TIGA PRABU WANGI
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh Raden Wiraatmadja di SALAKANAGARA
Lingga Dewata berkuasa di Pakuan pada tahun 1311 – 1333 masehi. Lingga
Dewata diperkirakan menjadi raja peralihan yang memindahkan pusat
kerajaan Sunda ke Kawali, karena ia di makamkan di Kikis. Kemudian
digantikan oleh Ajiguna Wisesa dengan gelar Prabu Ajiguna Linggawisesa
(1333 - 1340) disebut-sebut sebagai raja Sunda pertama yang berkedudukan
di Kawali.
Ajiguna Linggawisesa adalah menantu dari Lingga
Dewata yang menikah dengan Dewi Uma Lestari atau Ratu Santika. Didalam
versi lainnya disebutkan suami dari adik Lingga Dewata, yang menikah
dengan Ratna Uma Lestari, putrinya Prabu Citraganda. Tentang muasal
Ajiguna Wisesa kurang terlacak, jika dikaitkan dengan Suryadewata,
putranya yang menjadi leluhur Talaga, mungkin pula ia berasal dari
daerah Talaga.
Dari pernikahannya dengan Dewi Uma Lestari
melahirkan dua orang putra, yakni Ragamulya dan Suryadewata. Ragamulya
menggantikan Ajiguna Linggawisesa. Dalam Carita Parahyangan disebut Sang
Aki Kolot. Ragamulya bernama nobat Prabu Ragamulya Luhur Prabawa,
bertahta dari tahun 1340 – 1350 masehi, sedangkan Suryadewata menjadi
raja daerah Talaga, dan dikenal sebagai leluhur Talaga, namun ia wafat
ketika sedang berburu, dan dimakamkan di Wanaraja (Garut), sehingga ia
diberi gelar Sang Mokteng Wanaraja.
Prabu Ragamulya Luhur
Prabawa mempunyai dua orang putra, yakni Linggabuana dan Bunisora. Kelak
keduanya menjadi raja di Kawali dan memiliki nama yang harum dalam
sumbangsihnya terhadap perjalanan sejarah di tatar Sunda.
Raja-raja Kawali yang terkenal
Penguasa Kawali yang banyak dikisahkan, yaitu Lingga Buana (Prabu
Wangi), Niskala Wastu Kencana (Prabu Wangisutah) dan Jaya Dewata (Prabu
Silihwangi). Didalam sejarah lisan, ketiga raja ini kerap dikaitkan
dengan masalah sejarah masa lalu di tatar Sunda. Seolah-olah Sunda tidak
memiliki raja lainnya selain ketiga penguasa ini, dan menggunakan nama
gelar “Wangi”.
Tentang penggunaan nama “Wangi” sempat menjadi
perdebatan dikalangan para sejarawan. Istilah wangi diberikan kepada
raja-raja Sunda yang dianggap masyarakat mengharumkan Sunda. Disisi
lain, masyarakat merasa kurang ajar (calutak) jika menyebutkan nama asli
dari rajanya, sehingga mereka lebih nyaman menggunakan nama
kehormatannya, seperti nama ‘Wangi”. Perdebatan demikian terjadi dalam
mencari : siapakah raja Sunda yang bergelar Prabu Silihwangi.
Menurut Yoseph Iskandar (2005) : “Prof. Dr. Syatrohaedi bersikeras
mengemukakan pendapatnya, bahwa Mahaprabu Niskala Wastu Kencana itulah
yang yang lebih tepat sebagai tokoh Prabu Siliwangi. Karena Sang
Mahaprabu merupakan Silih = pengganti keterkenalan dan keharuman nama
Prabu Wangi yang di Palagan Bubat. Hanya raja sekaliber Prabu Wangi yang
layak dijuluki Prabu Silih Wangi atau Prabu Siliwangi.” (hal.212)
Perdebatan lainnya dalam mencari keaslian Siliwangi terjadi ketika
Purbatjaraka pada tahun 1921 menafsirkan didalam bukunya “De
Batoe-toelis bij Buitenzorg”, bahwa Sri Baduga Maharaja yang tercantum
dalam prasasti Batutulis Bogor adalah raja yang gugur di Bubat. Sehingga
dari tahun 1921, pelajaran Sejarah disekolah-sekolah mengisahkan
tentang Gugurnya Sri Baduga Maharaja di Bubat pada tahun 1357 masehi.
