Relasi antara Budaya Islam dan Budaya Sunda

Oleh ENUNG SUDRAJAT

Meuncit meri dina rakit
Boboko wadah bakatul
Lain nyeri ku panyakit
Kabogoh direbut batur


SEBAGAI bagian dari kreativitas orang Sunda, paparikan di atas termasuk jeprut, kalau dilihat secara bahasa. Tapi dalam pandangan axiologis paparikan tersebut terasa fenomena ekologis terlihat pada hubungan kata meri, rakit dan boboko, makna ekologis yang berdimensi antropologis bisa ditelurusi jika meri dinisbahkan kepada hewan Ovivar yang hidup di daerah basah (Lendo). Rakit dan boboko mempunyai bahan yang sama yaitu bambu (biasanya hidup pada ketinggian 100-500 dpl, daerah ini biasanya berada di antara gunung (bukit) dan penampung air (susukan). Bakatul sebagai bagian dari penggilingan padi setelah dipilih (diayak) dinisbahkan bahwa dalam proses tersebut terdapat proses yang sinergis antara unsur tektur tanah, air, perilaku manusianya.
Kebudayaan jika ditafsirkan sebagai hasil kreativitas manusia (perilaku manusia) ketika berinteraksi dengan lingkungan, menghasilkan simbol-simbol, mempunyai wujud (material) juga nilai. Sebagai suatu simbol dari kreativitas manusia, rakit, meri dan boboko selalu berhubungan dengan air dan tanah basah dan bukit. Jika suku Sunda/Priangan menurut Yakob Sumarjo terbagi antara Sunda Gunung dan Sunda Air, maka paparikan di atas kemungkinan dibuat di daerah Sunda Air (Priangan). Dengan demikian maka hasil kreativitas tersebut berwujud useup, ayakan, dan boboko sebagai alat untuk memudahkan kerja dalam kehidupan.

