Puasa dalam Tradisi Sunda
Catatan Kecil DHIPA GALUH PURBA
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
(Al-Baqarah: 183).
ADA
sepucuk undangan dari Masjid Al-Ikhlas. Sungguh membuat saya kaget,
karena dalam undangan tersebut tercantum nama “Ustad Drs. Dhipa Galuh
Purba”. Saya belum merasa pantas menyandang gelar “ustad”, karena ilmu
tentang keislaman yang saya pahami belum seberapa. Saya masih harus
banyak belajar dan belajar hingga akhirnya suatu saat saya berani
menerima sebutan “ustad”. Untuk kali ini, saya belum berani disebut
“Ustad”. Selain itu, saya pun tidak memiliki gelar “Drs”.
Undangan
dari Masji Al-Ikhlas saya terima dengan gembira, seperti kegembiraan
saya menyambut bulan Puasa. Saya jarang menolak jika mendapat undangan,
karena saya senang bersilaturahmi. Namun mengenai tema diskusi yang
dicantumkan di undangan “Puasa dalam Tradisi Arab dan Masyarakat Sunda”,
saya sudah menjelaskan kepada Kang Ustad Asep Salahudin, bahwa saya
tidak sanggup membahas tradisi puasa di Arab. Masalahnya saya belum
pernah ke Arab Kurang apdol kalau saya hanya mengandalkan studi pustaka. Sepertinya Kang H. Usep Romli HM., akan lebih pas untuk membawakan tema tersebut.
Akhirnya
saya dan Kang Ustad Asep sepakat, bahwa saya hanya akan membahas
masalah tradisi Sunda, dengan segala keterbatasan saya. Umumnya orang
Sunda, istilah “puasa” atau “shaum” di bulan Ramadhan itu sama. Puasa dianggap sebagai bahasa pertengahan (tidak kasar, tidak halus), sedangkan shaum dianggap sebagai bahasa yang halus. Jika berbicara kepada orang yang lebih tua, kata shaum
yang digunakan, dan jika berbicara kepada teman sebaya, maka kata puasa
yang terasa lebih pas. Namun, jika berbicara kepada anak kecil, kata shaum-lah yang biasanya dipilih.
Masyarakat Sunda umumnya menyambut bulan Puasa (Ramadhan) dengan bergembira. Menurut Haji Hasan Mustapa dalam buku Adat Istiadat Sunda (Alumni,
1985), bagi orang Sunda, bulan puasa merupakan bulan yang lebih
diistimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, dan dirayakan secara
besar-besaran. Di pedesaan, tradisi ngadulag masih turut menghangatkan
suasana bulan Puasa. Itu adalah salah satu contoh ekspresi kegembiraan
masyarakat Sunda dalam menyambut bulan Puasa. Rupanya masyarakat Sunda
sudah mengerti, bahwa meskipun selama satu bulan harus digembleng bak
digodok di kawah candradimuka, tetapi bulan puasa sangat istimewa dan
sudah selayaknya disambut dengan kegembiraan. Rosulullloh SAW bersabda:
“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan, AIlah
mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus
dosa-dosa dan mengabulkan do’a. Allah melihat berlomba-lombanya kama
pada bulan ini dan membanggakanmu kepada para malaikat-Nya, maka
tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang
yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmatAllah di bulan ini. ”
(HR.Ath-Thabrani)
Menjelang
hari pertama bulan puasa, ada tradisi munggah yang sampai saat ini
masih dipelihara baik di desa maupun di kota. Munggah berasal dari kata “unggah”, yang artinya mengawali sebuah pekerjaan (dari bawah ke atas, dari kecil menuju besar, dari hitungan 1 sampai…). Kata munggah memang sangat akrab dengan Islam, seperti juga dapat ditemui pada ibadah munggah haji. Biasanya pada malam munggah, anggota keluarga yang merantau pun menyempatkan diri untuk pulang dan berkumpul bersama sanak keluarga. Munggah
bukan sekedar sahur bersama. Di sana ada silaturahmi, berdo’a bersama,
saling mengingatkan untuk membersihkan diri, dan ada pula yang
mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang
bulan Puasa). Tentu sedekah di Bulan Ramadhan merupakan perbuatan mulia,
sebagaimana menurut riwayat Al-Baihaqi, dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jika masuk bulan Ramadhan
membebaskan setiap tawanan dan memberi setiap orang yang meminta.”
Di Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur, ada tradisi papajar. Mungkin maksudnya adalah menyambut pajar di awal bulan Puasa. Dalam papajar, selain menyucikan diri dan bersalaman saling memaafkan, ada pula acara botram dan nadran. Botram adalah makan bersama di suatu tempat selain di rumah. Sedangkan nadran, menurut Kamus Basa Sunda karya R.A. Danadibrata (Kiblat, 2006) berasal dari kata tadran, yang artinya berziarah ke kuburan. Namun ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa nadran bukan berasal dari kata “tadran”,
melainkan dari “Nadra”, maksudnya Dewi Nadra, sosok dewi yang menguasai
ruh manusia di alam kubur menurut mitologi Hindu. Kiranya perbedaan itu
tidak perlu diperdebatkan, karena yang paling penting adalah itikad dan
maknanya. Sebagai bahan perbandingan, di Jawa Tengah ada tradisi nyadran, yang artinya pun berziarah ke kuburan.
Seorang
sahabat pernah menceritakan tradisi masyarakat di kampung halamannya
pada saat bulan Puasa. Tepatnya di Kampung Pasirloa, Desa Kadakajaya,
Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, ada tradisi bernama mawakeun dan ngirim piring. Mawakeun
adalah mengunjungi kerabat dan tetangga sambil mengirim makanan yang
dikemas dalam rantang. Tradisi ini berlangsung tanpa mengenal status
ekonomi, saling mengunjungi dan saling berkirim makanan. Bahkan bagi seorang anak gadis yang tidak mawakeun kepada pacarnya, tidak mustahil hubungan cintanya akan diputuskan.
Tradisi ngirim piring
pun adalah saling berkunjung dan saling berkirim makanan. Tapi biasanya
hanya dilakukan dengan tetangga dekat. Piringnya tidak diberikan.
Piring hanya media untuk membawa makanan. Dan biasanya makanan yang
dikirim tersebut merupakan buatan si pengirim. Meski makanannya dibawa
dengan mangkuk, tetap saja namanya ngirim piring.
Selain tradisi yang dipaparkan di atas, masih banyak lagi kegiatan syarat makna yang
dilakukan masyarakat Sunda di beberapa daerah dalam mengisi bulan
Puasa. Yang pasti, berbagai kegiatan yang berlangsung siang hari,
biasanya dalam rangka ngabeubeurang dan ngabuburit. Jelas menunjukan adanya aktivitas yang positif. Ngabeubeurang adalah melakukan suatu kegiatan menjelang siang hari. Sedangkan ngabuburit
adalah melakukan kegiatan menjelang sore hari. Kegiatan-kegiatan
tersebut dilakukan agar ibadah puasa semakin bermakna, tidak sekedar
menahan hanaang dan lapar semata.
Dari
beberapa contoh tradisi masyarakat Sunda di bulan Puasa, lebih tegas
lagi menunjukan adanya hubungan damai di antara sesama manusia. Menjaga
hubungan baik dengan keluarga dan tetangga, saling memberi, dan saling
mendo’akan adalah perbuatan yang selaras dengan Islam. Rosululloh Saw.
bersabda “Zibril senantiasa berwasiat kepadaku supaya selalu menjalin
hubungan baik dengan tetangga.”
Dengan adanya tradisi nadran
juga, menunjukan karakteristik masyarakat Sunda yang tetap menghormati
orang yang telah lebih dulu meninggal dunia. Terlebih jika ia seorang
yang berakhlak mulia. Masyarakat akan tetap mengenangnya dan bahkan
tetap merasakan kehadirannya. Meminjam ungkapan Kang Hawe Setiawan dalam
tulisannya yang dimuat “PR” beberapa tahun lalu, bahwa ingatanlah yang
telah menipiskan jarak antara orang hidup dan orang mati. Orang yang
telah mati seakan tetap hidup selama kita masih mengingatnya.
Sebaliknya, orang yang masih hidup seakan telah mati apabila terhadapnya
kita tidak mau perduli.
Ungkapan Syarat Kritikan
BANYAK
ungkapan yang merupakan semacam kritik yang berkenaan dengan puasa.
Namun terkadang ungkapan-ungkapan tersebut terasa menggelikan. Misalnya:
puasa kendang (bagi mereka yang hanya puasa pada hari pertama dan terkahir), puasa ayakan (maksudnya singakatan dari: saaya-aya dihakan,
mengaku puasa tapi kalau bertemu makanan, langsung dimakan), dan yang
lebih menarik lagi ada sebuah peribahasa “Puasa Manggih Lebaran”.
Sebenarnya peribahasa yang lengkapnya adalah “Kokoro manggih mulud,
puasa manggih lebaran”.
Peribahasa tersebut ditujukan kepada orang yang serakah dan suka mangpang-meungpeung (menggunakan aji mumpung). Secara harfiyah, kokoro adalah miskin. Sedangkan yang dimaksud Mulud adalah bulan Rabiul Awal. Mulud berasal dari bahasa Arab, Maulud,
yang artinya kelahiran. Hal ini berkenaan dengan kelahiran Nabi
Muhammad Saw. pada bulan Rabiul Awal, sehingga bulan tersebut disebut
Mulud. Tentunya sebagai penghormatan orang Sunda terhadap sosok panutan
umat Islam.
Lantas, mengapa kokoro manggih Mulud diartikan serakah dan tidak tahu batas? Tentu akan berhubungan dengan tradisi muludan
(memperingati maulud Nabi Muhammad Saw) yang biasa digelar oleh
sebagian umat Islam. Pada acara peringatan tersebut, banyak yang
bersedekah dan membagi kebahagiaan dengan orang miskin.
Puasa Manggih Lebaran ditujukan
kepada orang yang berpuasa hanya untuk menahan haus dan lapar belaka.
Kritikan yang cukup pedas bagi yang berpuasa hanya mengurusi makanan
atau minuman. Maka pada saat tiba hari lebaran, terjadilah dendam pada makanan. Lebaran sendiri berasal dari kata lubar, yang artinya bebas. Jadi, maksudnya adalah lubar dari puasa. Jika berbicara seputar makanan, lebaran memang merupakan hari kebebasan. Tapi bukan berarti bebas memakan makanan yang dilarang untuk dimakan.***
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.