Pendapat Purbatjaraka dikritik oleh Saleh Danasasmita, : karena
penyebutan Sri Baduga sebagai Prabu Siliwangi yang gugur di palagan
Bubat terlalu dipaksakan, bertentangan dengan Kropak 406 Carita
Parahyangan dan Pararaton, pada peristiwa Bubat, Sri Baduga belum lahir,
bahkan Wastu Kancana baru berumur sembilan tahun. (Ibid. Hal.224)
Perdebatan mereda setelah Saleh Danasasmita (1981–1984) meluruskan
bacaan Prasasti Batutulis Bogor, yang sejalan dengan maksud dari naskah
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4. Kandungan naskah tersebut
berisi, sebagai berikut :
· Raja Pajajaran Winastatwan ngaran
Prabhuguru Dewataprana muwah winastwan ngaran Sri Baduga Maharaja
Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata putra ning Rahyang
Dewa Niskala. Rahyang Dewa Niskala putra ning Rahyang Niskala Wastu
Kancana. Rahyang Niskala Wastu Kancana putra Ning Prabu Maharaja
Linggabhuanawisesa.
[Raja Pajajaran dinobatkan dengan gelar
Prabuguru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baduga
Maharaja Ratuhaji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra
Rahiyang Niskala Wastu Kancana. Tahiyang Wastu Kancana putra Prabu
Linggabuanawisesa] (ibid 226).
Saat ini memang tak dapat
dipungkiri, bahwa ketiga raja Sunda tersebut berhak menyandang nama
“Wangi”, yakni Prabu Wangi, Prabu Wangisutah dan Prabu Silihwangi,
masing-masing untuk gelar Sri Maharaja, Prabu Niskala Wastukancana dan
Sri Baduga Maharaja.
Prabu Wangi
Linggabuana menggantikan
Ragamulya (Aki Kolot), dengan nama nobat Prabu Lingga Buana (1350 –
1357) atau disebut juga Prabu Maharaja alias Prabu Wangi. Didalam
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 disebut Prabu Maharaja
Linggabhuanawisesa.
Linggabuana dinobatkan pada tanggal 14
bagian terang bulan Palguna tahun 1272 saka, bertepatan dengan tanggal
22 Februari 1350 masehi. Sebelum menggantikan posisi ayahnya, ia pernah
menjabat sebagai adipati selama tujuh tahun dibawah perintah Sang
Ajiguna, kakeknya. Kemudian ia pun menjadi Mahamantri merangkap sebagai
putra mahkota selama dua tahun dibawah perintah Ragamulya, ayahnya.
Linggabuana disebut Prabu Maharaja, karena dianggap menguasai seluruh
tatar Sunda yang sama dengan kekuasaan Purnawarman. Ia terkenal sebagai
tokoh utama didalam peristiwa Palagan Bubat yang gugur jauh dari kampung
halamannya. Prabu Maharaja dilambangkan sebagai ksatria sekaligus
penguasa Sunda “nu ajeg kana pamadegannana”, memiliki harga diri dan
dijadikan anutan penting dalam cara-cara orang Sunda mempertahankan
haknya. Setelah gugur di Palagan Bubat masyarakat Sunda memberinya gelar
Prabu Wangi.
