Kosmologi Sunda

Definisi KOSMOLOGI menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Cet. Kese puluh yang diterbitkan Balai Pustaka, berarti : (1) cabang astronomi yang menyelidiki asal usul, struktur dan hubung an ruang dan waktu dari alam semesta (2) cabang dari meta fisiki yang menyelidiki alam semesta sebagai sistim yang be raturan, sedangkan Kosmografi, berarti: (1) pengetahuan ten tang seluruh susunan alam (2) penggambaran secara umum tentang jagat raya termasuk bumi.

Tulisan ini mengeksplorasi naskah-naskah Sunda buhun ten tang Jenis dan tingkatan alam di jagat raya menurut keper cayaan di masa lalu dan diberi judul Kosmologi, namun da lam tulisan disinggung Kosmografi, karena agak sulit memi sahkan keduanya ketika membahas salah satunya, mengingat sumbernya yang terpisah-pisah dan sulitnya mencari sumber keterangan yang utuh tentang kosmologi Sunda, kecuali dari naskah-naskah Sunda Kuna.

SUMBER INFORMASI
Kosmologi Sunda dalam bentuk naskah yang beredar secara umum baru diketahui dari Koropak 420. Oleh para peneliti kemudian dinamakan Kosmologi Sunda. Di dalam Pengantar Buku tersebut (2006) dijelaskan, bahwa semula para peneliti mengira ketiga naskah tersebut (kropak 420 dan 421 dan 422) berisi teks yang bertalian dengan ajaran agama Islam, karena dalam katalog naskahnya yang dibuat C.M. Pleyte awal abad 20 naskah koropak 420 berisi ajaran Sunan Gu nung Jati (lesjes Soenan Goenoeng Djati), adalah tokoh pe nyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di Tatar Sunda yang dipandang sebagai salah seorang wali dan Walisanga di Pulau Jawa. Namun, ternyata teks naskah koropak 420 tidak berisi tentang ajaran agama islam, melainkan uraian Kosmo logis Sunda Buhun.

Di dalam teks itu disebut Gunung Jati satu Kali, namun mak nanya menunjuk pada suatu tempat dalam sistem Kosmologi Sunda Pra Islam, dan tidak bertalian dengan nama tokoh Isla mi yakni Sunan Gunung Jati. Menurut para peneliti naskah, naskah dimaksud tidak perlu diragukan lagi kesahihannya, mengigat ditemukan di Kawali yang pernah menjadi ibu kota Sunda–Galuh pada abad 14–15 M. Pada masa itu pula Islam sudah mulai masuk kedaerah Galuh, bahkan Haji Purwagaluh berasal dari sini. Setelah Pakuan di bumi hanguskan oleh pa sukan Banten banyak para pembesar Pajajaran dan masyara kat Sunda yang masih “tuhu ka Pajajaran” mengung si ke Kawali. Demikian pula pemberi naskah dan penyimpan nas kah ini, yakni Bupati Galuh, R.A. Kusumadiningrat, adalah trah raja Sunda Pajajaran yang bertanggung jawab menyim pan benda-benda pusaka peninggalan Pajajaran. Inilah seja rah ditemukannya naskah Kosmologi Sunda.

Di dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, edisi Kamis 2 Juni 2005, Edi S.Ekadjati menguraikan Kosmologi Sunda dan menghubungkan naskah Kosmologi Sunda (kropak 420) de ngan naskah Jatiraga (kropak 422). Menurut penjelasannya, berkaitan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan si fat kehidupan di bumi sakala. Sedangkan dalam Koropak 422 di kemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan menempatkan buana jati niskala diderajat yang paling tinggi. Dengan demikian, rasa nya kurang lengkap jika membaca naskah Kosmologi Sunda tanpa membaca Jatiraga.

Naskah-naskah yang berhubungan dengan Kosmologi Sunda, selain bersumber dari kedua naskah diatas, dapat ditemukan dari naskah lain. Naskah-naskah dimaksud, antara lain :
(1) Sewakadarma (dibuat tanpa tahun penulisan, namun menyebutkan naskah Jatiniskala) ;
(2) Serat Dewabuda (ditulis tahun 1435 dan tidak menye butkan naskah lain) ;
(3) Jatiniskala (ditulis tanpa tahun dan tidak menyebut nas kah lainnya) ;
(4) Kawih Paningkes (ditulis tanpa tahun, tidak menyebut naskah lain) ;
(5) Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesyan (ditulis pada tah un 1518, antara lain menyebut Sang Sewakadarma, nas kah ini lebih muda dari nakah Sewakadarma) ;
(6) Carita Parahyangan.(ditulis tahun 1580, antara lain me nyebutkan Sanghyang Siksa, naskah ini lebih muda dari naskah Sanghyang Siksa) ;
(7) Carita Purnawijaya, Kropak 413 dan 423. Kedua manus krip daun lontar ini dianggarkan berasal dari abad ke-17 Masehi dan disimpan diperpustakaan nasional.

Naskah-naskah diatas menjelaskan tentang perjalanan atma atau jiwa manusia yang telah lepas dari jasad (kurungan) atau mengenai kaleupasan-kalepasan, moksa. Naskah-naskah dimaksud membagai dua bagian pembahasannya, yakni per siapan ketika jiwa menghadapi maut dan peralihan jiwa kedu nia gaib, serta perjalanan jiwa sesudah meninggalkan jasad. Sedangkan naskah PURNAWIJAYA menjelaskan tentang alam naraka. Memang naskah seperti SEWAKADARMA menunjuk kan ada pengaruh aliran Trantayana yang berkembang di tatar Sunda waktu itu, menampilkan campuran aliran Siwa dhanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa de ngan nama agama Buda Mahayana, bahkan penulis menemu kan kitab ini masih digunakan saudara-saudara kita di Bali. Namun unsur agama Pribumi (Sunda) sudah diguna kan, seperti nampak adanya istilah Hyang yang dibedakan dari istilah dewa.

NASKAH KAWIH PANINGKES atau Panikis memperlihatkan te lah bercampurnya isitilah-istilah seperti dewa, dewata, sri, mahayoga dan moksa yang biasa digunakan dalam istilah agama Hindu dan Budha dengan istilah pohaci, wirumanang gay, kahiyangan, sanghiyang dan puhun, bahkan pada masa disusun nya naskah Kawih Paningkes, ageman Sunda Buhun sudah mendominasi ajaran-ajaran tersebut, seperti nampak dalam istilah, sebagai berikut :

Cuplikan dari 10 pembaktian ini secara lengkap, sebagai berikut :

Etika ini berhubungan pula dengan isi naskah selanjutnya, tentang kewajiban dan strata manusia dan para dewa, semua harus berbakti kepada Batara Niskala sebagai Yang Hak dan Yang Wujud, sebagaimana yang telah ditentukan sejak pengu asa alam menyempurnakan mayapada.

Isi naskah dimaksud sebagai berikut :

Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Ba tara di dunia agar teguh menjadi "Permata di dalam sangkar", untuk cahaya seluruh dunia, Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tun duk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada nu nangganan, nu nangganan tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata.
Menurut buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Ja wa Barat (1983-1984) disebutkan: Dewa-dewa seperti Brah mana, Wisnu, Iswara, Siswa dan lain-lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala. Dialah penguasa alam, nu ngretakeun bumi niskala (yang mengatur dunia gaib). Jika saja disebut kan ada pengaruh agama Hindu didalam keyakinan urang Sunda, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa akhli, ada baiknya jika meninjau pendapat Wangsakerta (1677) maupun Pleyte (1905). Keduanya menjelaskan, bahwa aga ma Hindu pada masa itu hanya berlaku (dianut) oleh lingku ngan keraton dan para pejabatnya, sedangkan rakyat keba nyakan, atau masyarakat Sunda buhun, tetap setia menganut agama ajaran leluhurnya. Hanya saja pada masa Pajajaran ra ja dan rakyat sudah berpadu, ngegem ajaran Sunda Wiwitan atau Jati Sunda, yang diistilahkan Purbatisti-Purbajati. Tak he ran jika Pajajaran sangat membekas didalam paradigma ma syarakat Sunda sampai sekarang, dibandingkan dengan kera jaan lainnya.
JAGAT RAYA
Menurut Edi S. Ekadjati didalam Islam jagat raya terdiri dari lima alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam bar zah, dan alam akhirat. Didalam Islam alam roh dan alam ra him yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum lahir kedunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam ga ib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah mengalami ke matian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menen tukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat. Kosmo logi menurut konsep Islam didasarkan pada kronologis kehi dupan manusia (dan makhluk lainnya).
Naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga, sebagaimana ditulis oleh Undang A Darsa dan Edi S. Ekadjati (2006), membagi ja-gat raya menjadi 3, yaitu :
1. SAKALA :
Dunia nyata dihuni oleh berbagai mahluk yang memiliki jas mani dan rohani. Mereka disebut manusia, hewan, tumbuh an, serta benda-benda lain yang dapat dilihat, bergerak dan yang diam.
2. NISKALA :
Dunia gaib, dihuni oleh berbagai makhluk yang tak berjasad, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari,ruh-ruh netral atau syanu, BAYU (KEKUATAN), SABDA (SUARA) dan HE-DAP (ITIKAD). Semua memiliki tugas dineraka maupun di sorga. Apabila ruh netral bergabung dengan bayu, sabda dan hedap, maka gabungannya disebut sukma yang disebut syaku. Sukma yang terbuang kesasakala akan bergabung dengan anasir anasir fisikal sehingga ada yang menjelma menjadi ma nusia, hewan atau tumbuhan.
Hal ini menggambarkan bahwa sukma itu terpenjara oleh ja sad. Penjelmaan yang paling sempurna adalah manusia, oleh karena itu manusia harus berbuat baik agar dapat kembali ke kodrat sejati dikahiyangan atau disebut juga mencapai mok sa (tilem). Jika manusia terbawa angkara murka maka akan kembali kealam niskala sebagai penghuni neraka. Namun ji ka menurut aturan para dewa penjaga neraka mendapat keri nganan maka harus reinkarnasi kealam sakala.
Makhluk-makhluk tak berjasad tersebut diantaranya dewa-dewi dalam panteon Hindu dan Budha serta panteon Sunda Buhun. Hal ini sebagaimana disebutkan didalam naskah PANI KIS, yang memperlihatkan telah bercampurnya isitilah-istilah seperti dewa, dewata, sri, mahayoga dan moksa yang biasa digunakan dalam istilah agama Hindu dan Budha dengan istilah pohaci, wirumananggay, kahiyangan, sanghiyang dan puhun.
Naskah Kosmologi Sunda menyebutkan, para panteon ini, seperti :
Pwah Batari Dewi Sri adalah penguasa alam tertinggi di Kahiyangan didampingi oleh Pwah Lekawati. Pwah Wiru Mananggay didampingi Danghyang Trusnawati, pen jaga bangunan suci Bungawari di Pasekulan bukit Tri Jantra si Jatri Palasari di Gunung Jati yang disebut puncak angkasa. Sedangkan Sanghiyang Sri sebagai penjaga alam Kasorga an’.
Hal ini disebutkan pula didalam NASKAH SEWAKADARMA yang disusun oleh seorang pertapa perempuan, bernama BUYUT NI DAWIT, yang bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana Gunung Kumbang, diperkirakan di susun sebelum dibuatnya naskah Sanghyang Kandang Kare-syan (1518 M). Menurut Ayatrohaedi (2003) dalam tulisan Nganjang Kaka lenggangan, menyebutkan, bahwa :
  • Diatas Kahyangan kelima Dewata (Isora, Brahma, Maha dewa, Wisnu,Siwa) terdapat kahyangan Sari Dewata dengan Ni Dang Larang Nuwati sebagai penghuninya, yang pada saat hidup di dunia telah berikrar tidak akan kawin untuk mengabdikan diri kepada agama. Namun karena ikrarnya itu karena kesedihan karenanya dia tidak dapat menempati surga tertinggi. Setingkat diatas kahiyangan Nuwati, terletak Kahyangan Bungawari, disitulah tempat tinggal Pwah Sanghyang Sri (Dewi Pa di), Pwah Naga Nagini (Dewi Bumi), dan Pwah Soma Adi (Dewa Bulan). Disitulah batas kehidupan Surgawi.
Namun suatu hal yang perlu dipahami pula, bahwa yang di maksud kasorgaan ini bukanlah alam tertinggi (Kahyangan), melainkan alam NISKALA.
3. JATINISKALA
Alam Jatiniskala atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal, dinamakan pula Sang Hyang Manon, atau Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si Ijujatinistemen, pen cipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia berada dalam Dzat nya.
Alam Jatiniskala bukanlah alam kasorgaan sebagaimana yang disebutkan dalam naskah KOSMOLOGI SUNDA, atau alam Surgawi sebagaimana disebutkan dalam naskah SEWAKADARMA, dan batas kehidupan Surgawi bukan batas akhir dari jagat raya, karena bagi sang Atma yang mendapat gemblengan Sewakadarma tidak hanya berhenti sampai dibatas sorga, me lainkan mampu memasuki bumi kancana, karena disitulah terletak Jatiniskala, tempat kegaiban yang sejati, keadaan serba cerah dalam keheningan yang mutlak. Disitulah tempat ke abadian, telah lepas melampaui semua kehidupan dan peng huni alam sakala dan niskala.
Urang Sunda Buhun sangat tegas membedakan antara Surga tempat bermukim para dewa dan Kahyangan tempat kebera daannya Hyang, sebagaimana yang ditulis didalam Sang-hyang Kandang Karesyan, masuk surga disebutnya munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut moksa.
Naskah ini menuliskan, :
“...... Inilah keinginan manusia ...... ; yun munggah ada lah ingin surga, tidak mau menemui dunia, dan yun lu put adalah ingin mencapai moksa, tidak mau terbawa oleh penghuni surga. Demikianlah keinginan manu sia”. (.... Ini kahayang janma ...; yun munggah ma nga ranna hayang sorga, mumul munggah mumul mang gihkon bwana; yang luput ngaranna hayang mokta; mumul kabawa ku para sarga. Na mana sakitu kaha yang janma saenyana). (Ayatrohaedi, 2003).
Alam Jatniskala digambarkan suka tanpa mengenal duka, ke nyang tanpa mengenal lapar, hidup tanpa mengenal mati ba hagia tanpa mengenal nestapa, baik tanpa mengenal buruk, pasti tanpa mengenal kebetulan, moksa lepas tanpa menge nal ulangan hidup.
Keterangan dari naskah Sewaka Darma diatas tidak jauh ber beda dengan keterangan dari naskah Sanghiyang Siksa Kan dang Karesiyan, terutama kaitannya dengan keinginan manu sia untuk memasuki niskala, yakni :
“Jika meninggal sukmanya akan menemui kemuliaan dan kebahagiaan, mengalami siang tanpa malam, suka tanpa duka, kemuliaan tanpa kenistaan , senang tanpa menderita, indah tanpa wujud, menjadi hyang tanpa kembali menjadi dewa, Itulah yang disebut parama lenyep (kesadaran utama)”.
TUTUR TINULAR
Susunan Jagat raya didalam Keyakinan Masyarakat Baduy tidak terlepas dari kisah perjalanan manusia melalui tiga bua na (alam), yakni : buana handap atau panca tengah, buana rarang dan berakhir dibuana ruhur (buana atas). Istilah bua na menunjukan ruang kehidupan sangat luas yang harus dila lui setiap manusia. Manusia dilahirkan kebuana panca tengah untuk mengembara (ngumbara), apakah akan menemukan kesenangan, bahagia atau sengsara dikelak kemudian hari.
Masyarakat Baduy menyebut juga dunia panca tengah deng an istilah sorga jeung naraka (surga dan neraka) lahir (Garna : 1988). Buana handap merupakan bagian dari buana ruhur dan buana rarang, termasuk tempat kehidupan makhluk dan tanaman.
