Kiayi dan Santri Pembaharu Tasikmalaya 1901-1942
Menelusuri Relasi Harmonis Ulama & Umara dan Perannya dalam Modernisasi di Tasikmalaya
Oleh : Muhajir Salam
Relasi harmonis antara ulama dan umara dalam tradisi
kekuasaan Sukapura sudah berlangsung sejak tiga abad. Pada tahun 1674
s.d. 1723, Bupati Sukapura Bupati Wiradadah III atau Dalem Sawidak didukung oleh figur besar Syeikh Abdul Muhyi [1].
Pada masa ini, pemerintahan Sukapura berada dalam puncak kegemilangan
seiring perkembangan pesat penyebaran ajaran Islam. Hubungan harmonis ulama dan umara di kabupaten Sukapura ini menjadi tradisi yang dipertahankan oleh generasi penerus sepeninggal Dalem Sawidak.
Simbol keharmonisan itu ditandai dengan pengangkatan Rd. Subamanggala
sebagai Bupati Sukapura dengan gelar Wiradadaha IV. Rakyat Sukapura
menyebut bupati ini dengan julukan Dalem Pamijahan, karena semasa remajanya beliau menempuh pendidikan di pesantren Syeikh Abdul Muhyi di Safarwadi Pamijahan.[2]
Kerjasama haromonis antara ulama dan pemerintah kabupaten
Sukapura mendorong tumbuh suburnya pesantren dan madrasah sebagai
lembaga pengajaran agama Islam. Mengikuti tradisi yang telah
dikembangkan oleh Dalem Sawidak, Tumenggung Wiratanubaya Bupati
Sukapura X, yang menjabat tahun 1844 s.d. 1855, mendorong pertumbuhan
pesantren dan madrasah di tatar Sukapura. Pesantren telah banyak
melahirkan pemimpin daerah yang berpengaruh.[3] Meskipun tidak mengenyam pendidikan gaya eropa di abad 19-an, kaum santri yang bermukim di peloksok Tasikmalaya memiliki status sosial yang dihormati oleh masyarakat. Kelak, para ulama dan santri
ini menjadi kaum intelektual dan aktifis pergerakan yang menyuarakan
kebebasan, kemajuan dan perang terhadap penjajahan di Tasikmalaya.
Mereka pun, membidani banyak organisasi perkumpulan di kota Tasikmalaya.
Pendidikan pesantren dan madrasah[4], yang dijalankan kalangan kiayi dan santri
,telah berkembang jauh sebelum pemerintah Belanda menawarkan sekolah
formal bergaya Eropa. Pesantren dan madrasah adalah produk peradaban
masyarakat muslim khususnya di tanah Jawa. Pesantren di Tasikmalaya
merupakan bagian dari jejaring pesantren lain di tanah Jawa. Kehadiran
Syeikh Abdul Muhyi tidak dapat dilepaskan dengan fakta perkembangan
jejaring pesantren. Karena bagaimanpun, beliau adalah tokoh sentral
dalam perkembangan ajaran Islam di Tasikmalaya. Selain itu, beliau
adalah salah satu tokoh sentral dalam perkembangan jaringan tarekat syatariah di Asia Tenggara.
Pesantren dan madrasah memberikan kontribusi pada kemajuan peradaban
Tasikmalaya. Sebelum mengenal tulisan latin, masyarakat Tasikmalaya
sudah menggunakan tulisan Arab dan Sunda. Pengenalan terhadap “tulisan
Belanda” semata untuk kebutuhannya urusan pemerintah kolonial.
Steenbrink berpendapat, “Di daerahnya orang-orang Sunda telah mengenal dua macam tulisan:
tulisan Arab agar dapat membaca al-Qur’an dan tulisan Belanda agar dapat
diangkat menjadi pemerintah. Diantara sedikit penduduk mengenal yang
tulisan Jawa beratus-ratus orang yang mengerti tulisan Arab”.[5]
Namun sikap pemerintah Belanda sejak zaman Koloni Perusahaan Dagang (VOC) sampai dengan era Kebijakan Etis modern menaruh sikap curiga bahkan benci terhadap pendidikan pesantren dan madrasah, karena dianggap sebagai sarang fanatisme mohammadan
(pengikut Muhammad). Sikap ini cukup beralasan, karena berbagai
pemberontakan berskala besar (perang Diponegoro dan Padri) dan bersekala
kecil pada masa kolonial, dilancarkan oleh kelompok ulama dan santri.
Ulama dan santri di tatar Sukapura adalah salah satu
agen penting dalam pembaharuan pendidikan modern di Tasikmalaya.
Pesantren dan madrasah memainkan peran dalam proses perkembangan budaya
dan peradaban. Lembaga pendidikan tradisonal ini telah melahirkan banyak
tokoh perhimpunan dan pergerakan yang menyuarakan identitas,
emansipasi, dan modernitas di Tasikmalaya. Sayang, banyak sejarawan yang
menegasikan peran vital pesantren dan madrasah. Kebanyakan sejarahwan
beranggapan bahwa, periode awal kebangkitan pendidikan modern adalah
sebagai dampak langsung dari kebijakan politik etis 1901. Lebih lanjut,
pandangan picik beranggapan bahwa, rakyat Tasikmalaya menjadi modern
setelah banyak didirikannya sekolah-sekolah sekuler ala Belanda.
Pada tahun 1920, Bupati R.A.A. Wiratanuningrat menggagas berdirinya perhimpunan ulama dan umaro bernama Izharu Baitil Ulama wal Umara.[6] Perhimpunan ini dipimpin oleh kiayi kharismatik yang disegani oleh kalangan ulama dan santri Tasikmalaya, yaitu Ajengan Sudja’i (Mama Kudang) pengasuh Pesantren Kudang. Pendirian organisasi ini adalah bukti legitimasi peran ulama dan santri kalangan pesantren di Tasikmalaya. Pendirian perhimpunan ini telah mendorong eksistensi civitas
lembaga pendidikan pesantren dalam pentas kebangkitan sosial dan
politik di Tasikmalaya. Dinamika ini adalah wujud kongkrit pengaruh
pendidikan pesantren terhadap dinamika pergerakan di kota Tasikmalaya.
Setelah berdirinya IBMU, Bupati R.A.A. Wiratanuningrat bersama
Ajengan Sudja’i mendirikan Perhimpunan Guru Ngaji (PGN). Pada tahun
1926, disokong oleh bupati, PGN menggagas munculnya karya intelektual
muslim di Tasikmalaya yaitu Majalah Al-Imtisal. Munculah sederet nama
cendekiawan muslim Tasikmalaya dari kalangan kiayi dan santri,
diantaranya H. M. Soedja’i (kiyai Koedang), H.M. Djarkasi (Kiayi
Djadjaway), H.M. Pachroerodji (Kiayi Sukalaya), R.H. Adjhoeri (Kaum
Manonjaya), R.H.M. Saleh (Kiayi Babakan Sumedang), R.H. Abdoel madjid
(Kiayi Mangunreja), H.M. Bakri (Kiayi Cikalang), H.M. Haetami (Kiayi
Ciawi), R.H.M. Moestopa (Kiayi Banjar).[7] Diantara tokoh PGN, pada tahun 1933, menggas terbitnya majalah al-Moechtar
dengan lingkup jaringan se-Priangan sampai Batavia. Nama tokoh
Tasikmalaya yang muncul dalam gerakan intelektual ini adalah H.M.
Tajoedin (guru madrasah al-Hidayah Sukalaya), R.H.M. Aon (ajengan
Mangunreja), H.Z. Hasan (ajengan Mancogeh), R. Ahmad Hidayat (ajengan
Cikoneng), H. Abdoel Goffar (Ajengan Ciroyom Tasikmalaya), Haroen
ar-Rasjid (guru sakola Bahrain Tasikmalaya), H.M. Sobandi (ajengan
Panumbangan), dan H.M. Bakri (ajengan Cikalong Tasikmalaya). Gerakan
intelektual tokoh pasantrenan ini adalah sebuah proses modernisasi yang menempatan para kiayi dan santri sebagai agen utama. Fenomena ini menjadi karakter yang khas kota Tasikmalaya.[8]
Pada tanggal 31 Januari 1926, lahirlah gerakan ulama dan santri Nahdlatoel Oelama (NU).[9] Seorang priyayi-santri
paling berpengaruh di Tasikmalaya, R. Soetisna Sendjaja, mempelopori
berdiri NU Cabang Tasikmalaya. NU yang dipimpin R. Soetisna Sendjaja
tampil berani dan progresif dalam gerakan intelektualnya. Diantara tokoh
NU yang terlibat aktif dalam gerakan intelektual adalah murid Mama Kudang, Ajengan Sobandi Cilenga beserta santrinya yaitu kiayi Ruhiyat Cipasung dan kiayi Zainal Mustofa Sukamanah.[10]
Kelak kedua santri ini menjadi tokoh penting dalam rangkaian propaganda
dan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang. Gerakan
intelektual NU tercermin dalam jurnalnya yang bertajuk al-Mawaidz.
Beberapa tokoh lain yang terlibat dalam gerakan intelektual ini adalah
H. M. Fadlil (kiayi Cikotok), H. Sobandi (kiayi Cilenga), H. Dahlan
(kiayi Cicarulang), Ruhiyat (kiayi Cipasung), Yahya (kiayi Madiapada),
H. Samsudin (kiayi Gegernoong), H. O. Qolyubi (kiayi Madewangi), dan
Kiayi Kuntet.[11]
Sedikit dari tokoh pergerakan intelektual dari kalangan kiayi dan santri
yang terdorong mendirikan sekolah formal bergaya kolonial. Para kiayi
tersebut tetap berhidmat untuk memajukan pesantren, madrasah, dan
majelis ta’lim untuk mencetak agen-agen perubahan yang berjiwa agamis,
berbudi pekerti, dan bewawasan luas. Langkah legitimasi persuasif bupati
R.A.A. Wiratanuningrat telah mendorong kalangan kiayi dan santri
pada sebuah gerakan intelektual yang membuat atmosfir dinamis dalam
kehidupan sosial keagamaan. Tema totalitas pelaksanaan ajaran Islam
dalam setiap aspek kehidupan menjadi isu penting dalam wacana yang
dikembangkannya. Beberapa kiayi dan santri yang progresif
menganjurkan emansipasi dan sikap kritis terhadap pemerintahan kolonial.
Fenomena ini sebagai wujud peran vital edukasi pesantren dalam proses
transformasi sosial pada masa itu. Namun, sebagian besar ulama sepuh, mendukung upaya R.A.A. Wiratanuningrat membangun untuk kesejahteraan rakyat Tasikmalaya.
[1] Iip D. Yahya, Ajengan Cipasung: Biaografi KH. Moh. Ilyas Ruhiyat. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 206. hal 11
[2] Ibid, dan lihat juga, Tommy Christommy, Sign of The Wali: Narrative at the Sacred Sites in Pamijahan West Java. Canberra: ANU Press, 2008. Hal 60-62, diambil seperlunya.
[3] Iip D. Yahya, hal hal 14
[4]
Proses kelahiran madrasah telah dimulai sejak penyebaran Islam ke Tanah
Air. Pada masa tersebut berbagai model pendidikan Islam telah tumbuh
subur meskipun masih bersifat individual dan dalam bentuk yang
sederhana. Madrasah lahir dari model pendidikan tradisional, halaqah,
yang diadakan di surau, mesjid, dan langgar. Pesantren, sebagai model
awal pelembagaan pendidikan Islam sejak abad 13. istilah madrasah adalah
nama atau sebutan bagi sekolah agama Islam, tempat proses belajar
mengajar ajaran Islam secara formal yang mempunyai kelas (dengan sarana
antara lain, meja, bangku, dan papan tulis) dan kurikulum dalam bentuk
klasikal. lihat, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,Jilid 3 cet 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 105
[5] Kareel Steenbrink, Dutch Collonialism and Islam in Indonesia: Conflict and Contact 1596-1950. Edisi Indonesia oleh Suryan A. Jamrah. Bandung: Mizan, 1995. hal 103
[6]
Langkah Bupati R.A.A. Wiratanuningrat sangat moderat dalam menjalankan
perannya sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah Hindia Belanda.
Langkah maju beliau berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Bupati
Sumedang yang pada tahun 1924 mendirikan Sarekat Hejo. Bupati Sumedang tampaknya mengambil langkah “represif” untuk menekan gerakan Sarekat Islam (SI) dan golongan komunis Sarekat Ra’jat (SR). Dalam perjalannya, Sarekat Hejo
sering melakukan tindakan represif terhadap gerakan SR dan SI di
Sumedang. Lihat artikel Sarekat Hejo karya Muhammad Iskandar dalam Agus
Mulyana, dkk. Titik Balik Hostoriografi di Indonesia. (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008). Hal. 255-263 diambil seperlunya.
[7] Al-Imtisal, No. 18 1 Jumadil-akhir (7 Desember 1926), tahun ke 1.
[8] Al-Muchtar, No.15. 27 Desember 1933, tahun ke 1.
[9] Iip D. Yahya, hal 15
[10] Ibid, hal 16
[11] Al-Mawaidz no.15, 21 November 1933, tahun ke 1
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.