Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dalam “Sadjarah Soekapoera”
Oleh: Enton Supriyatna Sind
MAKAM Syekh Abdul Muhyi, yang hidup pada sekitar tahun 1700-an,
hingga kini masih ramai dikunjungi orang. Mereka berasal dan berbagai
pelosok tanah air. Masyarakat meyakini tokoh ini sebagai wali. Tempat
peristirahatan Abdul Muhyi terletak di Pamijahan, Bantarkalong, Kab.
Tasikmalaya, atau sekitar 70 km ke arah selatan dari pusat Kota
Tasikmalaya. Tapi lokasi ini lebih dikenal dengan nama Karangnunggal.
Menurut sejumlah catatan, Abdul Muhyi berhasil mengubah kebiasaan
animisme di wilayah Tasikmalaya selatan ke peribadatan Islam.
Dalam tradisi Islam, khsusnya di Nusantara, setiap tokoh penyebar
Islam selalu memiliki lingkungan sendiri yang lazim disebut sebagai
pesantren. Di tempat inilah ilmu-ilmu para kiai diturunkan kepada
munid-munidnya. Demikian halnya dengan Syekh Abdul Muhyi. Dipastikan,
dia memiliki lingkungan seperti itu dengan pusat dakwahnya di Pamijahan.
Di tempat itu terdapat sebuah gua yang diberinama Safarwadi. Jika
peziarah dengan teliti melihat keadaan di dalamnya, akan tampak sebuah
gambaran yang memperkuat adanya semacam pesantren di gua tersebut.
Misalnya terdapat gundukan tanah yang menyerupai mimbar atau bebatuan
persis seperti meja-meja belajar. Besar kemungkinan di dalam gua itulah
Syekh Abdul Muhyi sering menyampaikan wejangan-wejangan keagamaannya.
Pada perkembangan berikutnya, dia menjadi tokoh sentral dalam tarekat
Syattariyah dan Pamijahan sebagai pusatnya. Namun setelah tokoh
tersebut wafat, daerah Priangan Timur seolah mengalami masa vakum
ketarekatan yang cukup panjang. Dengan kata lain, pengamalan dan
perguruan tarekat-tarekat yang berwibawa pada masa itu, merupakan barang
langka. Sampai kemudian berkembang tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
melalui Pesantren Suryalaya di Godebag Pagerageung Tasikmalaya.
Syattariyah dinisbahkan kepada Abdullah Al-Syattar, yang
mengembangkan tarekat itu pada abad ke-15 di India. Di Indonesia,
tarekat tersebut dikembangkan Abdul Rauf Singkel atau Al-Sinkili
(1615-1693), seorang ulama terkenal dari Aceh. Syekh Abdul Muhyi
merupakan salah seorang murid terpenting dari Syekh Abdul Rauf Singkel.
Melalui Abdul Muhyi, Syattariyah dikembangkan ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Namun jika kita berziarah ke Pamijahan, tidak akan ditemui
informasi tentang Syekh Abdul Muhyi secara proporsional. Penghormatan
yang demikian besar terhadapnya, menjadikannya seolah tidak bersentuhan
dengan realitas. Padahal dia adalah tokoh yang nyata.
Keterangan lain menyebutkan, Abdul Muhyi meninggal pada tahun 1745
(Kosasih, 1937:122). Perkiraan ini dimungkinkan dengan memperbandingkan
masa hidup Syekh Abdul Muhyi dengan masa hidup bupati-bupati Sukapura
(Tasikmalaya sekarang). Sebab ada beberapa bupati Sukapura yang menjadi
murid tokoh ini. Pengaruh Syekh Abdul Muhyi di lingkungan elit kekuasaan
Sukapura demikian besar. Bahkan ketika yang bersangkutan sudah wafat.
Menurut naskah “Sadjarah Soekepoera”, Bupati Sukapura ke-3 yaitu
Wiradadaha III yang memegang pemerintahan pada tahun 1674-1723, sejak
kecil belajar ilmu agama Islam dari Syekh Abdul Muhyi. Kemudian Bupati
Sukapura selanjutnya, putera kedua Wiradadaha III bernama Raden
Subamanggala bergelar Wiradadaha IV (memerintah 1723-1745) juga anak
asuh Abdul Muhyi. Baik Wiradadaha III maupun Wiradadaha IV, dikuburkan
di kompleks Pamijahan.
