Jangjawokan ( Mantra orang sunda )
JANG JAWOKAN adalah suatu bacaan mantra,jampi, asihan, singlar, jangjawokan, rajah, ajian, dan pelet yg ada dalam budaya masyarakat sunda.
pertama kita ulas dulu kata MANTRA perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya);susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.MANTRA dibagi menjadi 7 bagian yaitu jampe jampi, asihan pekasih, singlar pengusi, jangjawokan jampi, rajah ‘kata-kata pembuka jampi, ajian ,ajian/jampi ajian kekuatan’, dan pelet ‘guna-guna. ketujuh bagian tersebut dapat dikelompokkan ke dalam mantra putih ‘white magic dan mantra hitam black magic.adapun pembagian tersebut berdasakan maksud dan tujuan mantra itu sendiri, mantra putih digunakan untuk kebaikan sedangkan mantra hitam digunakan untuk kejahatan.
- Mantra adalah kata2 yang penuh arti dan rahasia sifatnya, serta mempunyai maksud dan kekuatan tertentu
( G. Pudja , Wedaparikram)
- Mantra adalah doa yang merupakan rumus-rumus, yang terdiri atas suatu rangkaian kata-kata ghaib, yang dianggap mengandung kekuatan, dan kesaktian untuk mencapai secara otomatis, apa yang dikehendaki oleh manusia. Seringkali diucapkan dalam bahasa yang tidak dipahami oleh sebagian besar orang2 didalam masyarakat karena menggunakan bahasa kuno atau bahasa asing. Memang justeru karena itulah yang memberikan suasana ghaib dan keramat.
(Koentjaraningrat, beberapa pokok Antropologi Sosial, 1981).
- Bahwa Japa, Mantra, Donga, Sidikara, Aji-aji, artinya hampir sama. Yaitu berupa kata-kata atau kalimat yang dianggap memiliki kekuatan ghaib. Formulasi mantra dan doa itu umumnya disebut dengan Rapal. Membaca Rapal dengan bersuara disebut dengan Ngemelake Rapal. sedangkan membaca Rapal dalam hati disebut dengan Matek Rapal.
Rapal yang di Mel kan atau di Watek dapat ditujukan kepada : Tuhan, Diri sendiri, Orang lain, Barang, Mahluk Halus.Rapal yang ditujukan kepada Tuhan umumnya dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar tercapai apa yang dicita-citakan.Rapal yang ditujukan kepada diri sendiri dimaksudkan agar memiliki Daya Kekuatan Ghaib, memiliki Kekuatan luar Biasa (kesaktian), atau agar dapat memiliki kemampuan untuk menguasai orang lain.
Rapal yang ditujukan kepada Benda atau Barang, dimaksudkan untuk memasukkan atau menghilangkan daya kekuatan ghaib dari barang itu. Rapal yang ditujukan kepada Mahluk halus, dimaksudkan untuk menghadirkan mahluk Halus agar dimintai pertolongan atau untuk mengusir mahluk halus lain supaya tidak mengganggu dan tidak mendatangkan kerugian pada manusia. (S. Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastraan Jawa II)
- Deskripsi penggunaan dan kegunaan Mantra terdapat pada naskah : Sastra Parwa, Ramayana, Bharata Yudha, Smaradahana, Sumanasantaka, Bhomantaka, Sastra Kidung. Dikatakan bahwa Mantra ialah berupa rumus-rumus Religius atau Magis, pujian, atau doa terhadap para Dewa. Rumus-rumus itu mengandung suasana sakral dan mempunyai kesaktian karena isinya, sifat sakral, atau kekuasaan Magis dari orang yang memakainya dan karena bahasa yang dipakai sambil mengucapkannya. Disertai sarana-sarana seperti Pepujian, Persembahan Bunga, gerak tangan Mudra, suku kata dan rumus-rumus sakral. Sehingga Sang Dewa turun dan bersemayam ke dalamnya.
(Zoetmulder, Kalangwan 1983)
- Mantra yang tertulis pada kertas atau benda tipis lainnya atau berbentuk berupa gambar disebut sebagai Rajah.
