Sanghyang Rancasan & Asal Usul Panakawan
Kisah ini berbeda dengan riwayat atau silsilah panakawan pada
umumnya, namun ini menambah perbendaharaan dan memperkaya kisah tentang
“dewa serta panakawan” dalam pewayangan.
Diterjemahkan bebas dari Karya R.U.Partasuwanda, Dalang masyhur pada
jamannya dekade 1950 – 1970, dengan ciptaannya “wayang golek moderen” :
Sanghyang Rantjasan sebuah lakon “carangdinapur” , pada buku terjemahannya ke basa Sunda – karya Ronggo Warsito: “Wisnu Nitis-Pustaka Raja Purwa”
Sanghyang Rantjasan sebuah lakon “carangdinapur” , pada buku terjemahannya ke basa Sunda – karya Ronggo Warsito: “Wisnu Nitis-Pustaka Raja Purwa”
Lakon ini dipentaskan oleh sepuluh dalang ternama di Jawa Barat –
dalam rangka perayaan 40 tahun harian SIPATAHOENAN pada tahun 1962
Menurut versi pewayangan Sunda, Sanghyang Rancasan adalah anak
Sanghyang Tunggal, berbagai versi yang menceritakan tentang Sanghyang
Rancasan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai putra sulung Sanghyang
Tunggal.
Sebagai anak dari penguasa Kahyangan sudah jelas mempunyai ilmu dan
kesaktian sangat tinggi. Hampir seluruh kesaktian yang dimiliki oleh
ayahnya dikuasainya, hanya saja yang menjadi ganjalan selama ini adalah
sikap dari ayah bundanya yang kelihatan lebih memperhatikan dan
menyayangi adik bungsunya Sanghyang Manikmaya.
Terlebih lagi sikap Sanghyang Manikmaya yang terkadang tidak terlalu mempedulikannya sebagai saudara tua.
Lama-kelamaan perasaan iri yang tersimpan dalam hatinya semakin membesar dan menyelimuti akal sehatnya.
Sebagai anak tertua sudah sewajarnya jika Sanghyang Rancasan memendam
hasrat untuk meneruskan kepemimpinan ayahnya di Kahyangan. Hanya saja
melihat sikap adik bungsunya yang terlihat ingin menjadi raja di
Kahyangan dan curahan kasih sayang yang dirasakan olehnya kurang
adil.Maka rasa resah dan gundah selalu saja menyelimuti hatinya.
Suatu hari Sanghyang Rancasan merenung jika seandainya tahta tersebut
tidak didapatkannya, maka dia tidak akan mempunyai kedudukan yang
dirasakan sudah menjadi haknya.
Oleh karena itu, dia harus mempunyai tempat yang sama dengan
Kahyangan yang didiaminya saat ini. Selanjutnya tanpa pamit kepada kedua
orang tuanya apalagi kepada adik-adiknya. Setelah menempuh perjalanan
beberapa lama akhirnya dia menemukan tempat yang dianggapnya cocok,
tempat itu letaknya ditengah-tengah antara Kahyangan dengan dunia tengah
atau marcapada.
Dengan kesaktiannya Sanghyang Rancasan menciptakan sebuah tempat
tandingan Kahyangan yang lebih indah sebagai tempat tinggalnya.
Keberadaan kahyangan tandingan tersebut membuat gempar di Kahyangan
tempat para dewa bersemayam , yang disebut Kahyangan Tunjungbiru.
Sanghyang Manikmaya diangkat menjadi Penguasa Suralaya oleh Sanghyang Tunggal, dengan gelar Sanghyang Jagatnata.
Pada suatu ketika Sanghyang Jagatnata berkata kepada Sanghyang
Narada, bahwa semua ahli waris Kahyangan, semua telah menyatakan
kesetiaan dan tunduk kepadanya, seperti semua anak-anak dari Sanghyang
Darmajaka, yaitu Sanghyang Darmanasidi, Sanghyang Trijata, Sanghyang
Caturkanaka dan Sanghyang Pancaresi,ayah Sanghyang Narada. Juga
anak-anak Sanghyang Toya, yaitu Sanghyang Parma beserta anak-anaknya
Sanghyang Winata, Sanghyang Adli, Sanghyang Kapa dan Sanghyang Kuwera.
Selain itu semua putra Sanghyang Hening yang menjadi empu, putra Dewi
Yati, bangsa Naga. Bahkan semua Putra Sanghyang Tunggal dari dari Dewi
Rekatawati yang merupakan kakak Sanghyang Jagatnata yaitu Sanghyang
Antaga dan Sanghyang Ismaya, keduanya tinggal di Kahyangan Sunyaruri,
semua putra Sanghyang Tunggal dari Dewi Darmani yaitu Sanghyang Ludra,
Sanghyang Dewanjali dan Sanghyang Darmastuti, kecuali putra bungsunya
Sanghyang Rancasan yang tidak mau tunduk.
Sanghyang Rancasan diajak bergabung di Suralaya, namun selalu menolak.
Sanghyang Jagatnata mengutus Sanghyang Narada bersama tentara kadewan
orandhaka ke Kahyangan Tunjungbiru, memita agar Sanghyang Rancasan
tunduk. Namun jawaban Sanghyang Rancasan, menyatakan bahwa ia lebih
tua, sebagai putra Sanghyang Tunggal dari Dewi Darmani – istri pertama
Sanghyang Tunggal dan juga turunan dari Sanghyang Nurrasa, sedangkan
Sanghyang Manikmaya adalah putra dari Dewi Rakatawati keturunan
Sanghyang Yuyut.
Sanghyang Narada menjelaskan bahwa yang seharusnya merajai Kayangan
adalah dia yang menerima Tirta Kamandanu, Latamaosandi, Sosotya
Retnadumilah serta Pustaka Darya, dan itu sudah dikuasai oleh Sanghyang
Manikmaya. Sanghyang Rancasan menjelaskan bahwa selain keempat pusaka
yang menjadi syarat raja Tribuana, ada satu pusaka yang dikuasainya yang
lebih hebat dari dari keempat pusaka itu, yaitu Layang Kalimasada yang
diwariskan kepada Sanghyang Rancasan dari Sanghyang Wenang. Layang
Kalimasada ini jika dibaca oleh manusia, akan menjadi mulia hidupnya
malah segala kesaktian Dewa itupun tak dapat menandingi kesaktian Layang
Kalimasada.
Sanghyang Narada mempersilakan Sanghyang Rancasan tidak tunduk kepada
Sanghyang Jagatnata, tetapi meminta Layang Kalimasada dapat diserahkan
kepada Sanghyang Jagatnata. Namun Sanghyang Rancasan tetap tidak mau
menyerahkan apapun dan tidak mau tunduk. Maka digempurlah sanghyang
Rancasan oleh tentara kadewan Dorandaka – disertai guntur, tetapi
sanghyang Rancasan tetp tidak dapat dikalahkan. Akhirnya Sanghyang
Narada mundur dan kembali ke Suralaya.
Dari laporan Sanghyang Narada serta melihat kesaktian Pusaka Jamus
Layang Kalimasada, maka Sanghyang Jagatnata menggunakan Ajian Pustaka
Darya, untuk mencari tahu cara mengalahkan Sanghyang Rancasan, dan dari
wahyu yang didapatnya, yang bisa mendapatkan Pusaka Jamus Layang
Kalimasada itu hanyalah kakaknya Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya.
Maka Sanghyang Manikmaya mengutus Sanghyang Narada ke Kahyangan
Sunyaruri meminta agar Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya untuk
merebut Pusaka itu.
Di Kahyangan Sunyaruri Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya tengah
berbincang perihal mimpi mereka yaitu hilangnya Kahyangan Sunyaruri,
menjadi gelap dan tidak terlihat lagi. Sanghyang Antaga menyatakan mimpi
dirinya menjadi mirip anjing sedangkan Sanghyang Ismaya menjadi
binatang mirip kucing tanpa bulu. Yang ditakwilkan bahwa mereka akan
bersalin rupa dan perilaku serta tidak aka tinggal lagi di Kahiangan.
Tidak lama muncullah Sanghyang Narada meminta bantuan utnuk menaklukan
Sanghyang Rancasan.
Awalnya Sanghyang Ismaya kurang sependapat dan ingin menanyakannya
langsung kepada Sanghyang Rancasan, hanya saja Sanghyang Manikmaya
terus-menerus mengatakan bahwa sudah tidak mungkin untuk berdialog lagi
dengan Sanghyang Rancasan, apalagi setelah Sanghyang Antaga terpengaruh
maksud tersebut diurungkan dan mereka bertiga langsung menuju ke tempat
Sanghyang Rancasan.
Setibanya ditempat Sanghyang Rancasan terjadi perang mulut diantara
kakak beradik itu, akhirnya terjadi perang-tanding yang mengakibatkan
tempat tersebut rusak berat.
Setelah bertarung beberapa lama terlihat kesaktian Sanghyang Rancasan
lebih tinggi dari Sanghyang Antaga dan Sanghyang Manikmaya.
Kesaktiannya hanya bisa diimbangi oleh Sanghyang Ismaya.
Akhirnya terjadilah pembicaraan antara Sanghyang Ismaya dan Sanghyang Rancasan.
“Mengapa sebabnya Pusaka Jamus Layang Kalimasada tidak mau diserahkan?” tanya Sanghyang Ismaya
“Pusaka ini lebih sakti daripada pusaka-pusaka yang dimiliki
Sanghyang Manikmaya, serta pusaka ini tidak dapat dimiliki Sanghyang
Manikmaya, serta hanya manusia yang bersih dan suci hatinya yang bisa
memiliki pusaka ini”, jawab Sanghyang Rancasan.
Kemudian Sanghyang Ismaya menyatakan ingin melihat pusaka, lalu
Sanghyang Rancasan memperlihatkan Pusaka tersebut, mendadak Sanghyang
Ismaya menarik tangan kanan Sangyang Rancasan, Sanghyang Antaga melompat
dan menyambar tangan kiri Sanghyang Rancasan. Sanghyang Ismaya kaget
bukan kepalang melihat hal tersebut, tetapi terlambat Sanghyang Antaga
sudah menarik tangan kiri Sanghyang Rancasan dengan sangat kencang.
Tarikan yang disertai dengan ilmu yang dimilikinya menyebabkan tubuh Sanghyang Rancasan terbelah menjadi dua, meleleh dan moksa.
Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Sanghyang Rancasan berujar
akan selalu memburu Sanghyang Ismaya kemanapun sampai kapanpun.
Terdengar suara tanpa rupa: “Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya,
hidup kalian merugi, karena mendurhakai saudara tua, kesaktian kalian
lenyap dan hanya dapat digunakan jika perlu saja.. Silakan Pusaka itu
menjadi bagian kalian yang sanggup mmemilikinya, namun tak ada yang
dapat memeliharanya, ada Raja yang bisa memilik pusaka itu, namun raja
itu selamanya berada dalam sengsara…”
Disaat Sanghyang Ismaya dan Sanghyang Antaga tertegun dan menyesali
kejadian yang baru saja berlalu, Sanghyang Manikmaya melapor kepada
Sanghyang Tunggal bahwa Sanghyang Rancasan mati ditangan Sanghyang
Ismaya dan Sanghyang Antaga. Sebetulnya Sanghyang Tunggal sudah waspada,
dan menyesalkan sikap anak-anaknya yang terlalu terbawa nafsu dan tidak
bisa berpikir jernih.
Saat Sanghyang Tunggal bertanya kejadian sampai meninggalnya
Sanghyang Rancasan kepada mereka Sanghyang Ismaya dan Sanghyang Antaga
saling menyalahkan, sehingga Sanghyang Tunggal murka dan berkata mereka
itu tidak ubahnya kucing dengan anjing, selalu saja bertengkar dan
saling menyalahkan.
Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya menangis karena supata ayah dan
kakaknya, kemudian mereka meninggalkan kahyangan menuju Arcapada.
Mereka tiba di lembah gunung Mahendra di tepi telaga Wasania, kemudian
berdiam bertapa meminta supaya diampuni atas dosa-dosanya, mereka
bersama memita lewat pusaka Jamus Layang Kalimasada, namun pada saat itu
pula Sanghyang Ismaya yang tadinya sangat tampan berubah menjadi buruk
rupa dengan tubuh bulat dan wajah bulat pula seperti wajah kucing.
Sanghyang Antaga juga kehilangan ketampanannya dan mempunyai muka
yang panjang serta bibirnya sobek memanjang seperti wajah anjing. Mereka
terus menangis sejadi-jadinya, namun tidak ada gunanya.
Sanghyang Antaga berganti nama menjadi Togog dan Sanghang Ismaya menjadi Semar.
Sanghyang Antaga menyatakan bahwa ia tidak sanggup memelihara Pusaka
Jamus Layang Kalimasada, serta menyerah-kannya kepada Semar, hanya
meminta teman.
Togog memuja serata meminta dari pusaka, muncullah seorang yang mirip
Togog, hanya agak kurus, dan dinamai Sarawita. Togog dan Sarawita
meninggalkan Semar, menuju ke arah barat.
Semar menangis sendiri beserta pusaka Layang Jamus Kalimasada,
tiba-tiba datang hujan yang deras, Semar mencari tempat berteduh, dan
menemukan dangau da masuk ke dangau. Tiba-tiba hujan berhenti dan
seketika terang benderang.
Semar sangat gembira dan merasa ditolong oleh dangau, lalu meminta kepada pusaka agar dangau itu dijadikan teman.
Seketika muncullah orang yang mirip Semar namun agak kecil, dan
dinamai Astra (Asta) Jingga, asta artinya lengan – jingga jenis warna,
yang berarti bibit kehidupan.
Dalam perjalanannya Semar dan Astrajingga menemukan patok, yang
di”puja” oleh Semar, yang menjelma menjadi manusia jangkung berhidung
panjang dan dinamai Petruk yang artinya patok di jalan.
Ketiganya terus berjalan memasuki tempat perlindungan sehingga semua
binatang buas tak mampu mengganggu, yang kemudian tempat perlindungan
itu di”puja” dan menjelma menjadi orang pendek, bertangan bengkok dan
berperut buncit dan dinamai Nalagareng, artinya hati yang kering.
Sanghyang Ismaya dan Sanghyang Antaga diturunkan ke marcapada,
Sanghyang Ismaya akan menjadi pengikut dan pengasuh keturuan dari
raja-raja yang baik.
Sedangkan Sanghyang Antaga akan berada dipihak yang berseberangan dengan Sanghyang Ismaya.
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.