Pandangan Hidup Orang Sunda: Islam-Sunda Atau Sunda-Islam?
Sunan Gunung Djati-Penelitian
orientasi nilai budaya manusia dari berbagai suku bangsa dan golongan
sosial serta penelitian tentang sampai dimanakah nilai budaya itu bisa
menghambat atau mendorong pembangunan nasional, dapat dilakukan dengan
menggunakan konsep dasar tertentu.
Konsep dasar yang dipakai adalah konsep
sistem nilai budaya (cultural values), seperti yang diajukan oleh ahli
sosiologi dan antropologi yang terkenal, Talcott Parsons, G. Kluckhohn,
dan R. Merton.
Dalam hubungan itu, sistem nilai budaya
merupakan suatu rangkaian dari konsep luas dan abstrak yang hidup dalam
alam pikiran dari sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa
yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidup. Dengan demikian,
sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi
bagi segala tindakan manusia dalam hidup (Koentjaraningrat, 1977: 246).
Untuk menentukan unsur yang biasanya
menjadi suatu sistem nilai budaya dalam suatu masyarakat, dalam
penelitian ini, dapat dipakai teori C. Kluckhohn dan F. Kluckhohn
(sepasang suami-istri), yang diuraikan secara panjang lebar dalam buku
karya F. Kluckhohn dan F. L. Strodtbeck berjudul Variations in Value
Orientation (1961). Dalam teorinya itu Kluckhohn berpangkal kepada lima
masalah dasar yang universal dan yang berbeda dalam semua kebudayaan
dimana pun di dunia ini. Kelima masalah dasar itu adalah
(Koentjaraningrat, 1977: 247): masalah hakikat hidup manusia; masalah
hakikat karya manusia; masalah hakikat kedudukan manusia dalam ruang
waktu; masalah hakikat hubungan manusia dengan alam sekitarnya; dan
masalah hakikat hubungan manusia dengan sesamanya.
Cara berbagai kebudayaan di dunia itu,
dalam mengonsepsikan masalah tersebut bisa berbeda-beda. Meski dipahami
bahwa kemungkinan untuk bervariasi itu terbatas adanya. Seperti pada
masalah pertama, ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada
hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan dan karena itu harus
dihindari. Kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh agama Budha misalnya,
dapat disangka mengonsepsikan hidup itu sebagai suatu hal yang buruk.
Pola tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju ke
arah tujuan untuk bisa memadamkan hidup itu dan meremehkan segala
tindakan yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kembali.
Adapun kebudayaan lain memandang hidup
manusia itu pada hakikatnya merupakan suatu hal yang baik. Ada pula yang
memandang hidup manusia itu pada hakikatnya buruk, tetapi manusia
dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup itu suatu hal yang baik dan
menggembirakan. Masalah kedua, ada kebudayaan yang memandang bahwa karya
manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup.
Kebudayaan lain menganggap tujuan dari karya manusia itu untuk
memberikan kepadanya suatu kedudukan dalam masyarakat. Ada juga
kebudayaan yang menganggap karya manusia itu sebagai gerak hidup yang
harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.
Masalah ketiga, ada kebudayaan yang
memandang bahwa masa lampau adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan
manusia. Dalam kebudayaan seperti itu, orang akan sering mengambil,
dalam tindakannya, sejumlah contoh dan kejadian dalam masa lampau itu.
Sebaliknya, ada pula kebudayaan yang hanya punya suatu pandangan waktu
yang sempit. Manusia dari suatu kebudayaan serupa itu, tidak akan
memusingkan diri dengan memikirkan masa yang lampau maupun masa yang
akan datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa sekarang
ini. Kebudayaan lain justru mementingkan pandangan yang berorientasi
sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang. Dalam kebudayaan serupa
itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting.
Masalah keempat, ada kebudayaan yang
memandang alam itu suatu hal yang begitu dahsyat sehingga manusia itu
pada hakikatnya hanya bersifat menyerah, tanpa ada banyak yang dapat
dilakukan. Sebaliknya ada pula kebudayaan lain yang memandang alam itu
suatu hal yang bisa dilawan oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk
selalu berusaha menaklukkan alam. Kebudayaan lain menganggap bahwa
manusia itu hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam.
Masalah kelima, ada kebudayaan yang amat
mementingkan hubungan vertikal antara manusia dan sesamanya. Dalam pola
kelakuannya, manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu,
akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin, orang-orang senior, atau
orang-orang atasan. Kebudayaan lain lebih mementingkan hubungan
horizontal antara manusia dengan sesamanya.