Linggabuana beristrikan Dewi Lara Lisning, ia
memperoleh empat orang putra-putri. Putri sulungnya diberi nama
Citraresmi, oleh kakeknya diberi nama Dyah Pitaloka. Ia dipersunting
oleh Prabu Hayam Wuruk, namun didalam Pasunda Bubat ia gugur dengan cara
belamati. Putra yang kedua dan ketiga dari Linggabuana meninggal pada
usia satu tahun. Putra yang keempat diberi nama Niskala Wastu Kencana
yang lahir pada tahun 1348 masehi.
Linggabuana dengan putrinya
Dyah Pitaloka dikisahkan di dalam Fragmen Carita Parahyangan. Sekalipun
tidak terlalu banyak, namun telah menunjukan bahwa ia tokoh utama yang
gugur pada peristiwa Bubat. Isi naskah tersebut, sebagai berikut :
· Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran
keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede
pameulina.
· Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.
Prabu Wangi digantikan oleh Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora
alias Kuda Lalean. Hal tersebut dikarenakan Niskala Wastu Kancana, putra
Prabu Wangi masih berumur sembilan tahun.
Bunisora bertahta
pada tahun 1357 sampai dengan 1371 masehi, bergelar Prabu Batara Guru
Pangadiparamarta Janadewabrata, sejak masa muda tekun memperdalam ilmu
keagaaman. Penulis Carita Parahyangan memberinya gelar Satmata, yaitu
sebutan untuk tingkatan kelima dari tujuh tingkatan keagamaan pada waktu
itu. Karena kesalehannya pula maka ia dijuluki Batara Guru di Jampang.
Bunisora dimakamkan di Geger Omas.
Sang Bunisora didalam
cerita Galuh dikisahkan, bahwa ia ayah dari Bratalegawa, seorang
pengusaha yang terkenal. Bratalegawa dikenal sebagai penganut agama
Islam pertama di Galuh, sehingga mendapat Gelar Haji Purwa Galuh (Haji
pertama di Galuh). Banyak kisah dari ketutrunannya yang kemudian menjadi
pemuka agama di daerah Jawa Barat. Mungkin spirit dan kesungguhan
menekuni masalah keagamaan yang diciptakan Sang Bunisora ini mendorong
keturunannya untuk menekuni agamanya masing-masing.
Prabu Wangisutah
Ketika terjadi Pasunda Bubat usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia
satu-satunya ahli waris Prabu Maharaja yang masih hidup. Setelah
pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya (Sang
Bunisora), Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada
usia 23 tahun.
Sebelum menjadi raja Sunda, Wastukancana
mengembara kedaerah Lampung. Ia bertemu dengan seorang putri penguasa
Lampung, yakni Lara Sakti, kemudian dijadikannya sebagai permaisurinya
yang pertama. Dari perkawinannya lahir Sang Haliwungan yang bernama
nobat Prabu Susuktunggal.
Permaisuri yang kedua dari
Wastukancana adalah Mayangsari, puteri sulung Sang Bunisora atau
Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir Ningrat Kancana,
setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing tentang masalah kenegaraan dan
keagaamaa, sehingga tumbuh menjadi orang bijaksana dan banyak disukai
masyarakat. Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Bunisora pada usia
yang 23 tahun, dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau
Praburesi Buana tunggadewata, dalam versi naskah yang paling muda
menyebutnya Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
Keharuman nama Wastu Kancana membawa pada penafsiran dari versi yang
berbeda, bahwa : Mahaprabu Niskala Wastu Kancana itulah yang lebih tepat
sebagai tokoh Prabu Silihwangi. Karena Sang Mahaprabu merupakan silih
(pengganti) keterkenalan dan keharuman nama Prabu Wangi yang gugur di
palagan Bubat. Hanya raja sekaliber Prabu Wangi yang layak dijuluki
Prabu Silih Wangi atau Prabu Siliwangi.
Karya besar yang
dipersembahkan untuk generasi sesudahnya diabadikan dalam dua buah
prasasti yang terletak di Kawali. Prasasti tersebut sangat membantu
generasi sesudahnya untuk mengenal keberadaan kerajaan Sunda di Kawali.
