Paham Kekuasaan Sunda
Oleh JAKOB SUMARDJO
KEKUASAAN kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan,
kewenangan untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga,
kampung, negara, lembaga. Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah
kekuasaan tadi menampakkan pola-pola yang sama. Pengaturan kekuasaan
dalam keluarga, dalam kampung, dalam kerajaan sama. Itulah pola
kekuasaan yang menampakkan dirinya dalam berbagai hasil budaya Sunda.
Namun, kebudayaan sebagai cara hidup kelompok itu berubah terus. Apa
yang akan diuraikan di sini berdasarkan artefak-artefak budaya yang
sudah ada, jadi agak kesejarahan, dalam arti “telah terjadi”.
Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan
Sunda, kampung adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik
yang tampak (tangible), sehingga memerlukan pemecahan simbol-simbolnya.
Masyarakat Sunda sendiri dengan tidak disadari berlaku berdasarkan paham
Sundanya, sehingga kurang berjarak untuk melihat realitas dirinya.
Salah seorang mahasiswa pascasarjana di Bandung yang berasal dari Jawa
Timur, pada suatu hari menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di
Bandung karena orangnya ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu
berkarakter halus, bukan kasar. Kalau harus “kasar”, tetap “halus”.
Tidak keras tapi lembut. Tidak agresif tapi “diam”.
Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni
paradoksal. Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah,
mandiri-tergantung, pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga.
Genealogi dari sikap ini adalah budaya purbanya yang huma atau ladang.
Hidup berladang itu menetap-pindah, produktif-konsumtif,
bebas-tergantung, terbuka tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter
demikian itu.
Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita
pantun. Pangeran Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun
pergi selalu diiringi oleh pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang
Pananjung. Dalam pengembaraan Pangeran Pajajaran, dia digambarkan “diam
dan pasif” tetapi sangat dihormati dan dipatuhi keputusannya. Dalam hal
ini Mundinglaya lebih banyak diam, sedangkan yang aktif Gelap Nyawang
sebagai pemikir dan pengatur strategi perjalanan (eksekutif) dan Kidang
Pananjung sebagai penyelesai persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung
yang selalu ada paling depan.
Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan,
namun tidak aktif menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada
Gelap Nyawang untuk bekerja dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab
terhadap keselamatan, keamanan, dan kesatuan ketiganya. Ini berbeda
dengan cerita wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring seperti
Mundinglaya, namun segala sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga
pengiringnya hanya bertugas menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna
adalah pemilik, pelaksana, dan penjaga dirinya sendiri.
Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun
Sunda sendiri. Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada
putranya agar mengembara menemukan sebuah negara. Di negara yang
ditemukannya itu ia menetap dan berkuasa dengan cara mengawini putri
setempat. Karena kecantikan putri tersebut, banyak raja di sekitarnya
yang juga ingin memilikinya. Terjadi perang antara raja-raja perebut
putri dengan abang putri tersebut (yang biasanya dipakai sebagai judul
lakon pantun). Para raja dapat dibunuh oleh abang putri yang menjadi
istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan putri, para raja dihidupkan
kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran Pajajaran.
Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru
diam namun berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara
adalah abang putri atau penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh
pangeran akhirnya menjadi pelindung dan penjaga kekuasaan pangeran.
Kekuasaan Sunda yang sejati itu adanya di Pakuan Pajajaran. Rajanya
tidak beranjak dari kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru
putra-putranya (memperluas wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para
Pangeran Pajajaran itu juga bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan.
Pangeran-pangeran itu pasif di pusat negaranya yang baru. Yang aktif
menjalankan kekuasaan justru raja setempat yang sudah menjadi keluarga
Pajajaran. Sedangkan para pelindung (para anggota kerajaan) adalah
raja-raja asing yang non-Sunda.
Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang
memiliki kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan
kekuasaan tidak memiliki kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan
ketiga adalah mereka yang bertugas menjaga kesatuan dan keamanan serta
perlindungan pemilik dan pelaksana kekuasaan.
Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori “perempuan” bukan
“lelaki”. Perempuan itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan
kepemilikan itu. Perempuan itu adanya di dalam rumah, bukan di luar
rumah. Yang bergerak aktif di luar rumah itu lelaki. Kekuasaan sejati,
yakni pemilik kekuasaan atau mandat kekuasaan surga adalah Raja
Pajajaran dan putra-putranya yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Sedang
yang menjalankan kekuasaan bukan Raja Pajajaran atau putra-putranya di
daerah, tetapi penguasa setempat atas nama Pajajaran. Sedangkan para
pelindung kekuasaan boleh orang di luar pemilik dan pelaku kekuasaan.
Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan
kampung-kampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada
lembaga negara yang bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua,
seperti di Kanekes-Baduy atau di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan
kampung terbagi menjadi pemilik kekuasaan (kampung adat yang paling
tua), pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung.
Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian “dalam” dekat bukit dan
hutan kampung, kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung
penjaga kekuasaan ada di luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing
lembaga kekuasaan itu dipegang oleh Cikeusik (dalam, tua, adat),
kemudian Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo (pelindung batas).
Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit
itu tetap dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga
adat buhun Sunda), kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan
kampung sarak (kampung yang mengurus kepentingan Islam). Dalam pola
pikir ini, adat Sunda diletakkan sebagai pihak “dalam”, “pemilik
sejati”, dan Islam berada di “luar” yakni batas wilayah kampung.
Pemerintahan nasional ada di tengah.
Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak
perkampungan Sunda di Jawa Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung
Sunda di Darmaraja dekat Situraja, misalnya, membagi kesatuan tiga
kampung dalam Kampung Cipaku yang mengurus kabuyutan kampung (Raja Haji
Putih), Kampung Paku Alam mengurus pemerintahan nasional-modern (lurah),
dan Kampung Karang Pakuan yang letaknya dekat jalan raya Darmaraja,
merupakan kampung Islam di mana masjid kampung berada.
Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan
mekanismenya. Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan
peran Islam. Sementara satu pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai
pemilik kekuasaan, di pihak lain Islam sebagai pemilik kekuasaan. Peran
pelaku kekuasaan tetap lembaga pemerintahan nasional yang disetujui
keduanya. Bagi mereka yang menjunjung tinggi kesundaan bersikap bahwa
pemilik adalah Sunda (buhun, adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi
Islam bersikap “Islam itulah Sunda”, gerakan revivalisme Sunda, saya
kira, berdasarkan pikiran siapa yang seharusnya dinilai sebagai “dalam”
dan siapa yang dinilai sebagai “luar”. Seperti kita baca dalam kasus
pantun Sunda, kategori “luar” itu mengandung arti “asing” juga.
Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya
menunjukkan sikap “tetap” sekaligus “berubah”. Hal ini tampak dari
penyebutan ketiga lembaga kekuasaan tersebut. Pada awalnya adalah
pemilik kekuasaan, pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan. Lalu di
masa kerajaan menjadi sebutan resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik
kekuasaan yang tak bergerak, ratu adalah pelaksana yang bergerak aktif,
dan rama yang merupakan rakyat (kepala kampung) yang menjaga ketertiban
kampung masing-masing. Pada zaman perkembangan Islam rupanya menjadi
pesantren (dalam), menak (bupati-bupati di Priangan), dan rakyat Sunda
di kampung-kampung.
Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit
ini masih berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda
(demokrasi), pelaksana kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan
adalah panglima wilayah. Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan
tengah adalah Sunda, sedangkan pihak luar boleh asing (mirip para
ponggawa dalam carita pantun).
Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari
pada paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar
memerintah. Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih
menyimpan kekuatan dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu
bageakeun baik untuk dirinya maupun “musuhnya”. Diri sendiri selamat dan
yang menyerangnya juga selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak
menghindar sekaligus disertai gerak menyerang. Bukan untuk mematikan,
tetapi untuk membuat lawan tidak berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang
pembetul tulang banyak terdapat di kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap
terhadap kekuatan lebih menyimpan, defensif, daripada menggunakannya dan
agresif. Ini tidak berarti bahwa para jawara silat Sunda kurang
“berani”, justru sudah melampaui keberanian dan hanya menggunakan
kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau dibageakeun.
Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena, tetapi demi
kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar.
Dalam zaman yang semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin
semacam itu memang dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini
ditantang kearifannya dengan gelombang “kuasa laki-laki” yang agresif.
Memang tidak mudah. Namun, pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap
hidup masyarakat Sunda ini perlu dilakukan, sehingga dapat dikenali
“kedalaman sejatinya” yang kokoh namun lentur, tetap namun berubah.
Feminin tidak berarti lemah, tetapi halus. Yang halus itu bisa kuat.
Suatu kekuatan, kekuasaan, yang kokoh namun halus, arif, tinggi. ***
Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 01 Januari 2007.
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.