Nilai-nilai Pokok Universal Sunda
Oleh AHMAD SAHIDIN
DALAM
sebuah milis yang khusus mengkaji sejarah dan peradaban Islam; muncul
sebuah pertanyaan: apakah selama ini sudah terjadi akulturasi antara
Islam dan Sunda atau baru kompromi? Pertanyaan tersebut dilemparkan oleh
Iip D. Yahya, seorang penulis biografi kiai-kiai dan periset sejarah.
Namun sayang tidak ada merespon sehingga saya coba mendiskusikan dengan
seorang kawan yang memiliki kepedulian tentang kesundaan.
Kawan
saya berpendapat bahwa Islam dan Sunda (khususnya dalam budaya) telah
terjadi akulturasi. Bukan kompromi yang dapat diartikan sebagai dua
entitas yang berhadapan tanpa ada kesepakatan untuk bersatu atau damai.
Namun fenomena Islam masuk ke ranah budaya Sunda tidak seperti Kejawen,
yang dapat dikatakan sebagai Islam yang ditafsirkan dalam budaya Jawa.
Akan tetapi, untuk Sunda antara budaya Sunda dan Islam bisa
berdampingan dan saling mengkuatkan. Misalnya dalam acara adat
pernikahan dan seni rudat dalam sunatan/khitanan, khazanah tersebut
diisi ajaran-ajaran Islam. Karena itu, budaya yang diisi ajaran-ajaran
Islam tersebut menjadi bentukan baru antara Sunda (tarian) dan Islam
(babacaan dan kawihnya) dan seni rudat mereplace acara Sunda
sebelumnya yang berbau Hindu. Hal itu terjadi karena suatu ajaran/nilai
yang datang ke suatu bangsa/kawasan pasti akan mengalami pengkayaan
akibat pengaruh budaya yang dibawa pada kawasan tersebut. Pengkayaan
budaya inilah yang menjadi khas Islam-Sunda yang sangat berbeda dengan
Islam Jawa, Islam Arab, Islam Eropa, dan lainnya.
Bahkan
kalau dilihat dalam konteks universal, Sunda mempunyai nilai
tersendiri; yang mungkin seperti agama; sebelum dimasuki ajaran agama
dari luar. Untuk memahami persoalan ini sedikitnya akan kita pahami
kalau menggunakan tesis Mat I Dimon, seorang penulis keturunan Yahudi.
Dalam buku ”Jew, God and History”, Dimon menyebutkan bahwa sesederhana
apa pun suatu bangsa (atau suku bangsa) kalau pernah eksis, apalagi
kalau masih eksis maka memiliki nilai-nilai pokok yang universal.
Bahkan, nilai-nilai tersebut berpeluang untuk menjadi titik tolak
kebangkitan kembali kejayaan bangsa tersebut. Dimon sendiri membuktikan
hal itu dengan mencontohkan bangsa Yahudi. Meski sudah diusir dan
dibinasakan, mereka tetap bangkit kembali dan eksis. Pertanyaannya,
dengan nilai-nilai apakah mereka bangkit? Menurut Dimon, setelah
dianalisis ternyata kaum Yahudi memiliki nilai-nilai pokok yang
universal, seperti perhatian yang besar terhadap ilmu dan teknologi
serta ketaatan kepada pemimpin mereka (Rahib maupun pemerintah).
Untuk
melihat apakah Sunda memiliki nilai-nilai universal maka secara
operasional harus dilihat pada masa eksis Kerajaan Sunda. Sejarah
mencatat bahwa Kerajaan Salakanagara dapat dijadikan titik tolak bahwa
sejak abad 1 Masehi bangsa Sunda hingga sekarang sudah ada selama hampir
2000 tahun. Apabila Kerajaan Sunda-Galuh (abad 10-13 Masehi) yang
menjadi acuan, bangsa Sunda sudah eksis selama 700 tahunan. Bahkan saat
Prabu Wastukancana memerintah, tercatat lamanya pemerintahan sekitar
100 tahun lebih. Pemerintahan tersebut berdiri dengan kondisi kerajaan
dan warganya yang aman tenteram kertaraharja. Karena itu, berdasarkan
tesis Dimon, Sunda pernah eksis sehingga besar kemungkinan memiliki
nilai-nilai pokok. Setelah dianalisis oleh kawan saya bahwa nilai-nilai
pokok universal Sunda adalah silas, kabuyutan, dan ngertakeun bumi lamba.
Meskipun
tidak berwujud kembali pada kerajaan, tetapi kejayaan atau kehormatan
bangsa/suku Sunda di mata dunia telah tercatat dalam sejarah dunia.
Dengan modal pernah eksis dan mengalami kejayaan pada masa lalu, bukan
berarti masyarakat Sunda kiwari harus berontak untuk mendirikan negara
Sunda. Justru dengan nilai-nilai pokok universal Sunda dapat menjadi
modal untuk membangkitkan kejayaan Sunda dalam bentuk provinsi sebagai
bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.