Wastu Kancana juga melekat dihati masyarakat akan kesalehan sosialnya.
Masyarakat Sunda mengenal ajaran atau nasehat yang ia berikan, berupa
uraian tentang kebajikan dan kesejahteraan sejati sebagai mana yang
terkandung di dalam ajaran Siksa Kanda Ng Karesyan, kemudian dikenal
dengan sebutan “Wangsit (Wasiat) Wastu Kancana”. Mungkin karena
ajarannya ini pula yang kemudian mendapat gelar Prabu Wangisutah. Wastu
Kencana didalam alur Sejarah Sumedang dan Galuh, disebutkan juga sebagai
leluhur Pangeran Santri dan Pucuk Umum Sumedang.
Prabu Niskala Wastu Kancana dicerirtakan didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
· Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu
kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu
saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna,
lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu
hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
· Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
· Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
- Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna
oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya
eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina
jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
· Mana sesepuh kampung
ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan
karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan
tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung
kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh
kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran
nurutkeun palaturan ratu.
· Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
· Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya Wates wangenna.
· Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun
sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana
teh.
Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan
Sunda dipecah dua diantara Susuktunggal (Pakuan) dan Dewa Niskala
(Galuh) dengan kedudukan yang sederajat. Namun politik kesatuan wilayah
telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana, sebagaimana
dilakukannya melalui pernikahan putra Dewa Niskala (Jayadewata) dengan
putri Susuktunggal (Kentring Manik Mayang Sunda).
Prabu Silihwangi
Penguasa Sunda di Kawali yang kemudian mengalihkan pusat
pemerintahannya ke Pakuan dan paling banyak dikisahkan masyarakat dalam
bermacam versi, adalah Jayadewata. Seolah-olah petilasan dari raja Sunda
atau “Karuhun” Urang Sunda manapun tidak lengkap jika tidak dikaitkan
dengan kebesaran nama Prabu Silihwangi. Demikian pula dalam kisah-kisah
yang bermuara dari hasil penelitian sejarah. Tak kurang yang berpendapat
bahwa ia adalah tokoh penting yang terlibat di Palagan Bubat. Selain
itu, ada juga yang menafsirkan bahwa Prabu Siliwangi tersebut adalah
Niskala Wastu Kancana.
Didalam versi sejarah yang dicaruk
dengan masalah keagamaan, Prabu Siliwangi digambarkan sebagai raja
Pajajaran terakhir yang dikejar kejar putranya yang bernama Kian
Santang. Padahal ketika ia masih bertahta di Pakuan, Pajajaran masih
ajeg, sekalipun ekspansi yang dilakukan para saudagar Islam sudah mulai
merebak di tatar Sunda, sehinga ia pun dikisahkan mengeluarkan suatu
amanah yang dikenal “Wangsit Siliwang”. Didalam versi sejarah resmi
mencatat, bahwa raja Pajajaran terakhir bukanlah Prabu Siliwangi,
melainkan Ragamulya Suryakencana, yang bertahta tanpa mahkota dan wafat
di Pulasari, Pandeglang.
Jayadewata pada masa mudanya lebih
dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala. Kemudian
ia mewarisi tahta ayahnya di Galuh (Dewa Niskala), dalam kapasitasnya
sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Guru Dewataprana. Kemudian ia pun
mewarisi tahta mertuanya di Pakuan. Gelar Sri Baduga Maharaja yang ia
sandang di peroleh karena ia mewaris dua kerajaan, yakni Sunda dengan
Galuh.
Sumber utama tentang keberadaan Sri Baduga Maharaja
berasal dari prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor. Namun kisah
Jayadewata jauh lebih terkenal dalam cerita masyarakat dengan gelar
Prabu Siliwangi.
Kisah Jayadewata di tulis didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
· Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata,
nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun.
· Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti
purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh
lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran
rasa aman.
· Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku ngalanggar Sanghiang Siksa.
Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan
pemerintahan Sunda di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 - 1482
adalah Jaman Kawali, selanjutnya pusat pemerintahannya di pindahkan ke
Pakuan. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali
pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda.
Nama Kawali
diabadikan di dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu
yang tersimpan di "Astana Gede " Kawali. Prasasti tersebut menegaskan
"mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya yang
disebut Surawisesa dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" yang
berarti keraton yang memberikan ketenangan hidup. (***)
Sumber Bacaan :
· Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
· Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3,
Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
· Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
· Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
· Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980
· Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
· Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.
· pasundan.homestead.com - Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
· wikipedia.org/wiki/ Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
· wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
Lingga Dewata berkuasa di Pakuan pada tahun 1311 – 1333 masehi. Lingga Dewata diperkirakan menjadi raja peralihan yang memindahkan pusat kerajaan Sunda ke Kawali, karena ia di makamkan di Kikis. Kemudian digantikan oleh Ajiguna Wisesa dengan gelar Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333 - 1340) disebut-sebut sebagai raja Sunda pertama yang berkedudukan di Kawali.
Ajiguna Linggawisesa adalah menantu dari Lingga Dewata yang menikah dengan Dewi Uma Lestari atau Ratu Santika. Didalam versi lainnya disebutkan suami dari adik Lingga Dewata, yang menikah dengan Ratna Uma Lestari, putrinya Prabu Citraganda. Tentang muasal Ajiguna Wisesa kurang terlacak, jika dikaitkan dengan Suryadewata, putranya yang menjadi leluhur Talaga, mungkin pula ia berasal dari daerah Talaga.
Dari pernikahannya dengan Dewi Uma Lestari melahirkan dua orang putra, yakni Ragamulya dan Suryadewata. Ragamulya menggantikan Ajiguna Linggawisesa. Dalam Carita Parahyangan disebut Sang Aki Kolot. Ragamulya bernama nobat Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, bertahta dari tahun 1340 – 1350 masehi, sedangkan Suryadewata menjadi raja daerah Talaga, dan dikenal sebagai leluhur Talaga, namun ia wafat ketika sedang berburu, dan dimakamkan di Wanaraja (Garut), sehingga ia diberi gelar Sang Mokteng Wanaraja.
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa mempunyai dua orang putra, yakni Linggabuana dan Bunisora. Kelak keduanya menjadi raja di Kawali dan memiliki nama yang harum dalam sumbangsihnya terhadap perjalanan sejarah di tatar Sunda.
Raja-raja Kawali yang terkenal
Penguasa Kawali yang banyak dikisahkan, yaitu Lingga Buana (Prabu Wangi), Niskala Wastu Kencana (Prabu Wangisutah) dan Jaya Dewata (Prabu Silihwangi). Didalam sejarah lisan, ketiga raja ini kerap dikaitkan dengan masalah sejarah masa lalu di tatar Sunda. Seolah-olah Sunda tidak memiliki raja lainnya selain ketiga penguasa ini, dan menggunakan nama gelar “Wangi”.
Tentang penggunaan nama “Wangi” sempat menjadi perdebatan dikalangan para sejarawan. Istilah wangi diberikan kepada raja-raja Sunda yang dianggap masyarakat mengharumkan Sunda. Disisi lain, masyarakat merasa kurang ajar (calutak) jika menyebutkan nama asli dari rajanya, sehingga mereka lebih nyaman menggunakan nama kehormatannya, seperti nama ‘Wangi”. Perdebatan demikian terjadi dalam mencari : siapakah raja Sunda yang bergelar Prabu Silihwangi.