Pandangan masyarakat Baduy merujuk kedalam pandangan terpusat, sehingga mengangap dunia terbagi dua bagian, yak ni masyarakat Baduy sebagai masyarakat sakral yang diberi tugas untuk mengelola Sasaka, serta masyarakat luar Baduy, sebagai masyarakat yang profan (tidak sakral, kudus atau tidak berhubungan dengan agama) mengelola nagara telung puluh telu, pancasalawe nagara.
Keyakinan ini nampak pula dalam ungkapan :
Satangkubeun langit
Langit nu nuruban
Satangkarak ning lemah
Dunya nu nangkarak Menelungkupnya langit
Langit yang menutupi
Membentangnya tanah
Dunia yang membentang
Menurut Engkus Ruswana, salah satu tokoh penganut ajaran Sunda Wiwitan mengemukakan, bahwa: Gambaran Kahyang an terungkap dalam Pantun Langgasari Kolot, yang menyebut tiga alam atau tiga buana, yakni :
(1) Buana Nyungcung, yaitu tempat bersemayamnya Sang- Hyang keresa.
(2) Buana Pancatengah tempat berdiamnya manusia dan mahluk lainnya.
(3) Buana Larang atau neraka.
Diantara Buana Nyungcung dan Buana Pancatengah terdapat 18 lapisan alam atau Mandala, yang dilalui Manusia setelah meninggal dunia. Tingkatan alam tersebut sebagai berikut:
1. Bumi Suci alam Padang.
2. Sang Hyang burung ribut.
3. Sang Hyang Sorong Kancana
4. Bumi cengcerengan.
5. Bumi Putih.
6. Bumi Hawuk.
7. Bumi koneng.
8. Bumi Hejo.
9. Bumi Hideung.
10. Bumi Beureum.
11. Bumi Pohaci, kerepek se ah patapan Hujan.
12. Paguruh Paguntur Patap an Gugur.
13. Mega Siantrawela.
14. Mega Sikareumbingan.
15. Mega Sikarambangan
16. Mega beureum.
17. Mega Malang.
18. Mega Manggul
DALAM TRADISI PERPANTUN BOGOR
Didalam tradisi para prepantun Bogor mengenal adanya pro ses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan alam (mandala), sejak di dunia fana dan alam baka. Kesembilan mandala tersebut adalah:
1. Mandala Kasungka ;
2. Mandala Parmana ;
3. Mandala Karna ;
4. Mandala Rasa ;
5. Mandala Seba ;
6. Mandala Suda ;
7. Jati Mandala ;
8. Mandala Samar ;
9. Mandala Agung.
Sejak dari Jati Mandala maka wilayah tersebut sudah terma suk Mandala Kasucian, tempat berdiamnya para Karuhun (le luhur) yang sudah dapat turun kebumi serta menitis.
Tahapan Mandala ini dikisahkan, sebagai berikut :
  • Ari Panjangnya Jaman. Nurutkeun tahapan Mandala; jeung ti hiji mandala deui anggangna teh hanteu saruwa ... !. Kabehna Mandala saloba salapan !
  • Nahap Ngundak ti handap anu disebut Mandala Kasung ka. Laju nahap di Mandala Parmana. Laju nahap di Man dala Karna; Laju di Mandala Rasa .. unggah di Mandala Seba; unggah deui di Mandala Suda ... !
  • Dimandala Suda kumpul karuhun-karuhun anu meu nang pulang anting ka jagat ieu; di lebah perelu .... meu nang ngarupa cara manusa. Tapi ngan nyawarakeuna rasa manusa ........ ! atawa nyawara tanpa rupa !.
  • Anggeus Mandala Suda, laju: Mandala anu nahap kana alam kasucian; nyaeta anu disebut Mandala Padumu kan para Karuhun dina ngaran: Jati Mandala .... ! lain Mandala Jati .... tapi Jati Mandala ..... ! Nya didinya ayana Paseban Pangauban paranti kumpul para Karuhun anu geus diwenangkeun bisa turun deui ngalongok manusa ieu jagat bari ngarupa jeung nyawara. Nya tonggoheun eta paseban ayana: Papanggungan Bale Agung. Paranti Karuhun narang gowan giliran mudu Nitis ....!
  • Saruhureun Jati Mandala, nyaeta Mandala Samar tea ........ ! Tonggoheun enggon Karuhun aya tilu enggon anu sajajar. Nu ditengah: paranti Sanghiyang Guru ...... Hi yang Tunggal anu disebut Sanghiyang Guriang Tunggal. Anu dikenca paranti Sanghiyang Wenang. Enggon anu beulah katuhu paranti Sanghiyang Wening. Tonggo heun enggon tengah aya deui enggon paranti Sanghi yang Kala, nya Dewa nya Batara ..... !
  • Saruhureun eta kabeh Mandala tadi, aya deui Mandala anu ti Mandala samar bae, anggangna teh: Duwa Puluh Salapan Jaman Satengah .... ! nya eta Mandala anu dise but Mandala Agung tea ... ! nya di Dinya ayana: Sanghi yang Tunggal ... anu Nunggal di sakabeh Alam jeung sa kabeh Jagat.
  • Sukma atau roh manusia berasal dari Buana Nyungcung atau Kahyangan. Jika roh manusia telah selesai menjalankan tugas hidup dan kehidupannya di Buana Pancatengah, maka sukma harus kembali ke Kahyangan. Jika sukma dahulu turunnya da ri Kahyangan baik maka kembalinyapun harus baik pula, na mun jika sukma tersebut kotor maka kembalinya ke Buana Larang atau neraka. Baik buruknya sukma sangat tergantung kepada amal perbuatan sewaktu berada di Buana Panca tengah.
Teks buhun umumnya mengabarkan cita-cita urang sunda bu hun jika meninggalkan alam dunya yakni balik ka Hyang lain ka Dewa. Namun yang menentukan tempat seseorang sesu- dah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatan selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku dan perbuatannya buruk dan bertentangan dengan ajaran agama, maka akan kembali lagi kealam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya atau masuk kedalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik maka rohnya akan naik menuju alam nis kala yang menyenangkan (surga).
Alam ini diuraikan dalam Naskah Sewakadarma sebagaima na yang dijelaskan Ayatro haedi, intinya menguraikan persia pan menghadapi maut dengan cara yang indah serta bagaima na jiwa setelah meninggalkan raganya (kaleupasan).
Tentang bagaimana masa depan setelah mati ?, dalam hal ini Abdul Rojak didalam bukunya menjelaskan, bahwa dalam ke yakinan penganut Sunda Wiwitan, seperti Aliran Kepercaya an Perjalanan, sangat tabu untuk menjelaskannya, ‘Pamali, ulah Nganjang Kapageto’, karena hari esok adalah rahasia Tu han. Sedangkan menurut Masyarakat Baduy, masa depan ada lah : ‘itu adalah urusan Tuhan’.
Masyarakat Baduy berkeyakinan, Sukma atau roh manusia berasal dari Buana Nyungcung atau Kahyangan. Jika roh ma nusia telah selesai menjalankan tugas hidup dan kehidupan nya di Buana Pancatengah, maka sukmanya harus kembali ke Kahyangan. Jika sukma turunnya dari Kahyangan baik maka kembalinya pun harus baik pula, namun jika sukma tersebut kotor maka kembalinya ke Buana Larang atau neraka. Baik buruknya sukma sangat tergantung kepada amal perbuatannya sewaktu berada di Buana Pancatengah. Keenganan untuk menjelaskan alam pageto dimaksud bukan berarti ketiadaan konsepsi, karena beberapa tuntutan perilaku yang mereka ya kini kebenarannya menjelaskan pula tentang adanya neraka bagi atma yang ketika hidup didunia tidak mengindahkan tun tunan moral.
PENCIPTAAN BUMI
Didalam sejarah Baduy dijelaskan, pada mulanya atau bumi terbentuk dari yang ngenclong, suatu materi yang kental dan bening, lama kelamaan menjadi keras dan besar, dan ini ada lah awal mula dari bagian bumi. Yang disebut Sasaka Buana atau Padaageung. Titik mula adalah tonggak kabuyutan yang mengandung arti, itulah pusat dunia, awal dari kehidupan makhluk. Untuk memberikan kehidupan, kemudian Batara Tunggal menurunkan tujuh Batara kedunia, dua Batara ditu runkan di Sasaka Buana dan Lima Batara mendirikan nagara telung puluh telu, panca salawe nagara, atau negara diluar Kanekes (Garna : 1988).
Proses pembentukan Bumi secara terperinci dijelaskan da lam Buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984). Buku ini menjelaskan, bahwa pada awalnya bumi me nyerupai api yang bercahaya dan menyala. Berjuta-juta ta hun kemudian asap gelap diseluruh muka bumi secara ber angsur-angsur dan terus menerus-menerus seluruhnya meng hilang. Bumi menjadi dingin. Walaupun demikian belum ada makhluk hidup. Kemudian permukaan bumi ini menjadi gu nung-gunung dan lautan.
Beberapa juta tahun kemudian muncullah tumbuh-tumbuh an kecil, lalu mucul makhluk hidup berupa hewan; kemudian hewan yang hidup dilautan seperti ikan dan sejenisnya. Sete lah itu beberapa juta tahun kemudian muncul berjenis-jenis tumbuhan dan sementara itu muncul makhluk hewan raksa sa yang beraneka macam jenisnya; kemudian bermacam-ma cam makhluk hewan unggas serta hewan lainnya seperti ba bi, kuda dan sejenisnya. Lalu berjuta-juta tahun kemudian muncullah makhluk hidup berwujud manusia tingkatan ren dah dan sempurna. Mereka adalah manusia purba, manusia hewan, yang seterusnya setelah beribu-ribu tahun kemudian berwujud separuh hewan separuh manusia. Lama setelah itu muncul makhluk yang serupa manusia, lalu tingkat rendah dan akhirnya muncullah jenis makhluk yang sempurna.
Uraian tentang sejarah terciptannya bumi diatas ditemukan didalam naskah Pusta Rajyarajya i Bhumi Nusantara, pada parwa I sarga I, ditulis oleh Pangeran Wangsakerta dan ka wan-kawan di Cirebon pada tahun 1677 Masehi (Rintisan Pe nelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, 1983–1984). Ada pun naskah dan bahasa aslinya, sebagai berikut :

