Ketuhanan Yang Maha Esa Versi Sunda
Saterusna, pikeun ngawangun hiji Pamaréntah
Nagara Indonésia nu nangtayungan sakumna bangsa Indonésia jeung sakuliah
lemah cai Indonésia sarta pikeun ngamajukeun karaharjaan umum,
nyerdaskeun kahirupan bangsa, jeung milu ngalaksanakeun katartiban dunya
dumasar kana kamerdékaan, karépéhrapihan anu langgeng jeung kaadilan
sosial, nya disusun eta kamerdékaan kabangsaan Indonésia teh dina hiji
Undang-Undang Dasar Nagara Indonésia, winangun nagara Republik Indonésia
nu ngagem kadaulatan rayat sarta dumasar kana Katuhanan Nu Maha Esa,
kamanusaan nu adil jeung beradab, persatuan
Indonésia, jeung karayatan nu dipingpin ku hikmah kawijaksanaan dina
permusawarahan/perwakilan, bari jeung ngawujudken kaadilan sosial pikeun
sakumna rayat Indonésia.
KALIMAT di atas adalah paragraf ketiga Bubuka (Preambule)
Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa
Sunda. Alih bahasa UUD 1945 ke dalam bahasa daerah adalah program
Mahkamah Konstitusi yang patut diacungi dua jempol. Upaya cemerlang ini
untuk memperkuat basis kebangsaan Indonesia dengan cara melakukan
internalisasi konstitusi negara ke dalam kebudayaan Nusantara, dalam hal
ini bahasa daerah yang beraneka ragam.
Maka, UUD 1945 itu akan menjadi the living constitution karena ada dalam bahasa daerah dan dengan begitu dapat dipahami lebih mudah oleh masing-masing pemakai bahasa daerah tersebut.
Upaya penerjemahan ke dalam bahasa Sunda, yang barangkali juga
dialami panitia alih bahasa daerah lain, ternyata tidak mudah. Beberapa
bagian kalimat dalam konstitusi itu tampaknya tidak dapat diterjemahkan
sesuai dengan “rasa” bahasa Sunda, bahkan untuk kata atau kalimat yang
tampak sudah sangat akrab. Contohnya, frasa Ketuhanan Yang Maha Esa yang
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 di atas hanya mengalami sedikit
perubahan menjadi Katuhanan Nu Maha Esa.
Tuhan dalam bahasa Sunda disebut Pangeran atau Gusti. Ketuhanan tampaknya tidak dapat diterjemahkan menjadi kapangeranan atau kagustian karena faktor rasa bahasa. Terjemahan Ketuhanan Yang Maha Esa secara per kata bisa Kapangeranan Anu Tunggal, tetapi rasa bahasa Sunda di frasa itu janggal karena ketuhanan itu mengandung makna kepercayaan kepada Tuhan. Adapun kapangeranan menunjuk pada sifat yang dimiliki Pangeran. Demikian halnya bila diterjemahkan dengan Kapercayaan ka Pangeran Anu Tunggal, frasa itu tampak tidak mengena dengan rasa bahasa Sunda, salah satunya karena tunggal juga terdapat dalam bahasa Indonesia.
Sejarah kata Tuhan sendiri konon berasal dari upaya menerjemahkan God
dan Lord dalam Injil ke dalam bahasa Indonesia di masa kolonial. Kata
itu aslinya adalah Tuan, yang karena faktor dialek mendapat sisipan h.
Sekarang kata Tuan hanya dipakai pada bon toko dan kartu berobat.
Monoteis
Edi S Ekadjati dalam Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah
(1995) mengungkapkan tentang agama dan kepercayaan orang Kanekes yang
disebut agama Sunda Wiwitan atau Sunda Asli. Tuhan atau sistem kekuasaan
tertinggi dalam agama Sunda Wiwitan berada pada Tuhan yang disebut
sesuai dengan sifatnya, Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa), Nu Ngersakeun (Yang Maha Berkehendak), Batara Jagat (Penguasa Alam), Batara Seda Niskala (Yang Gaib), dan Batara Tunggal.
Sebutan untuk Tuhan yang senada dengan Tuhan Yang Maha Esa hanya Batara Tunggal.
Yang terakhir ini, meskipun bermakna esa, tentu sulit diterima dan
tidak cukup memadai sebagai versi Sunda sekarang untuk Tuhan Yang Maha
Esa karena sebagian besar orang Sunda menganut Islam. Tuhan didekati
orang Sunda tidak dengan bilangan, tetapi dengan sifat-sifat seperti Nu Welas Asih (Maha Pengasih dan Penyayang), sedang sisi kekuasaan terungkap dalam Nu Maha Kawasa (Yang Maha Kuasa), Nu Murbeng Alam
(Yang Menguasai Alam). Bahwa Tuhan itu Maha Esa, satu atau tunggal,
dalam pandangan religiusitas orang Sunda tampaknya sudah merupakan sifat
built-in atau nature (fitrah) Tuhan hingga tidak lagi menjadi urusan penyebutan.
Monoteisme sudah merupakan landasan beragama orang Sunda sejak dahulu
kala ketika karuhun orang Sunda menganut agama Sunda Wiwitan atau agama
Sunda Asli. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa,
Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala (Edi S Ekadjati,
1995:73). Konsep dewa dari India disesuaikan dengan sistem kepercayaan
lokal yang monoteis. Akar monoteisme itu sering dijadikan alasan logis
bila orang mempertanyakan proses masuknya Islam ke Tatar Sunda yang
relatif mudah. Dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau
Jawa, wilayah Tatar Sunda dahulu hanya perlu satu, yaitu Sunan Gunung Jati. Meskipun bernada gurauan, kenyataan ini menunjukkan bahwa bagi orang Sunda, hal pokok konsep ketuhanan adalah monoteis.
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah konsep kepercayaan bangsa Indonesia
terhadap Tuhan yang monoteis. Dalam hal penerjemahan ke dalam bahasa
Sunda, yang relatif tetap dengan katuhanan dan esa,
tampaknya sebagai tanda keikutsertaan Sunda dalam syahadat monoteis
nasional tersebut. Selamat datang Ketuhanan Yang Maha Esa ke dalam
bahasa Sunda! ***
(Penulis, Dosen Desain Itenas Bandung)
Sumber: Republika, 9 Juni 2007. Tulisan ini semula berjudul “UUD 1945 Rasa Sunda”.
terima kasih infonya, walau tidak mengerti bahasa sunda, untung telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia
ReplyDeleteSama-sama, mudah2an ada manfaatnya
Delete