Era Kejayaan Tasikmalaya di Tangan Bupati RA. Wiratanoeningrat (1908-1937)
Oleh: Muhajir Salam
Sebelum berganti nama, Tasikmalaya adalah salah satu bagian wilayah
kabupaten Sukapura. Berdasarkan reorganisasi dalam ind.stb. 1931 no.425
yang diundangkan pada tanggal 1 November 1931, Tasikmalaya dan Ciamis
yang termasuk bagian dari Residen Priangan Timur, masuk menjadi bagian
wilayah Residen Priangan Provinsi Jawa Barat. Tasikmalaya adalah
kabupaten paling timur residen Priangan, dengan hamparan luas wilayah
4.608 KM2.[1]
Pada tahun 1931, batas wilayah Kabupaten Tasikmalaya adalah, sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Garut; sebelah selatan adalah samudra
Hindia; bentangan sungai Citanduy disebelah utara adalah batas
Tasikmalaya dengan Kabupaten Ciamis dan Majalengka; sementara bentangan
Citanduy di sebelah timur adalah batas Tasikmalaya dengan Jawa Tengah.[2]
Pemerintahan Tasikmalaya era RA. Wiratanoeningrat
Pada tahun 1930, Kabupaten Tasikmalaya dipimpin oleh Bupati RA.
Wiratanoeningrat, adalah sosok bupati yang memiliki prestasi yang
mengagumkan dalam pentas sejarah pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya. RA.
Wiratanoeningrat menjabat bupati Tasikmalaya sejak tahun 1908. Dalam
menjalankan roda pemerintahannya, RA. Wiratanoeningrat dibantu oleh,
seorang Patih, bernama R. Rangga Wiriadinata; Pejabat Bupati Kelas I, R.
Kosasih Soerakoesoemah; dan Pembatu sekretaris bupati, R.
Hardjadiparta.[3]
Di bawah pimpinan RA. Wiratanoeningrat, kabupaten Tasikmalaya terbagi menjadi 10 Distrik (kawadanaan), meliputi; Kawadanaan Tasikmalaya dipimpin oleh R. Adikoesoemah; Kawadanaan Tjiawi dipimpin oleh R. Kandoeroean Soemadipradja; Kawadanaan Manondjaja dipimpin oleh R. Martahadisoerja; Kawadanaan Singaparna dipimpin oleh R. Wiradipoetra; Kawadanaan Taradjoe dipimpin oleh R. Koesnidar; Kawadanaan Karangnoenggal dipimpin oleh R. Naipin; Kawadanaan Tjikatomas dipimpin oleh R. Soemadiningrat; Kawadanaan Bandjar dipimpin oleh R. Rangga Mohammad Soeria Nata Nagara; Kawadanaan Pangandaran dipimpin oleh R. Prawirasastra; dan Kawadanaan Tjijoelang dipimpin oleh R. Somawirja.[4]
Kemajuan Budaya dan Peradaban Tasikmalaya di Awal Abad Modern
Pada masa pemerintahannya, RA. Wiratanoeningrat telah berhasil
meletakan fondasi kemajuan budaya dan peradaban Rakyat Tasikmalaya.
Ditangan RA. Wira Tanoe Ningrat, Tasikmalaya menoreh kegemilangan yang
belum bisa terdandingi dalam pentas sejarah rakyat Tasikmalaya. RA. Wira
Tanoe Ningrat bisa disebut “Bapak Modernisasi Priangan”. Kemajuan
Tasikmalaya pada masa RA. Wiratanoeningrat diantaranya adalah:
Pertama, bidang pembangunan, sejarah mencatat pesatnya laju
pembangunan Tasikmalaya ditandai dengan terealisirnya “mega-project”
sarana transportasi yang membuka daerah-daerah pedalaman Tasikmalaya.[5]
Pembangunan banyaknya sarana irigasi untuk pengairan lahan pertanian.
Pembangunan fasilitas publik seperti lapangan Olahraga Dadaha dan
Pacuan Kuda.
Kedua, bidang pendidikan, ditandai dengan banyak berdirinya
sekolah-sekolah rakyat seperti HIS/MULO Pasundan, Kautamaan Istri, Taman
Siswa, Muhammadiyah, dll.[6]
Ketiga, bidang Sosial Keagamaan, bersama para ulama
Tasikmalaya, RA. Wiratanoeningrat mendirikan sebuah perkumpulan
Pemerintah dan Ulama yang dinamai Idharu Baitil Mulukki wal Umaro.[7]
Atas dukungan RA. Wiratanoeningrat, pada masa ini banyak berkembang
organisasi-organisasi masyarakat seperti Pagoejoeban Pasoendan,
Nahdatoel Oelama, Moehammadiyah, Ching Huwa Ching Huwi (CH-CH), Hizboel
Waton, Pemuda Anshor dll.[8]
Keempat, bidang Ekonomi, untuk mendorong laju pertumbuhan
dan perkembangan indutri kecil, RA. Wiratanoeningrat mendirikan
Perkumpulan Duit Hadian (PHD) atau Bank Rakyat. Selain itu, Bupati
mendirikan koperasi-koperasi Dagang untuk pengusaha Batik, tenun, dan
anyaman. Khusus untuk pengusaha ternak, RA. Wiratanoeningrat mendirikan
kumpulan Sangiang Kalang dan Lembu Andini.[9]
Kelima, bidang Media dan Jurnalistik. Pada masa RA.
Wiratanoeningrat media cetak koran dan majalah berkembang pesat di
Tasikmalaya. Bisa dikatakan, Tasikmalaya merupakan pelopor dalam
perkembangan media di Jawa Barat. Bupati RA. Wiratanoeningrat sendiri
telah membidani terbitnya sebuah majalan keagamaan bernama al-Imtisal.
Namun, yang paling monumental adalah koran Sipatahoenan, tahun 1924,
yang digagas oleh Soetisna Sendjaya dan didukung Paguyuban Pasundan.
Pada masa itu, media dimanfaatkan sebagai corong gerakan intelektual,
wahana gagasan kritis terhadap pemerintah kolonial, selain itu juga
dimanfaatkan sebagai wahana informasi bisnis dan perekonomian. Selain
sipatahoenan, penulis menemukan banyak koran lainnya yang terbit di
Tasikmalaya seperti Tawakal (1936), Balada (1939), Toembal (1938), Lembana (1938), Timbangan (1939)
Komitmen Bupati RA. RA. Wiratanoeningrat untuk Kesejahteraan Rakyat
Bupati RA. Wiratanoeningrat memiliki komitmen yang tinggi untuk
kesejahteraan Rakyat Tasikmalaya. Pada masa pemerintahanya, beliau
mendirikan Panti Fakir Miskin yang dibiayai dari hasil pungutan zakat
fitrah yang diambil dari keluarga bupati dan para pengusaha di
Tasikmalaya. Ketertinggalan dan buruknya kesejahteraan rakyat di
tenggara Tasikmalaya menjadi perhatian khusus RA. Wiratanoeningrat.
Berbagai catatan sejarah baik lokal maupun kolonial banyak
menginformasikan mengenai pembukaan lahan pertanian rawa Lakbok dan rawa
Bijoek di sebelah timur Tasikmalaya. Salah satu dokumen Belanda
mencatat prestasi Bupati RA. Wiratanoeningrat yang telah merubah Rawa
Lakbok dan Rawa Bijoek menjadi lahan pertanian seluas 14.000 ha dengan
peralatan tradisonal alakadarnya.[10] Peristiwa monumental ini dicatat rapih oleh R. Muhammad Sabri Wiraatmadja dalam sebuah naskah “Ngabukbak Lakbok”.
Bupati RA. Wiratanoeningrat memimpin langsung proses prubahan Rawa
Lakbok menjadi lahan pertanian. Dalam catatan M. Sabri Wiraatmadja,
disebutkan perubahan rawa tersebut membutuhkan waktu 12 tahun, dimulai
dari tahun 1925 sampai dengan Bupati RA. Wiratanoeningrat meninggal
tahun 1937. Peristiwa monumental ini menjadi simbol komitmen Bupati
untuk kesejahteraan rakyat Tasikmalaya pada masa itu. Bahkan setelah
Rawa Lakbok berhasil dirubah menjadi lahan pertanian, Bupati RA.
Wiratanoeningrat membagikan tanah tersebut kepada rakyat Tasikmalaya
Timur dan orang-orang Jawa pendatang dimanfaatkan meningkatkan
kesejahteraan hidupnya.[11]
Dinamika Populasi Rakyat: Fenomena Pertumbuhan Orang Eropa dan China di Tasikmalaya
Sejak Tahun 1900, di Tasikmalaya sudah terjadi dialog budaya dan
peradaban Sunda, Eropa dan China. Pemicunya adalah pertumbuhan migrasi
bangsa Eropa dan Cina ke Tasikmalaya. Berdasarkan data sensus pada tahun
1930[12],
penduduk Tasikmalaya berjumlah 886.973 orang, termasuk diantaranya 658
orang Eropa dan 4.617 orang China. Pertambahan jumlah penduduk Eropa dan
China di Tasikmalaya dalam tiga dekade berkembang sangat pesat. Hal
tersebut, bisa dibandingkan dengan data penduduk tahun 1900, dimana
warga Eropa hanya berjumlah 94 orang; dan warga China hanya berjumlah
371 orang.[13]
Fakta pesatnya pertumbuhan jumlah warga Asing di Tasikmalaya seiring
dengan semakin pesatnya aktifitas pembangunan dan aktifitas ekonomi di
Tasikmalaya pada tahun 30-an. Hal tersebut didorong oleh, pertama,
perkembangan alat transportasi dan komunikasi yang ditandai dengan
terbangunnya jalur kereta Api yang telah membuka dan menghubungkan
Tasikmalaya dengan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa; kedua, meningkatnya
aktifitas pembangunan prasarana fisik pemerintah kolonial di wilayah
Tasikmalaya, baik jalan, irigasi, kereta api, perusahaan tambang,
perusahaan perkebunan, dan fasilitas publik lainnya; ketiga, kebijakan kolonial yang membuka akses pendidikan untuk rakyat inlanders telah membuka cakrawala dan budaya baru inlanders yang lebih inklusif; Keempat pertumbuhan media lokal Tasikmalaya, seperti Sipatahoenan, Balaka, Timbangan, Toembal, dll.; kelima, faktor
politik internasional Revolusi China dan Perang Dunia memicu gelombang
eksodus besar-besaran ke pelosok pulau Jawa. Tentu saja banyak
argumentasi lain yang dapat dijadikan alasan atas fenomena ini.
Perkembangan Alat Transportasi: Antara Visi Pengembangan dan Ambisi Ekploitasi
Sejak tahun 1901, melalui Jalur Kereta Api Bandung-Jogjakarta,
Tasikmalaya telah menjadi daerah terbuka yang terhubung dengan kota-kota
penting di pulau Jawa. Sebagai kabupaten provinsi Jawa Barat yang
berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah, Tasikmalaya menjadi
daerah yang sangat strategis baik secara politik maupun ekonomi. Stasion
Banjar dan Kota Tasikmalaya adalah tempat transit yang sangat strategis
untuk jalur lintasan Bandung-Jogjakarta. Dua stasion tersebut menjadi
sentra aktifitas ekonomi dan bisnis rakyat Tasikmalaya.
Tasikmalaya adalah wilayah yang “sangat penting” dan “sangat kaya”.
Pada tahun 1930, Tasikmalaya sudah memiliki 2 jalur trem yang panjangnya
450 Km,[14]
yaitu Jalur Banjar-Kalipucang-Parigi dan Trem Jalur
Tasikmalaya-Singaparna. Tentu saja, kehadiran jalur kereta Api tidak
terlepas dari ambisi eksploitasi pemerintah kolonial atas kekayaan alam
di wilayah Tasikmalaya yang sangat subur dan kaya. Maka tak heran,
pemerintah kolonial berani mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk
mendanai Mega Project Jalur Kereta Trem Banjar-Parigi via Kalipucang
sampe Cijulang pada tahun 1911-1921. Mega project itu telah menghabiskan
dana tidak kurang dari f. 9.583.421,-[15] , angka yang sangat fantastis untuk pembangunan pada masa itu.
Berbagai catatan kolonial menyebutkan bahwa Jalur Kereta
Banjar-Parigi-Cijulang direncanakan akan dikembangkan menyusuri pantai
selatan melalui Cikalong-Cipatujah menuju Pameungpeuk, sampai akhirnya
menuju Cibatu-Cikajang kabupaten Garut.[16]
Tampaknya, pemerintah pada saat itu merencanakan untuk membuka wilayah
Tasikmalaya bagian selatan menjadi daerah lintasan yang terhubung dengan
Batavia dan Bandung. Sungguh, ini adalah cita-cita dan pemikiran
pengembangan yang sangat maju untuk pengembangan daerah. Dinamika
perencanaan pembangunan ini terjadi pada masa pemerintahan RA.
Wiratanoeningrat.
Ragam Lokalitas, Aktifitas Ekonomi Kreatif Rakyat Tasikmalaya
Pada masa pemerintahan Bupati RA. Wiratanoeningrat, rakyat
Tasikmalaya menemukan wujud ragam aktifitas ekonomi yang mewarnai corak
dan ke-khas-an daerahnya masing-masing. 10 kewadanaan di Kabupaten
Tasikmalaya memiliki karakter dan ragam aktifitas ekonomi yang
berbeda-beda. Realitas ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pemerintah
kolonial. Berbagai dokumen kolonial pada masa itu selalu menjadikan
fenomena aktifitas ekonomi kreatif ini menjadi fokus perhatian yang
menjadikan Tasikmalaya memiliki daya pikat tersendiri. Tasikmalaya
sangat populer dengan industri kerajinan sejak masa ini.
Wilayah selatan Tasikmalaya, Karangnunggal dan Cikatomas
terkonsentrasi pada aktifitas penambangan mangaan dan tembaga yang
dikelola perusahaan Eropa. Selain itu, aktifitas ekonomi masyarakat kidul
terfokus pada hasil-hasil pertanian terutama buah-buahan seperti
durian, dukuh, dll. Budidaya padi huma di wilayah ini berkembang dan
sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat untuk menopang
kesejahteraannya. Dokumen kolonial mencatat, dilwilayah Cikatomas dan
Manonjaya banyak terdapat pabrik tadisional minyak sereh yang dimiliki
oleh orang lokal dan warga Cina, dimana kapasitas produksinya mencapai
15.000 Kg per-bulan.[17]
Wilayah utara Tasikmalaya, mulai dari Ciawi sampai dengan Indihiang,
rakyat terkonsentrasi pada budidaya padi sawah dan aneka produksi
tanaman kelapa. Selain itu, rakyat disibukan dengan aktifitas industri
aneka kerajinan anyaman, khusunya industri topi yang dijual ke
Tangerang, tercatat 10.000 Kg per-bulan.[18]
Wilayah tengah Kota Tasikmalaya, aktifitas ekonomi rakyat
terkonstrasi pada industri batik dan industri kerajinan payung. Dokumen
kolonial mencatat, produk payung Tasikmalaya di ekspor ke seluruh
kota-kota di pulau Jawa, sebagian ke Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
Rakyat Tasikmalaya menjual payung ke seluruh bagian Indonsia tidak
kurang dari 50.000 buah payung perbulan. Sementra di Singaparna, rakyat
terkonsentrasi pada aktifitas industri kerajinan tenun dan anyaman
rotan. Hasil industri rakyat yang terkenal daerah ini adalah kerajinan
topi panama.[19]
Wilayah timur dan tenggara Tasikmalaya (Banjar, Cijulang, dan
Pangandaran) aktifitas masyarakat lebih cenderung kepada budidaya padi
dan hasil-hasil perkebunan. Berbagai data historis memperlihatkan
berbagai aktifitas pembangunan irigasi pemerintah kolonial yang
terkonsentrasi di wilayah ini. Maka, banyak sekali terdapat pabrik hasil
tani seperti Tapioka, Karet, dll.[20]
Penulis adalah dosen Sejarah Peradaban Islam di STAI Tasikmalaya, dan peneliti Soekapoera Institute
[1] D.G. Stibbe en Mr.Dr.F.J.W.H. Sandbergen. Encyclopedie van Netherlandsch-Indie, Tweede Druk. (‘S-Gravenhage; Matinus Nijhoff, 1939), h.1651.
[2] ibid
[3] Lihat, Regreerings Almanak voor Nederlansch-Indie 1931, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia. (Batavia: Landsdrukkerij, 1931) h. 345
[4] ibid
[5]
Lihat, Photo Pembangunan Jembatan Rel Kereta Api Banjar-Parigi dalam
COLLECTIE TROPENMUSEUM: Arbeiders poseren op een in aanbouw zijnde
spoorbrug op de lijn Bandjar-Parigi
[6] Lihat Catatan Sejarah Sukapura, Susunan Silsilah, Silsilah & Cuplikan Hikayat, Silsilah dan Keturunan. Bandung: Kumpulan Wargi Sukapura, 2002). Hal 5-6 diambil seperlunya
[7] ibid
[8] ibid
[9] ibid
[10] D.G. Stibbe en Mr.Dr.F.J.W.H. Sandbergen. h.1652
[11] H.D. Bastaman, Bupati di Priangan. (Bandung: Pusat Studi Sunda, 2004), hal 68 -70 diambil seperlunya
[12] D.G. Stibbe h.1651
[13] Joh. F. Senelleman, Encyclopedie van Netherlandsch-Indie, met Medewerking van Verschilnde Ambtenaren, Geleerden en Officirien, Vierde Deel. Leiden: Martinus Nijhoff – E.J. Brill, 1905. H. 284
[14] iibid
[15] Lihat, Agus Mulyana, Titik Balik Hostoriografi di Indonesia. (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008), hal 66
[16] Lihat D.G. Stibbe h.1651, lihat juga Agus Mulyana, hal 43-47 diambil seperlunya
[17] D.G. Stibbe h.1652
[18] ibid
[19] ibid
[20] Lihat Photo Pabrik Taipoka di Bandjar dalam COLLECTIE TROPENMUSEUM Tapiocafabriek in Bandjar TMnr 60016893
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.