(Padmosoekotjo)
- Mantra / doa , seandainya diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia maka hilanglah suasana keramat yang ditimbulkannya.
(Koentjaraningrat)
- Doa diucapkan dalam rangka kegiatan Religius, sementara Mantra diucapkan dalam rangka kegiatan Magis. Namun dalam prakteknya sering sukar dibedakan secara tajam antara perbuatan Religius dan perbuatan Magis, karena yang Religius dengan serta merta berobah ke sifat Magis, Implikasinya adalah Doa dengan serta merta berobah menjadi Mantra.
(Fischer, 1980)
- Mantra dapat dipakai oleh siapa saja, namun dalam hal-hal khusus atau luar biasa, pada saat seseorang merasa tidak mampu melakukannya, urusan penggunaan Mantra diserahkan kepada pemilik Mantra yang profesional (Pandita , Dukun).
- Mantra yang ditujukan kepada Tuhan/ Roh/ Mahluk Halus :
— Pemakai bersifat memohon
— Pemakai bersifat dikuasai
— Hasil yang diperoleh dari meminta ditentukan oleh “perkenan” pihak yang diminta
— Hasil yang diperoleh sering tidak disadari bahkan bisa berakibat Tranche
— Hasil yang diperoleh dalam batas-batas tertentu tidak menyatu dengan pemakai mantra
- Mantra yang ditujukan kepada Magi :
— Pemakai bersifat menyuruh
— Pemakai bersifat menguasai
— Hasil yang didapat ditentukan oleh kemampuan si pemakai
— Hasil yang diperoleh relatif disadari dan membentuk pribadi si pemakainya
— Hasil yang diperoleh akan menyatu kepada si pemakai
- Tenaga Magis kata-kata dalam mantra masih dipercaya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya para penjual makanan akan menyimpan daun cemara dengan harapan daun cemara itu memiliki kekuatan Magis agar para pembeli Mara (berdatangan). Orang Desa menyimpan padinya di lumbung dengan dialasi daun keluwih diharapkan menimbulkan tenaga magis agar padinya itu “luwih” ( lebih ) sehingga bisa bertahan sampai panen mendatang.
Adanya pembagian antara mantra putih (white magic) dan mantra hitam
(black magic) sebenarnya sulit untuk diukur dalam pengertian tidak ada pembeda secara nyata di antara keduanya, karena sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra putih ke mantra hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh magic tersebut. Dapat dicermati bahwa mantra putih di antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan orang sakit. Adapun kategori mantra hitam diantaranya bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang lain karena sakit hati.
Keberadaan mantra putih maupun mantra hitam itu sendiri berpangkal pada kepercayaan masyarakat pendukung di dalamnya yang memunculkan fenomena yang semakin kompleks di jaman sekarang. Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat Sunda terhadap mantra semakin berkembang. Ada sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara penuh maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam kepentingan hidupnya. Sebagian masyarakat lainnya secara langsung atau tidak langsung menolak kehadiran mantra dengan pertimbangan bahwa menerima mantra berarti melakukan perbuatan syirik. Pada bagian masyarakat yang disebutkan pertama dapat digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung mantra, sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan ke dalam masyarakat bukan penghayat mantra.
bagi masyarakat penghayat mantra dalam setiap kegiatan atau keseharian mereka kerap kali diwarnai dengan pembacaan mantra demi keberhasilan dalam mencapai maksud. Misalnya, para petani ingin sawahnya subur, terhindar dari gangguan hama, ingin panen hasilnya melimpah; para pedagang ingin dagangannya laris. Mantra diterima oleh masyarakat penghayatnya sebagai kebutuhan penunjang setelah kehidupan agamanya dijalani secara sungguh-sungguh.Kegiatan yang tidak terlepas kepada keadaan alam dan mata pencaharian, menghasilkan tiga kelompok besar sehubungan dengan penggunaan mantra, yaitu mantra yang digunakan untuk perlindungan, kekuatan, dan pengobatan.
Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan pernah dirasakan manfaatnya. Jangjawokan bukan sekedar puisi yang dapat dinikmati kata-katanya, namun sebagai sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan. Biarlah jangjawokan ‘diampihan’ sebagai puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.
Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :
1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2.dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3.berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4.masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5.adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6.terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.
Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.
Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.
Nama-nama kuasa imajiner yang dimaksudkan tentunya sangat terkait dengan istilah-istilah yang digunakan urang Sunda Buhun. Seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan Batari ; Sri Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga Keling ; Ratu Teluh ti Galunggung ; Sang Ratu Babut Buana. Penyebutan kuasa imajiner tersebut,
contoh AJimantra Atau jang jawokan :
Rarakan Nyi Pohaci
Hihid kekeper iman
Nyiru tamprak ning iman
Dulang ketuk ning iman
Parako bengker ning iman
Hawu dungkuk ning iman
Suluh solosod ning iman
Seeng kukus ning iman.
Secara simbolik, benda-benda yang disebutkan merupakan perwakilan dari hakekat manusia yang senantiasa harus menjalani hidup dengan dibekali iman yang kuat. Fungsi lain yang menyiratkan adanya permohonan kepada Sang Pencipta, tampak pada sejumlah mantra kekuatan, begitu erat dengan kebutuhan hidup masyarakat yang dalam satu segi membutuhkan kekuatan lahir maupun batin untuk melaksanakan maksud tertentu. Semua mantra tersebut sepenuhnya disandarkan kepada Allah. Mereka tinggal menunggu keputusan dari Yang Maha Menentukan atas usaha yang dijalankan manusia. Betapa manusia merasa kecil dan tak berdaya sehingga memohon dilindungi, ditopang, diberi kemurahan pada setiap langkah, mohon ditetapkan iman dan Islam. Begitu juga dengan mantra kekuatan lainnya, dengan berbekal keyakinan dan bersandar sepenuhnya kepada Allah, mantra diucapkan untuk tujuan keunggulan, agar disayangi, agar segala perbuatan menghasilkan sesuatu yang diharapkan, agar perkasa, awet muda, untuk menaklukan siluman, dan lain-lain.
( sumber : ki sawung ).
Dewi pohaci
Pohaci Sanghiyang Asri, sebagian menganggap sebagai mahluk gaib dan sebagian lagi bukan .. berikut merupakan pengertiannya yang di ambil dari sastra sunda.
DEWI SRI = DEWI SARI = BWA ACI = POHACI
TIDAK PERNAH ADA tulisan “POHACI” secara nyata, sebutan “pohaci” yang kita kenal saat ini diakibatkan oleh “bahasa lidah” hingga terjadi “sa-denge-denge-na”. Artinya, telah terjadi ‘salah tangkap’ pada sebutan “POHACI”. Celakanya hal ini berlanjut terus menerus secara turun-temurun hingga pada gilirannya POHACI atau sering disebut sebagai DEWI KESUBURAN atau DEWI PADI atau DEWI SRI dianggap sebagai mitos.
POHACI yang AWAL atau yang aslinya sama sekali BUKAN MITOS melainkan kejadian LOGIS dan RASIONAL sebab POHACI itu sama sekali bukan NAMA SESEORANG atau W3ANITA atau nyai atau IBU-IBU atau apapun yang berbau ‘penamaan’. Namun entah bagaimana mulanya itu semua bergeser menjadi DONGENG, memang dongeng itu tidak sepenuhnya “menyesatkan” tetapi jadi merepotkan bagi generasi kita….. yang sudah kehilangan JATI DIRI.Dalam hal sebutan POHACI terpaksa kita HARUS melihat kembali pada konsep besar ajaran SURAYANA yaitu cikal bakal AJARAN SUNDA (Sundayana)… juga cikal bakal ajaran HINDU saat… yaitu :
ANG (Merah) >>> BUR (Mahacahaya / Matahari) >>> Ci Beureum
UNG (Putih) >>> BWA (Bumi / Jarak Radial Kehidupan dari Matahari) >>> Ci Bodas
MANG (Hitam) >>> SWA (Diri atau Manusia) >>> Ci Hideung
Maka, dalam Su-Wa-Ra :
“ANG – UNG – MANG” kita mendapatkan susunan kata yang merujuk kepada bunyi kata “MAUNG” dan “AHUNG”…. su-wa-ra itu pada hakikatnya sama saja artinya dengan BUR-BWA-SWA dan sama juga dengan menyebutkan Matahari, Bumi, Diri Sendiri (Manusia)…. lebih dalamnya lagi sama dengan menyebutkan KEMAHATUNGGALAN SANG HYANG yaitu… :
1. YANG HIDUP (Matahari sebagai simbol Sang Hyang Tunggal)
2. YANG MENGHIDUPKAN (Bumi)
3. YANG TERHIDUPKAN (Manusia dan mahluk lainnya)
Ini pekerjaan KARUHUN SUNDA yang MAHA CERDAS dalam memainkan sistem simbol atau silib-siloka . Ketiga huruf awal dari suwara “Ang – Ung – Mang” menghasilkan bunyi A-U-M atau kita seringmendengarnya sebagai “OM” …seperti masyarakat BALI dalam menyebutkan “OM… SWASTIASTU”
Melalui susunan BUR – BWA – SWA, kita pertajam kepada persoalan suwara BWA (Bumi) kaitannya dengan POHACI yang sesungguhnya berasal dari kata BWA-ACI atau kita juga sering menyebutnya sebagai ACI NING BUMI…!!!
1. BWA >>> terdengar menjadi “BWAH” >>> terdengar menjadi PWAH >>> terdengar menjadi POH.
2. ACI adalah SARI PATI atau unsur inti, SARI kelak berobah menjadi SRI. Maka; ACI = SARI = SRI.
Jadi, BWA-ACI atau POH-ACI itu artinya adalah SARIPATI BUMI… penyebab adanya segala yang hidup di BUMI… dengan demikian wajar apa bila disebut sebagai KESUBURAN TANAH BUMI.
Jika kita lihat dari sudut pandang ini maka jelas bahwa leluhur SUNDA (Nusantara) pada mulanya sama sekali tidak membangun MITOS melainkan AJARAN… generasi berikutnyalah yang mengemas menjadi mitos… mungkin dibutuhkan untuk mereka yang masih rendah kasta otaknya..
pertama kita ulas dulu kata MANTRA perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya);susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.MANTRA dibagi menjadi 7 bagian yaitu jampe jampi, asihan pekasih, singlar pengusi, jangjawokan jampi, rajah ‘kata-kata pembuka jampi, ajian ,ajian/jampi ajian kekuatan’, dan pelet ‘guna-guna. ketujuh bagian tersebut dapat dikelompokkan ke dalam mantra putih ‘white magic dan mantra hitam black magic.adapun pembagian tersebut berdasakan maksud dan tujuan mantra itu sendiri, mantra putih digunakan untuk kebaikan sedangkan mantra hitam digunakan untuk kejahatan.
- Mantra adalah kata2 yang penuh arti dan rahasia sifatnya, serta mempunyai maksud dan kekuatan tertentu
( G. Pudja , Wedaparikram)
- Mantra adalah doa yang merupakan rumus-rumus, yang terdiri atas suatu rangkaian kata-kata ghaib, yang dianggap mengandung kekuatan, dan kesaktian untuk mencapai secara otomatis, apa yang dikehendaki oleh manusia. Seringkali diucapkan dalam bahasa yang tidak dipahami oleh sebagian besar orang2 didalam masyarakat karena menggunakan bahasa kuno atau bahasa asing. Memang justeru karena itulah yang memberikan suasana ghaib dan keramat.
(Koentjaraningrat, beberapa pokok Antropologi Sosial, 1981).
- Bahwa Japa, Mantra, Donga, Sidikara, Aji-aji, artinya hampir sama. Yaitu berupa kata-kata atau kalimat yang dianggap memiliki kekuatan ghaib. Formulasi mantra dan doa itu umumnya disebut dengan Rapal. Membaca Rapal dengan bersuara disebut dengan Ngemelake Rapal. sedangkan membaca Rapal dalam hati disebut dengan Matek Rapal.
Rapal yang di Mel kan atau di Watek dapat ditujukan kepada : Tuhan, Diri sendiri, Orang lain, Barang, Mahluk Halus.Rapal yang ditujukan kepada Tuhan umumnya dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar tercapai apa yang dicita-citakan.Rapal yang ditujukan kepada diri sendiri dimaksudkan agar memiliki Daya Kekuatan Ghaib, memiliki Kekuatan luar Biasa (kesaktian), atau agar dapat memiliki kemampuan untuk menguasai orang lain.
Rapal yang ditujukan kepada Benda atau Barang, dimaksudkan untuk memasukkan atau menghilangkan daya kekuatan ghaib dari barang itu. Rapal yang ditujukan kepada Mahluk halus, dimaksudkan untuk menghadirkan mahluk Halus agar dimintai pertolongan atau untuk mengusir mahluk halus lain supaya tidak mengganggu dan tidak mendatangkan kerugian pada manusia. (S. Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastraan Jawa II)
- Deskripsi penggunaan dan kegunaan Mantra terdapat pada naskah : Sastra Parwa, Ramayana, Bharata Yudha, Smaradahana, Sumanasantaka, Bhomantaka, Sastra Kidung. Dikatakan bahwa Mantra ialah berupa rumus-rumus Religius atau Magis, pujian, atau doa terhadap para Dewa. Rumus-rumus itu mengandung suasana sakral dan mempunyai kesaktian karena isinya, sifat sakral, atau kekuasaan Magis dari orang yang memakainya dan karena bahasa yang dipakai sambil mengucapkannya. Disertai sarana-sarana seperti Pepujian, Persembahan Bunga, gerak tangan Mudra, suku kata dan rumus-rumus sakral. Sehingga Sang Dewa turun dan bersemayam ke dalamnya.
(Zoetmulder, Kalangwan 1983)
- Mantra yang tertulis pada kertas atau benda tipis lainnya atau berbentuk berupa gambar disebut sebagai Rajah.
(Padmosoekotjo)
- Mantra / doa , seandainya diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia maka hilanglah suasana keramat yang ditimbulkannya.
(Koentjaraningrat)
- Doa diucapkan dalam rangka kegiatan Religius, sementara Mantra diucapkan dalam rangka kegiatan Magis. Namun dalam prakteknya sering sukar dibedakan secara tajam antara perbuatan Religius dan perbuatan Magis, karena yang Religius dengan serta merta berobah ke sifat Magis, Implikasinya adalah Doa dengan serta merta berobah menjadi Mantra.
(Fischer, 1980)
- Mantra dapat dipakai oleh siapa saja, namun dalam hal-hal khusus atau luar biasa, pada saat seseorang merasa tidak mampu melakukannya, urusan penggunaan Mantra diserahkan kepada pemilik Mantra yang profesional (Pandita , Dukun).
- Mantra yang ditujukan kepada Tuhan/ Roh/ Mahluk Halus :
— Pemakai bersifat memohon
— Pemakai bersifat dikuasai
— Hasil yang diperoleh dari meminta ditentukan oleh “perkenan” pihak yang diminta
— Hasil yang diperoleh sering tidak disadari bahkan bisa berakibat Tranche
— Hasil yang diperoleh dalam batas-batas tertentu tidak menyatu dengan pemakai mantra
- Mantra yang ditujukan kepada Magi :
— Pemakai bersifat menyuruh
— Pemakai bersifat menguasai
— Hasil yang didapat ditentukan oleh kemampuan si pemakai
— Hasil yang diperoleh relatif disadari dan membentuk pribadi si pemakainya
— Hasil yang diperoleh akan menyatu kepada si pemakai
- Tenaga Magis kata-kata dalam mantra masih dipercaya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya para penjual makanan akan menyimpan daun cemara dengan harapan daun cemara itu memiliki kekuatan Magis agar para pembeli Mara (berdatangan). Orang Desa menyimpan padinya di lumbung dengan dialasi daun keluwih diharapkan menimbulkan tenaga magis agar padinya itu “luwih” ( lebih ) sehingga bisa bertahan sampai panen mendatang.
Adanya pembagian antara mantra putih (white magic) dan mantra hitam
(black magic) sebenarnya sulit untuk diukur dalam pengertian tidak ada pembeda secara nyata di antara keduanya, karena sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra putih ke mantra hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh magic tersebut. Dapat dicermati bahwa mantra putih di antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan orang sakit. Adapun kategori mantra hitam diantaranya bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang lain karena sakit hati.
Keberadaan mantra putih maupun mantra hitam itu sendiri berpangkal pada kepercayaan masyarakat pendukung di dalamnya yang memunculkan fenomena yang semakin kompleks di jaman sekarang. Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat Sunda terhadap mantra semakin berkembang. Ada sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara penuh maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam kepentingan hidupnya. Sebagian masyarakat lainnya secara langsung atau tidak langsung menolak kehadiran mantra dengan pertimbangan bahwa menerima mantra berarti melakukan perbuatan syirik. Pada bagian masyarakat yang disebutkan pertama dapat digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung mantra, sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan ke dalam masyarakat bukan penghayat mantra.
bagi masyarakat penghayat mantra dalam setiap kegiatan atau keseharian mereka kerap kali diwarnai dengan pembacaan mantra demi keberhasilan dalam mencapai maksud. Misalnya, para petani ingin sawahnya subur, terhindar dari gangguan hama, ingin panen hasilnya melimpah; para pedagang ingin dagangannya laris. Mantra diterima oleh masyarakat penghayatnya sebagai kebutuhan penunjang setelah kehidupan agamanya dijalani secara sungguh-sungguh.Kegiatan yang tidak terlepas kepada keadaan alam dan mata pencaharian, menghasilkan tiga kelompok besar sehubungan dengan penggunaan mantra, yaitu mantra yang digunakan untuk perlindungan, kekuatan, dan pengobatan.
Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan pernah dirasakan manfaatnya. Jangjawokan bukan sekedar puisi yang dapat dinikmati kata-katanya, namun sebagai sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan. Biarlah jangjawokan ‘diampihan’ sebagai puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.
Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :
1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2.dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3.berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4.masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5.adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6.terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.
Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.
Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.
Nama-nama kuasa imajiner yang dimaksudkan tentunya sangat terkait dengan istilah-istilah yang digunakan urang Sunda Buhun. Seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan Batari ; Sri Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga Keling ; Ratu Teluh ti Galunggung ; Sang Ratu Babut Buana. Penyebutan kuasa imajiner tersebut,
contoh AJimantra Atau jang jawokan :
Rarakan Nyi Pohaci
Hihid kekeper iman
Nyiru tamprak ning iman
Dulang ketuk ning iman
Parako bengker ning iman
Hawu dungkuk ning iman
Suluh solosod ning iman
Seeng kukus ning iman.
Secara simbolik, benda-benda yang disebutkan merupakan perwakilan dari hakekat manusia yang senantiasa harus menjalani hidup dengan dibekali iman yang kuat. Fungsi lain yang menyiratkan adanya permohonan kepada Sang Pencipta, tampak pada sejumlah mantra kekuatan, begitu erat dengan kebutuhan hidup masyarakat yang dalam satu segi membutuhkan kekuatan lahir maupun batin untuk melaksanakan maksud tertentu. Semua mantra tersebut sepenuhnya disandarkan kepada Allah. Mereka tinggal menunggu keputusan dari Yang Maha Menentukan atas usaha yang dijalankan manusia. Betapa manusia merasa kecil dan tak berdaya sehingga memohon dilindungi, ditopang, diberi kemurahan pada setiap langkah, mohon ditetapkan iman dan Islam. Begitu juga dengan mantra kekuatan lainnya, dengan berbekal keyakinan dan bersandar sepenuhnya kepada Allah, mantra diucapkan untuk tujuan keunggulan, agar disayangi, agar segala perbuatan menghasilkan sesuatu yang diharapkan, agar perkasa, awet muda, untuk menaklukan siluman, dan lain-lain.
( sumber : ki sawung ).
Dewi pohaci
Pohaci Sanghiyang Asri, sebagian menganggap sebagai mahluk gaib dan sebagian lagi bukan .. berikut merupakan pengertiannya yang di ambil dari sastra sunda.
DEWI SRI = DEWI SARI = BWA ACI = POHACI
TIDAK PERNAH ADA tulisan “POHACI” secara nyata, sebutan “pohaci” yang kita kenal saat ini diakibatkan oleh “bahasa lidah” hingga terjadi “sa-denge-denge-na”. Artinya, telah terjadi ‘salah tangkap’ pada sebutan “POHACI”. Celakanya hal ini berlanjut terus menerus secara turun-temurun hingga pada gilirannya POHACI atau sering disebut sebagai DEWI KESUBURAN atau DEWI PADI atau DEWI SRI dianggap sebagai mitos.
POHACI yang AWAL atau yang aslinya sama sekali BUKAN MITOS melainkan kejadian LOGIS dan RASIONAL sebab POHACI itu sama sekali bukan NAMA SESEORANG atau W3ANITA atau nyai atau IBU-IBU atau apapun yang berbau ‘penamaan’. Namun entah bagaimana mulanya itu semua bergeser menjadi DONGENG, memang dongeng itu tidak sepenuhnya “menyesatkan” tetapi jadi merepotkan bagi generasi kita….. yang sudah kehilangan JATI DIRI.Dalam hal sebutan POHACI terpaksa kita HARUS melihat kembali pada konsep besar ajaran SURAYANA yaitu cikal bakal AJARAN SUNDA (Sundayana)… juga cikal bakal ajaran HINDU saat… yaitu :
ANG (Merah) >>> BUR (Mahacahaya / Matahari) >>> Ci Beureum
UNG (Putih) >>> BWA (Bumi / Jarak Radial Kehidupan dari Matahari) >>> Ci Bodas
MANG (Hitam) >>> SWA (Diri atau Manusia) >>> Ci Hideung
Maka, dalam Su-Wa-Ra :
“ANG – UNG – MANG” kita mendapatkan susunan kata yang merujuk kepada bunyi kata “MAUNG” dan “AHUNG”…. su-wa-ra itu pada hakikatnya sama saja artinya dengan BUR-BWA-SWA dan sama juga dengan menyebutkan Matahari, Bumi, Diri Sendiri (Manusia)…. lebih dalamnya lagi sama dengan menyebutkan KEMAHATUNGGALAN SANG HYANG yaitu… :
1. YANG HIDUP (Matahari sebagai simbol Sang Hyang Tunggal)
2. YANG MENGHIDUPKAN (Bumi)
3. YANG TERHIDUPKAN (Manusia dan mahluk lainnya)
Ini pekerjaan KARUHUN SUNDA yang MAHA CERDAS dalam memainkan sistem simbol atau silib-siloka . Ketiga huruf awal dari suwara “Ang – Ung – Mang” menghasilkan bunyi A-U-M atau kita seringmendengarnya sebagai “OM” …seperti masyarakat BALI dalam menyebutkan “OM… SWASTIASTU”
Melalui susunan BUR – BWA – SWA, kita pertajam kepada persoalan suwara BWA (Bumi) kaitannya dengan POHACI yang sesungguhnya berasal dari kata BWA-ACI atau kita juga sering menyebutnya sebagai ACI NING BUMI…!!!
1. BWA >>> terdengar menjadi “BWAH” >>> terdengar menjadi PWAH >>> terdengar menjadi POH.
2. ACI adalah SARI PATI atau unsur inti, SARI kelak berobah menjadi SRI. Maka; ACI = SARI = SRI.
Jadi, BWA-ACI atau POH-ACI itu artinya adalah SARIPATI BUMI… penyebab adanya segala yang hidup di BUMI… dengan demikian wajar apa bila disebut sebagai KESUBURAN TANAH BUMI.
Jika kita lihat dari sudut pandang ini maka jelas bahwa leluhur SUNDA (Nusantara) pada mulanya sama sekali tidak membangun MITOS melainkan AJARAN… generasi berikutnyalah yang mengemas menjadi mitos… mungkin dibutuhkan untuk mereka yang masih rendah kasta otaknya..
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.