Dalam naskah yang ditulis Raden Kartinagara I alias Abdullah Saleh
itu, direkam beberapa peristiwa yang terjadi dilingkungan keluarga
bupati Sukapura, yang penyelesaiaannya selalu berkaitan dengan tokoh
Syekh Abdul Muhyi. Saat Yudanagara, putera Raden Anggadipa atau
Wiradadaha III, memperbincangkan figur pengganti ayahnya yang telah
mangkat, dia menyebut beberapa persyaratan. Walaupun sanak saudaranya
lebih condong memilih dirinya untuk kedudukari bupati.
Setelah menolak persetujuan saudara-saudaranya, Yudanagara
menyebutkan, yang layak untuk menduduki jabatan bupati menggantikan
ayahnya, adalah harus orang yang pantas, kesayangan ayahnya, juga murid
dan putera pungut wali agung Syekh Abdul Muhyi. Sebab diyakini sudah
tentu besar berkahnya, karena diangga mencapai taraf seolah-olah
setengah wali. Diharapkan dapat memanjurkan keturunan Wirawangsa. Untuk
itu, Yudanagara menyebut nama Subamanggala, dan semua yang hadir
menyetujuinya. Setelah diangkat menjadi bupati, Subamanggala memakai
gelar Wiradadaha IV.
Begitu pula ketika dia ingin memecahkan persoalan yang
menyulitkannya, Yudanagara selalu menyuruh para pembantunya untuk
berziarah ke Pamijahan. Sambil meminta dikirim pusaka gurunya. Ketika
terjadi gelombang fitnah yang hampir saja meretakkan hubungan
kekerabatan keturunan Wirawangsa, Yudanagara yang saat itu menjadi patih
di bawah Wiradadaha IV, kembali menunjukkan kewibawaannya. Perselisihan
terjadi antara Bupaati Wiradadaha IV dengan Somanagara, salah seorang
saudara bupati. Setelah ditempuh jalan musyawarah, Yudanagara ingin agar
perselisihan itu benar-benar hilang.
Untuk lebih memperkuat ‘perdamaian’ itu, Yudanagara menginginkan agar
sumpah tersebut dilakukan di makam Syekh Abdul Muhyi. Maka kedua orang
itu, berangkat ke Pamijahan diiringi para saudaranya, kemudian duduk
berhimpun di sekitar makam Syekh Abdul Muhyi. Yudanagara menyampaikan
pidatonya, tentang pentingnya persaudaraan dan menjauhkan diri dari
perselisihan. Dari cuplikan peristiwa tersebut, bisa terlihat betapa
Abdul Muhyi amat dihormati. Muhyi telah menjadi panutan, tidak saja bagi
rakyat biasa tapi juga kalangan pemerintahan. Ajaran-ajaran Syekh Abdul
Muhyi dengan begitu terbukti bisa diterima secara baik di dua lapisan
sosial.
Syekh Yusuf Makassar
Sisi lain dan sosok Syekh Abdul Muhyi, ternyata juga seorang pendukung perjuangan melepaskan diri dan belenggu penjajahan Belanda. Dialah yang menyediakan tempat berlindung bagi Pahlawan Nasional Syekh Yusuf Makassar dkk, selama dikejar-kejar Belanda. Seperti diketahui, penganugerahan gelar Pahiawan Nasional kepada Syekh Yusuf diberikan Presiden Soeharto pada bulan November 1995.Syekh Yusuf lahir di Gowa Sulawesi Selatan pada tahun 1037 H/1627 M. Dia banyak belajar ilmu agama Islam dan berbagai gurunya.
Sisi lain dan sosok Syekh Abdul Muhyi, ternyata juga seorang pendukung perjuangan melepaskan diri dan belenggu penjajahan Belanda. Dialah yang menyediakan tempat berlindung bagi Pahlawan Nasional Syekh Yusuf Makassar dkk, selama dikejar-kejar Belanda. Seperti diketahui, penganugerahan gelar Pahiawan Nasional kepada Syekh Yusuf diberikan Presiden Soeharto pada bulan November 1995.Syekh Yusuf lahir di Gowa Sulawesi Selatan pada tahun 1037 H/1627 M. Dia banyak belajar ilmu agama Islam dan berbagai gurunya.
