahwa kejawen adalah ajaran asli Jawa yang mendapat pengaruh
Islam. Teori Warsito memperoleh dukungan yang sangat kuat ketika Prof. Rachmat Soebagja
menulis buku berjudul Agama Asli Indonesia. Sementara itu hampir
seluruh tokoh masyarakat Sunda yang saya kenal, bahkan mungkin
seluruhnya, baik dari kalangan akademisi maupun budayawan, selalu
mengatakan bahwa Sunda adalah Islam.
Agama Jawa adalah agama yang sarat dengan mistisme. Ia memiliki sistem kepercayaan tentang mikrokosmos dan makrokosmos, manunggaling kawula Gusti (monisme),
keselarasan hidup dengan alam dan lain-lain yang sangat khas dan
terbedakan secara jelas dengan Islam. Mistisme Jawa, selain terlihat
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa (Niels Mulder,
1980), juga memiliki literatur yang sangat melimpah ruah. Lalu, apakah
karena “Agama Sunda” tidak dikenal dalam masyarakat Sunda, berarti tidak
ada mistisme di tengah-tengah masyarakat Sunda?
Ketika saya menjadi Ketua Jurusan Aqidah & Filsafat, Fakultas
Ushuluddin, saya mendorong mahasiswa untuk mengenal dan mempelajari
Budaya dan Filsafat Sunda, antara lain berkunjung ke Caraka Sundanologi
(mohon maaf jika salah sebut) dan belajar kepada para tokohnya. Mereka
sangat tertarik dengan filsafat Sunda, yang memang belum banyak mereka
kenal. Tetapi, ketika saya bertanya kepada mereka tentang mistismenya,
mereka cepat-cepat menjawab, “Ada, tapi, sepertinya tidak berbeda dengan
Islam”…
Mau baca artikel lengkapnya? Lihat di buku Pelangi Islam; Ragam Corak Pemahaman Islam, Bandung: Khazanah Intelektual, 2005, pp. 129-141. Gak punya? Beli aza! Hehe… promosi…
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.