Menurut Yoseph Iskandar (2005) : “Prof. Dr. Syatrohaedi bersikeras mengemukakan pendapatnya, bahwa Mahaprabu Niskala Wastu Kencana itulah yang yang lebih tepat sebagai tokoh Prabu Siliwangi. Karena Sang Mahaprabu merupakan Silih = pengganti keterkenalan dan keharuman nama Prabu Wangi yang di Palagan Bubat. Hanya raja sekaliber Prabu Wangi yang layak dijuluki Prabu Silih Wangi atau Prabu Siliwangi.” (hal.212)
Perdebatan lainnya dalam mencari keaslian Siliwangi terjadi ketika Purbatjaraka pada tahun 1921 menafsirkan didalam bukunya “De Batoe-toelis bij Buitenzorg”, bahwa Sri Baduga Maharaja yang tercantum dalam prasasti Batutulis Bogor adalah raja yang gugur di Bubat. Sehingga dari tahun 1921, pelajaran Sejarah disekolah-sekolah mengisahkan tentang Gugurnya Sri Baduga Maharaja di Bubat pada tahun 1357 masehi.
Pendapat Purbatjaraka dikritik oleh Saleh Danasasmita, : karena penyebutan Sri Baduga sebagai Prabu Siliwangi yang gugur di palagan Bubat terlalu dipaksakan, bertentangan dengan Kropak 406 Carita Parahyangan dan Pararaton, pada peristiwa Bubat, Sri Baduga belum lahir, bahkan Wastu Kancana baru berumur sembilan tahun. (Ibid. Hal.224)
Perdebatan mereda setelah Saleh Danasasmita (1981–1984) meluruskan bacaan Prasasti Batutulis Bogor, yang sejalan dengan maksud dari naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4. Kandungan naskah tersebut berisi, sebagai berikut :
· Raja Pajajaran Winastatwan ngaran Prabhuguru Dewataprana muwah winastwan ngaran Sri Baduga Maharaja Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata putra ning Rahyang Dewa Niskala. Rahyang Dewa Niskala putra ning Rahyang Niskala Wastu Kancana. Rahyang Niskala Wastu Kancana putra Ning Prabu Maharaja Linggabhuanawisesa.
[Raja Pajajaran dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratuhaji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra Rahiyang Niskala Wastu Kancana. Tahiyang Wastu Kancana putra Prabu Linggabuanawisesa] (ibid 226).
Saat ini memang tak dapat dipungkiri, bahwa ketiga raja Sunda tersebut berhak menyandang nama “Wangi”, yakni Prabu Wangi, Prabu Wangisutah dan Prabu Silihwangi, masing-masing untuk gelar Sri Maharaja, Prabu Niskala Wastukancana dan Sri Baduga Maharaja.
Prabu Wangi
Linggabuana menggantikan Ragamulya (Aki Kolot), dengan nama nobat Prabu Lingga Buana (1350 – 1357) atau disebut juga Prabu Maharaja alias Prabu Wangi. Didalam Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 disebut Prabu Maharaja Linggabhuanawisesa.
Linggabuana dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 saka, bertepatan dengan tanggal 22 Februari 1350 masehi. Sebelum menggantikan posisi ayahnya, ia pernah menjabat sebagai adipati selama tujuh tahun dibawah perintah Sang Ajiguna, kakeknya. Kemudian ia pun menjadi Mahamantri merangkap sebagai putra mahkota selama dua tahun dibawah perintah Ragamulya, ayahnya.
Linggabuana disebut Prabu Maharaja, karena dianggap menguasai seluruh tatar Sunda yang sama dengan kekuasaan Purnawarman. Ia terkenal sebagai tokoh utama didalam peristiwa Palagan Bubat yang gugur jauh dari kampung halamannya. Prabu Maharaja dilambangkan sebagai ksatria sekaligus penguasa Sunda “nu ajeg kana pamadegannana”, memiliki harga diri dan dijadikan anutan penting dalam cara-cara orang Sunda mempertahankan haknya. Setelah gugur di Palagan Bubat masyarakat Sunda memberinya gelar Prabu Wangi.