Witan sargakala niking bhumitala. Bhumitala pinakgni dumi lah mwang uswa. Prayuta warca tumuli kukus petengrat bh umi tala canaih-canaih dhumana-rawata sirna. Bhumi ma hatis. Ya dastun mangkana tatan hana janggama. Ateher bhu manda la nikang dadi prawata lawan sagara.
 Prayuta warca tumuli dadi ta sthawarahalit, ateher dadi jang gama prakara satwa ; ateher satwekeng haneng sagara maka di mina mwang sarwwa mina. Rihuwus ika prayuta warca tumuli shatware kang nanawidha mwangring samang kana dadi ta janggama satwa raksa nung nanawidha prakara nya ; Ateher sarwwa jang gama satwa inuturun mwang satwa lenya waneh kadi waraha, turangga mwang lenya manih.
Ateher prayuta warca tumuluy dadi ta janggama manusa dharma lawan tatan purnna. Hana pwa purwwa janma purusa satwa, ateher lawas ira mewu iwu warca manih akrti saparwa satwa sa saparwa manusa. Lawas ri huwus ika dadi ta puru sakara, ateher manusadhhar ma mwang wekasan dadi ta purusa purnna.
Abdul Rozak (2005) didalam Buku Teologi Kebatinan Sunda memaparkan, bahwa sejarah bumi menurut penganut Aliran Kebathinan Perjalanan, berkaitan dengan kondisi dan posisi manusia sebagai makhluk yang mulia, secara kodrati, dicipta kan untuk mengolah dan menjadikan dunia beserta isinya agar dapat di manfaatkan maksimal. Sebelum ada manu sia terlebih dahulu Tuhan menciptakan sarana dan prasarana bagi terselenggaranya nilai mulia manusia dari makhluk lain nya. Dengan demikian manusia diharapkan mampu mengo lah dan memanfaatkan dunia beserta isinya secara baik dan sempurna.

Tahap-tahap proses penciptaan makhluk di bumi, pertama berupa rasa panas, sebagai makhluk non fisik atau abstrak, tidak kasat mata namun dapat dirasakan. Panas kemudian mengkristal menjadi bahan bakar dunia, yakni api. Kemudian mengkristal dan membesar membentuk matahari.

Kedua, Matahari sebagai sumber selalu memancarkan rasa panas, namun terdapat sisi alam lainnya yang tak terjangkau, sehingga menimbulkan rasa dingin. Rasa dingin adalah makh luk kedua. Rasa dingin memiliki kemampuan untuk membe kukan semua benda yang terkena dayanya, kemudian meng kristal menjadi sumber bahan pendingin, yaitu air.

Ketiga, makhluk yang diciptakan Tuhan adalah angin, terjadi karena daya tarik menarik antara hawa panas dan hawa dingin, atau kondisi alam yang di timbulkan oleh daya saling mempengaruhi antara matahari dan air.

Keempat, makhluk yang diciptakan Tuhan adalah Bumi, seba gai perpaduan antara panas matahari dengan semilirnya angin, kemudian terjadi penguapan. Dari penguapan timbul rasa tetap, mengkristal menjadi bumi. Dari hukum Tuhan di atas, maka uap yang sangat ringan ini berterbangan di udara. Terbangnya uap di udara juga akbat hembusan angin. Uap tersebut tertahan oleh daratan yang lebih tinggi atau gunung gunung. Sementara gunung yang diciptakan Tuhan bersuhu sangat dingin dan menyebabkan uap mengkristal, berubah kembali menjadi butiran air hujan. Hujan menjadikan bumi menjadi subur. Dari adanya hujan yang berpadu dengan rasa panas menciptakan iklim, ditunjang dengan semilir angin muncullah tumbuhan, kemudian binatang. Selanjutnya mun cul manusia, sebagai ciptaan yang terakhir dan sempurna, yang di rencanakan Tuhan untuk menjadikan wakilnya da lam mengatur dunia sesuai dengan hukum Cakra Manggili ngan. Rangkaian penciptaan makhluk Tuhan memberikan pe ngert an, bahwa kehidupan manusia merupakan perpaduan harmo nis dan tak terpisahkan dari beberapa unsur saripati api, air, dingin dan bumi. Konsep tersebut di dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan dibahas dalam Panca Wuku. Jakob Sumardjo (2004) membahas dalam uraian tentang Mandala.

KONSEP NERAKA
 Dari ajaran-ajaran yang mereka terima sangat meyakini bah wa segala perilaku kehidupan manusia harus dapat diper-tanggung jawabkan secara lahiriah maupun bathiniah, baik menyangkut kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhir at nanti. Mereka meyakini apa yang di lakukan baik buruk nya akan kembali pada dirinya, dan ada yang menyaksikan, yaitu Gusti nu nyidikeun Allah anu nganyatakeun, Pangeran anu nangtayungan. Dalam hal ini mentaati Pikukuh dan Pitu tur karena merupakan pedoman yang sangat penting, disam ping kemampuan menjaga moral dan etika hidup.

Tentang perhitungan dihari akhir pada dasarnya diyakini di dalam setiap agama. Karena keyakinan akan adanya perhitu ngan dihari akhir akan membawa dan mampu mengendali kan perbuatan manusia kearah yang benar. Sekalipun dalam perkembangannya, sebagaimana yang dianut oleh banyak ka um sufi, kesadaran untuk mentaati segala perintah yang ber sifat ilahiyah dan menjauhi larangan-larangannya semata-ma ta karena kesadaran dan kecintaannya terhadap Sang Pencip ta, bukan karena takut terhadap neraka. Kecintaan terhadap Sang pencipta harus bisa mengalahkan rasa takut terhadap neraka, mengingat neraka adalah ciptaan (makhluk) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.

Penggambaran neraka didalam tradisi Sunda Buhun sudah di tuliskan pada dua manuskrip daun palem yang ditulis deng an aksara Sunda Kuna. Naskah tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia atau Perpustaka an Nasional; kropak 413 dan kropak 423. Kedua naskah diperkirakan berasal dari abad ke-17 Masehi.

Pleyte menyebutkan bahwa naskah yang tertua, yaitu kropak 413 ditulis oleh salah seorang siswa KYAI RAGA, ketua kabu yutan Kyai Raga terletak di lereng gunung Sri Manganti atau sekarang disebut dengan nama Cikuray, sebelah timur wila yah kebudayaan Sunda (tuntung Sunda). Naskah dimaksud mengisahkan perjalanan Purnawijaya, ke neraka. Purnawija ya diajarkan oleh sang Dewa Utama mengenai akibat dari perbuatan jahat. Purnawijaya diajak untuk datang ke neraka dan melihat bagaimana orang-orang berdosa disiksa. Dida lam perjalanannya Purnawijaya bertanya kepada Yamadipa ti, penjaga neraka tentang cara mengakhiri penyiksaan ini. Yamadipati menjelaskan bahwa keberadaan mereka para peng huni neraka karena perbuatan buruk mereka ketika hi dup, serta mereka bisa reinkarnasi pada kehidupan selanjutnya.

Carita Purnawijaya merupakan sebuah gubahan teks Jawa Kuna yang berjudulkan Kuñjarakarna. Naskah ini mengisahkan seorang yaksa (sejenis raksasa) yang bertapa karena ingin menebus dosanya. Kisah didalam versi Sunda Kuna ini ber beda secara signifikan dari cerita Jawa Kuna. Versi Jawa Kuna terdiri dari dua bagian dan merupakan sebuah cerita yang bernafaskan agama Budha, karakter Budhis pada versi Sunda sudah hilang sama sekali. Dan hanya terdiri dari satu bagian saja. Cerita Kuñjarakarna (jawa) dibagi dua bagian, antara lain perjalanan Kuñjarakarna ke neraka.

Kuñjarakarna bertapa dan mendapatkan berkah dari Wairo cana atau sang Budha untuk bisa melihat neraka. Pertama-ta ma disuruhnya pergi ke neraka Yama untuk melihat langsung siksaan yang dialami orang-orang durhaka, dan menanyakan sebab musabab penderitaan lima lapis (pancagati). Disana melihat bagaimana orang-orang berdosa disiksa dan direbus didalam sebuah ketel besar. Kemudian melihat se buah ketel baru yang sedang disiapkan, ternyata ketel ini di peruntuk kan bagi Purnawijaya, sahabat karib Kuñjarakarna yang akan meninggal dalam waktu beberapa hari. Kuñjarakarna terke jut dan meminta kepada sang Buda, apakah bisa memperi ngatkan kawannya. Dan sang Buda memperbolehkannya, na mun Purnawijaya tetap tidak boleh menghindari hukuman. Meskipun begitu hukumannya diperpendek, dari 100 tahun menjadi sepuluh hari. Setelah masa berlalu, Purnawijaya di perkenankan kembali kebumi dan kembali kepada istrinya, Kusumagandhawati. Cerita berakhir dengan mengisahkan Kuñjara karna dan Purnawijaya bersama-sama bertapa dan menyucikan diri dengan laku yang amat berat, dilereng Maha meru. Maka setelah 12 tahun atas ijin Sang Raja mereka ber dua mendapatkan jalan kebahagiaan dijagat Yang Maha Tung gal (SIDDHLOKA). Didalam istilah lainnya disebut pula alam JATINISKALA.

Kisah dari naskah Sunda Kuna memiliki hubungan erat dengan teks Jawa Kuna Kuñjarakarna. Hal ini bukan suatu yang kebetulan. Naskah tertua Kuñjarakarna yang memuat teks Jawa, sekarang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden sebagai Naskah Leiden Or 2266 diperkirakan oleh para pakar berasal dari Jawa Barat. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa teks Sunda ini berdasarkan teks Jawa Kuna. Pada beberapa fragmen, teks Sunda sangat mirip dengan teks Jawa, bahkan pada tingkat kata-katanya.

Contoh isi dari naskah dimaksud, se bagai berikut :

Setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuat an), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Orang-orang tua didaerah masih banyak yang menasehati anak-anaknya agar memiliki ucap, lampah dan te kad dalam kehidupan. Hal ini tentunya berasal dari istilah ke seimbangan bayu, sabda dan hedap. Manusia hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing masing melalui berbagai pengabdian lahir dan batin, agar kelak bisa kembali kealam Jatiniskala, alam keabadian sejati, yakni :
  • alam Suka tanpa balik duka wareg tanpa balik lapar hurip tanpa balik pati sorga tanpa balik papa hayu tan pa balik halano han tanpa balik wogan moksa tanpa ba lik wulan.
Kitu tah ceuk buku, ceuk kolot jeung ceuk naon nu ka pang gih kukuring. Pamugi aya nu ngaguar deui. Tabe (asp).

manggihkeun bumi patala, si dona désa ma (?), murub muncar pakatonan, dipareuman hanteu meunang, dora na leuwih sadeupa, jalanna sadeupa sisih, jalan kaku rung ku lembur, lembur kakuning ku jalan, pantona kowari beusi, di peun deut an ku tambaga, dilorongan ku salaka, kuncina heun teung homas, ... dikamrata ku tahina, tahi lembu kanéjaan ..... di tatanggaan maléla. Ditanjuran ku handong bang, katomas deung panéjaan, wa duri kembang jayanti, sekar siratu bancana, eukeur meujeuh branang siang, dihauran kembang ura, dija ... kembang pupo lodi, didupaan ruruhuman, dadi wangi haseup dupa, mrebuk aruhum … jalan kawit i sorgaan.


(Maka sampai di bumi bawah tujuannya adalah sebuah daerah, yang menyala dan berbara. Hal ini sulit dipa damkan. Gerbangnya lebih dari satu depa sedangkan jalannya masing-masing setengah depa dan dilingkari oleh pemukiman. Pemukiman ini melingkari jalan. Pin tunya berpanel besi dan ditutup dengan tembaga serta memiliki laci perak dan kunci emas ... [jalannya] dirata kan dengan tahi, tahi sapi muda dan diberi tangga baja.Ditanami dengan andong merah, katomas dan panéja an, bunga waduri dan bunga jayanti. Selain siratu banca na yang sedang berkembang indah. Selain ditebari pula dengan bunga tabur sepanjang pohon nagasari (?) yang dijadikan harum oleh bermacam-macam parfum. Se hingga menjadi terciumlah harumnya asap dupa ...... permulaan jalan ke sorga).
Makna Kosmologi Sunda yang terkandung didalam naskah maupun lisan intinya menjelaskan, bahwa: konsep kosmologi Sunda bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih dituju kan agar kehidupan manusia jelas tujuan akhirnya, yaitu mencapai kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.
Buana ruhur atau buana nyungcung diyakini tempat bersema yamnya Batara Tunggal, dan Batara Tunggal dapat tinggal di mana saja. Buana nyungcung dianggap tempat kembalinya roh manusia dan tempat tinggal yang abadi. Sedangkan bua na rarang tidak harus diketahui semua orang, kecuali orang yang bertugas dan menguburkan mayat, karena pada saat ke matian itulah disebut-sebut tentang eksistensi ambu dan ka ambuan.
Konsep Jatiniskala mungkin pula berbeda dengan ageman agama lain. Hal ini perlu ditelusuri perbedaannya, sangkan “ulah sasar hirup.”
baruk da sang wiku amun ka dewata leungit kawikwa na na pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilangna kapan ditaan ja kassakeun katineung sarwa dingan trisna-trisna ba la swarangan. (katanya, kalau wiku ‘pendeta’ memuja kepada dewata, hi lang lah kewikuannya. Jika pendeta bersemedi (me muja) de wata, hilanglah kependetaannya, karena per hatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya) sendiri).
 “....... mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewa dan dewa tunduk kepada hiyang”. Naskah ini menempatkan Hiyang (keyakinan Sunda Buhun) ditempat yang paling tinggi dan diatas dewa.
Strata pembaktian menunjukan kondisi sosial urang Sunda yang memang sangat religius, tidak memisahkan kehidupan bermasyarakat, bernegara dengan keyakinannya. Dasa per bakti menunjukkan adanya tertib sosial dan keagamaan, atau tertib hidup dalam urusan masyarakat, mencakup masalah pribadi dan keluarga; profesional; spiritual. Pengaturan etika hidup masyarakat, atau keluarga sebagaimana nampak dari pembaktian anak; istri; dan suami. Pembaktian bagi kaum profesi nampak pada siswa; guru; petani; wado; mantri; nang ganan; mangkubumi; dan raja. Sedangkan didalam masalah spiritual menempatkan Hyang dipuncak perbaktian, bahkan raja dan dewapun tunduk pada Hyang. 

Sumber : http://tuturussangrakean.blogspot.com/

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona