Ekonomi Rakyat Tasikmalaya 1900-1942
Oleh : Muhajir Salam
Pemerintah Hindia Belanda sangat berambisi untuk melakukan ekploitasi
ekonomi di seluruh wilayah Sukapura, terutama bagian selatan.
Sementara posisi kota Tasikmalaya sangat strategis menjadi sentra
perekonomian. Untuk kepentingan pengembangan ekploitasi ekonomi, pada
tahun 1901 Pemerintah Hindia Belanda memindahkan ibu kota Sukapura dari
manonjaya ke kota Tasikmalaya, yang pada masa itu masih wilayah
administrasi kabupaten Sumendang. Selain, kondisi wilayah Tasikmalaya
sangat fleksibel untuk dikembangkan menjadi pusat sirkulasi aktifitas
ekonomi. Selain pertimbangan geoekonomi, pemerintah Hindia Belanda
mempertimbangkan geopolitik Tasikmalaya sangat strategis, berada di
tengah-tengah jalur ketera api trans-Jawa.
Sejak tahun 1901, melalui Jalur Kereta Api Bandung-Jogjakarta, Tasikmalaya telah menjadi daerah terbuka yang terhubung dengan kota-kota penting di pulau Jawa. Sebagai kabupaten provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah, Tasikmalaya menjadi daerah yang sangat strategis baik secara politik maupun ekonomi. Stasion Banjar dan Kota Tasikmalaya adalah tempat transit yang sangat strategis untuk jalur lintasan Bandung-Jogjakarta. Dua stasion tersebut menjadi sentra aktifitas ekonomi dan bisnis rakyat Tasikmalaya.
Tasikmalaya adalah wilayah yang “sangat penting” dan “sangat kaya”. Pada tahun 1930, Tasikmalaya sudah memiliki 2 jalur trem yang panjangnya 450 Km,40 yaitu Jalur Banjar-Kalipucang-Parigi dan Trem Jalur Tasikmalaya-Singaparna. Tentu saja, kehadiran jalur kereta Api tidak terlepas dari ambisi eksploitasi pemerintah kolonial atas kekayaan alam di wilayah Tasikmalaya yang sangat subur dan kaya. Maka tak heran, pemerintah kolonial berani mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk mendanai Mega Project Jalur Kereta Trem Banjar-Parigi via Kalipucang sampe Cijulang pada tahun 1911-1921. Mega project itu telah menghabiskan dana tidak kurang dari f. 9.583.421,- [1] , angka yang sangat fantastis untuk pembangunan pada masa itu.
Catatan kolonial menyebutkan bahwa Jalur Kereta Banjar-Parigi-Cijulang direncanakan akan dikembangkan menyusuri pantai selatan melalui Cikalong-Cipatujah menuju Pameungpeuk, sampai akhirnya menuju Cibatu-Cikajang kabupaten Garut.[2] Tampaknya, pemerintah pada saat itu merencanakan untuk membuka wilayah Tasikmalaya bagian selatan menjadi daerah lintasan yang terhubung dengan Batavia dan Bandung. Sungguh, ini adalah cita-cita dan pemikiran pengembangan yang sangat maju untuk pengembangan daerah.
Fenomena di atas, memperkuat alasan ekonomis inisasiatif R.A.A. Wiratanuningrat yang membuka areal pertanian baru seluar 14.000 hektar di wilayah Banjar Tasikmalaya selatan. Tentu saja, pembukaan lahan baru itu bertujuan untuk meningkatkan perekonomian. Selain untuk memberdayakan ekonomi masyarakat seputar rawa Lakbok dan Rawa biyuk, juga ditujukan untuk tujuan memperkuat ketahanan pangan kabupaten Tasikmalaya. Sementara daerah Lakbok dan Biyuk itu dilalui oleh Jalur Tram Banjar-Kalipucang-Cijulang dan Jalur utama Kereta Api utama trans Jawa yang menghubungkan Batavia, Bandung, Tasikmalaya, Jogjakarta sampai Surabaya.
Proses pembangunan kota Tasikmalaya sebagai sentra perekonomian modern tentulah ditopang oleh aspek vital perkonomian yaitu permodalan. R.A.A. Wiratanuningrat berupaya mendorong laju pertumbuhan dan perkembangan indutri kecil dengan mendirikan Perkumpulan Duit Hadian (PHD) atau Bank Rakyat. Selain itu, Bupati aktif mengkapanyekan dan mempelopori pendirian koperasi dagang untuk pengusaha batik, tenun, payung, dan anyaman. Bahkan, khusus untuk pengusaha ternak, R.A.A. Wiratanuningrat mempelopori kumpulan Sangiang Kalang dan Lembu Andini. Upaya beliau diikuti oleh perhimpunan-perhimpunan yang tumbuh menjamur di Tasikmalaya, khusunya yang bergerak dibidang kesejahteraan ekonomi rakyat.
Selama tiga dekade pemerintahan Bupati R.A.A. Wiratanuningrat, kota Tasikmalaya menjadi sentra perdagangan beragam produk kreatif yang dihasilkan rakyat dari berbagai wilayah. Pada masa itu, konsentrasi kegiatan ekonomi rakyat di berbagai wilayah sudah terpetakan sesuai dengan potensinya. Rakyat Tasikmalaya menemukan wujud ragam aktifitas ekonomi yang mewarnai corak dan ke-khas-an daerahnya masing-masing. Sepuluh (10) kewadanaan di Kabupaten Tasikmalaya memiliki karakter dan ragam aktifitas ekonomi yang berbeda-beda. Realitas ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pemerintah kolonial. Berbagai dokumen kolonial pada masa itu selalu menjadikan fenomena aktifitas ekonomi kreatif ini menjadi fokus perhatian yang menjadikan Tasikmalaya memiliki daya pikat tersendiri. Tasikmalaya sangat populer dengan industri kerajinan sejak masa ini.
Wilayah selatan Tasikmalaya, Karangnunggal dan Cikatomas terkonsentrasi pada aktifitas penambangan mangaan dan tembaga yang dikelola perusahaan Eropa. Selain itu, aktifitas ekonomi masyarakat kidul terfokus pada hasil-hasil pertanian terutama buah-buahan seperti durian, dukuh, dll. Budidaya padi huma di wilayah ini berkembang dan sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat untuk menopang kesejahteraannya. Dokumen kolonial mencatat, dilwilayah Cikatomas dan Manonjaya banyak terdapat pabrik tadisional minyak sereh yang dimiliki oleh orang lokal dan warga Cina, dimana kapasitas produksinya mencapai 15.000 Kg per-bulan.[3]
Wilayah utara Tasikmalaya, mulai dari Ciawi sampai dengan Indihiang, rakyat terkonsentrasi pada budidaya padi sawah dan aneka produksi tanaman kelapa. Selain itu, rakyat disibukan dengan aktifitas industri aneka kerajinan anyaman, khusunya industri topi yang dijual ke Tangerang, tercatat 10.000 Kg per-bulan.[4]
Wilayah tengah Kota Tasikmalaya, aktifitas ekonomi rakyat terkonstrasi pada industri batik dan industri kerajinan payung. Dokumen kolonial mencatat, produk payung Tasikmalaya di ekspor ke seluruh kota-kota di pulau Jawa, sebagian ke Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Rakyat Tasikmalaya menjual payung ke seluruh bagian Indonsia tidak kurang dari 50.000 buah payung perbulan. Sementra di Singaparna, rakyat terkonsentrasi pada aktifitas industri kerajinan tenun dan anyaman rotan. Hasil industri rakyat yang terkenal daerah ini adalah kerajinan topi panama.[5]
Wilayah timur dan tenggara Tasikmalaya (Banjar, Cijulang, dan Pangandaran) aktifitas masyarakat lebih cenderung kepada budidaya padi dan hasil-hasil perkebunan. Berbagai data historis memperlihatkan berbagai aktifitas pembangunan irigasi pemerintah kolonial yang terkonsentrasi di wilayah ini. Maka, banyak sekali terdapat pabrik hasil tani seperti Tapioka, Karet, dll.
Transportasi darat (trem, bis, dan spoor), alat telekomunikasi (telpon dan telegraph), dan surat kabar menjadi media yang cukup efektif menjadikan kota Tasikmalaya sebagai sentra ekonomi di Priangan Timur. Ketersediaan jalan-jalan memadai transportasi membuat mudah akses distribusi hasil produksi dari berbagai wilayah ke Tasikmalaya. Jalur Tasikmala-Bandung melewati Singaparna dan Garut, dapat menggunakan bus (perusahaan ottobus Dients), atau juga kereta tram sampai Singaparna. Jalur Tasikmalaya-Cijulang melewati Manonjaya, Ciamis, Banjar, Pangandaran dapat menggunakan kereta api dan bus.
Jalur Tasikmalaya- Karangnunggal melewati Sukaraja dan Cibalong, dapat menggunakan trayek bus (perusahan ottobus Moy Sak, sampai karangnunggal hanya membutuhkan waktu 2 jam). Jalur Tasikmalaya Ciawi, melewati Indihiang dan Rajapolah, dapat menggunakan kereta api. Selain itu juga, pada tahun 20-40 an, geliat ekonomi tijunjukan dengan pemanfaat koran sebagai media advertisi. Keberadaan koran ini sangat membantu, dikarenakan jangkauan 11 koran asal Tasikmalaya ini menjangkau wilayah yang cukup luas sampai Batavia dan Surabaya. Demikianlah, media dan alat transportasi memfasilitasi perkembangan ekonomi kota Tasikmalaya sebagai jantung ekonomi Priangan Timur. Selain itu, untuk kepentingan perdagangan para pengusaha telah memanfaatkan telepon dan telegraf.
Pembangunan ekonomi kota Tasikmlaya tetap menggeliat ditengah krisis yang melanda negara-negara industri di seluruh penjuru dunia. Depresi ekonomi setelah kejatuhan Wallstreet pada bulan oktober 1929 telah membuat harga anjloknya harga ekspor produk-produk yang ekspor yang sebagian besar dari hasil pertanian. Krisis ini telah membawa kepada penurunan tingkat kesejahteraan rakyat. Hindia Belanda menerapkan kebijakan yang sangat protektif dengan membatasi ekspor dan impor hasil produksi ke pasar internasional. Perdagangan pun tidak lagi bergairah.[6]
Pengasilan pemerintah kolonial hanya mengandalkan dari pendapatan pajak. Kenaikan pajak menambah kesulitan rakyat pribumi. Rakyat yang sebagian besar buruh dan petani,[7] jelas-jelas menerima dampak langsung atas krisis. Banyak lahan pertanian terabaikan karena ditinggalkan. Ambisi pembangunan pusaran ekonomi Tasikmalaya selatan yang ditandai kandas. Rencana pembangunan rel kereta api dari Cijulang ke Pameungpeuk melalui Cipatujah kandas. Produksi kerajian batik Tasikmalaya yang merajai pasar nasional mulai melemah.
Depresi global dan krisis ekonomi baru betul-betul dirasakan di Tasikmalaya pada tahun 1938-39. Yaitu, pada saat dunia internasional, yang saban hari diberitakan media lokal, tengah dilanda kekacauan politik dan peperangan. Pada masa ini, rakyat Tasikmalaya benar-benar dihantui kemerosotan ekonomi. Kelaparan dan kesusahan yang diderita rakyat Bojonegoro menjadi perbincangan disemua kalangan. Anjuran hidup sederhana terus-menerus menjadi tema propaga media.[8] Terlebih, R.R. Tasikmalaya mengeluarkan peraturan pembatasan penyimpanan penyimpanan makan di kalangan orang-orang ekonomi menengah ke atas.
Pada tahun 1938-39-an, media lokal sesak dengan penganjuran pemertahanan ekonomi nasional dengan mendirikan koperasi-koperasi untuk memproteksi usaha rakyat.[9] Pengusaha dan perhimpunan yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi, beramai- ramai mendirikan koperasi. Alhasil, di kota Tasikmalaya tumbuh subur bank-bank koperasi yang didirikan secara swadaya oleh masyarakat. Karena pada saat yang sama rentenir menghantui kalangan ekonomi lemah. Koperasi menjadi betul-betul menjadi penopang ekonomi rakyat dalam situasi krisis. Wajarlah jika kemudian hari, Tasikmalaya dinobatkan sebagai kota Koperasi. Karena para pengusaha dan pengrajin kota Tasikmalaya telah menjadikan koperasi sebagai instrumen gerakan pembangunan ekonomi sejak zaman kolonial.
Sampai dengan tahun 39-an, meskipun didera oleh krisis, kota Tasikmalaya terus mengalami perubahan yang pesat, sebagaimana kora Balaka telah mempublikasi surat panimu yang berisi:
“TASIKMALAJA, 20 taoen. 1919-1939.
Sedari moentjoelnya Kantoor Burgerijk stand, amoepoen Regentschapraad provincie dan R.W. di Tasikmalaja tida maoe ketinggalan. Sedari taoen 1919 di Tasikmalaja moelai djalan mendiriken roemah-roemah moesti moendoer… Boekti jang mana Proviencie, Regentschapraad dan R.W. Tasikmalaja soedah atoer itoe djadi begitoe mentereng. Kita brani bilang dalem 20 tahoen jang laloe, itoe probahan boekan maen pestnja dibilang sadja kota Tasikmalaja dalem makmoer!. Tapi pihak dagang maoepoen toekang tani waktoe ini dalem cricis jang boekan main ngegroentoehnja… irrigatie soeda boeka itoe solokan2 dalem kota dan kampoeng2 nya ada begitoe netjis!. Dan balong2 jang ada dalem kota soereoh toetoep, perlu boeat djaga kesehatan poebliek. Inilah jang boeka balong boekan maen menggroetoehnja. Dan diwaktoe malem kita ada sedikit bikin pemandengan. Djalan sampe didepan bioscoop publiek banjak berkeroemoen dan ada politie mendjaga kendaraan jang bersliweran di itoe straat. Sebab itoe roemah bioscoop ada sempit pekarangannja. Apalagi itoe roemah bioscoop ada totogan djalan jang rame… Kota Tasikmalaja kaloe dibandingkan tida kalah pada afdeeling-afdeeling… kita poenja temen kagoem melihat keadaan gedong2 dan straat2 jang begitoe mentereng, maoepoen dalem kampoeng2 berentet-rentet gedong2 jang mentereng dan netjis dan straat2nja soeda diatoer begitoe rapi dan djalan-djalanan dibikin lebar. Kota Tasikmalaja akan doperloeaskan besarnja: Singaparnaweg teroesn sampe di Padajoengan, Manondjajaweg sampe Tjitjoeroeg, dan djalanan roemah sakit aken ditotos djalanan Manondjaja.”
Sejak tahun 1901, melalui Jalur Kereta Api Bandung-Jogjakarta, Tasikmalaya telah menjadi daerah terbuka yang terhubung dengan kota-kota penting di pulau Jawa. Sebagai kabupaten provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah, Tasikmalaya menjadi daerah yang sangat strategis baik secara politik maupun ekonomi. Stasion Banjar dan Kota Tasikmalaya adalah tempat transit yang sangat strategis untuk jalur lintasan Bandung-Jogjakarta. Dua stasion tersebut menjadi sentra aktifitas ekonomi dan bisnis rakyat Tasikmalaya.
Tasikmalaya adalah wilayah yang “sangat penting” dan “sangat kaya”. Pada tahun 1930, Tasikmalaya sudah memiliki 2 jalur trem yang panjangnya 450 Km,40 yaitu Jalur Banjar-Kalipucang-Parigi dan Trem Jalur Tasikmalaya-Singaparna. Tentu saja, kehadiran jalur kereta Api tidak terlepas dari ambisi eksploitasi pemerintah kolonial atas kekayaan alam di wilayah Tasikmalaya yang sangat subur dan kaya. Maka tak heran, pemerintah kolonial berani mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk mendanai Mega Project Jalur Kereta Trem Banjar-Parigi via Kalipucang sampe Cijulang pada tahun 1911-1921. Mega project itu telah menghabiskan dana tidak kurang dari f. 9.583.421,- [1] , angka yang sangat fantastis untuk pembangunan pada masa itu.
Catatan kolonial menyebutkan bahwa Jalur Kereta Banjar-Parigi-Cijulang direncanakan akan dikembangkan menyusuri pantai selatan melalui Cikalong-Cipatujah menuju Pameungpeuk, sampai akhirnya menuju Cibatu-Cikajang kabupaten Garut.[2] Tampaknya, pemerintah pada saat itu merencanakan untuk membuka wilayah Tasikmalaya bagian selatan menjadi daerah lintasan yang terhubung dengan Batavia dan Bandung. Sungguh, ini adalah cita-cita dan pemikiran pengembangan yang sangat maju untuk pengembangan daerah.
Fenomena di atas, memperkuat alasan ekonomis inisasiatif R.A.A. Wiratanuningrat yang membuka areal pertanian baru seluar 14.000 hektar di wilayah Banjar Tasikmalaya selatan. Tentu saja, pembukaan lahan baru itu bertujuan untuk meningkatkan perekonomian. Selain untuk memberdayakan ekonomi masyarakat seputar rawa Lakbok dan Rawa biyuk, juga ditujukan untuk tujuan memperkuat ketahanan pangan kabupaten Tasikmalaya. Sementara daerah Lakbok dan Biyuk itu dilalui oleh Jalur Tram Banjar-Kalipucang-Cijulang dan Jalur utama Kereta Api utama trans Jawa yang menghubungkan Batavia, Bandung, Tasikmalaya, Jogjakarta sampai Surabaya.
Proses pembangunan kota Tasikmalaya sebagai sentra perekonomian modern tentulah ditopang oleh aspek vital perkonomian yaitu permodalan. R.A.A. Wiratanuningrat berupaya mendorong laju pertumbuhan dan perkembangan indutri kecil dengan mendirikan Perkumpulan Duit Hadian (PHD) atau Bank Rakyat. Selain itu, Bupati aktif mengkapanyekan dan mempelopori pendirian koperasi dagang untuk pengusaha batik, tenun, payung, dan anyaman. Bahkan, khusus untuk pengusaha ternak, R.A.A. Wiratanuningrat mempelopori kumpulan Sangiang Kalang dan Lembu Andini. Upaya beliau diikuti oleh perhimpunan-perhimpunan yang tumbuh menjamur di Tasikmalaya, khusunya yang bergerak dibidang kesejahteraan ekonomi rakyat.
Selama tiga dekade pemerintahan Bupati R.A.A. Wiratanuningrat, kota Tasikmalaya menjadi sentra perdagangan beragam produk kreatif yang dihasilkan rakyat dari berbagai wilayah. Pada masa itu, konsentrasi kegiatan ekonomi rakyat di berbagai wilayah sudah terpetakan sesuai dengan potensinya. Rakyat Tasikmalaya menemukan wujud ragam aktifitas ekonomi yang mewarnai corak dan ke-khas-an daerahnya masing-masing. Sepuluh (10) kewadanaan di Kabupaten Tasikmalaya memiliki karakter dan ragam aktifitas ekonomi yang berbeda-beda. Realitas ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pemerintah kolonial. Berbagai dokumen kolonial pada masa itu selalu menjadikan fenomena aktifitas ekonomi kreatif ini menjadi fokus perhatian yang menjadikan Tasikmalaya memiliki daya pikat tersendiri. Tasikmalaya sangat populer dengan industri kerajinan sejak masa ini.
Wilayah selatan Tasikmalaya, Karangnunggal dan Cikatomas terkonsentrasi pada aktifitas penambangan mangaan dan tembaga yang dikelola perusahaan Eropa. Selain itu, aktifitas ekonomi masyarakat kidul terfokus pada hasil-hasil pertanian terutama buah-buahan seperti durian, dukuh, dll. Budidaya padi huma di wilayah ini berkembang dan sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat untuk menopang kesejahteraannya. Dokumen kolonial mencatat, dilwilayah Cikatomas dan Manonjaya banyak terdapat pabrik tadisional minyak sereh yang dimiliki oleh orang lokal dan warga Cina, dimana kapasitas produksinya mencapai 15.000 Kg per-bulan.[3]
Wilayah utara Tasikmalaya, mulai dari Ciawi sampai dengan Indihiang, rakyat terkonsentrasi pada budidaya padi sawah dan aneka produksi tanaman kelapa. Selain itu, rakyat disibukan dengan aktifitas industri aneka kerajinan anyaman, khusunya industri topi yang dijual ke Tangerang, tercatat 10.000 Kg per-bulan.[4]
Wilayah tengah Kota Tasikmalaya, aktifitas ekonomi rakyat terkonstrasi pada industri batik dan industri kerajinan payung. Dokumen kolonial mencatat, produk payung Tasikmalaya di ekspor ke seluruh kota-kota di pulau Jawa, sebagian ke Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Rakyat Tasikmalaya menjual payung ke seluruh bagian Indonsia tidak kurang dari 50.000 buah payung perbulan. Sementra di Singaparna, rakyat terkonsentrasi pada aktifitas industri kerajinan tenun dan anyaman rotan. Hasil industri rakyat yang terkenal daerah ini adalah kerajinan topi panama.[5]
Wilayah timur dan tenggara Tasikmalaya (Banjar, Cijulang, dan Pangandaran) aktifitas masyarakat lebih cenderung kepada budidaya padi dan hasil-hasil perkebunan. Berbagai data historis memperlihatkan berbagai aktifitas pembangunan irigasi pemerintah kolonial yang terkonsentrasi di wilayah ini. Maka, banyak sekali terdapat pabrik hasil tani seperti Tapioka, Karet, dll.
Transportasi darat (trem, bis, dan spoor), alat telekomunikasi (telpon dan telegraph), dan surat kabar menjadi media yang cukup efektif menjadikan kota Tasikmalaya sebagai sentra ekonomi di Priangan Timur. Ketersediaan jalan-jalan memadai transportasi membuat mudah akses distribusi hasil produksi dari berbagai wilayah ke Tasikmalaya. Jalur Tasikmala-Bandung melewati Singaparna dan Garut, dapat menggunakan bus (perusahaan ottobus Dients), atau juga kereta tram sampai Singaparna. Jalur Tasikmalaya-Cijulang melewati Manonjaya, Ciamis, Banjar, Pangandaran dapat menggunakan kereta api dan bus.
Jalur Tasikmalaya- Karangnunggal melewati Sukaraja dan Cibalong, dapat menggunakan trayek bus (perusahan ottobus Moy Sak, sampai karangnunggal hanya membutuhkan waktu 2 jam). Jalur Tasikmalaya Ciawi, melewati Indihiang dan Rajapolah, dapat menggunakan kereta api. Selain itu juga, pada tahun 20-40 an, geliat ekonomi tijunjukan dengan pemanfaat koran sebagai media advertisi. Keberadaan koran ini sangat membantu, dikarenakan jangkauan 11 koran asal Tasikmalaya ini menjangkau wilayah yang cukup luas sampai Batavia dan Surabaya. Demikianlah, media dan alat transportasi memfasilitasi perkembangan ekonomi kota Tasikmalaya sebagai jantung ekonomi Priangan Timur. Selain itu, untuk kepentingan perdagangan para pengusaha telah memanfaatkan telepon dan telegraf.
Pembangunan ekonomi kota Tasikmlaya tetap menggeliat ditengah krisis yang melanda negara-negara industri di seluruh penjuru dunia. Depresi ekonomi setelah kejatuhan Wallstreet pada bulan oktober 1929 telah membuat harga anjloknya harga ekspor produk-produk yang ekspor yang sebagian besar dari hasil pertanian. Krisis ini telah membawa kepada penurunan tingkat kesejahteraan rakyat. Hindia Belanda menerapkan kebijakan yang sangat protektif dengan membatasi ekspor dan impor hasil produksi ke pasar internasional. Perdagangan pun tidak lagi bergairah.[6]
Pengasilan pemerintah kolonial hanya mengandalkan dari pendapatan pajak. Kenaikan pajak menambah kesulitan rakyat pribumi. Rakyat yang sebagian besar buruh dan petani,[7] jelas-jelas menerima dampak langsung atas krisis. Banyak lahan pertanian terabaikan karena ditinggalkan. Ambisi pembangunan pusaran ekonomi Tasikmalaya selatan yang ditandai kandas. Rencana pembangunan rel kereta api dari Cijulang ke Pameungpeuk melalui Cipatujah kandas. Produksi kerajian batik Tasikmalaya yang merajai pasar nasional mulai melemah.
Depresi global dan krisis ekonomi baru betul-betul dirasakan di Tasikmalaya pada tahun 1938-39. Yaitu, pada saat dunia internasional, yang saban hari diberitakan media lokal, tengah dilanda kekacauan politik dan peperangan. Pada masa ini, rakyat Tasikmalaya benar-benar dihantui kemerosotan ekonomi. Kelaparan dan kesusahan yang diderita rakyat Bojonegoro menjadi perbincangan disemua kalangan. Anjuran hidup sederhana terus-menerus menjadi tema propaga media.[8] Terlebih, R.R. Tasikmalaya mengeluarkan peraturan pembatasan penyimpanan penyimpanan makan di kalangan orang-orang ekonomi menengah ke atas.
Pada tahun 1938-39-an, media lokal sesak dengan penganjuran pemertahanan ekonomi nasional dengan mendirikan koperasi-koperasi untuk memproteksi usaha rakyat.[9] Pengusaha dan perhimpunan yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi, beramai- ramai mendirikan koperasi. Alhasil, di kota Tasikmalaya tumbuh subur bank-bank koperasi yang didirikan secara swadaya oleh masyarakat. Karena pada saat yang sama rentenir menghantui kalangan ekonomi lemah. Koperasi menjadi betul-betul menjadi penopang ekonomi rakyat dalam situasi krisis. Wajarlah jika kemudian hari, Tasikmalaya dinobatkan sebagai kota Koperasi. Karena para pengusaha dan pengrajin kota Tasikmalaya telah menjadikan koperasi sebagai instrumen gerakan pembangunan ekonomi sejak zaman kolonial.
Sampai dengan tahun 39-an, meskipun didera oleh krisis, kota Tasikmalaya terus mengalami perubahan yang pesat, sebagaimana kora Balaka telah mempublikasi surat panimu yang berisi:
“TASIKMALAJA, 20 taoen. 1919-1939.
Sedari moentjoelnya Kantoor Burgerijk stand, amoepoen Regentschapraad provincie dan R.W. di Tasikmalaja tida maoe ketinggalan. Sedari taoen 1919 di Tasikmalaja moelai djalan mendiriken roemah-roemah moesti moendoer… Boekti jang mana Proviencie, Regentschapraad dan R.W. Tasikmalaja soedah atoer itoe djadi begitoe mentereng. Kita brani bilang dalem 20 tahoen jang laloe, itoe probahan boekan maen pestnja dibilang sadja kota Tasikmalaja dalem makmoer!. Tapi pihak dagang maoepoen toekang tani waktoe ini dalem cricis jang boekan main ngegroentoehnja… irrigatie soeda boeka itoe solokan2 dalem kota dan kampoeng2 nya ada begitoe netjis!. Dan balong2 jang ada dalem kota soereoh toetoep, perlu boeat djaga kesehatan poebliek. Inilah jang boeka balong boekan maen menggroetoehnja. Dan diwaktoe malem kita ada sedikit bikin pemandengan. Djalan sampe didepan bioscoop publiek banjak berkeroemoen dan ada politie mendjaga kendaraan jang bersliweran di itoe straat. Sebab itoe roemah bioscoop ada sempit pekarangannja. Apalagi itoe roemah bioscoop ada totogan djalan jang rame… Kota Tasikmalaja kaloe dibandingkan tida kalah pada afdeeling-afdeeling… kita poenja temen kagoem melihat keadaan gedong2 dan straat2 jang begitoe mentereng, maoepoen dalem kampoeng2 berentet-rentet gedong2 jang mentereng dan netjis dan straat2nja soeda diatoer begitoe rapi dan djalan-djalanan dibikin lebar. Kota Tasikmalaja akan doperloeaskan besarnja: Singaparnaweg teroesn sampe di Padajoengan, Manondjajaweg sampe Tjitjoeroeg, dan djalanan roemah sakit aken ditotos djalanan Manondjaja.”
Meskipun krisis melanda kota Tasikmalaya, namun agenda
pembangunan kota sebagai jantung bergeraknya roda-roda ekonomi dan
peradaban terus berdjalan. Sampai pada akhirnya, roda ekonomi
betul-betul mengalami masa yang paling hancur ketika datangnya
Penjajahan Jepang tahun 1942. Masa penjajahan Jepang, roda-roda ekonomi
kota Tasikmalaya betul-betul kelam.
[1] Agus Mulyana, Titik Balik Hostoriografi di Indonesia. (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008), hal 66
[2] D.G. Stibbe en Mr.Dr.F.J.W.H. Sandbergen. Encyclopaedie van Netherlandsch-Indie, Tweede Druk. („S- Gravenhage; Matinus Nijhoff, 1939), h.1651, lihat juga Agus Mulyana, hal 43-47 dimabil seperlunya
[3] Ibid hal h.1652
[4] ibid
[5] ibid
[6] Balaka, No. 11, 17 April 1939, tahunke 2 pagina 1
[7] Tawekal, No.95, 5 Mei 1938-5 Mulud 1357 tahun ke 3 pagina 1
[8] Balaka, No. 5, 10 Februari 1939, pagina 2
[8] Balaka, No. 5, 10 Februari 1939, pagina 2
[9] Balaka, No.6, 17 februari 1939, pagina 2
Dr. F. De Haan, Preanger: De Preanger-Regentschappen onder het Netherlansch Bestuur tot 1811. Uitgegeven Door het Bataviasch Genootschap van Kunseten en Wetenschappen, 1912.
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 fourth edition, edisi Indonesia oleh Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi, 2010.
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, Yogyakarta: Diva Press, 2011.
Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elit. Canberra: SAA Publication Series, 1979.
Clave Day, The Dutch in Java. New York: Oxford Univercity Press, 1966., The Dutch in Java. New York: Oxford Univercity Press, 1966.
H.D. Bastaman, Bupati di Priangan. (Bandung: Pusat Studi Sunda, 2004) Iip D. Yahya, Ajengan Cipasung: Biaografi KH. Moh. Ilyas Ruhiyat. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 206.
Tommy Christommy, Sign of The Wali: Narrative at the Sacred Sites in Pamijahan West Java. Canberra: ANU Press, 2008.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,Jilid 3 cet 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994)
Kareel Steenbrink, Dutch Collonialism and Islam in Indonesia: Conflict and Contact 1596-
1950. Edisi Indonesia oleh Suryan A. Jamrah. Bandung: Mizan, 1995.
Agus Mulyana, dkk. Titik Balik Hostoriografi di Indonesia. (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008).
Emuch Hermansoemantri, Sajarah Sukapura: Sebuah Telaah Filologis (Desertasi). Jakarta: Universitas Indonesia, 1979.
Miftahul Falah, Sejarah Kota Tasikmalaya 1820-1942. Uga Tatar Sunda & Yayasan Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Jawa Barat, 2010.
Sobana, Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, mencari alternatif tanggal. Diseminarkan padaSeminar Hari Jadi Tasikmalaya tanggal 16 Agustus 2004.
Daftar Pustaka
Joh. F. Senelleman, Encyclopedie van Netherlandsch-Indie, met Medewerking van Verschilnde Ambtenaren, Geleerden en Officirien, Vierde Deel. Leiden: Martinus Nijhoff – E.J. Brill, 1905
D.G. Stibbe en Mr.Dr.F.J.W.H. Sandbergen. Encyclopaedie van Netherlandsch-Indie, Tweede Druk. („S-Gravenhage; Matinus Nijhoff, 1939).Joh. F. Senelleman, Encyclopedie van Netherlandsch-Indie, met Medewerking van Verschilnde Ambtenaren, Geleerden en Officirien, Vierde Deel. Leiden: Martinus Nijhoff – E.J. Brill, 1905
Dr. F. De Haan, Preanger: De Preanger-Regentschappen onder het Netherlansch Bestuur tot 1811. Uitgegeven Door het Bataviasch Genootschap van Kunseten en Wetenschappen, 1912.
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 fourth edition, edisi Indonesia oleh Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi, 2010.
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, Yogyakarta: Diva Press, 2011.
Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elit. Canberra: SAA Publication Series, 1979.
Clave Day, The Dutch in Java. New York: Oxford Univercity Press, 1966., The Dutch in Java. New York: Oxford Univercity Press, 1966.
H.D. Bastaman, Bupati di Priangan. (Bandung: Pusat Studi Sunda, 2004) Iip D. Yahya, Ajengan Cipasung: Biaografi KH. Moh. Ilyas Ruhiyat. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 206.
Tommy Christommy, Sign of The Wali: Narrative at the Sacred Sites in Pamijahan West Java. Canberra: ANU Press, 2008.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,Jilid 3 cet 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994)
Kareel Steenbrink, Dutch Collonialism and Islam in Indonesia: Conflict and Contact 1596-
1950. Edisi Indonesia oleh Suryan A. Jamrah. Bandung: Mizan, 1995.
Agus Mulyana, dkk. Titik Balik Hostoriografi di Indonesia. (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008).
Emuch Hermansoemantri, Sajarah Sukapura: Sebuah Telaah Filologis (Desertasi). Jakarta: Universitas Indonesia, 1979.
Miftahul Falah, Sejarah Kota Tasikmalaya 1820-1942. Uga Tatar Sunda & Yayasan Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Jawa Barat, 2010.
Sobana, Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, mencari alternatif tanggal. Diseminarkan padaSeminar Hari Jadi Tasikmalaya tanggal 16 Agustus 2004.
Terimakasih infonya
ReplyDeletehttps://bit.ly/2BNM9ab