Orang yang berada dalam kebudayaan itu
akan sangat merasa bergantung kepada sesamanya dan akan upaya memelihara
hubungan baik dengan tetangganya dan sesamanya merupakan suatu hal
yang amat terpuji. Kebudayaan lainnya tidak membenarkan anggapan bahwa
manusia harus tergantung orang lain dalam hidupnya. Kebudayaan seperti
itu, yang amat mementingkan individualisme, menilai tinggi anggapan
bahwa manusia itu harus berdiri sendiri dalam hidupnya dan sedapat
mungkin mencapai tujuannya dengan sedikit mungkin bantuan dari orang
lain (Koentjaraningrat, 1977: 250).
Pandangan Hidup Orang Sunda
Dalam Ensiklopedi Sunda (2000)
disebutkan bahwa pandangan hidup orang Sunda itu terbagi kepada tiga
bagian. Bagian pertama tecermin dalam tradisi lisan dan sastra Sunda
yang berasal dari kalangan lapisan atas (elite). Penelitian yang
dilakukan oleh Soewarsih Warnaen dkk. (1987) ini meneliti, 79 ungkapan
dalam bahasa Sunda dan 20 dalam bahasa Cirebon, Carita Pantun Lutung
Kasarung edisi F. F. Eringa dalam disertasinya, (1949), naskah Sanghyang
Siksa Kandang Karesian, Sawer Panganten dan dua roman R. Memed
Sastradiprawira yaitu Mantri Jero (1928), dan Pangeran Kornel (1930).
Hasilnya disimpulkan bahwa pandangan
hidup orang Sunda itu terdiri atas: (1) manusia sebagai pribadi; (2)
manusia dengan masyarakat; (3) manusia dengan alam; (4) manusia dengan
Tuhan; dan (5) manusia dalam mengejar kemajuan lahir dan kepuasan batin.
Penelitian ini sampai pada adanya dua pandangan, yaitu yang pertama,
pandangan yang membagi manusia menjadi dua golongan ialah golongan
penguasa dan golongan rakyat, sedangkan yang kedua, tidak membedakan
apakah seseorang itu termasuk penguasa ataukah bukan sehingga berlaku
umum.
Pada penelitian kedua, pandangan hidup
orang Sunda tecermin dalam tradisi lisan dan sastra Sunda. Penelitian
berikutnya, yang berarti tahap kedua, dilakukan oleh Suwarsih Warnaen
dkk. (Bandung, 1987). Berlainan dengan penelitian pertama yang terutama
dipusatkan kepada tradisi lisan dan karya sastra yang berasal dari
kalangan lapisan atas (elite), penelitian ini mengambil bahan lisan dan
karya lapisan bawah (somahan), yaitu yang berupa uga, adat-istiadat,
cerita rakyat (yang sudah dibukukan) dan tiga buah novel (Rasiah Nu
Goreng Patut karya Yuhana, Lain Eta karya Moh. Ambiri dan Mayit Dina
Dahan Jengkol karya Ahmad Bakri).
Dari analisis terhadap bahan-bahan yang
diteliti itu dapat diidentifikasikan sejumlah sifat khas yang dianggap
baik dan tidak baik oleh orang Sunda. Semuanya digolongkan kepada empat
kategori besar, yaitu (1) akal; (2) budi; (3) semangat; dan (4) tingkah
laku.
Dalam kategori akal yang dianggap baik
ialah sifat-sifat pintar, pandai, cerdas, cerdik, arif, berpengalaman
luas, dan menjunjung tinggi kebenaran, sedangkan yang tidak baik adalah
bodoh, banyak bingung, suka bohong, membenarkan yang bohong, pandai
membohongi orang, dan terlalu benar (dalam pengertian tidak surti).
Dalam kategori budi ada 31 macam sifat yang baik, antara lain jujur,
suci, punya pendirian, takwa, tidak takabur, siger tengah (tidak
ekstrem), bageur (orang baik), bijaksana, berjiwa kerakyatan, punya rasa
malu, taat pada orang tua, punya harga diri, setia, bisa dipercaya,
dll. Sementara sifat yang tidak baik antara lain, pendendam, tidak
berperasaan, tidak punya rasa malu, tidak tahu berterima kasih, dan
takabur.
Dalam kategori semangat, sifat yang
dipandang baik ada 18 macam, antara lain punya idealisme, sabar, percaya
kepada takdir, tabah, punya semangat belajar, mau berikhtiar, rajin,
lebih baik mati daripada hidup hina, berani, bersifat satria, ulet,
tahan godaan, khusuk dalam berdoa, sedangkan yang dianggap tidak baik,
antara lain merasa tidak berdaya, menyiksa diri sendiri, pengecut,
penakut, serakah, dan menyalahgunakan kedudukan.
Dalam kategori tingkah laku, sifat yang
dianggap baik ada 38 macam, antara lain, sederhana, matang perhitungan,
suka menolong, sopan, waspada, teliti, tahu diri, ramah, tidak licik,
menepati janji, hemat, tidak banyak bicara, punya keterampilan, dan
lain-lain. Sementara sifat yang tidak baik ada 59 macam, antara lain,
suka menonjolkan diri, sombong, berpakaian berlebihan, malas, tidak mau
berusaha, suka bertengkar, suka mencuri, dengki, menipu, licik,
pencemburu, dijajah materi, cerewet, bicara sembarangan, usilan terhadap
orang lain, suka menasihati orang lain, tidak menghargai orang lain,
selingkuh, boros, dan lain-lain.
Peneliti pun mengidentifikasikan
pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan masyarakat
(pergaulan antarjenis, pergaulan dalam lingkungan keluarga dalam
masyarakat luas). Tentang hubungan manusia dengan alam (alam nyata, dan
alam gaib) diidentifikasikan bahwa orang Sunda memandang lingkungan
hidupnya bukan sebagai sesuatu yang harus ditundukkan, melainkan harus
dihormati, diakrabi, dipelihara, dan dirawat. Sementara tentang manusia
dengan Tuhan (menurut uga dan menurut adat istiadat) dapat
diidentifikasikan bahwa meskipun sekarang umumnya memeluk agama Islam,
masih banyak kepercayaan pra-Islam yang masih menjadi pegangan walaupun
hasil analisis data menyimpulkan bahwa orang Sunda amat mengakui akan
kekuasaan Tuhan.
Pada penelitian ketiga, pandangan hidup
orang Sunda tercermin dalam kehidupan masyarakat Sunda dewasa ini.
Penelitian tahap ketiga ini dilakukan oleh Yus Rusyana dkk. (Bandung,
1989). Berlainan dengan dua penelitian sebelumnya, penelitian tahap
ketiga ini dilakukan dengan mengadakan kuesioner terhadap orang Sunda di
enam wilayah, yaitu 4 wilayah pedesaan (Sukabumi, Sumedang, Garut dan
Tasikmalaya) dan 3 wilayah kota (Cianjur, Sumedang, Bandung).
Pertanyaan yang diajukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
berkenaan dengan pandangan orang Sunda mengenai, (1) manusia sebagai
pribadi, (2) manusia dengan Tuhan; (3) manusia dengan alam; dan (4)
tentang mengejar kemajuan lahir dan kepuasaan batin.
Untuk mengetahui apakah terjadi
pergeseran atau tidak terhadapnya, hasil angket itu ternyata menunjukkan
bahwa pada umumnya terjadi pergeseran dalam setiap aspek yang
ditanyakan. Akan tetapi tidak terjadi perubahan yang besar. Pandangan
hidup berkenaan dengan manusia sebagai pribadi, dan dalam hubungannya
dengan Tuhan dan manusia dalam mengejar kemajuan lahir dan kepuasan
batin, dapat dikatakan tetap. Perubahan terjadi pada aspek manusia
dengan alam dan manusia dengan masyarakat, tetapi itu pun tidak sama
dalam semua hal, tergantung wilayah dan aspeknya. Tak tampak perbedaan
yang mencolok antara pandangan hidup orang Sunda dewasa ini. Dengan
tetap berakar pada tradisinya, telah dan sedang mengalami pergeseran dan
perubahan itu, perubahan mengarah kepada pandangan yang lebih waspada,
lebih bertauhid dalam beragama, lebih realistis dalam bermasyarakat
dan lebih memahami aturan alam (Ensiklopedi Sunda, 2000).
Perguruan Tinggi Agama Islam dan Islam Sunda
Secara umum, masyarakat Jawa Barat
beretnis Sunda dan mayoritasnya pemeluk agama Islam. Berdasarkan hal
tersebut dapat dimunculkan sejumlah gagasan untuk memperoleh gambaran
yang lebih lengkap berkenaan dengan hubungan antara Islam sebagai agama
dan Sunda sebagai etnis terbesar di Jawa Barat ini. Untuk menjelaskan
hubungan itu pula, banyak aspek yang bisa diteliti.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan
Gunung Djati Bandung adalah sebuah perguruan tinggi Islam yang terletak
di ibu kota Provinsi Jawa Barat. Perguruan tinggi ini, karena
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam di lingkungan masyarakat Sunda, sudah
sepantasnya menyadari akan hal tersebut. Oleh karena itu, kegiatan yang
didesain perguruan tinggi ini diusahakan agar memiliki nilai tambah;
tidak hanya sekedar membahas masalah akademik murni.
Kegiatan yang dilakukan, diupayakan
dapat menghasilkan dampak sinergi yang positif, baik dunia akademik
secara intern, maupun bagi kehidupan masyarakat Sunda di Provinsi Jawa
Barat ini pada umumnya. Masalah tersebut dapat diklasifikasikan, secara
fakultatif, di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Seperti, untuk Fakultas
Ushuluddin, dapat diungkap masalah yang berkenaan dengan konsep
ketuhanan orang Sunda. Untuk Fakultas Syari‘ah, dapat diungkap masalah
yang berkenaan dengan Hukum Islam dan Pranata Sosial dan lain-lain.
Sebagai contoh, bagaimana hubungan yang
terjadi antara penyebaran Islam dengan pelembagaan hukum kewarisan
Islam, dapat dilihat dari penelitian Cik Hasan Bisri dkk. (1992). Dengan
mengambil kasus Desa di Cinanjung, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten
Sumedang, yang dihuni oleh masyarakat petani (peasent society),
penelitian ini menggambarkan penyebarluasan dan pelembagaan hukum
kewarisan Islam, sebagai rangkaian dari dakwah Islamiah secara kultural,
berlangsung hampir bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama
Islam di desa itu. Proses itu mengalami penyesuaian dan penyelarasan
dengan kebudayaan setempat.
Kenyataan demikian terlihat dalam pola
distribusi harta peninggalan (tirkah) yang dikenal oleh masyarakat
setempat sebagai sumun (Arab: tsumun: seperdelapan). Ia merupakan suatu
pemberian dari ahli waris, terutama anak, kepada perempuan (janda) dari
harta peninggalan suaminya yang meninggalkan anak atau yang tidak
meninggalkan anak. Disebut pemberian, karena menurut ketentuan hukum
kewarisan Islam janda itu memiliki hak warisan dari harta peninggalan
suaminya.
Oleh karena sumun merupakan suatu
pemberian, maka bagian harta yang diperoleh janda itu tidak ditentukan
secara pasti. Sedangkan menurut hukum kewarisan Islam, ia merupakan hak
janda bila muwarits meninggalkan anak (Q. S. al-Nisā’: 12). Hal ini
menunjukkan bahwa antara konsep sumun yang dianut oleh sebagian
masyarakat dengan tsumun (seperdelapan) sebagaimana yang dimaksud dalam
al-Qur’an berbeda makna, meskipun berasal dari gagasan yang sama. Ia
mengalami pencampuran dengan kaidah sosial di dalam masyarakat tersebut.
“Pencampuran” hukum kewarisan Islam
dengan kaidah lokal itu tampaknya sederhana. Namun di dalamnya
mengandung kerumitan, terutama jika dilihat dari perspektif antropologis
dan sosiologis. Dalam perspektif ini, di balik konsep sumun, tersirat
keyakinan (kesepakatan tentang benar salah), nilai (kesepakatan tentang
baik atau buruk), dan kaidah (kesepakatan tentang apa yang harus dan
tidak mesti dilakukan). Dan secara sosiologis tersirat tentang posisi
perempuan di dalam keluarga, baik kedudukannya sebagai istri (janda)
maupun kedudukannya sebagai ibu. Kedua perspektif itu tercermin dalam
sistem kewarisan yang berlaku dalam masyarakat itu.
Uraian di atas menunjukkan, bahwa
penyebarluasan dan pelembagaan hukum kewarisan Islam itu telah
berlangsung. Hal itu terbukti dengan adanya konsep sumun yang telah
dikenal dan melembaga. Walau demikian, penerimaan dan penyelarasan
terhadap gagasan itu terpaut dengan sistem sosial yang dianut, yaitu
dengan kaidah dan struktur sosial masyarakat setempat. Hal ini
menunjukkan, pola distribusi harta peninggalan mengalami keragaman.
Sumun menerima unsur lain, sebagai ‘illat sehingga bersifat luwes. Ia
beralih kedudukan, dari hak yang memola menjadi pemberian yang “tidak
memola” (Cik Hasan Bisri, dkk., 1992).
Dari sejumlah ilustrasi di atas, terbuka
peluang untuk dilakukan sejumlah penelitian terhadap aspek hukum dan
pranata sosial pada masyarakat Sunda di Jawa Barat ini. Penelitian
terhadap aspek-aspek lain, seperti telah disebutkan di muka, juga dapat
dilakukan sesuai dengan permasalahan yang ada. Tinggal siapa yang
melakukan dan kapan penelitian itu dilakukan? Jawabannya dikembalikan
kepada para peneliti, akademisi, atau intelektual yang memiliki
ketertarikan dan kepedulian terhadap keislaman dan kesundaan itu
sendiri.
M. ANTON ATHOILLAH HASYIM, Anggota Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam P.W. Muhammadiyah Jawa Barat. [Pikiran Rakyat, 17 Juni 2003]
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.