Linggabuana beristrikan Dewi Lara Lisning, ia memperoleh empat orang putra-putri. Putri sulungnya diberi nama Citraresmi, oleh kakeknya diberi nama Dyah Pitaloka. Ia dipersunting oleh Prabu Hayam Wuruk, namun didalam Pasunda Bubat ia gugur dengan cara belamati. Putra yang kedua dan ketiga dari Linggabuana meninggal pada usia satu tahun. Putra yang keempat diberi nama Niskala Wastu Kencana yang lahir pada tahun 1348 masehi.
Linggabuana dengan putrinya Dyah Pitaloka dikisahkan di dalam Fragmen Carita Parahyangan. Sekalipun tidak terlalu banyak, namun telah menunjukan bahwa ia tokoh utama yang gugur pada peristiwa Bubat. Isi naskah tersebut, sebagai berikut :
· Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
· Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.
Prabu Wangi digantikan oleh Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora alias Kuda Lalean. Hal tersebut dikarenakan Niskala Wastu Kancana, putra Prabu Wangi masih berumur sembilan tahun.
Bunisora bertahta pada tahun 1357 sampai dengan 1371 masehi, bergelar Prabu Batara Guru Pangadiparamarta Janadewabrata, sejak masa muda tekun memperdalam ilmu keagaaman. Penulis Carita Parahyangan memberinya gelar Satmata, yaitu sebutan untuk tingkatan kelima dari tujuh tingkatan keagamaan pada waktu itu. Karena kesalehannya pula maka ia dijuluki Batara Guru di Jampang. Bunisora dimakamkan di Geger Omas.
Sang Bunisora didalam cerita Galuh dikisahkan, bahwa ia ayah dari Bratalegawa, seorang pengusaha yang terkenal. Bratalegawa dikenal sebagai penganut agama Islam pertama di Galuh, sehingga mendapat Gelar Haji Purwa Galuh (Haji pertama di Galuh). Banyak kisah dari ketutrunannya yang kemudian menjadi pemuka agama di daerah Jawa Barat. Mungkin spirit dan kesungguhan menekuni masalah keagamaan yang diciptakan Sang Bunisora ini mendorong keturunannya untuk menekuni agamanya masing-masing.
Prabu Wangisutah
Ketika terjadi Pasunda Bubat usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia satu-satunya ahli waris Prabu Maharaja yang masih hidup. Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya (Sang Bunisora), Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun.
Sebelum menjadi raja Sunda, Wastukancana mengembara kedaerah Lampung. Ia bertemu dengan seorang putri penguasa Lampung, yakni Lara Sakti, kemudian dijadikannya sebagai permaisurinya yang pertama. Dari perkawinannya lahir Sang Haliwungan yang bernama nobat Prabu Susuktunggal.
Permaisuri yang kedua dari Wastukancana adalah Mayangsari, puteri sulung Sang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir Ningrat Kancana, setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing tentang masalah kenegaraan dan keagaamaa, sehingga tumbuh menjadi orang bijaksana dan banyak disukai masyarakat. Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Bunisora pada usia yang 23 tahun, dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buana tunggadewata, dalam versi naskah yang paling muda menyebutnya Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
Keharuman nama Wastu Kancana membawa pada penafsiran dari versi yang berbeda, bahwa : Mahaprabu Niskala Wastu Kancana itulah yang lebih tepat sebagai tokoh Prabu Silihwangi. Karena Sang Mahaprabu merupakan silih (pengganti) keterkenalan dan keharuman nama Prabu Wangi yang gugur di palagan Bubat. Hanya raja sekaliber Prabu Wangi yang layak dijuluki Prabu Silih Wangi atau Prabu Siliwangi.
Karya besar yang dipersembahkan untuk generasi sesudahnya diabadikan dalam dua buah prasasti yang terletak di Kawali. Prasasti tersebut sangat membantu generasi sesudahnya untuk mengenal keberadaan kerajaan Sunda di Kawali.
Wastu Kancana juga melekat dihati masyarakat akan kesalehan sosialnya. Masyarakat Sunda mengenal ajaran atau nasehat yang ia berikan, berupa uraian tentang kebajikan dan kesejahteraan sejati sebagai mana yang terkandung di dalam ajaran Siksa Kanda Ng Karesyan, kemudian dikenal dengan sebutan “Wangsit (Wasiat) Wastu Kancana”. Mungkin karena ajarannya ini pula yang kemudian mendapat gelar Prabu Wangisutah. Wastu Kencana didalam alur Sejarah Sumedang dan Galuh, disebutkan juga sebagai leluhur Pangeran Santri dan Pucuk Umum Sumedang.
Prabu Niskala Wastu Kancana dicerirtakan didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
· Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
· Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
· Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
- Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
· Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
· Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
· Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya Wates wangenna.
· Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah dua diantara Susuktunggal (Pakuan) dan Dewa Niskala (Galuh) dengan kedudukan yang sederajat. Namun politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana, sebagaimana dilakukannya melalui pernikahan putra Dewa Niskala (Jayadewata) dengan putri Susuktunggal (Kentring Manik Mayang Sunda).
Prabu Silihwangi
Penguasa Sunda di Kawali yang kemudian mengalihkan pusat pemerintahannya ke Pakuan dan paling banyak dikisahkan masyarakat dalam bermacam versi, adalah Jayadewata. Seolah-olah petilasan dari raja Sunda atau “Karuhun” Urang Sunda manapun tidak lengkap jika tidak dikaitkan dengan kebesaran nama Prabu Silihwangi. Demikian pula dalam kisah-kisah yang bermuara dari hasil penelitian sejarah. Tak kurang yang berpendapat bahwa ia adalah tokoh penting yang terlibat di Palagan Bubat. Selain itu, ada juga yang menafsirkan bahwa Prabu Siliwangi tersebut adalah Niskala Wastu Kancana.
Didalam versi sejarah yang dicaruk dengan masalah keagamaan, Prabu Siliwangi digambarkan sebagai raja Pajajaran terakhir yang dikejar kejar putranya yang bernama Kian Santang. Padahal ketika ia masih bertahta di Pakuan, Pajajaran masih ajeg, sekalipun ekspansi yang dilakukan para saudagar Islam sudah mulai merebak di tatar Sunda, sehinga ia pun dikisahkan mengeluarkan suatu amanah yang dikenal “Wangsit Siliwang”. Didalam versi sejarah resmi mencatat, bahwa raja Pajajaran terakhir bukanlah Prabu Siliwangi, melainkan Ragamulya Suryakencana, yang bertahta tanpa mahkota dan wafat di Pulasari, Pandeglang.
Jayadewata pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala. Kemudian ia mewarisi tahta ayahnya di Galuh (Dewa Niskala), dalam kapasitasnya sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Guru Dewataprana. Kemudian ia pun mewarisi tahta mertuanya di Pakuan. Gelar Sri Baduga Maharaja yang ia sandang di peroleh karena ia mewaris dua kerajaan, yakni Sunda dengan Galuh.
Sumber utama tentang keberadaan Sri Baduga Maharaja berasal dari prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor. Namun kisah Jayadewata jauh lebih terkenal dalam cerita masyarakat dengan gelar Prabu Siliwangi.
Kisah Jayadewata di tulis didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
· Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun.
· Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
· Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku ngalanggar Sanghiang Siksa.
Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan pemerintahan Sunda di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 - 1482 adalah Jaman Kawali, selanjutnya pusat pemerintahannya di pindahkan ke Pakuan. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda.
Nama Kawali diabadikan di dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di "Astana Gede " Kawali. Prasasti tersebut menegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" yang berarti keraton yang memberikan ketenangan hidup. (***)
Sumber Bacaan :
· Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
· Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
· Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
· Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
· Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980
· Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
· Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.
· pasundan.homestead.com - Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
· wikipedia.org/wiki/
· wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.