Syekh Yusuf dikenal sebagai penganut dan penyebar aliran Tarekat
Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Namun dia juga saudara seperguruan
dengan Abdul Rauf Singkel dalam Tarekat Syatariyah. Catatan-catatan
menyebutkan, Syekh Yusuf kembali ke Indonesia pada 1075 H/1664 M atau
juga 1083 H/1672 M. Kemudian menjadi orang penting di Banten di samping
Sultan Ageng Tirtayasa (1053-1096 H/1651-1683 M). Bersama Tirtayasa dia
bahu membahu melakukan penlawanan terjadap Belanda. Ketika itu dia sudah
terkenal menjadi ulama besar.
Hingga akhirnya pasukan Syekh Yusuf tercecer dan harus melakukan
perang gerilya dan terpaksa mundur ke daerah Priangan Timur. Termasuk ke
daerah Tasikmalaya Selatan. Setelah sebelumnya menyusuri Sungai Ciseel
dan Sungai Citanduy, lalu berputar lewat Parigi. Rute perjalanan perang
gerilya Syekh Yusuf di Priangan Timur dengan baik dirinci oleh Abdu
Hamid dalam buku yang berasal dan disertasi doktornya berjudul “Syekh
Yusuf, Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang” (1994:100-106) . Menurut Abu
Hamid, Syekh Yusuf berlindung di sebuah tempat bernama Karang atau Aji
Karang. Terletak di sebelah timur Cimandala dan Cigugur, sekitar Parigi.
Apa yang disebutkan Abu Hamid sebagai Karang, tidak salah lagi
menunjuk pada Karangnunggal. Tempat di mana kompleks Pamijahan dan Gua
Safarwadi berada. Di situlah untuk beberapa saat berlindung sambil
menyusun keküatan kembali. Keterangan senada juga dikemukakan Azyumardi
Azra (1994:223) Dalam peperangan melawan Belanda, Syekh Yusuf Makassar
mundur ke Desa Karang, dan menjalin hubungan dengan seseorang yang oleh
sumber-sumber Belanda disebut “Hadjee Karang’. Karang adalah tempat
tinggal Abdul Muhyi, murid Al-Sinkili dan dialah si “Hadjee Karang” itu.
Abdul Muhyi memanfaatkan kesempatan bertemu dengan Yusuf Makassar
untuk belajar dengannya, menanyakan penafsiran atas ayat-ayat tertentu
dari Al-Qur’an yang berkenaan dengan doktrin-doktrin mistis. Abdul
Muhyi, kata Azra lagi, juga meminta Yusuf Makassar memberikan padanya
silsilah tarekat-tarekat yang diterimanya di Haramain.
Pertemuan-pertemuan antara dua tokoh agama ini terekam dalam koleksi
karya-karya Yusuf Makassar di Perpustakaan Nasional Jakarta, antara lain
pada Naskah Arab No. 101,64.
Dalam salah satu naskah yang ditulisnya di kemudian hari, yang
benjudul “Syuruti al-’Arifi al-Muhaqqiq”, ulama yang produktif menulis
itu menyebutkan “Untuk sahabatku di kampung Rantaubetaa, lalu kampung
Baeubul di Negeri Mandala, sahabatku yang bernama Abdul Jalil penduduk
asli kampung tersebut dan sahabatku Haji Abdul Muhyi yang tinggal di
Kampung Karang”.
Kita bayangkan betapa hangatnya pertemuan antara kedua tokoh besar
Tarekat Syatariyah ini. Sebab, seperti dikatakan beberapa peneliti,
Syekh Yusuf sezaman dalam berguru kepada Ibrahim al-Qur’ani dengan Abdur
Rauf Singkel (guru Abdul Muhyi) dalam hal tarekat Syattariyah.
Selayaknya memang, Abdul Muhyi banyak ‘meminta’ ilmu kepada Yusuf
Makassar. Mengingat ‘senioritas’ dan kedalaman ilmu Syekh Yusuf yang
terkenal itu. Tidak salah, atau memang sengaja, tampaknya Syekh Yusuf
berlindung di tempat Abdul Muhyi. Meskipun pada kenyataannya, sepulang
dan Mekah Syekh Yusuf tidak secara konsisten menyebarkan faham
Syatariyah. Melainkan mendinikan dan mengembangkan ajaran Tarekat
Khalwatiyah.
Penulis adalah Pegiat Jurnalistik
pada Pikiran Rakyat Bandung,
Alumnus FIKOM Universitas Padjadjaran Bandung
pada Pikiran Rakyat Bandung,
Alumnus FIKOM Universitas Padjadjaran Bandung
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.