Prabu Surawisésa
- Get link
- X
- Other Apps
Pengganti
Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan
juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan
sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen"
(pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali
pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan
hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan
bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso
d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali
(1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan
pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan
hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang
dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan Pajajaran
atau disingkat Pakuan atau Pajajaran (sekarang kota Bogor). Dalam
kunjungan itu disepakati persetujuan antara Kerajaan Sunda dan Portugis
mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini dibuat
tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut
Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam
menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang
kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een
geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng
di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan
diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan
yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai
dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk
ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351
kuintal).
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan
Sultan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan
Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di
Malaka dan Samudra Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk
perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur
perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam
putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah
Khan yang menjadi Senapati Demak.
Fadillah Khan memperistri
Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan
Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian,
Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati
Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan
Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul
Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih
terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah
kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah
mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah
dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah
Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah
Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam
Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung
Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati.
Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan
Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah
Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut
Fadillah dengan Arya Burah.
Pasukan Fadillah yang merupakan
gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama
adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah
didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran
Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan
pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar
keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Hasanudin kemudian
diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526).
Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan
merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para
menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari
Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak
pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang
ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India.
Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun
yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng
terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala.
De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak
dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah
dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara
Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan
memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa
memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang
langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui
perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi
mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban
yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan
balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho
demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi
yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi
dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama
pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu
Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau
wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.
Meskipun, Cirebon sendiri
sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak,
kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat
kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana
tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon
pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan
Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak
berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut.
Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di
bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran
Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam
Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh
tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus
ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak
dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua
tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan
Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan
dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21
Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar
Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri
pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya
dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi
Sumedang menjadi daerah Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap
di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena
gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka
kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui
kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara
Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai
negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian,
Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin
(Bupati banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan
peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah
berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang
situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal
setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya
Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati
yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti
kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang
kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi
kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang
ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia
tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang
diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya
wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya.
Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh
Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di
Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu
ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak
dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan
tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri
tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu
diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa
tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah
batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan,
yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan
batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan
sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan
upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya
dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih
dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma.
Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang
terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati
adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya
penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat
terletak di tepi Ciliwung. Di antara dua kerajaan ini terletak kerajaan
kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara
Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke
Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan
Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini zaman dahulu merupakan titik silang.
Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara
Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)].
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia
membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan
dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia
dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun
pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan
"petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.
Kematian: 1543
Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan
Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa
dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia
melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa
pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah
sekarang vegetarian.
Resminya perjanjian perdamaian
Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai
tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk
politik.
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani
perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan
hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang
melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara
pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah
kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam
ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak
cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah
dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda,
terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.
Menurut Carita Parahiyangan,
pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke
Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang
pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran
perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di
samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga
menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak
mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi
Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran
Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya].
Penyerang tidak berhasil
menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur,
yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan
adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di
Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha
membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah
berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan
pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas
pada zaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara
Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja).
"Sang
Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama
Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan
ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada
semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang
menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat
isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang,
memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan
menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Amateguh kedatwan
(memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit"
(memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai
arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan
bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan
dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang
berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran
tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini,
mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit.
{Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah
yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah
duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan
merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah
Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan
pelindung alamiah.
{Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama
masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma (ladang). Kota-kota
yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini
biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan.
Tipe lain adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini
biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah.
Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan
adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik
pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut,
Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini.
Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon
karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke
Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda
ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang yang sekarang}]
Gagal
merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke
utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan
Jayagiri yang dalam zaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang
dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin
bertapa, menurut norma kehidupan zaman itu tidak tepat karena raja harus
"memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu
hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan
manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena
itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan
sindiran (kepada para pembaca)
"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan"
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata
itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis
kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah zaman
susah).
Kematian: 1551
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu
Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang
bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim.
Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat
dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda
rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala
yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang
sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap
ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan
dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar
pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana
menyerbu Pasuruan dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti
dipusarakan di Pengpelengan.
Kematian: 1567
Nilakendra atau
Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima.
Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah
melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan
sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan"
(Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak
bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan
telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi.
Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang
datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya
memperdalam aliran keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang
melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya
meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki dan
perempuan. Shri Kertanegara dari Kerajaa Singhasari juga penganut ajaran
ini.
"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang
disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat
kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton,
membangun taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang
larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17
baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai
musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia,
ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji").
Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini
tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut
karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka
tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di
keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari
Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke
Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf,
dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu
adalah Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi
ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah
wafat 2 tahun kemudian).
Demikianlah, sejak saat itu ibukota
Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada
penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan
sanggup bertahan 12 tahun lagi. Dicutat tina : rodovid.org
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.