Secara antropologis fenomena paparikan di atas mempunyai makna bahwa orang Sunda Air, menurut Yakob Sumarjo, mempunyai semangat egaliter. Semangat egaliter pada masyarakat Sunda Air dibuktikan dengan jenis pekerjaan seperti bertani, berdagang bahkan pada kasus mikung sering terjadi proses imitasi dan adopsi yang dilakukan warga masyarakat dalam konteks perkembangan ekonomi sehingga kemudian kadang-kadang terjadi diferensiasi sangat cepat.
Diferensiasi pada masyarakat Sunda walaupun berjalan cepat, tidak sampai mengganggu sistem kekerabatan (patron klien). Model sistem ini masih terjadi pada masyarakat desa seperti pada sistem pengolahan tanah yang sering disebut maro/nengah. Model ini sebagai upaya pembagian kesejahteraan kepada kerabat yang memiliki tingkat kesejahteraan rendah, di mana pembagian hasil padi dibagikan pada saat panen tiba dan tidak berbentuk imbalan uang.
Islami versus Islamisne dan Arabisme
ISLAM sebagai dien sering diidentikkan dengan agama (religion). Secara filosofis pandangan tersebut sering bias yang berkonotasi Islamisme Arabisme Islam sebagai Tuntutan Hidup yang bersumberkan wahyu Tuhan yang bersifat absolut (The Revelation Theory). Kebenaran tersebut diterima manusia melalui perantara Nabi (manusia) pilihan.
Sebagai tuntutan hidup manusia, wahyu disampaikan Nabi dan Rosul di samping berdimensi meta empiris juga empiris yang sering menggunakan idiom lokal. Idiom-idiom tersebut kemudian direkam oleh para sahabat. Ketika para sahabat menyampaikan hal tersebut kepada umat, maka dimensi meta empiris tersebut menjadi empiris dan rasional, karena sudah termasuk pada pemikiran wahyu. Pemikiran tentang wahyu kemudian menjadi tidak absolut lagi. Karena tidak absolut, maka pemikiran sahabat tersebut tidak tunggal. Ketidak tunggalan pemikiran ini kemudian menjadi khasanah akal sehingga menjadi rahmat jika tidak dihinggapi napsu.
Islam sebagai agama di dalamnya ada yang bersifat empiris dan meta empiris, rasional intuitif bahkan objektif partisifatif. Ketiga dimensi tersebut berkembang dalam wacana yang ideal sehingga kemudian pemikiran tentang wahyu menjadi beranekaragam. Keanekaragaman inilah kemudian berjalan terus sehingga laksana ayunan bandul jam sehingga kemudian Islam tidak hanya berdimensi agama (religion) tapi civilization (peradaban).
Peradaban (civilization) dalam pengertian Raucek dan Warren merupakan tingkatan perkembangan kompleksitas kebudayaan yang dicapai suatu masyarakat. Kompleksitas tersebut kemudian melembaga dalam komunikasi lisan dan tulisan yang memungkinkan berakumulasi ke tingkat yang lebih besar dan meluas.
Kompleksitas Islam berkembang terus, sehingga ketika ayunan bandul tersebut sampai ke daratan di luar Arab dan bersinergi dengan budaya lokal terjadilah islamisasi yang berbeda dengan Arabisme dan Islamisme. Arabisme dan Islamisme muncul ke permukaan setelah Islam bersinerggi dengan budaya lokal di luar jazirah Arab termasuk Eropa (Barat). Arabisme muncul melalui kebencian orang kristen di Cordoba ketika mereka melihat orang Cordoba yang Kristen menggunakan simbol-simbol Arab karena keterkaitannya terhadap sastra Arab, mengadopsi perilaku Arab tanpa mereka masuk Islam.
Islamisme merupakan perwujudan pembaharuan pemikiran politik Islam dalam usaha mempersatukan umat Islam di seluruh dunia Islam. Paham ini kemudian mendapatkan kerangka ideologis dan teologis dari Muh. Abduh sebagai murid Al-Afghani. Islamisme sebagai kerangka politik untuk kasus Indonesia muncul setelah datangnya Belanda ke Indonesia. Kedatangan Belanda ke Indonesia ternyata tidak semata-mata ekonomis, tapi cenderung politis dan ideologis dan ini dibuktikan dengan adanya misionaris dan zending, bahkan dengan datangnya Snevlitt dan ISDVnya. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ketika Kristen datang dan bersinergi dengan budaya lokal tidak muncul jargon Eropanisme dan Kristenisme?
Islamisme sebagai pengejawantahan dari warisan modernisme klasik, mendapat angin yang subur tatkala perang kemerdekaan, di mana pada saat itu konflik ideologi berkembang setelah munculnya Marxisme dan Sosialisme di Indonesia. Syarikat Islam (SI) saat itu terpecah menjadi SI Merah dan SI Putih. SI Putih kemudian menjadi Partai Syarikat Islam (PSI) dan SI Merah menjadi Syarikat Rakyat. Dengan fahamnya itu kemudian komunis berhasil melakukan pemberontakan di Banten pada tahun 1926 dan Minangkabau pada tahun 1927. Konflik ideologi semakin merebak tatkala muncul reorganisasi MIAI menjadi Masyumi. Kegagalan Islam ideologi dan politik terekam dengan jelas paska proklamasi. Kekecewaan kelompok ideologi dalam masyarakat disemai tatkala Indonesia sebagai negara baru harus berhadapan dengan Belanda sehingga kekalahan di bidang diplomatik pemimpin nasional dimanfaatkan oleh kelompok ideologi untuk menyatakan ketidaksetiaan ke NKRI. Memasuki Orde Baru kekalahan Islam Politik terus menukik sehingga kemudian generasi muda mencoba menginterpretasikan sejarahnya dengan ide pembaharuan yang tersohor dengan jargon “Islam Yes Partai Islam No.”
Proses Islamisasi Dengan Budaya Lokal (Sunda)
ISLAMISASI sebagai gerakan pembebasan manusia dilakukan secara pelan tapi pasti. Proses islamisasi ini dilatarbelakangi oleh perubahan yang terjadi di saat serangan ideologis dan politis menajam khasanah Islam di Indonesia. Sebagai konsekuensi logis, sekelompok masyarakat yang sadar akan keunggulan nilai-nilai kemanusiaan, mundur dalam kancah politik yang bersifat ideologis. Dengan bantuan ulama, kelompok ini kemudian menyingkir ke daerah-daerah di mana dominasi Westernisasi agak lemah. Ulama tersebut kemudian melakukan pencerahan di desa-desa melalui proses islamisasi. Proses ini berjalan tanpa bantuan organisasi dakwah yang cukup memadai untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat luas, tapi semata-mata karena mengandalkan kemampuan dan ketekunan tenaga da’i, pedagang dan guru sufi.
Islamisasi terus berkembang sejalan turunnya pamor kerajaan Hindu Jawa Singosari yang kala itu dipimpin oleh Kertanegara, datangnya ekspansi Kubali Khan pada abad ketiga belas turut pula mempercepat keruntuhan Sriwijaya.
Diawali dengan islamisasi daerah pantai di Pulau Jawa, islamisasi yang dilakukan pedagang, da’i dan guru sufi terus mendapat tempat di hati masyarakat sejalan dengan terjalinnya asimilasi melalui perkawinan dengan putri-putri setempat bahkan dengan masuknya penguasa raja Mataram terhadap Islam, proses islamisasi menjadi sangat dominan.
Gerakan islamisasi di Indonesia di samping dipengaruhi oleh kekuatan dan keihkhlasan da’i dan pedagang serta guru sufi, tidak bisa dilupakan oleh konsepsi Islam itu sendiri yakni:
1. Ajaran Islam menekankan prinsip ketauhidan dalam sistem Ketuhanannya yang memberi tekanan kuat bagi para pemeluknya untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan kekuatan apa pun selain Allah SWT.
2. Daya lentur Islam (fleksibilitas) ajaran Islam sebagai wujud modifikasi nilai-nilai universal, dengan demikian ajaran Islam dapat melebur dengan berbagai bentuk dan jenis situasi di masyarakat.
3. Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan Barat yang diwakili oleh kekuasaan Portugis dan Belanda yang mengobarkan penjajahan dan menyebarkan Kristen.
Dengan ketiga ciri tersebut kemudian Islamisasi terus berkembang apalagi setelah dibantu oleh guru sufi (Wali Songo) dengan gaya lentur ajaran Islam untuk meneguhkan tradisi-tradisi setempat terutama dalam masalah mistisisme lama yang mempunyai persamaan dengan mistisisme Islam. Watak inilah kemudian yang menjadi faktor dominan bagi penyebaran Islam di daerah Jawa seperti Mataram, Demak, Gresik, Cirebon dan lain sebagainya.
Kelenturan ajaran Islam sebagai jaminan sosial gerakan kultural diteruskan oleh para da’i dengan mendirikan madrasah, langgar/masjid dan pesantren. Untuk bahan ilustrasi rasanya perlu kita hidmati apa yang dirasakan oleh Ahmad Djayadiningrat.
Pengajaran Al-Qur’an itu diberikan secara individual kepada para murid, biasanya mereka berkumpul di langgar atau di serambi rumah guru, mereka membaca dan melakukan ayat-ayat suci di hadapan guru satu per satu di bawah bimbingan guru selama 1/4 atau 1/2 jam.
Sebagai seorang anak bupati zaman Sunda, Ahmad Djayadiningrat mengaji Al-Qur’an di langgar tidak di pendopo, bahkan beliau karena kelambanan belajar Juz Amma sampai tiga bulan dan dilakukan setiap hari.
Islamisasi yang dilakukan model ini, kurang banyak mendapat perhatian peneliti, padahal islamisasi lewat model ini terjalin sinergitas yang erat antara perilaku komersial (berdagang) dengan masjid dan pesantren. Jika Islam masuk daerah Sunda dibawa oleh para Wali Sembilan maka terdapat relasi yang jelas antara kegiatan komersial (pedagang)-masjid (spiritual)-pesantren (pendidikan).
Relasi ketiga hal tersebut terus berjalan dengan santai (istilah Kang Acep) dan tidak pernah menimbulkan konflik sehingga tepat apa yang disampaikan Anis Jatisunda bahwa “tidak ada garis pemisah atau penghambat antara kesakralan spiritual agama Islam dengan eksistensi berbagai budaya daerah (Sunda) sebagai kecirian dirinya.”
Resistensi antara Islam sebagai tuntunan dan Sunda sebagai budaya, terjadi manakala Islam diinterprestasikan politis, bahkan resistensi semakin memuncak tatkala Islam dijadikan jargon politik bagi kepentingan politik lokal maupun nasional.
Konflik yang terjadi pada Syarikat Islam (SI) dan NU, paska reorganisasi Masyumi dan terbentuknya partai-partai politik semakin menjauhkan antara Islam dan budaya lokal. Dalam setiap resistensi dan konflik yang jadi korban terakhir adalah rakyat kecil dan ini terukir dengan jelas pada kelompok Mikung.
Saatos babaledogan eta, abdi ngiring ka sepuh abdi pun biang di caket lindung, bumi pan teu tiasa dieusian da atos ruksak kitu, nya caroge tos teu aya dicandak ti payun, jaba murangkalih masih orok, wargi-wargi teu aya nu ngabantosan da sarieuneun kacacandak, abdi didamel we sabisa-bisa, da sieunna moal aya atuh, abdi mah ayeuna oge upami aya nu rame-rame teh sok ngadaregdeg. Ninggal jalmi kempel-kempel oge emut wae kajantenan eta.
Kenyataan pahit tersebut terjadi di daerah di mana sinkretisme sebagai keyakina orang Sunda (buhun) dilingkari oleh resistensi Islam Politik yang cenderung ideologis, sehingga pertentangan antra dua ideologi partai Islam dan partai nasionalis sekular berimplikasi pada marjinalisasi masyarakat.
Resistensi semakin menguat bahkan jadi diperkuat setelah zaman Orba dengan kekuatannya. Orde Baru mampu menarik kelompok marjinal ini sehingga kemudian bisa bersinergi dengan okmum Kepala Desa untuk memenangkan salahsatu partainya. Dengan munculnya kekuatan emosional, maka resistensi antara prilaku orang Islam dengan kelompok penganut paham singkretisme semakin menajam.
Resistensi Islam politik dan ideologi dimanfaatkan kepentingan politik lokal untuk memenangkan partainya bahkan dengan bantuan dana yang cukup sehingga memperkuat resistensi tersebut.***

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 July 2002.

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona